SAFINAH AN-NAJAH - KARANGAN SYAIKH SALIM BIN SAMIR HADROMI - MADZHAB SYAFI’I

BUBUKA
Bismillaahi : ngawaitan abdi ngaos kana ieu kitab bari ngalap berkah kalawan nyeubat pirang-pirang jeuneungan gusti Alloh.
(anu sifat na gusti Alloh) Arrohmaani : anu maparinan nikmat ageung Alloh di dunya ka mukmin jeung ka kafir.
(tur anu sifat na gusti Alloh) Arrohiimi : anu maparinan nikmat alit Alloh di akhirat ka mukmin wungkul.
Alhamdu : ari sagala jinis puji eta tetep.
Lillaahi : khusus pikeun gusti Alloh
Robbil ‘Aalamin: anu ngurus sadaya alam.
Wabihii : sareung ka gusti Alloh wungkul.
Nasta’iinu : nyuhunkeun pitulung abdi sadaya.
‘Alaa Umuuriddunyaa: kana mang pirang-pirang urusan dunya
Waddiini : jeung pirang-pirang urusan agama.
Washollallaahu : sareung mugi-mugi nambih-nambih rohmat gusti Alloh.
Wassalalama : sareung kasalameutan.
‘Alaa Sayyidinaa: ka jungjunan urang sadaya.
Muhammadin : teuges na kanjeng nabi Muhammad.
Khootaman : anu janteun panungtung.
Nabiyyiina : samudaya para nabi.
Wa Aalihii : jeung ka kulawargina kanjeng nabi.
Washohbihii : jeung ka para shohabatna kanjeng nabi.
Ajma’iina : teugesna sadayana bae.
Walaa Hawla : teu aya data upaya kanggo nyingkahan maksiat.
Walaa Quwwata: sareung teu aya kakiatan kanggo ngalakonan tho’at.
Illaa Billaahi: anging ku pitulung na gusti Alloh.
(anu sifat na gusti Alloh) al’aliyyi: anu maha luhur
(tur anu sifat na gusti Alloh) al ‘Azhiimi: anu maha agung.
FASHLUN : ARI IEU ETA HIJI FASAL
Arkaanul Islaami: ari pirang-pirang rukun islam (eta).
Khomsatun : aya lima.
Syahaadatu An Laa Ilaaha : kahiji nyaksikeun yen saeunya-eunya na teu aya pangeran anu wajib di ibadahan.
Illallaahu: anging ka gusti Alloh.
Wa Annna Muhammadan Rosuulullaahi : sareung nyaksikeun yen saeunya-eunya na kanjeng nabi Muhammad eta utusan Alloh.
Wa Iqoomushsholaati : jeung ka dua na ngadeugkeun sholat.
Wa Iitaauzzakaati : jeung ka tilu na nyumponan zakat.
Wa Shoumu Romadhoona : jeung ka opat na puasa di bulan romadhon.
Wa Hijjul Baiti : jeung ka lima na munggah haji ka baetulloh.
Man : ka jalma.
Istithoo’a : anu kawasa.
Ilaihi : kana mumnggah haji (naon).
Sabiilan : di jalan na. .
QOOLA ALFAQIIH FI NADZHIMIHI:
Ari puji nu sampurna eta tetep, kagungan Alloh nu ka persifat lengkep.
Rohmat Alloh mugi tetep sareung salam ka kangjeng nabi muhammad mustika alam.
Wa ba’duhu ieu anu di nadzhomkeun, kitab fiqih ngarah resep ngarapalkeun.
Mugi ieu nadzhom sing manfaat gede, kanu ngaos ka lalaki ka awewe.

FASAL MEURTELAKUEN RUKUN ISLAM.
Ari rukun islam eta aya limana, pek arapalkeun tong poho salilana.
Rukun nu ka hiji maca syahadatna, rukun nu kadua ngadeugkeun sholatna.
Rukun nu ka tilu nyumponan zakatna, rukun nu ka opat puasa romadhonna.
Rukun nu ka lima munggah hajina, sinareung umroh ka baetullohna.
Pikeun jalma nu kawasa di jalanna, tah ieu teh sakabeh rukun islamna.

PENJELASAN TENTANG PENULIS DAN ISI KITAB

Penulis kitab Safinah adalah seorang ulama besar yang sangat terkemuka yaitu Syekh Salim bin Abdullah bin Sa'ad bin SumairAl-Hadhrami. Beliau adalah seorang ahli fiqh dan tasawwuf yang bermadzhab Syafi'i. Selain itu, beliau adalah seorang pendidik yang dikenal sangat ikhlas dan penyabar, seorang qodhi yang adil dan zuhud kepada dunia, bahkan beliav juga seorang politikus dan pengamat militer negara­negara Islam. Beliau dilahirkan di desa Dziasbuh, yaitu sebuah desa di daerah Hadramaut Yaman, yang dikenal sebagai pusat lahirnya para ulama besar dalam berbagai bidang ilmu ke­agamaan.
Sebagaimana para ulama besar lainnya, Syekh Salim me­mulai pendidikannya dengan bidang Al-Qur'an di bawah peng­awasan ayahandanya yang juga merupakan ulama besar, yaitu Syekh Abdullah bin Sa'ad bin Sumair. Dalam waktu yang singkat Syekh Salim mampu menyelesaikan belajarnya dalam bidang Al-Qur'an tersebut, bahkan beliau meraih basil yang baik dan prestasi yang tinggi. Beliau juga mempelajari bidang­bidang lainnya seperti halnya ilmu bahasa arab, ilmu fiqih, ilmu ushul, ilmu tafsir, ilmu tasawuf, dan ilmu taktik militer Islam. Ilmu-ilmu tersebut beliau pelajari dari para ulama besar yang sangat terkemuka pada abad ke-13 H di daerah Hadhramaut, Yaman. Tercatat di antara nama-nama gurunya adalah:
- Syekh Abdullah bin Sa'ad bin Sumair
- Syekh Abdullah bin Ahmad Basudan

Kitab Safinah memiliki nama lengkap "Safinatun Najah Fiima Yajibu `ala Abdi Ii Maulah" (perahu keselamatan di dalam mempelajari kewajiban seorang hamba kepada Tu­hannya). Kitab ini walaupun kecil bentuknya akan tetapi sa­ngatlah besar manfaatnya. Di setiap kampung, kota dan negara hampir semua orang mempelajari dan bahkan menghafalkan­nya, baik secara individu maupun kolektif.
Di berbagai negara, kitab ini dapat diperoleh dengan mudah di berbagai lembaga pendidikan. Karena baik para santri maupun para ulama sangatlah gemar mempelajarinya dengan teliti dan seksama.Hal ini terjadi karena beberapa faktor, di antaranya:Kitab ini mencakup pokok-pokok agama secara ter­padu, lengkap dan utuh, dimulai dengan bab dasar­dasar syari'at, kemudian bab bersuci, bab shalat, bab zakat, bab puasa dan bab haji yang ditambahkan oleh para ulama lainnya. Kitab ini disajikan dengan bahasa yang mudah, susunan yang ringan dan redaksi yang gampang untuk dipahami serta dihafal. Seseorang yang serius dan memiliki ke­mauan tinggi akan mampu menghafalkan seluruh isinya hanya dalam masa dua atau tiga bulan atau mungkin lebih cepat.


RUKUN ISLAM
Arkaanul Islaami Khomsatun : Syahaadatu An Laa Ilaaha Illallaahu Wa Annna MuhammadanRosuulullaahi, Wa Iqoomushsholaati, Wa Iitaauzzakaati, Wa Shoumu Romadhoona, Wa Hijjul Baiti Man Istathoo’a Ilaihi Sabiilan.
Rukun-rukun Islam yaitu 5 : Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, dan Mendirikan Sholat dan Memberikan Zakat, dan Puasa Bulan Romadhon, dan Pergi Haji bagi yang mampu kepadanya berjalan.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
- Pertama, Kedua kalimat Syahadat yang menyatakan bahwa seseorang telah mempercayai dua hal, yaitu iman dan percaya bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul (utusan-Nya). Persaksian ini merupakan komitmen keimanan seseorang yang tidak sebatas ikrar dan retorika an sich, namun diwujudkan dalam ranah amaliyah-aplikasi religiuitasnya. Sebuah ikrar dan persaksian mengandung konsekuensi tersendiri, yaitu berupa ketaatan dan kepatuhan terhadap segenap doktrin Allah dan utusan-Nya. Keduanya diistilahkan dengan Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul. Allah dan rasul-Nya tidak bisa dipisahkan, sebab rasul-Nya lah yang menyampaikan pesan-pesan dan ajaran-ajaran langit yang turun dari Allah. Dan setiap orang Islam wajib mempercayai segenal ajaran yang dibawa oleh rasul-Nya.
Apakah persaksian tersebut harus diikrarkan atau dilafadzkan melalui lisan dan diyakini dengan hati? Atau persaksian itu cukup diyakini dengan hati, tanpa dilafadzkan dengan lisan? Para ulama tauhid berbeda pendapat. Pendapat pertama, seseorang yang meyakini dan menanamkan keimanan di dalam hati tanpa mengikrarkan dengan lisannya serta dalam kondisi normal, yaitu lisannya dapat berkata dan melafadzkan kata-kata, maka orang tersebut tetap tidak bisa dikatakan orang Islam alias masih kafir. Sedangkan urusan dia dihadapan Allah adalah hak perogratif yang tidak bisa dihukumi.
- Pendapat yang kedua, yang diungkapkan sebagian besar ulama dan Imam Abu Manshur al-Maturidi menyatakan bahwa orang tersebut termasuk orang Mukmin dan Islam. Sebab pengucapan Syahadat sebagai persaksian dengan lisan hanya untuk memenuhi persyaratan administrasi negara saja, sehingga dapat menikah, mendapatkan warisan dari keluarga atau orang tua yang Islam, dll, lantaran segenap hukum-hukum tersebut tidak dapat dijalankan kecuali setelah adanya ucapan persaksian, kejelasan dan iklan atau pemberitahuan pada pihak yang berwenang, seperti pemimpin negara, bupati, dll. Pendapat kedua tersebut didukung oleh Imam al-Ghazali, Ibnu Rusydi dan Ibnu ‘Arafah. Sebagaimana Ibnu Rusydi mengatakan bahwa “Karen Islamnya seseorang yang tertanam di dalam hati adalah keislaman yang hakiki. Jika ia mati sebelum sempat mengucapkan syahadat sebagai persaksiannya, maka ia termasuk mati dalam keadaan mukmin”.
- Pendapat ketiga yang diungkapan oleh kebanyakan ulama salaf, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam as-Syafi’i menyakini bahwa orang tersebut di hadapan Allah belum dikatakan orang mukmin. Sebab pengucapan dan persaksian dengan ikrar lisan adalah sebagian dari iman atau rukum iman, atau salah satu syarat sahnya iman di dalam hati.
Sementara jika seseorang yang lidahnya tidak memungkinkan mengucapkan atau mengikrarkan seperti karena bisu (gebu) atau karena mendadak mati, maka ulama telah bersepakan bahwa orang tersebut tidak diwajibkan atau gugur kewajiban untuk melafadzkan dan mengikrarkan persaksian syahadat dengan lisan.
- Kedua, menjalankan shalat. Yang dimaksudkan adalah shalat lima waktu, dzuhur, asar, maghrib, isya dan subuh. Shalat selain dari yang lima waktu adalah sunnah.
- Ketiga, mengeluarkan zakat. Yaitu mengeluarkan zakat yang telah ditentukan oleh syarikat berupa harta, yaitu Onta, Kambing, Sapi, Emas, Perak, Kurma, Beras, dan anggur, yang harus dibagikan pada delapan kelompok yang berhak menerima zakat, yaitu kelompok fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, gharim (orang yang punya hutang), sabilillah, dan anak jalanan.
- Keempat, mengerjakan puasa di bulan Ramadlan. Ada tiga tingkatan puasa, pertama, puasa orang awam, yaitu mengosongkan perut dari makan dan minum dan mencegah kelamin; kedua, puasa orang khusus, yaitu selain yang dikerjakan orang awam, juga mencegah seluruh anggauta badan dari pekerjaan dosa; ketiga, puasanya orang yang elite (khawash al-khawash), yaitu dengan memalingkan hati dari aktivitas yang rendah dan mengekang hatinya dari selain Allah.
- Kelima, naik haji bagi yang mampu secara finansial berupa ketersediaan sangu/bekal untuk dirinya maupun nafkah untuk keluarganya.


RUKUN IMAN
Arkaanul Iimaani Sittatun : An Tu’mina Billaahi, Wa Malaaikatihii, Wa Kutubihii, Wa Rusulihii, Walyaumil Aakhiri, Wabilqodari Khoyrihi Wasyarrihi Minalaahi Ta’aalaa.
Rukun-rukun Iman yaitu 6 : Bahwa engkau beriman dengan Allah, dan para Malaikatnya, dan kitab-kitabnya, dan para Rosulnya, dan hari akhir, dan taqdir baiknya dan taqdir buruknya dari Allah Ta’ala.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
- Pertama, iman kepada Allah. Mengimani bahwa Allah adalah Tuhan seluruh makhluk di alam semesta ini. Dengan merenungi segala macam ciptaan dan makhluk sebagai kreasi Tuhan, maka kita akan semakin kuat imannya bahwa tidak mungkin alam semesta ini ada dengan sendirinya, pasti ada yang menciptakannya yaitu Allah. Kita tidak boleh menyamakan atau menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, Ia tak berjasad, tak bertempat, tak beranak dan tak diperanakkan, tak dibatasi oleh ruang dan waktu.
- Kedua, iman kepada utusan-Nya. Mengimani mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda kenabiannya. Dan meyakini bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan nabi terakhir.
- Ketiga, iman kepada para malaikat. Meyakini bahwa malaikat adalah hamba Allah yang paling taat. Malaikat adalah makhluk yang diciptakan dari unsur cahaya yang teramat lembut, tidak memiliki jenis kelaim laki-laki atau perempuan maupun banci, tidak berayah atau beribu, tak beranak. Dan malaikat merupakan makhluk yang diciptakan untuk membawa misi perintah Allah dengan segala jenis perintah dan pekerjaannya. Jumlahnya tak terhitung, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa malaikat ada 24.523 malaikat, dan malaikat yang wajib diketahui ada sepuluh, yaitu Jibril, Mikail, Israfil, ‘Izrail, Munkar, Nakir, Ridlwan, Malik, Raqib, ‘Athid, Rumah. Dan di antara malaikat yang paling utama adalah Jibril yang bertugas membawa wahyu Tuhan.
- Keempat, iman kepada kitab suci. Ada empat kitab suci Allah yang diturunkan kepada utusan-Nya, yaitu Taurat pada Nabi Musa, Zabur pada Nabi Dawud, Injil bagi Isa, dan al-Quran bagi Nabi Muhammad. Empat kitab inilah yang wajib diyakini. Namun sejatinya kitab Allah tidak terbatas. Bahkan para nabi-nabi yang lain seperti Adam, Idris, Nuh, dan lain-lain pun memiliki kitab suci.
- Kelima, iman kepada hari akhir. Meyakini adanya hari akhir dengan segala kejadian yang ada di dalamnya yaitu hasyr (digiring dan dikumpulkannya makhluk) di makhsyar, adanya hisab (kalkulasi amal), balasan amal (jaza’), surga dan neraka.
- Keenam, iman kepada takdir.  Baik atau buruknya takdir adalah dari Allah. Namun manusia berhak memilih dan diberi kesempatan untuk berikhtiar. Wajib ridha atas apa yang telah digariskan dan ditetapkan dalam takdir kehidupan. Tidak boleh marah, dan harus dapat nrimo ing pandum.

MAKNA SYAHADAT
Makna Syahadat Tauhid
Tidak ada Tuhan yang berhak, layak, dan pantas untuk disembah dan ditaati perintah dan dijauhi larangan-Nya kecuali Allah.

TANDA-TANDA BALIGH
Alaamaatul Buluughi Tsalaatsun : Tamaamu Khomsa ‘Asyaro Sanatan Fidzdzakari Wal Untsaa , Wal Ihtilaamu Fidzdzakari Wal Untsaa Litis’i Siniina , Wal Haidhu Fil Untsaa Litis’i Siniina.
Tanda-tanda Baligh yaitu 3 : Sempurna umurnya 15 tahun pada laki-laki dan perempuan, dan mimpi pada laki-laki dan perempuan bagi umur 9 tahun, dan dapat haid pada perempuan bagi umur 9 tahun .

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Tanda Aqil Baligh laki-laki dan perempuan
- Laki-laki yang menginjak dewasa, ditandai dengan bermimpi peristiwa yang tidak pernah dialaminya di alam nyata, seperti bersenggama dengan seorang perempuan dan dengan sebab mimpi indah tersebut mengakibatkan keluarnya sperma yang sejak kecil tersimpannya. Dan biasanya laki-laki yang mengalami peristiwa tersebut pada usianya yang ke-15 tahun. Jika laki-laki yang sudah berusia 15 tahun dan sudah mengeluarkan sperma (mani) maka ia termasuk laki-laki dewasa yang sudah aqil baligh dan mukallaf, yaitu seseorang yang wajib menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.
- Sedangkan perempuan yang sudah mengeluarkan darah haidl biasanya keluar pada umur 9 tahun sudah termasuk perempuan dewasa yang sudah aqil baligh dan mukallaf. Darah haidl adalah darah yang keluar dari vagina perempuan pada usia 9 tahun ke atas, dalam kondisi sehat, tidak dengan sebab sakit, dan tidak dengan sebab melahirkan. Warna darah haidl adalah hitam pekat dan panas. Sebab jika darah tersebut keluar dengan sebab sakit maka bukan lagi darah haidl melainkan darah istihadhal; sedangkan jika dengan sebab melahirkan maka dinamakan darah nifas.

