Kepada siapapun kita tidak perlu memaksakan untuk percaya dengan apa yang dinamakan uga, wasiat dan pusaka terutama wesi aji, sebab sebuah kepercayaan tergantung pada perasaan masing-masing manusia.

Sebagai contoh tetapi tiada salahnya seseorang mengetahui dan memahami makna yang terkandung dalam ajaran filsafat para leluhur yang tersimpan dalam bentuk bilahan-bilahan pusaka.

Akhir-akhir ini banyak dari kalangan islam yang mengatakan bid'ah atau khurofat dalam menyimpulkan pendapat untuk orang yang menyimpan pusaka, padahal jika diteliti lebih jauh tidak ada yang menyimpang andai di bahas secara ilmiah. Sebagai contoh Kujang dan Keris.



1. Kujang

Masyarakat Jawa Barat yang mayoritas beretnis Sunda memiliki lambang daerah berupa gambar yang di tengahnya menampilkan senjata tradisional yang disebut kujang. Kujang adalah senjata tradisional berupa senjata tajam yang bentuknya menyerupai keris, parang, dengan bentuk unik berupa tonjolan pada bagian pangkalnya, bergerigi pada salah satu sisi di bagian tengahnya dan bentuk lengkungan pada bagian ujungnya. Bagi masyarakat Sunda, kujang lebih umum dibandingkan dengan keris.

Asal muasal istilah Kujang berasal dari kata "Kudihyang" dengan akar kata "Kudi" dan "Hyang". "Kudi" diambil dari bahasa Sunda Kuno yang memiliki pengertian senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit.

Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur. 

Sedangkan "Hyang" dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa KandaNg Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”. Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para (Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan.

Kujang memiliki karakteristik bagian, antara lain : papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.

Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain : Kujang Pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas (sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango), Kujang Badak (menyerupai badak), Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga) dan Kujang Bangkong (menyerupai katak). Disamping itu terdapat pula bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.

Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.

Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
 
Bagi rakyat Jawa Barat Kujang diyakini merupakan pusaka andalan dan kebanggaan Raja Pajajaran Prabu Siliwangi. Senjata Kujang yang di miliki kerajaan Pajajaran tersebut diberi nama Bayu Geni Ati dan Wira Geni, keduanya adalah sepasang yang tidak dapat dipisahkan.

Bukti keberadaan kujang diperoleh dari naskah kuno di antaranya Serat Manik Maya dengan istilah kudi, Sanghyang Siksakandang Karesian dengan istilah kujang, dan dari berita pantun Pajajaran Tengah (Pantun Bogor).

Berdasarkan bukti artefak yang ada, kujang dalam bentuk awal telah digunakan sejak abad ke-9, akan tetapi besar kemungkinan bahwa kujang telah ada sebelum masa tersebut.

Kujang mempunyai latar belakang sejarah yang panjang, hal ini dinyatakan secara teoritis dimana jumlah lubang 1 pada bilah kujang adalah letak kota praja disebut Sunda tahun 670 M saat Tarumanegara dipimpin Maharaja Purnawarman (mengacu kujang sebagai peta).

Dan pada jaman Pajajaran Mangukuhan kujang menjadi sebuah pusaka lambang pemersatu antara Sundapura dan Galuh melalui Perjanjian Galuh pada tahun 739 M.

Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujangpun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral.

Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12. Pada tahun 1170 ada perubahan pada Kujang tersebut. Nilainya sebagai jimat atau jimat secara bertahap diakui oleh para penguasa dan bangsawan dari Kerajaan Pajajaran Makukuhan, khususnya pada masa pemerintahan Prabu Kudo Lalean. Dalam salah satu retret spiritualnya, Kudo Lalean diperintahkan melalui visi paranormal untuk mendesain ulang bentuk Kujang agar sesuai dengan bentuk dari Pulau "Djawa Dwipa,".