SYARAT ISTINJA
Syuruuthul Istinjaai Bilhajari Tsamaaniyatun : An Yakuuna Bitsalaatsati Ahjaarin, Wa An Yunqiya Al-Mahalla, Wa An Laa Yajiffa An-Najisu, Walaa Yantaqila, Walaa Yathroa ‘Alaihi Aakhoru, Walaa Yujaawiza Shofhatahu Wahasyafatahu, Walaa Yushiibahu Maaun, Wa An Laa Takuuna Al-Ahjaaru Thoohirotan.
Syarat-syarat Istinja dengan batu yaitu 8 : Bahwa adalah orang yg berisitinja itu dengan 3 batu, dan bahwa ia membersihkan tempat keluarnya najis, dan bahwa tidak kering najisnya itu, dan tidak berpindah najisnya itu, dan tidak datang atasnya oleh najis yang lain, dan jangan melampaui najisnya itu akan shofhahnya dan hasyafahnya, dan jangan mengenai najis itu akan ia oleh air, dan bahwa adalah batunya itu suci .

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Bersuci Dengan Batu
Bersuci adalah wajib bagi segala bentuk kotoran dan najis berupa air kencing, tai, darah, dan lain-lain yang keluar dari salah satu kedua jalan, dimana penyuciannya dapat menggunakan  air atau menggunakan batu atau sejenis batu, yaitu benda padat dan keras yang suci dan bukan benda yang dimulyakan menurut Islam.
Ada dua alat atau benda yang dapat digunakan untuk bersuci, yaitu air dan batu. Masing-masing memiliki syarat-syaratnya sendiri agar dapat digunakan sebagai alat untuk bersuci. Di fasal (bab) ini telah diulas 8 syarat bersuci dengan menggunakan batu. Kita boleh bersuci hanya dengan menggunakan air yang telah memenuhi syarat untuk menghilangkan najis atau kotoran. Namun, yang lebih utama adalah menggunakan air dan batu sekaligus dalam mensucikan najis. Caranya adalah pertama-tama dengan menggunakan batu agar dapat menghilangkan kotoran atau najisnya, dan kemudan langkah kedua disusul dengan menggunakan air agar dapat menghilangkan sisa-sisa kotoran yang masih ada atau masih menempel di badan. Namun sejatinya, jika hendak memilih salah satu dari air dan batu, maka yang lebih utama untuk bersuci adalah dengan menggunakan air. Meski dengan menggunakan batu juga boleh asalkan yang sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan tersebut.

FARDHU WUDHU
Furuudh Al-Wudhuui Sittatun : Al-Awwalu Anniyyatu, Ats-Tsaani Ghoslu Al-Wajhi, Ats-Tsaalitsu Ghoslu Al-Yadaini Ma’a Al-Mirfaqoini, Ar-Roobi’u Mashu Syaiin Min Ar-Ro’si, Al-Khoomisu Ghoslu Ar-Rijlaini Ilaa Al-Ka’baini, As-Saadisu At-Tartiibu.
Fardhu-fardhu Wudhu yaitu 6 : Yang pertama Niat, yang kedua membasuh wajah, yang ketiga membasuh 2 tangan beserta 2 sikut, yang keempat menyapu sebagian dari kepala, yang kelima membasuh 2 kaki sampai 2 mata kaki, yang keenam tertib .

Penjelasan Makna :
Fardlu Wudlu ada Enam
- Pertama, niat. Definisi niat menurut kebahasaan adalah menyengaja (qashdu), dan menurut istilah niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan mengejakannya. Sebab, jika pekerjaannya diakhirkan maka dinamakan ‘azam (cita-cita), jadi bukan niat lagi. Tempatnya niat adalah di hati. Berarti jika niat dalam konteks wudlu, maka niat dihadirkan dalam hati ketika mengerjakan pekerjaan bembasuh wajah sebagai pekerjaan pertama dalam wudlu.
- Kalimat niat dalam wudlu yaitu "Nawaytu al-wudlua li-raf’i al-hadatsi al-asghari lil-Lahi ta’ala" (Aku berniat wudlu untuk menghilangkan hadats kecil, karena Allah Ta’ala).
- Kedua, membasuh wajah. Batasan wajah yang wajib dibasuh dalam wudlu adalah jika arah memanjang adalah anggauta di antara tempat tumbuhnya rambut kepala secara umum dan di bawah kedua daging geraham luar (lahyayni), yaitu kedua tulang besar yang berada di samping bahwa wajah yang di dalam mulut merupakan tempat tumbuhnya gigi-gigi bawah. Sedangkan batasan wajah jika melebar yaitu anggauta di antara kedua telinga.
- Ketiga, membasuh kedua tangan beserta sikut. Segala sesuatu yang ada pada batasan tangan, baik berbentuk rambut, kutil, atau kuku, maka wajib dibasuh.
- Keempat, membasuh sebagian kepala. Maksudnya adalah jika kepala seseorang yang berambut, maka sudah dianggap cukup jika membasuh sebagian rambut yang menempel di atas kepalanya. Tapi kepala seseorang yang tidak ditumbuhi rambut, maka sebagian kulit kepalanya lah yang dibasuh. Tidak diwajibkan untuk membasuh seluruh kepala.
- Kelima, membasuh kedua kaki bersama kedua mata kakinya. Maksudnya segala sesuatu yang ada pada kaki, seperti rambut, kutil, kuku, dll maka wajib dibasuh
- Keenam, tartib. Artinya mendahulukan anggauta yang harus didahulukan dan mengakhirkan anggauta yang harus didahulukan. Tidak boleh mendahulukan anggatua yang semestinya dibasuh pada runutan akhir, dan mengakhirkan anggota yang semestinya dibasuh pertama.
Namun, jika ada seseorang yang sedang mandi dengan menceburkan dan mekasukkan tubuhnya secara keseluruhan di sebuah lautan, danau atau sungai yang bersih, dengan niat berwudlu maka sah dan tartibnya dikira-kirakan saja.

NIAT DALAM WUDHU
Wanniyyatu Qoshdu Asy-Syaii Muqtarinan Bifi’lihi. Wa Mahalluhaa Al-Qolbu. Wattalaffuzhu Bihaa Sunnatun. Wa Waqtuhaa ‘Inda Ghosli Awwali Juz’in Minal wajhi. Wattartiibu An Laa Tuqoddima ‘Udhwan ‘Alaa ‘Udhwin.
Dan niat yaitu memaksudkan sesuatau berbarengan dengan perbuatannya. Dan tempat niat adalah hati. Dan melafazkan dengannya adalah sunah. Dan waktunya ketika membasuh awal bagian daripada wajah. Dan tertib yaitu bahwa tidak didahului satu anggota atasa anggota yang lain.
Penjelasan Makna :
Pengertian Niat dan Tartib
Definisi niat menurut kebahasaan adalah menyengaja (qashdu), dan menurut istilah niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan mengejakannya. Sebab, jika pekerjaannya diakhirkan maka dinamakan ‘azam (cita-cita), jadi bukan niat lagi. Tempatnya niat adalah di hati. Berarti jika niat dalam konteks wudlu, maka niat dihadirkan dalam hati ketika mengerjakan pekerjaan bembasuh wajah sebagai pekerjaan pertama dalam wudlu.
Tartib artinya mendahulukan anggauta yang harus didahulukan dan mengakhirkan anggauta yang harus didahulukan. Tidak boleh mendahulukan anggatua yang semestinya dibasuh pada runutan akhir, dan mengakhirkan anggota yang semestinya dibasuh pertama.

AIR UNTUK BERSUCI
Walmaau Qoliilun Wa Katsiirun. Al-Qoliilu Maa Duunal Qullataini  Walkatsiiru Qullataani Fa Aktsaru.
Dan air itu yaitu sedikit dan banyak. Yang sedikit adalah air yang kurang dari 2 kullah. Dan yang banyak yaitu 2 kullah atau lebih.
[2 Kullah bila diukur dengan liter yaitu 216 liter kurang lebih, bila diukur wadahnya yaitu 60 cm X 60 cm x 60 cm. Air yang kurang dari 2 kullah menjadi musta’mal bila terciprat air bekas bersuci yaitu bila terciprat air basuhan yg pertama karna basuhan yg pertamalah yg wajib . Adapun bila air itu kurang dari 2 kullah maka lebih baik dicedok dengan gayung jangan dikobok . Demikianlah jawaban kami, semoga Anda dapat memahaminya. Wallahu Yahdi Ila Sawaissabil]

Al-Qoliilu Yatanajjasu Biwuquu’innajaasati Fiihi Wain Lam Yataghoyyar.
Dan air yang sedikit menjadi najis ia dengan kejatuhan najis padanya walaupun tidak berubah rasa, warna, dan baunya .
Walkatsiiru Laa Yatanajjasu Illaa Idzaa Taghoyyaro Tho’muhu, Aw Lawnuhu, Aw Riihuhu.
Dan air yang banyak tidaklah ia menjadi najis kecuali jika berubah rasa, atau warnanya, atau baunya.

Penjelasan Makna:
Jenis Air

وعَنْ عَبدِ اللهِ بنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسولُ الله صلى اللهُ عليه وسلم: إِذَا كَانَ المَآءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحمِلِ الخَبَثَ، وفي لَفْظٍ: لَمْ يَنْجُسْ، أَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ والحاكمُ وابْنُ حِبَّانَ

Dari Abdullah bin Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Apabila jumlah air mencapai dua qullah, tidak membawa kotoran. Dalam lafadz lainnya, Tidak membuat najis”.

Ibnu Khuzaemah, Al-Hakim dan Ibnu HIbban menshahihkan hadits ini. Sehingga ketentuan air harus berjumlah 2 qullah bukan semata-mata ijtihad para ulama saja, melainkan datang dari ketetapan Rasulullah SAW sendiri lewat haditsnya.
Istilah qullah adalah ukuran volume air yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan dua abad sesudahnya, para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl yang sering diterjemahkan dengan istilah kati. Sayangnya, ukuran rithl ini pun tidak standar, bahkan untuk beberapa negara-negara Arab sendiri. Satu rithl air buat orang Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran satu rithl air buat orang Mesir.
Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume dua qulah itu adalah 500 rithl Baghdad. Tapi kalau diukur oleh orang Mesir, jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir mengukur dua qullah dengan ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 Rithl.
Orang-orang Syam mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian, mereka semua sepakat volume dua qullah itu sama, yang menyebabkan berbeda karena volume satu rithl Baghdad berbeda dengan volume satu rithl Mesir dan volume satu rithl Syam.
Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter. Demikian disebutkan oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, jilid 1/ hal.60.
Air yang kurang dari 270 liter terkasuk bukan air dua qullah jika kejatuhan najis atau benda najis, maka air menjadi najis meskipun karakter air tidak berubah baik warna, rasa dan baunya. Sedangkan air yang mencapai 270 liter atau lebih termasuk air banyak, jika kejatuhan najis maka tidak menjadi najis apabila karakter airnya tidak berubah baik warna, rasa dan bau. Namun jika mengalami perubahan baik warna, rasa atau baunya, maka menjadi air yang najis.
Persoalan air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter, lalu digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap sudah musta`mal. Air itu suci secara fisik lahiriyah, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci . Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak dikategorikan air musta`mal.
Namun kalau kita telliti lebih dalam, ternyata pengertian musta`mal di antara fuqoha mazhab masih terdapat variasi perbedaan. Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan para fuqaha tentang pengertian air musta’mal, atau bagaimana suatu air itu bisa sampai menjadi musta’mal:

a. Ulama Al-Hanafiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu` sunnah atau mandi sunnah. Tetapi secara lebih detail, menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta`mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta`mal. Bagi mereka, air musta`mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.
Keterangan seperti ini bisa kita lihat pada kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61.

b. Ulama Al-Malikiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats .
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta`mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan syah digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah.
Keterangan ini bisa kita dapati manakala kita membukan kitab As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi 41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1 hal 26 dan sesudahnya.

c. Ulama Asy-Syafi`iyyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta`mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`.
Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta`mal. Termasuk dalam air musta`mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta`mal kalau sudah lepas/ menetes dari tubuh.
Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan. Silahkan lihat pada kitab Mughni Al-Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab jilid 5.

d. Ulama Al-Hanabilah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil atau hadats besar atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan mayit pun termasuk air musta`mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta`mal. Seperti membasuh muka yang bukan dalam rangkaian wudhu`. Atau mencuci tangan yang bukan dalam kaitan wudhu`.
Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta`mal. Hukum musta`mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu`/ mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta`mal. Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi `tertular` kemusta`malannya.
Air ada dua Macam; air yang sedikit (ma’ al-qalil) dan air banyak (ma’ al-katsir). Air sedikit batasannya adalah air yang kurang dari dua qullah. Sedangkan air yang tergolong banyak adalah air yang mencapai dua qullah atau lebih.
Istilah qullah adalah ukuran volume air, memang asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter, meter kubik atau barrel.
Ukuran jumlah air dua qullah sesungguhnya bersumber dari hadits nabawi berikut ini:

SEBAB WAJIBNYA MANDI
Muujibaatul Ghusli Sittatun : Iilaajul Hasyafati Fil Farji, Wakhuruujul Maniyyi, Wal Haidhu, Wannifaasu, Wal Wilaadatu, Wal Mautu.
Segala yang mewajibkan mandi yaitu 6 : Memasukkan Hasyafah pada Farji, dan keluar mani, dan haidh, dan nifas, dan wiladah dan mati.

Penjelasan Makna :
- Perkara yang Mewajibkan Mandi ada Enam
- Pertama, Memasukkan penis (alat kelamin laki-laki) ke farji (vagina). Hal ini yang diwajibkan mandi adalah kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan yang melakukannya.
- Kedua, Keluar Mani (Seperma). Baik keluarnya dengan sebab bermimpi dalam keadaan tidur atau keluar dalam keadaan terjaga, tetap mewajibkan mandi. Begitu pun keluar mani tidak disengaja atau disengaja, tetapi wajib mandi. Ciri-ciri air mani (seperma) yaitu 1). Baunya bagaikan adonan roti atau seperti manggar kurma, 2). Warnanya bagaikan warna putih telur, 3). Keluar dengan menyemburat (muncrat), 4). Keluarnya terasa nikmat dan enak.
- Ketiga, haid. Dara haid adalah darah yang keluar dalam kondisi peremuan sehat, tidak dalam keadaan setelah melahirkan, warna darahnya merah pekat, dan panas.
- Keempat, Nifas. Darah yang keluar setelah atau bersamaan dengan melahirkannya anak.
- Kelima, Melahirkan.
- Keenam, Kematian. Dengan dua syarat, 1). Orang Islam dan 2). Bukan mati syahid. Jika orang kafir atau orang yang mati syahid maka tidak wajib atau tidak boleh memandikannya.

FARDHU MANDI
Furuudhul Ghusli Itsnaani : Anniyyatu, Wata’miimul Badani Bil Maa’i.
Fardhu-fardhu mandi yaitu 2 : Niat dan meratakan badan dengan air.

Penjelasan Makna:
Syarat Mandi
- Pertama, niat.
- Kedua, meratakan air ke seluruh anggauta badan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jika mandi jinabah, maka seluruh lubang dan lempitan yang ada pada anggota badan maka wajib terkena air secara merata.

SYARAT WUDHU
Syuruuthul Wudhuui ‘Asyarotun : Al-Islamu, Wattamyiizu, Wannaqoou ‘Anil Haidhi Wannifaasi Wa’an Maa Yamna’u Wushuulal Maai Ilal Basyaroti, Wa An Laa Yakuuna ‘Alal ‘Udhwi Maa Yughoyyirul Maa-a, Wal’ilmu Bifardhiyyatihi, Wa An Laa Ya’taqida Fardhon Min Furuudhihi Sunnatan , Wal Maau Ath-Thohuuru, Wadukhuulul Waqti, Wal Muwaalatu Lidaaimil Hadatsi.
Syarat-syarat Wudhu yaitu 10 : Islam ,Tamyiz , dan suci dari haid dan nifas dan dari sesuatu yang mencegah sampainya air kepada kulit, dan bahwa tidak ada atas anggota oleh sesuatu yang mengubah air, dan mengetahui dengan segala fardhunya, dan bahwa ia tidak mengi’tiqodkan akan fardhu daripada fardhu-fardhunya sebagai sunat, dan air yang suci, dan masuk waktu , dan berturut-turut bagi orang yang senantiasa berhadas.