Kemudian raja menugaskan kedaulatan kerajaan pandai besi, Mpu Windu Supo, untuk membuat kujang yang memiliki kualitas mistis dan filsafat spiritual, yang unik dalam desain, agar generasi masa depan akan selalu mengasosiasikan dengan kerajaan Pajajaran Makukuhan. Setelah periode meditasi, Mpu Supo Windu memulai dengan Penciptaan sebuah prototipe dari Kujang tersebut, yang memiliki dua karakteristik menonjol, yaitu bentuk pulau Jawa dan tiga lubang atau takik di sekitar kujang.

Bentuk pulau Jawa diartikan sebagai bentuk penyatuan semua kerajaan kecil Jawa menjadi kerajaan tunggal, dipimpin oleh raja Makukuhan. Tiga lubang atau takik bundar untuk mewakili Trimurti, atau tiga aspek yang didewakan agama Hindu (Brahma, Wisnu, dan Siwa). Trinitas Hindu juga diwakili oleh tiga kerajaan utama yaitu kerajaan Pengging Wiraradya, terletak di sebelah timur Jawa, Kerajaan Kambang Putih, terletak di utara timur pulau, dan kerajaan Pajajaran Makukuhan, terletak di barat.

Bukti Keberadaan Kujang tertulis dalam Kitab Siksa Kanda Ng Karesian abad 15-16 M, “Ganggaman Sang Wong Tani ma, Kujang, Baliung, Patik, Kored...“. Namun pernyataan tertulis tersebut tidak disertai ilustrasi (berupa gambar) jenis kujang mana yang di maksud. Tidak ada penjelasan terinci perihal kujang tersebut. Pada umumnya sebuah pernyataan tertulis dalam kitab bukan merupakan petunjuk teknis (manual book) atau tidak seluruhnya menerangkan arti sebenarnya (harfiah), akan tetapi didalamnya tersirat makna yang dalam dan lebih luas. Pernyataan tertulis tersebut harus ditafsirkan secara holistik atau menyeluruh.

Karakteristik bahasanya lebih sastrawi tidak prosais. Pernyataan bahwa kujang diterjemahkan menjadi perkakas pertanian dalam bahasa Indonesia sangat berlainan makna dengan pernyataan dalam kitab tersebut. Apabila mengacu pada latar belakang sejarah penciptaannya, maka keberadaan Kujang jauh lebih tua dari keberadaan provinsi Jawa Barat.

Istilah "Kujang" lebih populer di Jawa Barat, sementara di wilayah Jawa Tengah dan Timur lebih dikenal dengan istilah "Calok Trantang", "Kudi" dan "Cangak". Penamaan "Kujang" hanya terbatas pada kategori atau klasifikasi kujang "Ciung", "Kuntul", dan beberapa jenis kujang lainnya.

Sebaliknya "Kudi" perkakas yang lebih populer di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, dikategorikan ke dalam "Kujang Pamangkas" oleh beberapa pemerhati kujang di Jawa Barat. Fenomena perbedaan penamaan dan klasifikasi kujang berdasar pada tafsiran para pecinta, peneliti dan daerah di mana kujang tersebut ditemukan.

Ketika pengaruh Islam masuk dan berkembang, Kujang mengalami perubahan bentuk  menyerupai huruf Arab "Syin." Ini adalah  metode dari penguasa wilayah Pasundan, Prabu Kian Santang, yang ingin mengubah rakyat menjadi Islami. Karena sebelumnya  Kujang tersebut mewujudkan filosofi Hindu dan agama dari budaya yang ada. Syin adalah huruf kedua dari ayat syahadat setelah Alif ,maksudnya yang satu bersaksi untuk menyaksikan dari Allah tunggal dan Nabi Muhammad (diberkati dalam nama-Nya) sebagai utusan.

Modifikasi dari Kujang  secara geografis sesuai dengan wilayah Pasundan atau Jawa barat agar sesuai dengan bentuk huruf  Syin. Kujang dimaksudkan untuk mengingatkan pemilik akan kesetiaan kepada Islam dan ketaatan terhadap ajaran-ajarannya.

Lima lubang atau takik bulat di Kujang menggantikan tiga dari Trimurti. Mereka mewakili lima rukun Islam.