Penjelasan Makna :
Syarta Wudlu ada 10;
- Pertama, Islam. Mengecualikan Non-Islam.
- Kedua, tamyiz (pinter). Seseorang yang dapat membedakan hal dan bathil, benar dan salah. Sedangkan anak kecil dan orang gila tidak termasuk golongan orang yang tamyiz, sebab tidak bisa membedakan antara benar dan salah.
- Ketiga, bersih dari haidl dan nifas. Jelas, sebab wudlu biasanya bertujuan untuk mendirikan shalat. Sedangkan orang yang haidl dan nifas tidak boleh melakukan shalat atau ibadah seperti berwudlu.
- Keempat, bersih dari segala sesuatu yang dapat menghalangi sampainya air pada kulit tubuh manusia. Seperti cat atau mangsi yang menempel di kulit seseorang yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit seseorang dapat membatalkan wudlu alias wudlunya tidak sah.
- Kelima, tidak ada perkara yang menempel di badan yang dapat merubah karakter air. Jika ada perkara yang menempel di tangan, misalkan, yang dapat merubah karakter air, seperti warna, bau dan rasanya, maka akan dapat membatalkan wudlu seseorang.
- Keenam, mengetahui ke-fardluan-nya wudlu.
- Ketujuh, tidak menyakini ke-fardluan sebagai ibadah sunnah
- Kedelapan, menggunakan air suci dan mensucikan. Artinya air yang suci dan bukan air najis serta bukan air yang sudah digunakan bersuci (musta’mal).
- Kesembilan, masuk waktu.
- Kesepuluh, muallah (tartib atau runut) cara membasuh di antara anggota wudlu bagi orang yang memiliki hadats permanen (daim al-hadats) seperti perempuan yang sedang menegluarkan darah istihadlhah yang disebut dengan mustahadhlah.

PEMBATAL WUDHU
Nawaaqidul Wudhuui Arba’atu Asyyaa-a : Al-Awwalu Al-Khooriju Min Ihdassabilaini Minal Qubuli Wadduuri Riihun Aw Ghoyruhu Illal Maniyya, Ats-Tsaani Zawaalul ‘Aqli Binaumin Aw Ghoyrihi Illaa Nauma Qoo’idin Mumakkanin Maq’adahu Minal Ardhi, Ats-Tsaalitsu Iltiqoou Basyarotai Rojulin Wamroatin Kabiiroini Ajnabiyyaini Min Ghoyri Haailin, Ar-Roobi’u Massu Qubulil Aadamiyyi Aw Halqoti Duburihi Bibathnil Kaffi Aw Buthuunil Ashoobi’i .

Segala yang membatalkan wudhu yaitu 4 perkara : Yang pertama yang keluar daripada salah satu dari 2 jalan daripada kubul dan dubur angin atau selainnya kecuali air mani , yg kedua hilang akal dengan sebab tidur atau selainnya kecuali tidurnya orang yang duduk yang menetapkan punggungnya daripada bumi, yang ketiga bertemunya 2 kulit laki-laki dan perempuan besar keduanya orang lain keduanya dari tanpa dinding, yang keempat menyentuh kubul manusia atau bulatan duburnya dengan telapak tangan atau perut jari-jari

Penjelasan Makna:
Sesuatu yang Merusak Keabsahan Wudlu ada Empat;
- Pertama, sesuatu yang keluar dari salah satu dua jalan (alat kelamin depan dan pantat), seperti kentut, tai, dan yang lainnya, atau bahkan sesuatu yang boleh dibilang suci dan tidak biasa dikeluarkan dari kedua jalan tersebut seperti kerikil dan ulat, kecuali mani.
- Kedua, Hilangnya akal, karena salah satu dari dua faktor yaitu; 1). Kegilaan (junun), dengan sebab sakit atau mabuk; 2). Tidur, kecuali tidurnya pada saat duduk dan pantannya diletakkan secara langsung pada lantai yang sekiranya tidak memungkinkan adanya renggangan atau cela keluarnya kentut. Pengecualian lagi juga adalah tidurnya para Nabi. Karena dalam sebuah hadits dinyatakan; "Hanya mata kami saja yang tidur. Sementara hati kami tidak pernah tidur".
As-Syekh Muhammad ‘Ali bin Husein al-Makky al-Maliki dalam kitab Inarah ad-Duja, yang men-syarahi kitab Safinah an-Najah mendefinisikan tidur (naum) adalah angin lembut semilir menerpa dan menguasai otak, kemudian menutupi mata dan hati. Jika angin semilir lembut itu belum sampai pada hati seseorang, baru sampai pada otak dan mata, maka orang tersebut pasti terserang kantuk (nu’as).
- Ketiga, bersentuhannya kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, tanpa adanya penghalang. Pengecualian yaitu kulitnya anak kecil yang belum baligh dan tidak dapat mengundang syahwat. Sedangkan yang definisi mahram adalah seseorang yang menurut syariah haram dinikahi dengan sebab adanya hubungan tali nasab, seperti anak, saudara kandung, kedua orang tua, kakek dan nenek, paman, atau dengan sebab radla’.
- Keempat, menyentuh alat kelamin dengan telapak tangan atau jari-jari bagian dalam.

LARANGAN BAGI YANG BATAL WUDHU DAN JUNUB
Man Intaqodho wudhuu-uhu Haruma ‘Alaihi ‘Arba’atu Asyyaaa : Ash-Sholaatu, Wath-Thowaafu, Wamassul Mush-hafi, Wahamluhu. Wayahrumu ‘Alal Junubi Sittatu Asyyaa-a : Ash-Sholaatu, Wath-Thowaafu, Wamassul Mush-hafi, Wahamluhu, Wallubtsu Fil Masjidi, Waqirooatul Qur-aani Biqoshdil Qur-aani. Wayahrumu Bilhaidhi ‘Asyarotu Asyyaa-a : Ash-Sholaatu, Wath-Thowaafu, Wamassul Mush-hafi, Wahamluhu, Wallubtsu Fil Masjidi, Waqirooatul Qur-aani Biqoshdil Qur-aani, Wash-Shoumu, Wath-Tholaaqu, Walmuruuru Fil Masjidi In Khoofat Talwiitsahu, Wal Istimnaa’u Bimaa Bainassurroti Warrukbati.

Orang yangg batal wudhunya haram atasnya 4 perkara : Sholat, dan Thowaf, dan menyentuh Al Qur-an dan membawanya.
Dan haram atas orang yang junub 6 perkara : Sholat, dan Thowaf, dan menyentuh Al-Quran, dan membawanya, dan berdiam diri di Masjid, dan membaca AlQur-an dengan maksud baca AlQur-an. Dan haram dengan sebab haid 10 perkara : Sholat, dan Thowaf, dan menyentuh Al Qur-an, dan membawanya, dan berdiam diri di Masjid, dan membaca Al Qur-an dengan qoshod Qur-an, dan puasa , dan talak , dan berjalan di dalam Masjid jika ia takut menyamarkannya, dan bersedap-sedap dengan sesuatu yang antara pusat dan lutut

Penjelasan Makna:
Ada Empat Pekerjaan yang Dilarangan bagi Orang yang Berhadats
- Pertama, Shalat. Baik shalat fardlu yang lima waktu, yaitu dzuhur, asar, maghrib, isya, dan subuh, ataupun shalat sunah dan shalat Janazah, bagi orang yang memiliki hadats tidak boleh melakukannya. Sebab Nabi berkata, "Allah tidak akan menerima sholat salah satu dari kalian ketika berhadats, sampai ia berwudlu terlebih dahulu".
- Kedua, Thawaf. Baik thawaf fardlu atau pun thawaf sunnah seperti thawaf qudhum, thawaf ifadhah, dan yang lainnya.
- Ketiga, Memegang mushaf; yang dimaksud dengan mushaf adalah segala sesuatu yang di dalamnya terdapat tulisan al-Quran, baik sebagian atau sepenggal ayat-ayat dari al-Quran, yang ditulis karena untuk dipelajari dan dibaca. Meski ayat-ayat itu ditulis pada media yang berupa papan tulis, kulit, atau kertas, atau tulang belulang, maka tetap dapat dikatakan sebagai mushaf.
Pengecualian dari pengertian mushaf yang tidak boleh disentuh oleh orang yang berhadats yaitu ayat-ayat al-Quran yang bertujuan dijadikan Jimat (at-tamimah). Sebab Jimat yang dari ayat-ayat al-Quran pada saat ditulis bertujuan tidak untuk dibaca atau dipelajar, melainkan bertujuan untuk ngalap berkah (tabarruk).
- Keempat, membawa mushaf. Yang dimaksudkan adalah hanya membawa mushaf, tanpa disertai dengan membawa beda atau sesuatu yang berbentuk materiil, seperti pakaian, perabotan, atau koper. Sehingga jika seseorang yang berhadats membawa al-Quran di dalam koper bersama dengan barang-barang bawaan lainnya, seperti buku, pakean, dll., maka tidak dipersoalkan alias boleh.
Seluruh umat Islam wajib menghargai dan menghormati keagungan al-Quran. Tidak boleh melecehkan atau menghinanya.

Ada Enam Larangan bagi Orang yang Junub :
- Pertama, Shalat. Baik shalat fardlu yang lima waktu, yaitu dzuhur, asar, maghrib, isya, dan subuh, ataupun shalat sunah dan shalat Janazah, bagi orang yang memiliki hadats tidak boleh melakukannya. Sebab Nabi berkata, "Allah tidak akan menerima sholat salah satu dari kalian ketika berhadats, sampai ia berwudlu terlebih dahulu".
- Kedua, Thawaf. Baik thawaf fardlu atau pun thawaf sunnah seperti thawaf qudhum, thawaf ifadhah, dan yang lainnya.
- Ketiga, memegang Mushaf Ketiga, Memegang mushaf; yang dimaksud dengan mushaf adalah segala sesuatu yang di dalamnya terdapat tulisan al-Quran, baik sebagian atau sepenggal ayat-ayat dari al-Quran, yang ditulis karena untuk dipelajari dan dibaca. Meski ayat-ayat itu ditulis pada media yang berupa papan tulis, kulit, atau kertas, atau tulang belulang, maka tetap dapat dikatakan sebagai mushaf.
Pengecualian dari pengertian mushaf yang tidak boleh disentuh oleh orang yang berhadats yaitu ayat-ayat al-Quran yang bertujuan dijadikan Jimat (at-tamimah). Sebab Jimat yang dari ayat-ayat al-Quran pada saat ditulis bertujuan tidak untuk dibaca atau dipelajar, melainkan bertujuan untuk ngalap berkah (tabarruk).
- Keempat, membawa mushaf. Yang dimaksudkan adalah hanya membawa mushaf, tanpa disertai dengan membawa beda atau sesuatu yang berbentuk materiil, seperti pakaian, perabotan, atau koper. Sehingga jika seseorang yang berhadats membawa al-Quran di dalam koper bersama dengan barang-barang bawaan lainnya, seperti buku, pakean, dll., maka tidak dipersoalkan alias boleh.
Seluruh umat Islam wajib menghargai dan menghormati keagungan al-Quran. Tidak boleh melecehkan atau menghinanya.
- Kelima, berdiam diri di masjid atau mondar-mandir di dalam masjid. Karena Nabi berkata "Aku melarang perempuan haidl dan orang junub mendatangi masjid", diriwayatkan oleh Abu Dawud dari ‘Aisah Ra.
- Keenam, Membaca quran. Artinya melafadzkan dengan lisan baik satu ayat atau lebih. Dengan demikian, orang yang berhadats diperbolehkan mengingat ayat-ayat al-Quran di dalam hati dengan tanpa melafadzkannya dengan lisan. Orang yang berhadats juga diperbolehkan melihat fisik al-Quran. Dan ulama bersepakat bahwa bagi perempuan haidl dan orang yang berhadats membaca tahlil, tasbih, tahmidl, takbir, shalawat kepada nabi dan dzikir-dzikir yang lainnya.


Ada Sepuluh Larangan Bagi Orang yang Haid
- Pertama, Shalat. Baik shalat fardlu yang lima waktu, yaitu dzuhur, asar, maghrib, isya, dan subuh, ataupun shalat sunah dan shalat Janazah, bagi orang yang memiliki hadats tidak boleh melakukannya. Sebab Nabi berkata, "Allah tidak akan menerima sholat salah satu dari kalian ketika berhadats, sampai ia berwudlu terlebih dahulu".
- Kedua, Thawaf. Baik thawaf fardlu atau pun thawaf sunnah seperti thawaf qudhum, thawaf ifadhah, dan yang lainnya.
- Ketiga, Memegang mushaf; yang dimaksud dengan mushaf adalah segala sesuatu yang di dalamnya terdapat tulisan al-Quran, baik sebagian atau sepenggal ayat-ayat dari al-Quran, yang ditulis karena untuk dipelajari dan dibaca. Meski ayat-ayat itu ditulis pada media yang berupa papan tulis, kulit, atau kertas, atau tulang belulang, maka tetap dapat dikatakan sebagai mushaf.
Pengecualian dari pengertian mushaf yang tidak boleh disentuh oleh orang yang berhadats yaitu ayat-ayat al-Quran yang bertujuan dijadikan Jimat (at-tamimah). Sebab Jimat yang dari ayat-ayat al-Quran pada saat ditulis bertujuan tidak untuk dibaca atau dipelajar, melainkan bertujuan untuk ngalap berkah (tabarruk).
- Keempat, membawa mushaf. Yang dimaksudkan adalah hanya membawa mushaf, tanpa disertai dengan membawa beda atau sesuatu yang berbentuk materiil, seperti pakaian, perabotan, atau koper. Sehingga jika perempuan haidl (haid) membawa al-Quran di dalam koper bersama dengan barang-barang bawaan lainnya, seperti buku, pakean, dll., maka tidak dipersoalkan alias boleh.
Seluruh umat Islam wajib menghargai dan menghormati keagungan al-Quran. Tidak boleh melecehkan atau menghinanya.
- Kelima, Membaca quran. Artinya melafadzkan dengan lisan baik satu ayat atau lebih. Dengan demikian, perempuan yang haidl diperbolehkan mengingat ayat-ayat al-Quran di dalam hati dengan tanpa melafadzkannya dengan lisan. Ia juga diperbolehkan melihat fisik al-Quran. Dan ulama bersepakat bahwa diperbolehkan bagi perempuan haidl dan orang yang berhadats membaca tahlil, tasbih, tahmid, takbir, shalawat kepada nabi dan dzikir-dzikir yang lainnya.
- Keenam, Puasa. Jika ada seorang perempuan yang seharian tidak makan dan minum, dengan tanpa dimotivasi oleh niat ibadah puasa atau lebih dikarenakan kemiskinan yang melilitnya, maka tidak diharamkan baginya melakukan pengosongan perut dari makan dan minum. Karena apa yang dikerjakannya bukan merupakan ibadah puasa yang telah diharamkan bagi perempuan haidl.
- Ketujuh, Thalak.
- Kedepan, berdiam diri di masjid
- Kesembilan, mondar-mandir di dalam masjid. Sebab ditakutkan darahnya akan menetes di masjid. Nabi berkata "Aku melarang perempuan haidl dan orang junub mendatangi masjid", diriwayatkan oleh Abu Dawud dari ‘Aisah Ra.
- Kesepuluh, melakukan ativitas seksual di seputar anggota badan di antara pusar dan lutut. Atau dengan kata lain bersenggama dengan suaminya, baik ada syahwat atau tidak, baik ada hail (baju) yang membungkus tubuhnya atau tidak ada sehelai benangpun yang menutupi tubuhnya tetap dilarang.

Ada Empat Pekerjaan yang Dilarangan bagi Orang yang Berhadats;
- Pertama, Shalat. Baik shalat fardlu yang lima waktu, yaitu dzuhur, asar, maghrib, isya, dan subuh, ataupun shalat sunah dan shalat Janazah, bagi orang yang memiliki hadats tidak boleh melakukannya. Sebab Nabi berkata, "Allah tidak akan menerima sholat salah satu dari kalian ketika berhadats, sampai ia berwudlu terlebih dahulu".
- Kedua, Thawaf. Baik thawaf fardlu atau pun thawaf sunnah seperti thawaf qudhum, thawaf ifadhah, dan yang lainnya.
- Ketiga, Memegang mushaf; yang dimaksud dengan mushaf adalah segala sesuatu yang di dalamnya terdapat tulisan al-Quran, baik sebagian atau sepenggal ayat-ayat dari al-Quran, yang ditulis karena untuk dipelajari dan dibaca. Meski ayat-ayat itu ditulis pada media yang berupa papan tulis, kulit, atau kertas, atau tulang belulang, maka tetap dapat dikatakan sebagai mushaf.
Pengecualian dari pengertian mushaf yang tidak boleh disentuh oleh orang yang berhadats yaitu ayat-ayat al-Quran yang bertujuan dijadikan Jimat (at-tamimah). Sebab Jimat yang dari ayat-ayat al-Quran pada saat ditulis bertujuan tidak untuk dibaca atau dipelajar, melainkan bertujuan untuk ngalap berkah (tabarruk).
- Keempat, membawa mushaf. Yang dimaksudkan adalah hanya membawa mushaf, tanpa disertai dengan membawa beda atau sesuatu yang berbentuk materiil, seperti pakaian, perabotan, atau koper. Sehingga jika seseorang yang berhadats membawa al-Quran di dalam koper bersama dengan barang-barang bawaan lainnya, seperti buku, pakean, dll., maka tidak dipersoalkan alias boleh.
Seluruh umat Islam wajib menghargai dan menghormati keagungan al-Quran. Tidak boleh melecehkan atau menghinanya.