Kujang bukan sekadar senjata pusaka. Kujang merupakan simbol ajaran ketuhanan tentang asal-usul alam semesta yang dijadikan dasar konsepsi sistem ketatanegaraan Sunda Wiwitan. Bentuknya merupakan manifestasi wujud manusia sebagai ciptaan yang sempurna. Wujud kujang merupakan manifestasi alam semesta.
 
Kujang dengan berbagai cerita, legenda heroik dan magisnya masih tetap eksis sampai sekarang. Meski demikian, kujang dalam perkembangannya saat ini sangat diminati bukan sekedar karena kesaktian atau harapan dari pemiliknya untuk mendapatkan “sesuatu”, tetapi lebih pada nilai estetika dari bentuk fisik dan kelangkaan dari kujang tersebut.

Para pemilik yang menyimpan kujang di beberapa daerah di Jawa Barat mempunyai motivasi untuk menghormati warisan leluhur dan bentuk penguatan karakter sebagai orang Sunda.

Selain dari motivasi tersebut ada pula yang memburunya sebagai syarat untuk kepentingan dan maksud pribadi yang bersifat sangat khusus. Salah satu nilai kujang terletak pada tingkat kelangkaannya, berdasarkan fakta di lapangan banyak dari artefak kujang yang sudah di koleksi para kolektor tosan aji atau wesi aji di luar negeri sebagai barang Antik dan langka.

Fenomena tersebut merupakan indikasi bahwa kujang merupakan jenis tosan aji atau wesi aji yang sulit dicari, bila dibandingkan dengan jenis tosan aji atau wesi aji lainnya seperti keris, golok, pedang tombak dan jenis belati. 

Penelusuran keberadaan kujang menjadi salah satu alternatif terbaik dalam upaya menyelamatkan dan mengungkap berbagai perupaan kujang yang masih menjadi misteri.
 
BAGIAN-BAGIAN KUJANG
- Papatuk (Congo); bagian ujung kujang yang runcing, gunanya untuk menoreh atau mencungkil.
- Eluk (Siih); lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas, gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh.
- Waruga; nama bilahan (badan) kujang.
- Mata; lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang pada awalnya lubang- lubang itu tertutupi logam (biasanya emas atau perak) atau juga batu permata. Tetapi kebanyakan yang ditemukan hanya sisasnya berupa lubang lubang kecil. Gunanya sebagai lambang tahap status si pemakainya, paling banyak 9 mata dan paling sedikit 1 mata, malah ada pula kujang tak bermata, disebut “Kujang Buta”.
- Pamor; garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang disebut Sulangkar atau Tutul, biasanya mengandung racun, gunanya selain untuk memperindah bilah kujangnya juga untuk mematikan musuh secara cepat.
- Tonggong; sisi yg tajam di bagian punggung kujang, bisa untuk mengerat juga mengiris.
- Beuteung; sisi yang tajam di bagian perut kujang, gunanya sama dengan bagian punggungnya.
- Tadah; lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya untuk menangkis dan melintir senjata musuh agar terpental dari genggaman.
- Paksi; bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan ke dalam gagang kujang.
- Combong; lubang pada gagang kujang, untuk mewadahi paksi (ekor kujang).
- Selut; ring pada ujung atas gagang kujang, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman gagang kujang pada ekor (paksi).
- Ganja (landéan); nama khas gagang (tangkai) kujang.
- Kowak (Kopak); nama khas sarung kujang.

Di antara bagian-bagian kujang tadi, ada satu bagian yang memiliki lambang “ke-Mandalaan”, yakni mata yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap Mandala Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah 9 tahap, di antaranya (urutan dari bawah): Mandala Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Séba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar, Mandala Agung. Mandala tempat siksaan bagi arwah manusia yang ketika hidupnya bersimbah noda dan dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat Pancaka, yaitu Neraka.