SEBAB TAYAMUM
Asbaabuttayammumi Tsalaatsatun : Faqdul Maa-i, Walmarodhu, Wal Ihtiyaaju Ilaihi Li’athosyi Hayawaanin Muhtaromin, Waghoyrul Muhtaromi Sittatun : Taarikush-Sholaati, Wazzaanil Muhshonu, Walmurtaddu, Walkaafirul Harbiyyu, Walkalbul ‘Aquuru, Walkhinziiru.
Sebab-sebab tayammum yaitu 3 : Ketiadaan air, dan sakit, dan berhajat kepadanya untuk minum binatang yg dihormati . Dan selain yg dihormati yaitu 6 : Orang yg meninggalkan sholat, dan pezina muhshon, dan orang yang murtad , dan kafir harbi,  dan anjing galak, dan babi .

Penjelasan Makna:
Tiga Sebab Diperbolehkannya Bertayamum;
- Pertama, tidak ada air. Artinya di daerah sekitar tempat tinggalnya tidak ada air sama sekali. Atau ada air, tapi jaraknya teramat jauh, sehingga jika menuju tempat air tersebut sangat menyusahkan diri. Atau jika berjalan menuju tempat air, ditakutkan harta bendanya hilang, meskipun sedikit, atau di perjalanan cukup rawan sehingga dikhawatirkan mengancam keselamatan jiwa dan raganya. Demikian juga tidak ada air pada saat di perjalanan.
- Kedua, sakit. Orang yang sakit diperbolehkan bertayammum dengan terlebih dahulu melihat dan mempertimbangkan penyakit yang dideritanya. Jika penyakit yang diderita berupa penyakit fisik yang ketika tersentuh air, maka penyakitnya bertambah parah atau sembuhnya lambat, maka seseorang yang diderita penyakit semacam itu baru diperbolehkan untuk tayammum. Akan tetapi jika sebaliknya, penyakitnya tidak semakin parah atau lambat proses penyembuhannya ketika tersentuh air, maka tidak boleh bertanyammum. Hal ini hanya dapat dipastika oleh pertimbangan dokter yang dapat diyakini keputusan dan hasil diagnosanya yang cukup falid atas penyakitnya. Namun jika tidak ada dokter, maka yang menjadi pertimbangan adalah eksperimentasi atau kebiasaan yang terjadi berkaitan dengan jenis penyakitnya. Jika pada kebiasanya jenis penyakit yang jika tersentuh air maka akan bertambah parah atau lambat proses penyembuhannya maka seseorang yang sakit boleh melakukan tayamum. Tapi jika sebaliknya maka tidak boleh.
- Ketiga, butuh air karena demi menolong hewan yang dimuliakan yang sedang kehausan yang betul-betul butuh pertolongan. Artinya jika seseorang menemukan air yang sangat terbatas kadarnya, di satu sisi ia butuh untuk berwudlu, dan di sisi lain pada saat yang sama ada hewan yang dimuliakan sedang kehausan dan sangat butuh seteguk air untuk menghilangkan rasa hausnya itu, maka ia harus memberikan air tersebut pada hewan yang membutuhkan demi menyelamatkan nyawanya. Sementara ia sendiri harus bertayammum.
Hewan yang dimuliakan adalah hewan yang haram dibunuh. Sedangkan sekitar ada enam hewan yang tidak dimuliakan menurut fikih klasik, yaitu orang yang tidak menjalankan sholat lima waktu, zina muhson, murtadl, kafir harbi (musuh yang memerangi umat Islam), anjing yang galak dan babi.
Termasuk orang yang harus dimuliakan dan dijaga eksistensinya adalah orang kafir yang berdamai dengan umat Islam, yang diistilahkan dengan kafir dzimmy. Sekurang-kurangnya ada dua macam kafir, yaitu pertama kafir dzimmi dan kafir mu’ahad. Kafir dzimmi adalah umat non-Islam yang berdamai dengan umat Islam dalam satu payung hukum negara. Sedangkan kafir mu’ahad adalah umat non-Islam yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam untuk hidup rukun dan damai.
Termasuk hewan yang dimuliakan dan tidak boleh dibunuh adalah anjing yang bermanfaat dan tidak galak pada umat manusia. Ada banyak ajing yang dapat digunakan dengan baik dan bermanfaat bagi manusia, seperti anjing yang dapat digunakan beburu, menjaga rumah atau gudang, menjaga pasar, dll., maka tidak boleh dibunuh.

SYARAT TAYAMUM
Syuruuthu At-Tayammumi ‘Asyarotun : An Yakuuna Bituroobin, Wa An Yakuunatturoobu Thoohiron, Wa An Laa Yakuuna Musta’malan, Wa An Laa Yukhoolithuhu Daqiiqun Wanahwuhu , Wa An Yaqshidahu, Wa An Yamsaha Wajhahu Wayadaihi Bidorbataini, Wa An Yuziilannajaasata Awwalan, Wa An Yajtahida Fil Qiblati Qoblahu, Wa An Yakuunattayammumu Ba’da Dukhuulil Waqti, Wa An Yatayammama Likulli Fardhin .

Syarat-syarat tayammum yaitu 10 : Bahwa adalah ia bertayammum dengan debu, dan bahwa adalah debunya itu suci , dan bahwa tidak adalah debunya itu musta’mal, dan bahwa tidak bercampur debunya itu oleh tepung, dan bahwa ia sengaja bertayammum, dan bahwa ia menyapu mukanya dan dua tangannya dengan 2 kali, dan bahwa ia menghilangkan najis pada permulaannya, dan bahwa ia berijtihad pada kiblat sebelumnya tayammum, dan bahwa adalah tayammumnya itu setelah masuk.
Penjelasan Makna:
Sepuluh Syarat Bagi Sahnya Tayammum :
- Pertama, dengan debu. Yang dimaksudkan adalah debu yang murni tanpa terkontaminasi dan tercampur oleh apapun.
- Kedua, debu yang suci. Sebagaimana firman Allah ta’ala; "Fatayammamu sha’idan thayyiban" (maka bertayammumlah kalian dengan debu yang suci).
- Ketiga, debu yang tidak musta’mal. Artinya debu yang sudah dipakai bertanyammum seseorang maka tidak boleh digunakan kembali oleh orang lain.
- Keempat, debu tidak tercampur dengan tepung atau kapur atau sejenisnya.
- Kelima, niat. Tempatnya niat adalah di hati. Dihadirkan pada saat pertama kali mengusapkan demi ke anggota yang pertama wajib dibasuh dengan debu, yaitu wajah.
- Keenam, mengusapkan debu pada wajah dan dua tangan dengan dua kali usapan. Maksudnya adalah mengusapkan debu pada wajah dengan menggunakan satu pengambilan debu. Disusul dengan mengusapkan debu pada tangan dengan menggunakan debu dalam pengambilan yang kedua. Dengan demikian, tidak diperbolehkan atau tidak sah jika satu kali pengambilan debu untuk mengusap wajah dan tangan sekaligus.
- Ketujuh, terlebih dahulu menghilangkan najis yang menempel di badan. Orang yang hendak bertayammum terlebih dahulu harus menghilangkan najis yang ada pada badanya, meski pun bukan anggota tayammum seperti alat kelamin, vagina, dll. juga harus menghilangkan najis dari baju dan tempatnya seseorang. Berbeda dengan wudlu’. Sebab jika wudlu bertujuan untuk menghilangkan hadats. Sedangkan tayammum bertujum agar diperbolehkannya mengerjakan shalat (li-istibahat as-shalat).
Menurut sebagian ulama, seperti Imam ar-Ramli, mengatakan bahwa seseorang yang bertayamum sebelum menghilangkan najis, maka tayammumnya tidak sah. Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar sebaliknya berpendapat sah.
- Kedelapan, Bersungguh-sungguh menghadap kiblat sebelum melakukan tayamum. Namun ternyata syarat ini adalah syarat yang oleh sebagian ulama dianggap sebagai syarat yang lemah. Dengan kata lain, jika seseorang telah melakukan tayammum sebelum bersungguh-sungguh (ijtihad) menghadap kiblat maka sudah dianggap sah.
- Kesembilan, Tayamum dilakukan setelah masuk waktu sholat. Dikarenakan tayamum adalah bersuci dalam kondisi darurat, dan tidak ada darurat sebelum masuk wakti sholat, maka tayamum baru dianggap sah setelah masuk waktu.
- Kesepuluh, Tayamum dilaksanakan karena hendak melakukan setiap perkara fardlu. Artinya bahwa satu tayamum tidak sah untuk dua kali pekerjaan fardlu, seperti dua shalat fardlu dzuhur dan asar. Sehingga setiap hendak mengerjakan perkara fardlu maka harus bertayamum dengan satu kali, dan perkara fardlu berikutnya pun harus mengerjakan tayamum untuk kedua kalinya.


FARDU TAYAMUM
Furuudhuttayammumi Khomsatun : Al-Awwalu Naqlutturoobi, Ats-Tsaani Anniyyatu, Ats-Tsaalitsu Mashul Wajhi, Ar-Roobi’u Mashul Yadaini Ilal Mirfaqoini Al-Khoomisu At-Tartiibu Bainal Mashataini .

Fardhu-fardhu tayammum yaitu 5 : Yang pertama memindahkan debu , yang kedua niat , yang ketiga, menyapu wajah , yang keempat, menyapu 2 tangan sampai 2 sikut , yang kelima tertib di antara 2 sapuan.
Penjelasan Makna:
Fardu Tayammum ada 5
- Pertama, memindahkan debu yang suci dari wajah ke tangan dan seterusnya.
- Kedua, niat tayamum. Dengan berniat li-istibahat as-shalat (diperbolehkannya mengerjakan ibadah shalat). Jika hendak mengerjakan shalat fardlu, maka berniat li-istibahat fardl as-shalat (diperbolehkannya mengerjakan shalat fardlu).
- Ketiga, membasuh wajah. Namun tidak diwajibkan debu tersebut memasuki celah-celah rambut yang ada di wajah sebagaimana air wudlu. Bahkan tidak dianggap sunnah.
- Keempat, mengusap debu yang suci pada kedua tangan sampai kedua sikutnya.
- Kelima, tartib di antara kedua usapan. Artinya harus mendahulukan usapan pada anggota yang harus didahulukan dan mengakhirkan usapan pada anggota yang harus diakhirkan.

Fardu Tayammum ada 5
Pertama, memindahkan debu yang suci dari wajah ke tangan dan seterusnya.
Kedua, niat tayamum. Dengan berniat li-istibahat as-shalat (diperbolehkannya mengerjakan ibadah shalat). Jika hendak mengerjakan shalat fardlu, maka berniat li-istibahat fardl as-shalat (diperbolehkannya mengerjakan shalat fardlu).
Ketiga, membasuh wajah. Namun tidak diwajibkan debu tersebut memasuki celah-celah rambut yang ada di wajah sebagaimana air wudlu. Bahkan tidak dianggap sunnah.
Keempat, mengusap debu yang suci pada kedua tangan sampai kedua sikutnya.
Kelima, tartib di antara kedua usapan. Artinya harus mendahulukan usapan pada anggota yang harus didahulukan dan mengakhirkan usapan pada anggota yang harus diakhirkan.

PEMBATAL TAYAMUM
Mubthilaatuttayammumi Tsalatsatun: Maa Abtholal Wudhuu-a, Warriddatu, Watawahhumul Maa-i In Yatayammama Lifaqdihi.

Segala yang membatalkan tayammum yaitu 3 : Apa-apa yang membatalkan wudhu, dan murtad, dan menyangka ia akan ada air jika ia bertayammum karena ketiadaan air.
Penjelasan Makna :
Ada Tiga Sesuatu yang Dapat Membatalkan Tayamum;
- Pertama, Segala sesuatu yang bisa membatalkan wudlu dapat membatalkan tayamum. Secara rinci bisa dilihat pada pembahasan tentang sesuatu yang dapat membatalkan wudlu.
- Kedua, Murtadl. Jika seseorang yang mendadak mengeluarkan kalimat yang mengarah pada kemurtadlan di tengah-tengah atau setelah mengerjakan tayamum, maka seketika itu pula tayamumnya batal.
- Ketiga, Menyangka adanya air. Maksudnya adalah bahwa jika seseorang melihat fatamorgana yang berada mengapung di atas jalanan disangka itu adalah air, atau melihat segolongan rombongan yang sedang berjalan dan dikira membawa air, atau ada mendung tipis menggelayut di atas langit yang diduga akan menjatuhkan air hujan, maka dapat membatalkan tayamum.

NAJIS YANG BISA JADI SUCI

Alladzii Yathhuru Minannajaasaati Tsalaatsatun: Al-Khomru Idzaa Takhollalat Binafsiha, Wajildul Maytati Idzaa Dubigho, Wa Maa Shooro Hayawaanan .

Yang menjadi suci padahal awalnya najis adalah tiga jenis: Khomr apabila jadi cuka dengan sendirinya, dan kulit bangkai apabila disamak, dan apa-apa yang jadi binatang

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Ada Tiga Perkara Najis yang Bisa Menjadi Suci;
- Pertama, Arak ketika menjadi cuka, dengan sendirinya atau secara alamiah. Perubahan dari arak menjadi cuka tanpa ada campuran seperti kimia atau tidak dengan menggunakan alat. Maka jika perubahan dari arak menjadi cuka dengan menggunakan cairan kimia atau dengan menggunakan alat teknologi canggih, maka tetap dianggap tidak suci, alias masih termasuk barang yang najis.
- Kedua, Kulit bangkai ketika sudah disamak.
- Ketiga, hewan yang muncul dari sesuatu atau daging bagkai, meski dari bangkai hewan yang najis seperti bangkai anjing yang telah membusuk dan mengeluarkan ulat-ulat, maka ulat-ulat tersebut adalah hewan yang suci.

JENIS NAJIS
Annajaasaatu Tsalaatsun: Mughollazhotun, Wa Mukhoffafatun, Wa Mutawassithotun. Wal Mughollazhotu Najaasatul Kalbi Wal Khinzhiiri Wafar’i Ahadihima. Wal Mukhoffafatu Baulushshobiyyi Alladzii Lam Yath’am Ghoyrollabani Walam Yablughil Haulaini wal Mutawassithotu Saairunnajaasaati.
Najis terbagi menjadi tiga, yaitu : Najis berat, dan najis ringan, dan najis sedang. Dan najis berat yaitu najis anjing dan babi dan anak-anak dari salah satu keduanya . Dan najis ringan yaitu kencing anak kecil yang tidak makan selain air susu dan belum sampai umurnya 2 tahun . Dan najis sedang yaitu semua najis .

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Tiga Macam Najis
Ada tiga macam najis, yaitu najis mughalladhah (berat), mukhaffafah (ringan), dan mutawassitah (pertengahan).
·  Najis Mughalladah (berat) yaitu berupa anjing—meskipun anjing pintar seperti pandai bertugas mencari atau melacak bukti-bukti kejahatan—dan babi berikut anak-anak yang dilahirkan dari salah satu anjing dan babi tersebut.
Berkaitan dengan anak atau hewan yang dilahirkan dari rahim anjing dan babi telah dibahas panjang lebar oleh para ulama. Rinciannya sebagai berikut, bahwa jika hewan yang dilahirkan dari perkawinan antara anjing jantan dengan anjing betina atau antara anjing jantan dengan babi betina atau sebaliknya adalah berbentuk anjing atau babi atau bahkan berbentuk manusia, maka hewan yang dilahirkan tersebut adalah najis. Karena dalam kaidahnya dirumuskan bahwa far’ (anak atau cabang) harus dikutkan pada induknya. Dengan kata lain anak secara hukum fikihnya harus diikutkan pada induknya. Sedangkan anak dari anjing dan babi yang berupa manusia meski najis, akan tetapi jika dapat berbicara dan diberi akal yang sempurna sebagaimana manusia biasa maka ia ter-taklif dengan terbebani kewajiban dan larangan agama.
Jika anjing atau babi bersenggama dengan sapi atau kambing, kemudian melahirkan hewan yang berbentuk kambing, maka tetap dihukumi najis. Karena hewan yang dilahirkan harus diikutkan pada induknya yang lebih rendah, yaitu hewan yang najis.
Sedangkan hewan yang dilahirkan dari hasil persenggamaan antara manusia dan anjing atau babi, maka dirinci, pertama, jika berbentuk anjing atau babi maka najis. Kedua, jika berbentuk manusia, ada dua pendapat, yaitu menurut Imam Ramli adalah suci, sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar adalah najis yang dimaafkan (ma’fu ‘anhu), meski boleh sholat dan menjadi imam, boleh bergaul dengan manusia lain, boleh masuk masjid, dan tidak dianggap najis jika orang lain bersalaman dengannya. Bahkan boleh menjadi wali nikah dan boleh menjadi pemimpin—kecuali pendapatnya as-Syekh al-Khatib.
Adapun hewan yang dilahirkan dari hasil senggama antara kedua anak manusia (laki-laki dan perempuan) yang berupa anjing, maka tetap dianggap suci. Dan jika hewan itu dapat berkata-kata dan berakal sempurna, maka tetap dibebani perintah dan larangan agama (taklif). Karena taklif itu ada karena adanya akal sehat.
Demikian juga hewan yang dilahirkan dari hasil senggama antara kedua kambing (betina dan jantan) berupa manusia yang dapat berkata-kata dan berakal sempurna maka boleh disembeli dan boleh dimakan, meski ia adalah seorang khatib dan imam besar.
·  Najis Mukhaffafah (ringan), yaitu berupa air kencing anak kecil yang belum makan sama sekali kecuali air susu dan belum sampai dua tahun.
Yang dimaksud dengan anak kecil tersebut adalah anak laki-laki. Dengan demikian mengecualikan air kencing anak perempuan dan banci (khuntsa), darah, dan tai, yang wajib dibasuh dengan air secukupnya.
· Najis Mutawassithah; semua najis yang selain yang telah disebutkan dalam najis mughalladah (anjing dan babi) dan mukhaffafah (air kencing anak kecil laki-laki yang hanya minum susu, belum makan dan belum sapai usia dua tahun) tersebut.