SEJARAH PERKEMBANGAN KUJANG
Kujang sangat identik dengan Sunda Pajajaran masa silam. Sebab, alat ini berupa salah sastu aspek identitas eksistensi budaya Sunda kala itu. Namun, dari telusuran kisah keberadaannya tadi, sampai sekarang belum ditemukan sumber sejarah yang mampu memberitakan secara jelas dan rinci. Satu-satunya sumber berita yang dapat dijadikan pegangan (sementara) yaitu lakon-lakon pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun itulah kujang banyak disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang terhitung masih lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor sumber Gunung Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini sampai akhir abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor marginal (pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh kalangan intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang Belanda yang besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan buku berjudul Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya hasil mendengar langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor sebelah Barat dan sekitarnya. Pemberitaan tentang kujang selalu terselip hampir dalam setiap lakon dan setiap episode kisah serial Pantun Bogor, baik fungsi, jenis, dan bentuk, para figur pemakainya sampai kepada bagaimana cara menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan konotatif yang memakai kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat gambaran dua orang berwajah kembar; “Badis pinang nu munggaran, rua kujang sapaneupaan” atau melukiskan seorang wanita; “Mayang lenjang badis kujang, tembong pamor tembong eluk tembong combong di ganjana” dsb. Demikian pula bendera Pajajaran yang berwarna “hitam putih” juga diberitakan bersulamkan gambar kujang “Umbul-umbul Pajajaran hideung sawaréh bodas sawaréh disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan”.

Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.

Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.

Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda obsolete tergolong benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping yang tersimpan di museum-museum.

Pengabadian kujang lainnya, banyak yang menggunakan gambar bentuk kujang pada lambang-lambang daerah, pada badge badge organisasi kemasyarakatan atau ada pula kujang-kujang tempaan baru (tiruan), sebagai benda aksesori atau cenderamata.

Selain keberadaan kujang seperti itu, di kawasan Jawa Barat dan Banten masih ada komunitas yang masih akrab dengan kujang dalam pranata hidupnya sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” (tersebar di wilayah Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak – Provinsi Banten, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi – Provinsi Jawa Barat). Dan masyarakat “Sunda Wiwitan Urang Kanékés” (Baduy) di Kabupaten Lebak – Provinsi Banten. Dalam lingkungan budaya hidup mereka, tiap setahun sekali kujang selalu digunakan pada upacara “Nyacar” (menebangi pepohonan untuk lahan ladang). Patokan pelaksanaannya yaitu terpatri dalam ungkapan “Unggah Kidang Turun Kujang”, artinya jika bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala subuh, pertanda musim “Nyacar” sudah tiba, kujang (Kujang Pamangkas) masanya digunakan sebagai pembuka kegiatan “Ngahuma” (berladang).

BENTUK DAN JENIS KUJANG SERTA FUNGSINYA
Pada zaman masih jayanya kerajaan Pajajaran, kujang terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya :
- Kujang Ciung; yaitu kujang yang bentuknya dianggap menyerupai burung Ciung.
- Kujang Jago; kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago.
- Kujang Kuntul; kujang yang menyerupai burung Kuntul.
- Kujang Bangkong; kujang yang menyerupai bangkong (kodok).
- Kujang Naga; kujang yang bentuknya menyerupai naga.
- Kujang Badak; kujang berbadan lebar dianggap seperti badak.
- Kudi; perkakas sejenis kujang.

Berdasarkan jenisnya, kujang memiliki fungsi sebagai :
- Kujang Pusaka; yaitu kujang sebagai lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan lainnya dengan kadar kesakralannya sangat tingi seraya memiliki tuah dan daya gaib tinggi.
- Kujang Pakarang; yaitu kujang untuk digunakan sebagai alat berperang dikala diserang musuh.
- Kujang Pangarak; yaitu kujang bertangkai panjang seperti tombak sebagai alat upacara.
- Kujang Pamangkas; kujang sebagai alat pertanian (perladangan).

KELOMPOK PEMAKAI KUJANG
Meskipun perkakas kujang identik dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran pada masa silam, namun berita Pantun Bogor tidak menjelaskan bahwa alat itu dipakai oleh seluruh warga masyarakat secara umum. Perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu, yaitu para raja, prabu anom (putera mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para puteri serta kaum wanita tertentu, para kokolot. Sedangkan rakyat biasa hanya menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok, congkrang, sunduk, dsb. Kalaupun di antaranya ada yang menggunakan kujang, hanya sebatas kujang pamangkas dalam kaitan keperluan berladang.