NAJIS MUGHOLAZOH
Al-Mughollazhotu Tathhuru Bighoslihaa Sab’an Ba’da Izaalati ‘Ainihaa Ihdaahunna Bituroobin. Wal Mukhoffafatu Tathhuru Birosysyil Maa-i ‘Alaihaa Ma’al Gholabati Waizaalati ‘Ainihaa .  Wal Mutawassithotu Tanqosimu Ilaa Qismaini : Ainiyyatun Wa Hukmiyyatun. Al’Ainiyyatu  Allatii Lahaa Launun Wa Riihun Wa Tho’mun Falaa Budda Min Izaalati Launihaa Wa Riihahaa Wa Tho’mihaa. Wal Hukmiyyatu Allatii Laa Launa Walaa Riiha Walaa Tho’ma Kafaa Jaryul Maa-i ‘Alaihaa.
Najis Mughollazhoh atau berat suci ia dengan membasuhnya 7 kali sesudah menghilangkan dzatnya salah satunya dengan tanah. Dan najis Mukhoffafah atau ringan suci ia dengan memercikkan air diatasnya serta rata dan sudah hilang dzatnya.
Dan najis Mutawassithoh atau najis sedang terbagi kepada 2 bagian : ‘Ainiyyah dan Hukmiyyah. Adapun ‘ainiyyah yaitu sesuatu yang baginya ada warna dan bau dan rasa maka tidak boleh tidak dari menghilangkan warnanya dan baunya dan rasanya.
Dan najis hukmiyyah yaitu yang tidak ada warna dan tidak ada bau dan tidak ada rasa maka cukup mengalirkan air diatasnya.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Cara Penyucian Pada Tiga Macam Najis
· Cara mencuci najis mughalladah adalah membasuh dan mensucikannya dengan tujuh kali basuhan atau sucian, setelah hilangnya bekas najis tersebut. Salah satu dari tujuh sucian tersebut harus dibarengi dengan debu. Sebab ada hadits nabi yang menyatakan bahwa, “basuhan terakhir dari tujuh basuhan harus dicampur dengan debu”; dan hadits yang lain menyatakan bahwa “basuha pertama dari ketujuh basuhan harus dicampur dengan debu”. Jadi mencampur debu bebas baik di awal atau di akhir basuhan.
Yang dimaksud dengan debu adalah endut atau tanah liat yang tercampur dengan air sehingga lembab atau pun debu yang berupa pasir lembut yang kering. Sehingga tidak bisa dianggap mensucikan najis mughalladhah dengan sabun, kayu atau yang lainnya.
· Najis mukhaffafah (ringan) dengan memercikkan air pada najis, dan diperkirakan bahwa najisnya dapat dihilangkan. Meskipun memercikkan airnya tanpa dilakukan oleh seseorang atau dengan air hujan yang menetes dari langit dan menetesi tempat atau sesuatu yang najis, maka dianggap cukup sebagai pembasuhan pada najis mukhaffafah (ringan).
· Najis mutawasitah (pertengahan) ada dua, yaitu najis ‘ayniyah dan najis hukmiyah.

Najis ‘ayniyah adalah najis yang memiliki bentuk atau warna, bau, dan rasa. Disebuat dengan najis ‘ayniyah, sebab najisnya dapat ditangkap oleh panca indera. Cara penyuciannya harus secara total menghilangkan baik bentuk atau warna, bau dan rasanya. Jika warna atau baunya susah dihilangkan setelah dibasuh berkali-kali, maka sudah dianggap cukup dan benda atau tempat yang terkena najis sudah bisa dianggap suci. Batasanya susah menghilangkan najis adalah dengan membasih tiga kali akan tetapi tidak dapat hilang bentuk atau baunya, maka sudah dianggap cukup atau suci. Sedangkan jika rasa najis susah dihilangkan maka benda atau tempat yang terkena najis bisa dikatakan najis yang ma’fu ‘anhu (dimaafkan). Sedangkan najis hukmiyah adalah najis yang tidak memiliki bentuk, bau dan rasa. Cara menyucikannya adalah cukup dengan mengalirkan air pada benda atau tempat yang terkena najis.


HUKUM HAIDH
AQOLLUL HAIDHI YAUMUN WA LAILATUN WA GHOOLIBUHU SITTUN AW SAB’UN WA AKTSARUHU KHOMSATA ‘ASYARO YAUMAN BILAYAALIIHAA. WA AQOLLUTH-THUHRI BAINAL HAIDHOTAINI KHOMSATA ‘ASYARO YAUMAN WALAA HADDA LIAKTSARIHI.  AQOLLUN-NIFAASI MAJJATUN WA GHOOLIBUHU ARBA’UUNA YAUMAN WA AKTSARUHU SITTUUNA YAUMAN .

Sekurang-kurangnya haid yaitu 1 hari 1 malam dan biasanya 6 atau 7 hari dan paling banyaknya 15 hari dan malamnya.  Dan sekurang-kurangnya suci antara 2 haid yaitu 15 hari dan tidak ada batas untuk banyaknya .  Sekurang-kurangnya nifas yaitu sekali meludah dan biasanya 40 hari dan paling banyaknya 60 hari

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
· Batasan Waktu darah Haid
Batas sedikitnya waktu haid adalah satu hari satu malam.
Jika seorang perempuan yang mengalami heidl selama satu hari satu malam, maka waktu sucinya dalah dua puluh sembilan hari, jika satu bulannya adalah genap tiga puluh hari.
Batas umumnya waktu heid adalah enam atau tujuh hari dan tujuh malam.
Jika seorang perempuan yang mengalami heidl selama enam hari dan enam malam, maka waktu sucinya dalah dua puluh empat hari, jika satu bulannya adalah genap tiga puluh hari.
Jika seorang perempuan yang mengalami heidl selama tujuh hari dan tujuh malam, maka waktu sucinya dalah dua puluh tiga hari, jika satu bulannya adalah genap tiga puluh hari.
Batas maksimum waktu heid adalah lima belas hari dan lima belas malam.
Jika seorang perempuan yang mengalami heidl lima belas hari dan lima belas malam, maka waktu sucinya dalah lima belas hari dan lima belas malam, jika satu bulannya adalah genap tiga puluh hari.
Batasan waktu yang telah dirumuskan tersebut, batas minimum, keumuman dan maksimum adalah hasil ijtihan Imam as-Syafi’i dengan menggunakan metode istiqra’ (penelitian lapangan dan pengamatan secara langsung pada kebiasaan kaum Hawa).
Jika ada darah yang keluar dari alat kelamin perempuan yang berada di luar batasan-batasan waktu yang telah dirumuskan tersebut dianggap sebagai darah istihadhah (darah penyakit).

· Batasan Waktu darah Nifas
Sedaikitnya nifas adalah satu tetes darah.
Batas keumuman nifas adalah empat puluh hari dan empat puluh malam. Sedangkan batasan maksimum nifas adalah enam puluh hari dan enam puluh malam.
Jika ada darah yang keluar dari alat kelamin perempuan yang berada di luar batasan-batasan waktu yang telah dirumuskan tersebut dianggap sebagai darah istihadhah (darah penyakit).


UDZUR SHALAT
An-Naumu Wannisyaanu
Udzur-udzurnya sholat yaitu 2 : Tidur dan lupa

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Shalat Qadha
Waktu Shalat yang lima waktu, subuh, dzuhur, asar, maghrib dan isya, sudah ditetapkan batas waktunya. Umat Islam dituntut dalam melaksanakan shalat harus tepat pada waktunya yang telah dibatasi. Shalat yang dilakukan dalam waktunya disebut sebagai shalat adha’. Namun ada dua sebab yang bisa diperbolehkannya shalat dilaksanakan di luar waktu yang telah ditentukannya, atau sholat di luar waktunya, yaitu karena tidur dan lupa. Sedangkan sholat yang dikerjakan di luar waktunya disebut sebagai sholat qadha.
Tidur atau tertidur dan lupa adalah yang menyebabkan diperbolehkannya seseorang untuk melaksanakan shalat di luar waktu yang telah ditentukan atau shalat qadha, dan ia tidak berdosa.
- Pertama, tidur atau tertidur. Artinya tidur yang tidak sembarangan dan yang betul-betul lena dan nyenyak sehingga seseorang tidak dapat bangun tetap pada waktu shalat, maka diperbolehkan shalat di luar waktunya. Jika seseorang bangun dari tidurnya pada waktu yang mencukupkan atau memadai untuk melaksanakan wudhu dan shalat, maka ia diwajibkan untuk sesegera mungkin melaksanakannya agar tidak keluar waktu. Tapi jika seseorang bangun dari tidurnya pada waktu yang hanya cukup untuk berwudhu saja, tidak bisa mencakup untuk sekalian shalat, maka ia tidak diwajibkan melakukannya dengan secara terburu-buru dan tidak wajib mempersegera melaksadakan shalat qadha, meski ada sisa waktu yang cukup untuk melaksanakan wudhu dan tidak mencukupi untuk melaksanakan satu rakaat pun.
Etika orang yang hendak melaksanakan shalat qadha, hendanya seseorang mengdahulukan shalat qadha-nya dan kemudian baru melaksanakan shalat adha-nya. Semisal, seseorang yang terlena tidur di waktu dzuhur sampai terbangun dari tidur pada saat sudah keluar waktu dan memasuki waktu shata Ashar, maka ia harus terlebih dahulu melaksanakan shalat Dzuhur, kemudian disusul dengan shalat Asahar.
Jika seseorang yang telah tertidur pada hari Jumat samapi tidak bisa mengikuti shata Jumat, maka ia harus meng-qadhai dengan cara melaksanakan shalat dzuhur, bukan shalat Jumat. Sebab shalat Jumat dapat dilaksanakan kalau memenuhi syarat dan rukunnya, di antara syaratnya adalah harus berjamaah minimal sengan 40 orang jamaah. Sedangkan qadha merupakan persoalan kasuistik dan udzur, yang tidak mungkin dilaksanakan secara berjamaan dengan 40 orang. Maka ia harus meng-qadha dengan shalat dzuhur.
Dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim menyatakan bahwa “Barang siapa yang tertidur atau lupa sehingga meninggalkan shalat, maka lakukanlah shalat pada saat terjaga atau pada saat sudah ingat”. Meski demikian, nabi memberikan peringatan bahwa jika tidurnya tidak sembarangan atau tidak sembrono tanpa disengaja, maka ia boleh meng-qadha dan tidak berdosa. Sebagaimana hadits Nabi yang mengatakan bahwa “Tidak ada kesembronoan dalam tidur, yang mengakibatkan seseorang tidak shalat sehingga masuk waktu shalat yang lain”. Dengan demikian, jika seseorang tertidur sembarangan, maka ia berdosa tapi tetapi wajib melaksanakan shalat qadha.
(Peringatan); Banyak tidur adalah salah satu penyebab yang bisa mengakibatkan orang kaya menjadi miskin, dan menambah parah atau bertambah kemiskinannya bagi orang yang miskin.
- Kedua, lupa. Artinya seseorang lupa jika ia belum shalat, maka ia diharuskan meng-qadha dan tidak mendapatkan dosa. Akan tetapi penyebab lupan bukan dikarenakan kesembronoan atau disebabkan aktifitasi yang sia-sia, seperti maen catur, atau tidak disebabkan mengerjakan maksiat. Namun jika sebaliknya, lupa disebabkan mengerjakan sesuatu yang tidak bermanfaat atau mengerjakan maksiat, maka ia tetap harus mengerjakan shalat qadha tapi ia mendapatkan dosa, sebab lupa meninggalkan shalat lantaran mengerjakan maksiat atau yang tidak bermanfaat. Berkaitan dengan hadits yang menjelaskan lupa sebagai penyebab meninggalkannya shalat sudah disebutkan di atas, dalam pembahasan tidur atau tertidur sebagai salah satu penyebab meninggalkan shalat.
Shalat qadha bagaikan hutang yang harus dibayar oleh siapa pun yang menginggalkan shalat pada waktu yang ditentukan

SYARAT SHOLAT
Syuruuthush-Sholaati Tsamaaniyyatun : Ath-Thohaarotu ‘Anil Hadatsaini Al-Ashghori Wal Akbari, Wath-Thohaarotu ‘Aninnajaasati Fits-tsaubi Walbadani Wal Makaani, Wasatrul ‘Auroti, Wastiqbaalul Qiblati, Wadukhuulul Waqti, Wal’ilmu Bifardhiyyatihaa , Wa An Laa Ya’taqida Fardhon Min Furuudhihaa Sunnatan, wajtinaabul Mubathilaati.  
Al-Ahdatsu Itsnani : Ashghoru Wa Akbaru, Al-Ashghoru Maa  Awjabal Wudhuua Wal Akbaru Maa Awjabal Ghosla. Al-’Aurootu Arba’un : ‘Auroturrojuli Muthlaqon Wal Amati Fishsholaati Maa Bainassurroti Warrukbati, Wa ‘Aurotul Hurroti Fishsholaati Jamii’u BadanihaaMaa Siwal wajhi Wal Kaffaini Wa ‘Aurotul Hurroti Wal Amati ‘Indal Ajaanibi Jamii’ul Badani Wa ‘Inda Mahaarimihaa Wannisaai Maa Bainassurroti Warrukbati.
Syarat-syarat sholat yaitu 8 :
Suci dari 2 hadas yakni hadas kecil dan hadas besar, dan suci dari segala najis pada pakaian, dan badan, dan tempat, dan menutup aurat, dan menghadap kiblat, dan masuk waktu,
dan mengetahui dengan fardhu-fardhunya, dan bahwa jangan ia beri’tiqod akan yg fardhu daripada fardhu-fardhu sholat, akan sunah, dan meninggalkan segala yang membatalkan sholat.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Syarat Shalat
Syarat Shalat ada delapan. Syarat adalah segala sesuatu yang menentukan ke-sah-an shalat. Sebagaimana rukun. Namun, perbedaannya yaitu syarat adalah segenap sesuatu yang harus dipenuhi sebelum mengerjakan shalat, sementara rukun adalah segenap sesuatu yang harus dipenuhi pada saat shalat dilaksanakan. Kedua-duanya, syarat dan rukun, harus terpenuhi demi ke-sah-an shalat. Jika tidak dipenuhi salah satunya atau tidak dipenuhi sebagian dari syarat dan rukun, maka shalat tidak bisa dianggap sah. Karena itu, sah dan tidaknya shalat sangat tergantung pada terpenuhinya syarat dan rukun yang telah ditentukan.
- Syarat shalat yang pertama, suci dari kedua hadats, yaitu hadats kecil seperti kecing dan berak, dan hadats besar seperti keluar seperma (mani) akibat bersetubuh suami-istri atau dengan sebab yang lainnya, seperti bermimpi, dll., yang diharuskan mandi junub.
Syata kedua, suci dari najis dalam pakean, badan dan tempat seseorang yang melaksanakan shalat. Yang dimaksud dengan najis tersebut adalah najis yang la yu’fa ‘anhu (tidak bisa dimaklumi menurut syariah). Perlu diketahui bahwa najis ada empat macam. Pertama, najis yang tidak dapat dimaklumi (ya yu’fa ‘anhu) menurut syariat baik menempel di baju atau di dalam air. Najis jenis ini sudah kita kenal bersama, yaitu najis yang biasa kita fahami, seperti kotoran orang, darah, dll.
- Kedua, najis yang dapat dimaklumi menurut syariat baik di baju atau pun di pakean. Seperti najis yang tidak bisa dilihat dengan penglihatan yang wajar dan biasa. Artinya dilihat dengan mata telanjang, tanpa menggunakan alat pembesar, seperti Miskroskup, dll.
- Ketiga, najis yang tidak dapat dimaklumi menurut syariat jika menempel dalam pakean tapi dimaklumi (ma’fu) jika berada di dalam air, seperti darah yang sedikit. Karena darah sedikit dapat dengan mudah dihilangkan dengan air. Dan jika menempel di baju, akan mengerahkan tenaga dengan susah payah menghilangkannya dan akan bisa jadi merusak baju akibat terus terusan dibasuh. Termasuk jenis najis tersebut juga adalah sisa-sisa istinja (bersuci dengan menggunakan batu), maka dimaklumi atau dimaafkan jika masih ada di badan dan pakean, meskipun sisa-sisa tersebut terbasahi oleh keringat dan terbawa mengalir dan mengenai pakean. Tapi sisa-sisa istinja tersebut tidak bisa dimaklumi jika berada di dalam air.
- Keempat, najis yang dimaklumi jika ada di dalam air, tapi tidak dimaklumi jika menempel di pakean. Jenis najis tersebut seperti bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir, seperti Kutu (Tuma), sehingga jika seseorang dengan sengaja pada saat shalatnya membawa Kutu di dalam pakeannya maka shalatnya batal, alias tidak bisa dianggap sah. Termasuk dalam jenis najis tersebut adalah pantatnya burung yang terdapat najis yang menempel dan burung tersebut jatuh ke dalam air, maka burung tersebut tidak bisa dikatakan menajiskan air. Dengan kata lain airnya masih dianggap suci. Akan tetapi berbeda dengan pantan manusia. Jika seseorang yang pantatnya terkena najis, maka shalatnya tidak sah.
Menurut Imam as-Syihab ar-Ramly bahwa batasan sedikit dan banyaknya najis dapat diketahui menurut pandangan umum (‘urf), yang menyatakan bahwa jika najis tidak susah terdeteksi dan susah dihindarinya maka termasuk najis yang sedikit (qalyl), jika lebih dari itu (baca, mudah terdeteksi, jelas dan mudah untuk dihindarinya) maka termasuk najis yang banyak (katsir). Sebab pada dasarnya najis sedikit yang dapat dimaklumi oleh syariat (ma’fu ‘anhu) adalah karena susah untuk dihindari (ta’adzuri al-ikhtiraz). Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa batasan banyaknya najis adalah batasan dimana seseorang dapat melihatnya dengan jelas tanpa mengangan-angan, memikirkan dan menelitinya.
Syara shalat yang ketiga, menutup aurat. Batasan menutup aurat dengan sekiranya kulit seseorang tidak dapat dilihat oleh mata orang lain. Ada perbedaan batasan aurat dalam shalat bagi laki-laki dan perempua. Batasan aurat bagi laki-laki yang wajib ditutup adalah anggauta badan di antara pusar sampai dengan lutut. Sedangkan aurat bagi perempuan yang wajib ditutup adalah sekujur tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
Orang yang hendak melaksanakan shalat harus menutupi auratnya, meski shalat di kegelapan malam atau berada di tempat yang sepi. Dan disunahkan bagi seorang yang melaksanakan shalat dengan menggunakan pakean yang terbaik yang dimilikinya.
- Syarat shalat yang keempat, menghadap Kiblat.