Setiap menak (bangsawan), para pangagung (pejabat negara) sampai para kokolot, dalam pemilikan kujang, tidak sembarangan memilih bentuk. Namun, hal itu ditentukan oleh status sosialnya masing-masing. Bentuk kujang untuk para raja tidak boleh sama dengan milik balapati. Demikian pula, kujang milik balapati mesti berbeda dengan kujang miliknya barisan pratulup, dan seterusnya.
- Kujang Ciung mata-9: hanya dipakai khusus oleh Raja;
- Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom;
- Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis,dan para Bupati Pakuan;
- Kujang Jago: dipakai oleh Balapati, para Lulugu, dan Sambilan;
- Kujang Kuntul: dipakai oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu Patih Jaba, dan Patih Palaju), juga digunakan oleh para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paséban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero).
- Kujang Bangkong: dipakai oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk;
- Kujang Naga: dipakai oleh para Kanduru, para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan;
- Kujang Badak: dipakai oleh para Pangwereg, para Pamatang, para Palongok, para Palayang, para Pangwelah, para Bareusan, parajurit, Paratulup, Sarawarsa, para Kokolot.

Selain diperuntukkan bagi para pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh kelompok agama, tetapi kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung, yang perbedaan tahapannya ditentukan oleh banyaknya “mata”. Kujang Ciung bagi peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu yang bermata-9, sama dengan peruntukan raja. Kujang Ciung bagi para Pandita bermata-7, para Geurang Puun, Kujang Ciung bermata-5, para Puun Kujang Ciung bermata-3, para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama Kujang Ciung bermata-1.

Di samping masing-masing memiliki kujang tadi, golongan agama menyimpan pula Kujang Pangarak, yaitu kujang yang bertangkai panjang yang gunanya khusus untuk upacara-upacara sakral seperti Upacara Bakti Arakana, Upacara Kuwera Bakti, dsb., malah kalau dalam keadaan darurat, bisa saja dipakai untuk menusuk atau melempar musuh dari jarak jauh. Tapi fungsi utama seluruh kujang yang dimiliki oleh golongan agama, sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh isi negara.

Kelompok lain yang juga mempunyai kewenangan memakai kujang yaitu para wanita Menak (Bangsawan) Pakuan dan golongan kaum wanita yang memiliki fungsi tertentu, seperti para Puteri Raja, para Puteri Kabupatian, para Ambu Sukla, Guru Sukla, para Ambu Geurang, para Guru Aés, dan para Sukla Mayang (Dayang Kaputrén). Kujang bagi kaum wanita ini, biasanya hanya terdiri dari Kujang Ciung dan Kujang Kuntul. Hal ini karena bentuknya yang langsing, tidak terlalu “galabag” (berbadan lebar”, dan ukurannya biasanya lebih kecil dari ukuran kujang kaum pria.

Untuk membedakan status pemiliknya, kujang untuk kaum wanita pun sama dengan untuk kaum pria, yaitu ditentukan oleh banyaknya mata, pamor, dan bahan yang dibuatnya. Kujang untuk para puteri kalangan menak Pakuan biasanya kujang bermata-5, Pamor Sulangkar, dan bahannya dari besi kuning pilihan. Sedangkan (kujang) wanita fungsi lainnya kujang bermata-3 ke bawah malah sampai Kujang Buta, Pamor Tutul, bahannya besi baja pilihan.

Kaum wanita Pajajaran yang bukan menak tadi, di samping menggunakan kujang ada pula yang memakai perkakas “khas wanita” lainnya, yaitu yang disebut Kudi, alat ini kedua sisinya berbentuk sama, seperti tidak ada bagian perut dan punggung, juga kedua sisinya bergerigi seperti pada kujang, ukurannya rata-rata sama dengan ukuran “Kujang Bikang” (kujang pegangan kaum wanita), langsing, panjang kira-kira 1 jengkal termasuk tangkainya, bahannya semua besi-baja, lebih halus, dan tidak ada yang memamai mata.