Kewajiban menghadap Kiblat pada saat seseorang melaksanakan shalat berdasarkan ayat al-Quran yang memerintahkan menghadap Kiblat. Sebagaimana Allah berfirman;

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

“Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke Kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”.

Dalam ayat tersebut Allah telah memerintahkan lebih dari satu kali memerintahkan kita untuk menghadap kiblat. Dan ayat tersebut dipertegas dengan ayat yang lain, sebagaimana Allah berfirman;

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ, وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan dimana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan darimana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang dzalim di antara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepadaKu. Dan agar kesempurnaan nikmatKu atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk”.

Ada sebuah ungkapan kaidah yang mengatakan bahwa “kullu syain mustasnayatun” (Setiap sesuatu ada pengecualiannya). Sebagaimana dalam persoalan menghadap Kiblat, ada dua keadaan yang mana seorang yang melaksanakan shalat diperbolehkan untuk tidak menghadap Kiblat.
- Pertama, keadaan seseorang yang teramat mencekam dalam bayang-bayang ketakutan (syadzid al-khauf). Seperti kondisi peperangan, dimana jika memaksakan kehendak untuk berusaha menghadap Kiblat, maka akan tertangkap basah oleh musuh dan nyawa pun akan melayang, kondisi seperti inilah yang membolehkan seseorang shalat tidak menghadap Kiblat.
- Kedua, shalat sunah yang dilaksanakan dalam kondisi bepergian yang diperbolehkan menurut syariat. Dengan kata lain, perjalanan tidak dalam keadaan atau demi mencapai tujuan yang bernuansa maksiat.
Ketahuilah bahwa terdapat empat derajat kiblat, sesuai dengan kadar dan cara mengetahui eksistensinya.
Pertama, seseorang yang benar-benar melihat dan mengetahui secara langsung Kiblat.
Kedua, mengetahui Kiblat dari informasi seorang yang dapat dipercaya, seperti ia mengatakan; aku melihat sendiri Kiblat.
Ketiga, mengetahui Kiblat melalui ijtihad. Dan keempat, mengetahui Kiblat melalui taklid pada mujtahid.
- Syarat shalat yang kelima, masuk waktu.
Mengetahui masuknya waktu secara yakin benar-benar mengetahui secara persis, atau dengan praduga (dzan) melalui ijtihad yang sungguh-sungguh. Ada tiga tingkatan dalam mengetahui masuknya waktu shalat. Pertama, mengetahui sendiri secara langsung, atau mengetahui dari informasi seseorang yang dapat dipercaya, atau melihat petunjuk Bencet yang benar dan tidak rusak, atau mengetahui melalui petunjuk bayang-bayang matahari, atau jam dan Kompas. Termasuk juga adzan seorang muadzin termasuk petunjuk yang dapat mengetahui masuknya waktu shalat.
Kedua, ijtihat melalui penggalian al-Quran, belajar, mengkaji ilmu, atau menganalisa melalui fenomena alam, seperti kokok Ayam di pagi hari. Harus diteliti apakah kokok ayam telah menunjukkan waktu subuh sudah masuk atau belum. Maka tidak boleh mengikuti kokok ayah dengan tanpa diteliti dan berijtihan terlebih dahulu.
Ketiga, taklid pada seorang mujtahid. Maka jiaka seseorang mampu berijtihan sendiri, maka tidak boleh mengikuti ijtihan orang lain. Dengan syarat ia dalam kondisi dapat melihat. Sementara bagi orang yang buta harus taklid pada mujtahid, meski ia sebenarnya mampu berijtihad. Karena kebutaannya itu lah sehingga mengakibatkan ia tidak mampu meneliti secara komprehensip dan seksama atas sesuatu.
- Syarat Shalat yang keenam adalah mengetahui kefardhuan shalat. Artinya bahwa shalat lima waktu itu diketahui dan diyakini sebagai shalat yang wajib dilaksanakan bagi seluruh umat Islam.
- Syarat shalat yang ketujuh adalah tidak meyakini shalat fardhu sebagai pekerjaan yang disunahkan.
- Syarat shalat yang kedelapan adalah menjauhi segala sesuatu yang membatalkan shalat.
Hadats ada dua, hadats kecil dan hadats besar. Hadats kecil adalah hadas yang telah mewajibkan wudhu, seperti kentut. Sedangkan hadas besar adalah hadas yang mewajibkan mandi, seperti Junub, haid, nifas, dan melahirkan.
Batasan aurat terdapat empat macam. Pertama, aurat laki-laki secara mutlak, baik dalam shalat atau di luar shata, dan budak pada saat shalat adalah anggauta badan di antara pusar sampai dengan lutut. Kedua, aurat perempuan merdeka pada saat shalat adalah sekujur badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Ketiga, aurat perempuan merdeka dan amat (budak) pada saat di hadapan laki-laki lain adalah seluruh badannya. Dan keempat, aurat perempuan merdeka dan amat pada saat di hadapan mahramnya atau di hadapan peremuan lain adalah anggauta badan di antara pusar sampai dengan lutut.


RUKUN SOLAT
Arkaanushsholaati Sab’ata ‘Asyaro : Al-Awwalu Anniyyatu, Ats-Tsaani Takbiirotul Ihroomi, Ats-Tsaalitsu Al-Qiyaamu ‘Alal Qoodiri , Ar-Roobi’u Qirooatul Faatihati, Al-Khoomisu Ar-Rukuu’u, As-SaadisuAththuma’niinatu Fiihi, As-Saabi’u Al-’Itidaalu, Ats-Tsaaminu Aththuma’niinatu Fiihi, At-Taasi’u Assujuudu Marrotaini, Al-’Aasyiru Aththuma’niinatu Fiihi, Al-Haadi ‘Asyaro Aljuluusu Bainassajadataini, Ats-Tsaani ‘Asyaro Aththuma’niinatu Fiihi Ats-Tsaalitsu ‘Asyaro Attasyahhudul Akhiiru, Ar-Roobi’u ‘Asyaro Alqu’uudu Fiihi ,Al-Khoomisu ‘Asyaro Ashsholaatu ‘Alannabiyyi Shollallaahu ‘Alaihi Wasallama Fiihi, As-Saadisu ‘Asyaro Assalaamu, As-Saabi’u ‘Asyaro Attartiibu .

Rukun-rukun Sholat yaitu 17 :
- Pertama niat
- kedua takbirotul ihrom,
- ketiga berdiri atas orang yang mampu 
- keempat membaca Fatihah
- kelima ruku’ 
- keenam tuma’ninah di dalam ruku’ 
- ketujuh i’tidal
- kedelapan tuma’ninah di dalam i’tidal
- kesembilan sujud 2 kali
- kesepuluh tuma’ninah di dalam sujud
- kesebelas duduk antara 2 sujud
- kedua belas tuma’ninah di dalam duduk antara 2 sujud
- ketiga belas tasyahhud akhir
- keempat belas duduk di dalam tasyahhud akhir
- kelima belas sholawat atas Nabi SAW
- keenam belas salam, yang ketujuh belas tertib.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Rukun Shalat
Rukun shalat ada tujuh belas.
- Pertama, niat. Tempat niat adalah di hati. Dan niat dilaksanakan bersamaan dengan pekerjaan pertama dalam shalat, yaitu takbirat al-ihram. Sedangkan melafadzkan niat dengan lisan adalah disunahkan demi membantu kehadiran niat di dalam hati. Tapi melafadzkan dengan lisan tidak wajib dilakukan.
- Kedua, takbirat al-ihram. Dinamakan takbirat al-ihram, sebab dengan memulai takbir maka secara otomatis segenap sesuatu yang halal sebelum shalat, seperti makan dan berkata-kata, telah diharamkan setelah memasuki takbir shalat tersebut. Al-ihram adalah pengharaman sesuatu yang halal disebabkan sedang mengerjakan shalat.
- Ketiga, berdiri bagi orang yang mampu mengerjakan shalat fardhu dengan berdiri. Dalil yang dijadikan sebagai dasar pijakan hukum bahwa berdiri adalah salah satu syarat shalat adalah sebuah perkataan Nabi Muhammad SAW kepada ‘Imran bin Husyen pada saat ‘Imran terserang penyakit ambeyen; “Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduklah. Jika tidak mampu duduk, maka tidur lah”. Hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari. Dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasai ada tambahan redaksi bahwa, “jika tidak mampu, maka terlentanglah. Sebab Allah tidak membebani makhluknya, justru Allah memberikan leleluasaan dan kelapangan bagi hambanya untuk beribadah sesuai dengan kadar kemampuannya”. Jelas bahwa dalam Islam, sungguh sangat lentur dan kompromistis dalam menetapkan rumusan hukum dan kondisional.
- Keempat, membaca al-Fatihah. Cara membaca al-fatihah boleh dengan hafalan, melihat langsung Mushaf, atau dengan cara mengikuti bacaan sang guru yang melatih atau mengajarinya. Membaca al-fatihah diwajibkan bagi setiap orang yang mekalsanakan shalat, baik shalat berjamaah atau sendirian (munfaridl), baik sebagai imam atau makmum.
Dalil al-Quran yang mewajibkan membaca al-fatihah, yaitu :

وَلَقَدْ آَتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآَنَ الْعَظِيمَ

“Dan sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Quran yang agung”. (QS. Al-Hujarat: 87).

Sebagian besar para ulama menafsirkan mab’u al-matsani yang terdapat dalam ayat tersebut adalah surah al-fatihah. Sebagaimana menurut Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitab tafsirnya yaitu Mafatih al-Ghayb atau Tafsir al-kabir menjelaskan bahwa :

إذا عرفت هذا فنقول : سبعاً من المثاني مفهومه سبعة أشياء من جنس الأشياء التي تثنى ولا شك أن هذا القدر مجمل ولا سبيل إلى تعيينه إلا بدليل منفصل وللناس فيه أقوال : الأول : وهو قول أكثر المفسرين : إنه فاتحة الكتاب وهو قول عمر وعلي وابن مسعود وأبي هريرة والحسن وأبي العالية ومجاهد والضحاك وسعيد بن جبير وقتادة ، وروي أن النبي صلى الله عليه وسلم قرأ الفاتحة وقال : هي السبع المثاني رواه أبو هريرة ، والسبب في وقوع هذا الاسم على الفاتحة أنها سبع آيات ، وأما السبب في تسميتها بالمثاني فوجوه : الأول : أنها تثنى في كل صلاة بمعنى أنها تقرأ في كل ركعة . والثاني : قال الزجاج : سميت مثاني لأنها يثنى بعدها ما يقرأ معها . الثالث : سميت آيات الفاتحة مثاني ، لأنها قسمت قسمين اثنين ، والدليل عليه ما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : « يقول الله تعالى قسمت الصلاة بيني وبين عبدي نصفين » والحديث مشهور . الرابع : سميت مثاني لأنها قسمان ثناء ودعاء ، وأيضاً النصف الأول منها حق الربوبية وهو الثناء ، والنصف الثاني حق العبودية وهو الدعاء . الخامس : سميت الفاتحة بالمثاني ، لأنها نزلت مرتين مرة بمكة في أوائل ما نزل من القرآن ومرة بالمدينة . السادس : سميت بالمثاني ، لأن كلماتها مثناة مثل : { الرحمن الرحيم } [ الفاتحة : 3 ] { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ * اهدنا الصراط المستقيم * صِرَاطَ الذين أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ } [ الفاتحة : 5-7 ] وفي قراءة عمر : ( غير المغضوب عليهم وغير الضالين ) . السابع : قال الزجاج : سميت الفاتحة بالمثاني لاشتمالها على الثناء على الله تعالى وهو حمد الله وتوحيده وملكه .

Jika kita simak ungkapan tersebut bahwa terdapat banyak sekali penafsir yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sab’u al-matsani adalah fatihah al-kitab atau surah al-fatihah, seperti pendapat sahabat Umar, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, al-Hasan, Aby Tsa’labah, Mujahid, al-Dlahhak, Sa’id bin Jabir dan Qatadah telah meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa sesungguhnya Nabi membaca al-fatihah dan beliau berkata; sesungguhnya surah al-fatihah ini adalah as-sab’u al-matsany, diriwayatkan oleh Abu hurairah. Sebab surah al-fatihah dinamakan itu karena al-fatihah terdiri dari tujuh ayat, yaitu as-sab’u. Sedangkan dinamakan dengan al-matsani terdapat beberapa aspek, pertama, karena surah al-fatihah selalu dibaca di setiap rakaat dalam shalat. Kedua—sebagaimana yang dikatakan al-Zajjaj—dinamakan Matsani karena dipuji setelah dibacanya. Ketiga, sebab al-fatihah di dalamnya terbagi menjadi dua bagian, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi berkata bahwa “Allah mengatakan bahwa aku bagi shalat, yaitu sebagian adalah bagianKu dan sebagian yang lain untuk hambaKu”. Keempat, dinamakan dengan al-matsani sebab di dalamnya terdapat dua bagian, yaitu tsana’ (pujian dan sanjungan) dan doa, sebagian hak Tuhan (rububiyah) yaitu tsana’ (pujian) dan sebagian lagi hak hamba (‘ubudiyah) yaitu doa. Kelima, al-fatihah dinamakan dengan matsani sebab sebagian ayatnya diturunkan di Makkah dan sebagian lagi di Madinah. Keenam, dinamakan dengan al-matsani sebab dalam ayat-ayatnya terdapat dua kalimat yang dobel seperti ar-rahman dan ar-rahim, atau iyyaka na’butdzu dan iyyaka nasta’in, dll. Ketujuh, al-fatihah dinamakan dengan al-matsanai—sebagaimana yang dikatakan al-Zajjaj—karena di dalamnya terdapat pujian, sanjungan dan peng-EsakanNya.

Terdapat banyak hadits Nabi yang menegaskan akan kewajiban membaca al-fatihah dalam shalat. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang edua menyatakan bahwa Nabi berkata “Tidak ada shalat (baca tidak sah) bagi seseorang yang tidak membaca al-fatihah”. Dan hadits Nabi lain yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Nabi mengatakan “Barang siapa yang melaksanakan shalat tidak membaca Ummul-Quran (induk al-quran, yaitu al-fatihah), ala shalatnya tidak bisa dianggap sempurna”.