PROSES PEMBUATAN KUJANG
Pada zamannya Kerajaan Pajajaran Sunda masih jaya, setiap proses pembuatan benda-benda tajam dari logam termasuk pembuatan senjata kujang, ada patokan-patokan tertentu yang harus dipatuhi, di antaranya:

1. Patokan Waktu
Mulainya mengerjakan penempaan kujang dan benda-benda tajam lainnya, ditandai oleh munculnya Bintang Kerti, hal ini terpatri dalam ungkapan “Unggah kidang turun kujang, nyuhun kerti turun beusi”, artinya ‘Bintang Kidang mulai naik di ufuk Timur waktu subuh, pertanda masanya kujang digunakan untuk “nyacar” (mulai berladang). Demikian pula jika Bintang Kerti ada pada posisi sejajar di atas kepala menyamping agak ke Utara waktu subuh, pertanda mulainya mengerjakan penempaan benda-benda tajam dari logam (besi-baja)’. Patokan waktu seperti ini, kini masih berlaku di lingkungan masyarakat “Urang Kanékés” (Baduy).

2. Kesucian “Guru Teupa” (Pembuat Kujang)
Seorang Guru Teupa (Penempa Kujang), waktu mengerjakan pembuatan kujang mesti dalam keadaan suci, melalui yang disebut “olah tapa” (berpuasa). Tanpa syarat demikian, tak mungkin bisa menghasilkan kujang yang bermutu. Terutama sekali dalam pembuatan Kujang Pusaka atau kujang bertuah. Di samping Guru Teupa mesti memiliki daya estetika dan artistika tinggi, ia mesti pula memiliki ilmu kesaktian sebagai wahana keterampilan dalam membentuk bilah kujang yang sempurna seraya mampu menentukan “Gaib Sakti” sebagai tuahnya.

3. Bahan Pembuatan Kujang
Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan bahan terdiri dari logam dan bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti:

- Besi, besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat waruga (badan kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang).
- Akar kayu, biasanya akar kayu Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau landean (tangkai kujang). Akar kayu ini memiliki aroma tertentu.
- Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan kowak atau kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus.
- Emas, perak untuk pembuatan “mata” atau “pamor” kujang pusaka ataukujang para menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu, khusus untuk “mata” banyak pula yang dibuat dari batu permata yang indah-indah.
- Peurah” (bisa binatang) biasanya “bisa Ular Tiru”, “bisa Ular Tanah”, “Bisa Ular Gibug”, ”bisa Kelabang” atau “bisa Kalajengking”. Selain itu digunakan pula racun tumbuh-tumbuhan seperti ”getah akar Leteng” “getah Caruluk” (buah Enau) atau “serbuk daun Rarawea”, dsb. Gunanya untuk ramuan pelengkap pembuatan “Pamor”. Kujang yang berpamor dari ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh meski hanya tergores.
- Tuah “Gaib Sakti” sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah tertentu. Gaib ini terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa terdiri dari gaib Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb. Biasanya gaib seperti ini diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya memakai ramuan racun sebagai penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib sakti yang dijadikan isi biasanya para arwah leluhur atau para “Guriyang” yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik.

4. Tempat (Khusus) Pembuatan Kujang
Tempat untuk membuat benda-benda tajam dari bahan logam besi-baja, baik kudi, golok, sunduk, pisau, dsb. Dikenal dengan sebutan Gosali, Kawesen, atau Panday. Tempat khusus untuk membuat (menempa) perkakas kujang disebut Paneupaan.

MAKNA FILOSOFI KUJANG
Nama kedua Kujang mempunyai makna :

- Kujang Pertama “BAYU GENI ATI” makna yang terkandung di dalamnya adalah :
“Bayu” berarti angin yang berarti pula memberikan kesejukan, ketenangan dan kedamaian, Bayu juga bernuansakan kebaikan dan kesucian.
“Geni” berarti api, sesuai dengan namanya Geni atau api bersifat panas, berani, nafsu amarah yang bernuansakan keburukan.
“Ati” berarti hati. Hati kita tempat terpancarnya kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan serta kedamaian.