- Syarat shalat yang kelima, ruku’. Tata cara ruku’ yaitu pertama, meletakkan kedua tepalak tangannya pada kedua lutut. Kedua, kedua telapak tangan menekan kedua lutut. Ketiga, merenggangkan jari-jemarinya. Keempat, merenggangkan kedua sikunya dari lambungnya. Kelima, membentangkan dan meluruskan punggung sampai selurus papan tulis atau dapat diibaratkan jika punggung itu dituangkan air dari atasnya maka tidak akan tumpah. Keenam, membungkukkan punggung tidak terlalu kebawah dan tidak pula mendongkak terlalu ke atas. Tapi di tengah-tengah di antara keduanya.
- Syarat shalat yang keenam, tuma’ninah (diam dan bersahaja) dalam ruku’. Pada saat tuma’ninan, seseorang disunahkan membaca subhana rabbiya al-‘adhim wa bihamdihi (maha suci Tuhanku yang maha agung) minimal satu kali bacaan, dan lebih baiknya dibaca sebanyak tiga kali bacaan.
- Syarat yang ketujuh, i’tidal. Yang dimaksud i’tidal adalah kembali berdiri dari ruku’. Disunahkan pada waktu i’tidah tepat pada saat mengangkat pundak untuk berdiri dari ruku’ membaca doa “sami’alLahu li-man hamidah” (Allah maha mendengar hamba yang telah memujiNya)
- Syarat kedelapan, tuma’ninah dalam i’tidal, yaitu diam dan bersahaja berdiri sambil disunahkan membaca doa “Rabbana laka al-hamdu mil’us-samawati wa mil’ul-ardhi wa mil’u ma sy’tha min syai’in ba’dhu” (Tuham kami, hanya bagiMu segala puji yang memenuhi langit, bumi, dan segala sesuatu yang telah Engkau inginkan).
- Syarat kesembilan, sujud sebanyak dua kali. Disunahkan pada waktu sujud dengan membaca doa “Subhana rabbiyal-a’la wa bi-hamdihi” (Maha suci Tuhanku yang maha tinggi, dan dengan menujimu).
- Syarat kesepuluh, tuma’ninah (diam dan bersahajah) dalam sujud.
- Syarat kesebelas, duduk di antara dua sujud. Pada saat duduk di antara dua sujud disunahkan membaca doa “Rabby ighfirly warhamny wajburny warfa’ny warzuqny wahdhiny wa’afiny wa’fu ‘anny”
- Syarat kedua belas, tuma’ninah dalam duduk di antara dua sujud.
- Syarat ketiga belas, tasyahhud al-akhir.
- Syarat keempat belas, duduk dalam tasyahhud.
- Syarat kelima belas, membaca shalawat pada Nabi dalam tasyahud.
- Syarat keenam belas, membaca salam. Ada dua salah, yaitu salam pertama dengan memalingkan wajah ke samping kanan dan salam kedua dengan memalingkan wajah ke samping kiri. Salam pertama hukumnya wajib, karena termasuk syarat shalat. Sedangkan salam kedua hukumnya sunnah. Salam paling minimal diucapkan; “Assalamu’alaikum”, dan maksimalnya diucapkan; “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”.
- Syarat ketujuh belas, tartib. Artinya menjalankan shalat harus secara tartib (berurutan) mengerjakan satu syarat ke syarat yang lain. Kewajiban mengerjakan shalat secara tartib sebab dalam hadits disebutkan “Shalluu kama ra’aytumuny ushally” (shalatlah kalian seperti kalian melihat langsung saya shalat). Jadi segenap pekerjaan shalat harus sesuai dengan shalat Nabi. Sedangkan shalat yang dikerjakan Nabi dilaksanakan secara tartib. Maka setiap orang yang mengerjakan shalat pun harus tartib sebagaimana Nabi mengerjakan shalat.


NIAT SHALAT
ANNIYYATU TSALAATSU DAROJAATIN, In Kaanatishsolaatu Fardhon Wajaba Qoshdul Fi’liWatta’yiinu Wal Fardhiyyatu, Wain Kaanat Naafilatan Muaqqotatan Aw DzataSababin Wajaba Qoshdul Fi’li Watta’yiinu, Wain Kaanat Naafilatan Muthlaqon Wajaba Qoshdul Fi’li Faqoth.  Al-Fi’lu Usholli, Watta’yiinu Zhuhron Aw ‘Ashron, Wal Fardhiyyatu Fardhon .

Niat itu 3 derajat, jika adalah sholat itu fardhu maka wajib Qoshdu Fi’il dan Ta’yin dan Fardhiyyah, dan jika adalah sholat itu sunah yang ditentukan waktunya atau memiliki sebab maka wajib Qoshdu Fi’il dan Ta’yin, dan jika adalah sholat itu sunah mutlak maka wajib Qoshdu Fi’il saja. 

Al-’Fi’lu yaitu kalimat Usholli, dan Ta’yin yaitu kalimat  Zhuhur atau ‘Ashar, dan Fardhiyyah yaitu kalimat Fardhon .

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
3 derajat Niat
Ada 3 derajat niat.
- Pertama, menyengaja mengerjakan seperti mengerjakan shalat dihadirkan di dalam hati untuk membedakan dengan pekerjaan-pekerjaan yang lain.
- Kedua, menentukan (ta’yin) seperti shalat harus ditentukan shalat dzuhur, asar, dll., agar dibedakan dengan shalat-shalat lainnya.
- Ketiga, menyebutkan ke-fardhluan-nya (fardliyyah), agar membedakannya dengan pekerjaan atau shalat sunnah. Ketiganya diwajibkan ada pada saat niat mengerjakan shalat wajib atau fardhu.
Jika shalat sunnah yang dibatasi waktu, seperti sunnah rawatib atau shalat yang mempunyai sebab seperti shalat Istisqa’ (shalat yang demi mengharapkan curahan hujan) pada musim kemarau, maka dalam niat wajib dua hal, yaitu menyengaja (qashdhu) dan ta’yin (menentukan).
Jika shalat sunnah mutlak, maka diwajibkan dalam niatnya hanya satu hal, yaitu niat mengerjakan saja, tidak diwajibkan untuk menentukan jenis pekerjaannya. Yang dimaksud dengan shalat sunnah mutlak adalah shalat yang dikerjakan tanpa ditentukan waktunya dan dilaksanakan dengan tanpa ada sebab tertentu yang memotivasinya.


SYARAT TAKBIROTUL IHROM
Syuruuthu Takbiirotil Ihroomi Sittata ‘Asyaro : An Taqo’a Haalatal Qiyaami Fil Fardhi An Taqo’a Haalatal Qiyaami Fil Fardhi, Wa An Takuuna Bil ‘Arobiyyati, Wa An Takuuna Bilafzhil Jalaalati Wabilafzhi Akbaru, Wattartiibu Bainallafzhoini, Wa An Laa Yamudda Hamzatal Jalaalati, Wa ‘Adamu Maddi Baa-i Akbaru, Wa An Laa Yusyaddidal Baa-a, Wa An Laa Yaziida Waawan Saakinatan Aw Mutaharrikatan Bainal Kalimataini, Wa An Laa Yaziida Waawan Qoblal Jalaalati, Wa An Laa Yaqifa Baina Kalimataittakbiiri Waqfatan Thowiilatan Walaa Qoshiirotan, Wa An Yusmi’a Nafsahu Jamii’a Huruufiha Wadukhuulul Waqti Fil Muwaqqoti Wa Iiqoo’uhaa Haalal Istiqbaali, Wa An Laa Yukhilla Biharfin Min Huruufihaa, Wata’khiiru Takbiirotil Ma’muumi ‘An Takbiirotil Imaami.

Syarat-syarat takbirotul ihrom yaitu 16 : bahwa jatuhnya takbirotul ihrom pada ketika berdiri pada fardhu, dan bahwa takbirotul ihrom itu dengan bahasa Arab  dan bahwa takbirotul ihrom itu dengan lafaz Allah dan lafaz Akbar, dan tertib antara 2 lafaz, dan bahwa tidak memanjangkan huruf hamzah lafaz Allah, dan tidak memanjangkan huruf ba pada lafaz Akbar, dan bahwa tidak mentasydidkan huruf ba, dan bahwa tidak menambah huruf wawu yg mati atau yang berharokat antara2 kalimat, dan bahwa tidak menambah huruf wawu sebelum lafaz Allah, dan bahwa tidak berhenti antara 2 kalimat takbir dengan berhenti yang panjang, dan tidak pula yang pendek, dan bahwa ia memperdengarkan dirinya akan seluruh huruf-huruf Allahu Akbar, dan masuk waktu pada sholat yang ditentukan waktunya , dan menjatuhkan takbirotul ihrom ketika menghadap kiblat, dan bahwa mencampur dengan satu huruf daripada huruf-huruf takbir, mengakhirkan takbir ma’mum daripada takbir imam.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Syarat Takbiratul Ihram
Ada enam belas (16) syarat Takbirat al-ihram.
- Pertama, dikumandangkan pada saat berdiri tegak dan tetap pada saat harus dikumandangkan.
- Kedua, dikumandangkan atau diucakpan takbir dengan menggunakan bahasa Arab bagi yang mampu. Jika ada seseorang yang tidak mampu takbir dengan menggunakan bahasa Arab, maka diperbolehkan dengan menggunakan bahasa negaranya sebagai terjemahan dari takbir.
- Ketiga, harus dengan kalimat jalalah, yaitu kalimat Allah, seperti biasa dikumandangkan dengan Allahu Akbar. Dengan demikian tidak sah jika diganti dengan semisal kalimat Ar-rahmanu Akbar, atau yang lainnya.
- Keempat, harus menggunakan kalimat Allahu Akbar (Allah maha besar). Dengan demikian tidak sah jika diganti dengan menggunakan kalimat Allahu kabir (Allah besar), sebab akan menghilangkan keagungan dan kebesaranNya.
- Kelima, kedua kalimat Allah dan Akbar harus diucapkan secara tartib, tidak boleh disela-selai dengan kalimat lain atau berdiam cukup lama.
- Keenam, tidak boleh membaca panjang huruf hanzah dari kalimat jalalah. Sebab akan merubah kedudukan kalimat dan akan merubah makna, yang tadinya Allah menjadi kalimat pertannyaan atau istifham.
- Ketujuh, tidak boleh membaca panjang huruf ba kalimat Akbar. Jika dibaca panjang huruf ba’ yang ada pada kalimat Akbar, maka shalatnya tidak sah. Sebab jika dibaca panjang, akan merubah muatan maknanya. Yaitu jika hamzahnya dibaca fathah, maka akbar yang ba’-nya dibaca panjang bermakna salah satu nama kendang besar; dan jika hamzahnya dibaca kasrah, maka berarti mengandung makna salah satu nama bagi nama-nama haidl..
- Kedelapan, tidak boleh membaca tasydzidh huruf ba’ kalimat Akbar. Jika dibaca tasydzidh maka shalatnya tidak sah.
- Kesembilan, tidak boleh menambahkan huruf wawu baik berharakat atau tidak di antara kedua kalimat antara kalimat Allah dan Akbar. Jika ditambahi, semisal Allah wa Akbar, maka shalatnya tidak sah.
- Kesepuluh, tidak boleh menambahkan huruf wawu sebelum kalimat jalalah, yaitu Allah. Jika ditambahkan huruf Wawu sebelum kalimat Allah, menjadi Wa Allahu Akbar, maka shalatnya tidak sah.
- Kesebelas, tidak boleh berhenti cukup lama atau sebentar di antara kedua kalimat Allah dan Akbar. Namun tidak menjadi soal jika hendak menambahkan huruf AL ta’rif pada kalimat Akbar, menjadi dibaca Allahu Al-Akbar, maka tidah membatalkan shalat.
- Kedua belas. Membaca seluruh huruf-huruf kalimat yang dikumandangkan harus dapat didengar oleh telinganya sendiri. Hal ini jika pendengarannya sehat, tidak dalam kondisi sakit telinga, dan tidak ada suara bising atau gaduh yang dapat menenggelamkan suaranya. Jika ada gangguan dalam kupingnya atau ada suara gaduh dan bising, maka harus menaikkan volume suaranya tinggi-tinggi agar dapat didengar oleh kupingnya sendiri. Jika seseorang gagu maka cukup dengan menggerakkan bibir dan mulutnya.
- Ketiga belas, memasuki waktu shalat bagi shalat fardhu yang lima waktu dan bagi shalat sunnah yang ditentukan waktunya.
- Keempat belas, diharuskan membaca takbir pada saat menghadap Kiblat.
- Kelima belas, tidak boleh merusak salah satu huruf yang terdapat dalam kalimat takbiratul Ihram,
- Keenam belas, mengakhirkan takbirnya makmum dari takbirnya imam pada saat shalat berjamaah. Jika takbir makmum dan imam bersamaan atau takbir makmum mendahului dari takbirnya imam maka shalatnya tidak sah.


SYARAT FATIHAH
Attartiibu, Wal-Muwaalatu , Wamuroo’atu Huruufihaa, Wamuroo’atu Tasydiidaatihaa, Wa An Laa Yaskuta Saktatan Thowiilatan Walaa Qoshiirotan Yaqshidu Bihaa Qoth’al Qirooati , Wa’adamullahnil Mukhilla Bilma’naa , Wa An Takuuna Haalatal Qiyaami Fil Fardhi , Wa An Yusmi’a Nafsahul Qirooata , Wa An Laa Yatakhollalahaa Dzikrun Ajnabiyyun.
Syarat-syarat Fatihah yaitu 10 : Tertib , dan berturut-turut, dan memelihara segala hurufnya, dan memelihara segala tasydidnya, dan bahwa jangan ia (orang yg sholat) diam dengan diam yang panjang dan tidak pula yang pendek yang ia bermaksud dengannya memutuskan bacaan, dan tiada salah bacaan yang dengan merusakkan makna, dan bahwa dibaca Fatihah itu ketika berdiri, pada sholat Fardhu dan bahwa ia memperdengarkan dirinya akan bacaan dan bahwa tidak menyelangi akan Fatihah oleh dzikir yang lain.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Syarat al-fatihah
Syarat al-fatihah ada sepuluh (11).
- Pertama, harus tartib. Artinya dibaca secara runut sesuai dengan runutan ayat-ayat yang ada dalam surah al-fatihah.
- Kedua, mulat (berurutan). Artinya satu ayat dengan ayat yang lain tidak ada yang menyela-nyelai, seperti membaca dzikir lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan shalat di antara bacaan ayat-ayat surah al-fatihah.
- Ketiga, menjaga secara keseluruhan huruf-huruf yang terdapat dalam surah al-fatihah. Diketahui bahwa huruf yang ada dalam surah al-fatihah berjumlah 138 huruf, dan semuanya harus dijaga dengan cara membacanya yang benar dan sesuai dengan tempat dan letaknya huruf-huruf itu keluar dari mulut dan tenggorokan seseorang (makharij al-huruf).
- Keempat, menjaga bacaan tasydid yang ada di segenap huruf-huruf surah al-fatihah.
- Kelima, tidak boleh berdiam diri cukup lama. Tapi jika ada udzur, seperti lupa atau tidak tahu, maka tidak merusak kesahan shalat.
- Keenam, tidak boleh diam sebentar yang bertujuan memutus bacaan.
- Ketujuh, membaca seluruh ayat-ayat yang ada di dalam surah al-fatihah, dan di antara yang termasuk dalam surah al-fatihah adalah ayat Basmalah. Sebab Nabi sendiri menganggap Basmalah sebagai bagian dari ayat dari surah al-fatihah, diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim dan keduanya meniali bahwa hadits tersebut adalah sahih.
- Kedelapan, tidak boleh membaca ayat-ayat secara pelo yang dapat merusak makna yang terkandung di dalam kalimat-kalimat yang ada dalam ayat. Sebab berubahnya cara baca akan merubah kanduangan maknanya.
- Kesembilan, membaca dengan cara berdiri pada saat melaksanakan shalat fardhu. Sudah barang tentu persyaratan ini bagi orang-orang yang mampu melaksanannya.
- Kesepuluh, seseorang dapat mendengarkan seluruh bacaannya secara komprehensif dari awal sampai akhir.
- Kesebelas, tidak boleh menyisipkan atau menyela-nyelai bacaan dzikir lain di tengah-tengah bacaan ayat-ayat al-fatihah. Kecuali dzikir yang ada kaitannya dengan kemaslahatan shalat, seperti bacaan amin bagi makmum yang sedang berjamaah.

TASYDID PADA AL FATIHAH
Bismillaahi Fauqollaami , Robbal ‘Aalamiina Fauqol Baa-i, Arrohmaani Fauqorroo-i, Arrohiimi Fauqorroo-i, Maaliki Yaumiddiini Fauqoddaali, Iyyaaka Na’budu Fauqol Yaa-i , Waiyyaaka Nasta’iinu Fauqol Yaa-i, Ihdinashshiroothol Mustaqiima Fauqoshsoodi , Shirootolladziina Fauqollaami , An’amta ‘Alaihim Ghoyril Maghdhuubi ‘Alaihim Waladhdhoolliina Fauqodhdhoodi Wallaami.
Segala tasydid Fatihah yaitu 14 : Lafazh Bismillah diatas huruf Lam, Lafazh Robbal ‘Aalamiina diatas huruf Ba, Lafazh Arrohmaani diatas huruf Ro, Lafazh Arrohiimi diatas huruf Ro, Lafazh Maaliki Yaumiddini diatas huruf Dal, Lafazh Iyyaaka Na’budu diatas huruf Ya, Lafazh Waiyyaaka Nasta’iinu diatas huruf Ya, Lafazh Ihdinashshiroothol Mustaqiima diatas huruf Shod, Lafazh Shirootholladziina diatas huruf Lam Lafazh An’amta ‘Alaihim Ghoyril Maghdhuubi ‘Alaihim Waladhdhoolliina diatas huruf Dhod dan huruf Lam.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
- Bacaan Tasydzid surah al-fatihah
- Bacaan tasydzid dalam surah al-fatihah terdapat 14 (empat belas) tempat.
- Pertama, membaca tasydid huruf Lam yang ada dalam kalimat Bismil-Lah.
- Kedua, membaca tasydid huruf ra’ yang ada dalam kalimat ar-Rahman.
- Ketiga, membaca tasydid huruf ra’ yang ada dalam kalimat ar-rahim.
- Keempat, membaca tasydid Lam jalalah yang ada dalam kalimat Alhamdulil-lah.
- Kelima, membaca tasydid huruf ba’ yang ada di dalam kalimat Rabbil-‘alamin.
- Keenam, membaca tasydid huruf ra’ yang ada dalam kalimat ar-rahman.
- Ketujuh, membaca tasydid huruf ra’ yang ada dalam kalimat ar-rahim.
- Kedelapan, membaca tasydid huruf dhal yang ada dalam kalimat Maliki yaumid-din.
- Kesembilan, membaca tasydid hurud ya’ yang ada dalam kalimat iyyaka na’budu.
- Kesepuluh, membaca tasydid huruf ya’ yang ada dalam kalimat iyyaka nasta’in.
- Kesebelas, membaca tasydid huruf shad yang ada dalam kalimat Ihdinas-shirat al-mustaqim.
- Kedua belas, membaca tasydid huruf Lam yang ada dalam kalimat Shiratal-Ladzina.
- Ketiga belas, membaca tasydid huruf Dhad yang ada dalam kalimat An’amta ‘alaihim ghayril maghdhubi ‘alaihim walad-dzallin.
- Keempat belas, membaca tasydid huruf Lam yang ada dalam kalimat An’amta ‘alaihim ghayril maghdhubi ‘alaihim walad-dzallin.