- Kujang Kedua “WIRA GENI” makna yang terkandung di dalamnya adalah :

“Wira” berarti Waspada atau kewaspadaan yang menjadi penyeimbang dan pengontrol dari kedua nilai yang bertentangan antara baik dan buruk, benar dan salah yang bersumber dari pancaran hati.
“Geni” dalam hati ini cenderung bersifat berani.

Jika kedua Kujang ini bersatu maka artinya kita harus waspada yang bersumber dari hati yang bersih dalam menyikapi kedua hal yakni antara kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kebathilan. Kita yakini pula bahwa kebaikan itu bersumber dari hati yang bersih dan sebaliknya keburukan bersumber dari hati yang kotor. Karena itu perlu adanya penyeimbang yang dapat memberikan kewaspadaan dalam segala ucapan, perbuatan dan tekad, sehingga muncul kedewasaan, kemandirian dalam melaksanakan tanggung jawab. Kesejukan, ketenangan dan kedamaian harus dibarengi dengan keberanian dalam menegakkan kebenaran dan menolak kejahatan. Berani karena benar takut karena salah, yang semuanya bersumber dari hati.

 
2. Keris

Keris adalah teknologi masa lalu yang mesti ada aturan tertentu dlm perawatan. Dan teknologi di masa kini pun juga ada peraturan yang menyertai produk teknologi tersebut.
Perawatan pusaka yang dgn mencuci serta dibuat sedemikian rupa itu adalah aturan teknologi masa lalu. Jamasan pun juga peraturan tentang perawatan pusaka.

Teknologi masa kini pun demikian adanya, sebagai contoh orang yang punya motor pasti akan merawatnya dengan aturan yang diperlukan oleh pihak produsen. Dari hal tersebut bisa kita lihat dan kita pahami secara ilmiah tentang teknologi dan perawatan produk tersebut.

Adapun ajaran filsafat para leluhur dengan media keris adalah :
- Keris asa dua jenis (lurus dan luk) keris lurus menyimpan filsafat agar siapapun berusaha teguh pendirian dan tauhid (mengEsakan Tuhan). Jujur dalam bertindak.

- Keris yang luk mengandung arti agar dalam kehidupan selalu melihat kanan kiri, untung rugi dan semua hal yang berbeda untuk melangkah agar tidak melakukan kesalahan dlm mencari tujuan hidup.

Nenek moyang kita masa lalu begitu hati-hati dan teliti dalam mengkaji serta menyimpan sebuah ajaran kehidupan untuk generasi selanjutnya. Keris tidak sebagai senjata tapi sebagai sebuah ajaran kehidupan.

Secara kalimah jarwodosok asal mula kata keris dari kalimah (kekeran dan aris) kekeran yang punyu makna pengendalian dan penghalang, aris bermakna bijaksana dan tenang... dari hal tersebut, para leluhur kita mengajarkan tentang pengendalian diri dan bijaksana dalam tindakan ataupun ucapan. Itulah sebagian kecil dari ajaran filsafat para leluhur tanah Jawa.

Dan jangankah meremehkan serta beranggapan benar dalam beropini mengenai orang yang masih melestarikan budaya adi luhung, dan janganlah diantara kita sesama umat islam saling menyalahkan.  

Para mubaligh era majapahit datang ke tanah Jawa tidak pernah merusak kultur budaya Jawa/Sunda. Bahkan dalam sejarah perkerisan banyak pusaka yang tercipta atas dawuh para ulama zaman itu diantaranya pusaka mojopahit Kanjeng Kyai purowo Sebilah keris luk 13 atas dawuh Kanjeng Sunan Ampèl. Kanjeng Kyai kalamunyeng pusaka milik Kanjeng Sunan Giri. Keris Sumpono bungkem milik Kanjeng Sunan Bonang serta pusaka lain yang atas titah para ulama zaman itu.

Padahal beliau-beliaupun dzuriyah Kanjeng Nabi Muhammad.

Maka dari itu saya tulis hal ini hanya sebagai pengingat serta pengetahuan untuk dijadikan rujukan agar umat islam jangan terprovokasi dengan ajaran yang bisa melemahkan budaya di Tanah Jawa.
 
Sekian dan mohon dikoreksi apabila ada penulisan yang tidak tepat.