SUNNAH TAKBIR
Yusannu Rof’ul Yadaini Fii Arba’ati Mawaadhi’a : Inda Takbiirotil Ihroomi, Wa’indarrukuu’i, Wa’indal I’tidaali, Wa’indal Qiyaami Minattasyahhudil Awwali
Disunahkan mengangkat tangan pada 4 tempat yaitu : Ketika Takbirotul Ihrom, dan ketika Ruku’, dan ketika I’tida, dan ketika bangun dari Tasyahhud yang pertama .

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Sunahnya mengangkat tangan
Disunnahkan mengangkat kedua tangan di empat tempat.
- Pertama, mengangkat tangan pada saat takbiratul ihram. Mengangkat tangan pada saat takbirat al-ihram yang paling sempurna adalah dengan mengangkat kedua telapak tangan sampai keduanya sepadan dengan kedua pundak kanan dan kiri. Sebagian pendapat lain mengatakan kedua telapak tangan diangkat sampai menempel pada kuping bagian bawah.
- Kedua, mengangkat tangan pada waktu ruku’.
- Ketiga, mengangkat tangan pada waktu i’tidal, bangun dari ruku’.
- Keempat, mengangkat tangan pada saat berdiri dari tasyahud awwal.
Tidak disunnahkan mengangkat tangan pada selain yang keempat tersebut.

SYARAT SUJUD
Syuruuthussujuudi Sab’atun : An Yasjuda ‘Alaa Sab’ati A’dhooin, Wa An Takuuna Jabhatuhu Maksyuufatan, Wattahaamulu Biro’sihi, Wa ‘Adamul Huwiyyi Lighoyrihi, Wa An Laa Yasjuda ‘Alaa Syain Yataharroku Biharokatihi, Wartifaa’u Asaafilihi ‘Alaa A’aaliihi, Waththuma’niinatu Fiihi, Wa An Yaquula Fii Sujuudihi "Subhaana Robbiyal A’laa Wabihamdihi" (Tsalaatsa Marrootin). (Khootimatun)
A’Dhooussujuudi Sab’atun : Al-Jabhatu, Wabuthuunul Kaffaini, Warrukbataini, Wabuthuunul Ashoobi’irrijlaini.
Syarat-syarat sujud yaitu 7 : Bahwa ia sujud atas 7 anggota, dan bahwa dahinya itu terbuka, dan memberatkan sedikit dengan kepalanya , dan tidak turun sujud karena lainnya , dan bahwa ia tidak sujud di atas sesuatu yg bergerak dengan geraknya, dan mengangkat anggota bawahnya atas anggota atasnya , dan tuma’ninah pada ketika sujud, dan sunah bahwa ia berkata pada sujudnya " Subhaana Robbiyal A’laa Wabihamdihi " (3 kali).
(Penutup) Anggota-anggota sujud yaitu 7 : Dahi, dan perut 2 telapak tangan, dan 2 dengkul, dan perut jari-jari 2 kaki.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Syarat Sujud
Syarat sujud ada tujuh.
- Pertama, sujud di atas tujuh anggauta badan. Karena ada penjelasan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah mengatakan “aku telah diperintahkan sujud di atas ketujuh anggauta badan, yaitu kening kepala (jidat), kedua telapak tangan, kedua lutut, pucuk-pucuk jari kedua telapak kaki.” Hadits yang telah diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim.
- Kedua, keningnya harus terbuka, tidak boleh tertutut kecuali ada udzur, seperti di kening tumbuh rambut atau ada perban di kepala yang telah menutupi kening dengan sekiranya jika perban tersebut dicopot akan membahayakan pada kesehatannya.
- Ketiga, meletakkan kepalanya dengan sekiranya keningnya benar-benar menempel pada tempat sujud.
- Keempat, tidak ada niat selian sujud.
- Kelima, tidak sujud di atas sesuatu yang dapat bergerak dengan sebab pergerakan sujudnya seseorang.
- Keenam, mengangkat dan meletakkan anggauta bawah, yaitu pantan di atas anggauta atas yaitu kepala. Dengan kata lain, meletakkan pantan di atas dan meletakkan kepala di bawah.
- Ketujuh, tuma’ninah dalam sujud. Artinya meletakkan ketujuh anggauta dalam satu waktu secara bersamaan.
(Khatimah) ; Ada tujuh anggota sujud, yaitu pertama, kening kepala (jidat). Kedua dan ketiga, kedua telapak tangan. Keempat dan kelima, kedua lutut. Keenam dan ketujuh, pucuk-pucuk jari-jemari kedua telapak kaki.


TASYDID PADA TASYAHUD
TASYDIIDAATUTTASYAHHUDI IHDAA WA’ISYRUUNA KHOMSUN FII AKMALIHI WASITTATA ‘ASYARO FII AQOLLIHI. Attahiyyaatu ‘Alattaa-i Walyaa-i, Walmubaarokatushsholawaatu ‘Alashshoodi, Ath-Thoyyibaatu ‘Alaththoo-i walyaa-i, Lillaahi ‘Alaa Laamil Jalaalati, Assalaamu ‘Alassiini, ‘Alaika Ayyuhannabiyyu ‘Alalyaa-i Wannuuni Walyaa-i, Warohmatullaahi ‘Alaa Laamil Jalaalati, Wabarokaatuhu Assalaamu ‘Alassiini, ‘Alainaa Wa’alaa ‘Ibaadillaahi  ‘Alaa Laamil Jalaalati, Ash-Shoolihiina ‘Alashshoodi, Asyhadu An Laa Ilaaha Illallaahu ‘Alaa Lam Alif Walaamil Jalaalati, Wa Asyhadu Anna ‘Alannuuni, Muhammadarrosuulullaahi ‘Alaa Mimi Muhammadin Wa ‘Alarroo-i Wa ‘Alaa Laamil Jalaalati.

Segala Tasydidnya Tasyahhud yaitu 21 : 5 pada yang paling sempurna dan 16 pada yang paling sedikitnya. Attahiyyatu di atas huruf Ta dan Ya, dan Mubarakatushsholawaatu di atas huruf Shod, Ath-Thoyyibaatu di atas huruf Tho dan Ya, Lillaahi diatas huruf Lam Jalalah, Assalaamu di atas huruf Sin, ‘Alaika Ayyuhannabiyyu diatas huruf Ya dan Nun dan Ya, Warohmatullaahi di atas huruf Lam Jalalah , Wabarokatuhu Assalaamu di atas huruf Sin,  ‘Alainaa Wa’alaa ‘Ibaadillaahi di atas huruf Lam Jalalah, Ash-Shoolihiina di atas huruf Shod, Asyhadu An Laa Ilaaha Illallaahu di atas huruf Lam Alif dan Lam Jalalah, Wa Asyhadu Anna di atas huruf Nun, Muhammadarrosuulullaahi di atas huruf Mim Muhammad dan di atas huruf Ro dan di atas huruf Lam jalalah .

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Bacaan tasydzid dalam tasyahhud
Bacaan tasydid dalam tasyahhud ada dua puluh satu (21) tempat. 
- Lima terdapat dalam sujud yang ada pada duduk awal, dan enam belas terdapat dalam duduk akhir.
- Dua huruf yang terdapat dalam kalimat at-tahiyyat, yaitu huruf ta’ dan ya’ yang dibaca tasydid.
- Membaca tasydidi huruf shad dalam kalimat al-mubarakatus-shalawat.
- Membaca tasydidi huruf tha’ dan ya’ yang ada dalam kalimat at-thayyibat.
- Membaca tasydid huruf lam jalalalah yang ada dalam kalimat Lil-lahi.
- Membaca tasydid huruf sin yang ada dalam kalimat as-salam.
- Membaca tasydid huruf ya’, nun, dan ya’ yang ada dalam kalimat ‘alaika ayyuhan-nabiyyu.
- Membaca tasydid huruf lam jalalah yang ada dalam kalimat warahmatullah.
- Membaca tasydid huruf sin yang ada dalam kalimat wa rahmatul-Lah.
- Membaca tasydid huruf lam jalalah yang ada dalam kalimat ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillah.
- Membaca tasydid huruf shad yang ada dalam kalimat as-shalihin.
- Membaca tasydid huruf lam alif dalam kalimat asyhaduallailaha.
- Membaca tasydid huruf lam alif dan lam jalalah yang ada dalam kalimat illa-llah.
- Membaca tasydid huruf nun yang ada dalam kalimat wa asyhadu anna.
- Membaca tasydid huruf mim, ra’ dan lam yang ada dalam kalimat Muhammadar-rasulullah.


TASYDID SHALAWAT
Tasydiidaatu Aqollishsolaati ‘Alannabiyyi Shollallaahu ‘Alaihi wasallama Arbaatun :
Allaahumma ‘Alallaami Wal Miimi, Sholli ‘Alallaami , ‘Alaa Muhammadin ‘Alal Miimi
Segala tasydid sekurang-kurangnya sholawat atas Nabi SAW yaitu 4 : Lafazh Allaahumma diatas Huruf Lam dan Huruf Mim, Lafazh Sholli diatas Huruf Lam, Lafazh ‘Ala Muhammadin diatas Huruf Mim

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Bacaat tasydid pada bacaan shalawat nabi yang paling minimal ada empat tempat atau empat huruf. Membaca tasydid lam dan mim yang ada dalam kalimat Allahumma.
Membaca tasydid huruf lam yang ada dalam kalimat Shalli.
Membaca tasydid huruf mim yang ada dalam kalimat ‘ala Muhammad.

TASYDID SALAM
Aqollussalaami Assalaamu’alaikum. Tasydiidussalaami ‘Alassiini.
Sekurang-kurangnya salam yaitu Assalaamu’alaikum.
Tasydidnya salam yaitu diatas Huruf Sin.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah

WAKTU SHALAT

Awqootushsholaati Khomsun : Awwalu Waqtizhzhuhri Zawaalusysyamsi Wa Aakhiruhu Mashiiru Zhilli Kulli Syaiin Mitslahu Ghoyro Zhillil Istiwaa-i, Wa Awwalu Waqtil ‘Ashri Idzaa Shooro Zhillu Kulli Syaiin Mitslahu Wazaada Qoliilan Wa Aakhiruhu Ghuruubusysyamsi, Wa Awwalu Waqtil Maghribi Ghuruubusysyamsi Wa Aakhiruhu Ghuruubusysyafaqil Ahmari, Wa Awwalu Waqtil ‘Isyaa-i Ghuruubusysyafaqil Ahmari Wa Aakhiruhu Thuluu’ul Fajrishsoodiqi, Wa Awwalu Waqtishshubhi Thuluu’ul Fajrishshoodiqi Wa Aakhiruhu Thuluu’usysyamsi.

Al-Asyfaaqu Tsalaatsatun : Ahmaru, Wa Ashfaru, Wa Abyadhu. Al-Ahmaru Maghribun Wal-Ashfaru Wal-Abyadhu ‘Isyaa-un. Wa Yundabu Ta’khiiru Sholaatil ‘Isyaa-i Ilaa An Yaghiibasysyafaqul Ashfaru Wal Abyadhu.

Al-Asyfaaqu Tsalaatsatun : Ahmaru, Wa Ashfaru, Wa Abyadhu. Al-Ahmaru Maghribun Wal-Ashfaru Wal-Abyadhu ‘Isyaa-un. Wa Yundabu Ta’khiiru Sholaatil ‘Isyaa-i Ilaa An Yaghiibasysyafaqul Ashfaru Wal Abyadhu.

Waktu-waktu Sholat yaitu 5 : Awal waktu Zhuhur yaitu gelincirnya matahari dan akhirnya kembali bayang-bayang tiap-tiap sesuatu akan misalnya selain bayang-bayang istiwa , dan awal waktu Ashar yaitu apabila jadi bayang-bayang tiap-tiap sesuatu akan misalnya dan bertambah sedikit dan akhirnya terbenam matahari , dan awal waktu Maghrib yaitu terbenam matahari dan akhirnya terbenam syafaq merah , dan awal waktu ‘Isya yaitu terbenam syafaq merah dan akhirnya terbit fajar shodiq, dan awal waktu Shubuh yaitu terbit fajar shodiq dan akhirnya terbit matahari .

Syafaq-syafaq atau mega-mega yaitu 3 : Merah, dan Kuning dan Putih. Mega Merah yaitu Maghrib dan Mega Kuning dan Mega Putih yaitu ‘Isya. Dan disunahkan menta’khirkan Sholat ‘Isya hingga hilang Syafaq atau Mega Kuning dan Mega Putih .

Syafaq-syafaq atau mega-mega yaitu 3 : Merah, dan Kuning dan Putih. Mega Merah yaitu Maghrib dan Mega Kuning dan Mega Putih yaitu ‘Isya . Dan disunahkan menta’khirkan Sholat ‘Isya hingga hilang Syafaq atau Mega Kuning dan Mega Putih.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Waktu shalat fardhu ada lima.
- Pertama, permulaan waktu dzuhur yaitu bergesernya matahari dan akhir waktu dzuhur adalah dengan sekiranya bayangan matahari sama dengan sesuatu yang memiliki bayangan kecuali bayangan pada waktu istiwa’. Artinya jika ada tongkat yang panjangnya satu meter kemudian terkana sorot matahari, maka bayangan matahari sama satu meter selaras dengan ukuran panjangnya tongkat.
- Kedua, permulaan waktu ashar adalah ketika bayangan sesuatu sama dengan sesuatu yang dibayanginya itu dan ada lebihan sedikit. Seperti jika tongkat satu meter maka bayangannya adalah satu meter, dan ada lebihan sedikit dari satu meter. Dan akhir waktunya adalah tenggelamnya matahari.
- Ketiga, permulaan waktu maghrib adalah tenggelamnya matahari dan akhir waktunya adalah tenggelamnya mega merah.
- Keempat, permulaan waktu Isa bermula dari tenggelamnya mega merah dan akhir waktu adalah munculnya fajar shadiq.
- Kelima, permulaan waktu Subuh bermula dari munculnya fajar shadiq dan akhir waktu subuh ditandai dengan munculnya matahari.

Jenis mega ada tiga, yaitu mega merah, kuning dan putih. Mega merah adalah tanda memasuki waktu maghrib. Mega kuning dan putih adalah waktu Isa. Disunahkan mengerjakan shalat Isa di akhir waktu sampai hilangnya mega kuning dan putih.


DIHARAMKAN SHALAT
Tahrumushsolaatu Allatii Laisa Lahaa Sababun Mutaqoddimun Walaa Muqoorinun Fii Khomsati Awqootin : ‘Inda Thuluu’isysyamsi Hattaa Tartafi’a Qodro Rumhin, Wa’indal Istiwaa’i Fii Ghoyri Yaumil Jumu’ati Hattaa Tazuula, Wa’indal Ishfiroori Hattaa Taghruba, Waba’da Sholaatishshubhi Hattaa Tathlu’asysyamsu, Waba’da Sholaatil ‘Ashri Hattaa Taghruba .

Haram sholat yang tidak ada baginya sebab yang terdahulu dan tidak juga bersamaan pada 5 waktu : Ketika terbit matahari sehingga naik sekedar satu tombak , dan ketika Istiwa pada selain hari Jum’at hingga tergelincir matahari, dan ketika Ishfiror hingga terbenam , dan setelah Sholat Shubuh hingga terbit matahari, dan setelah Sholat ‘Ashar hingga terbenam matahari .

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Diharamkan melaksanakan shalat, yang tanpa sebab yang mendahului atau menyertainya, dalam lima waktu. 
- Pertama, haram melaksanakan shalat pada saat munculnya matahari sampai matahari naik ke atas sekiranya sepanjang tumbak. Yang dimaksud dengan tumbak adalah kira-kira panjangnya tumbak adalah tujuh lengan tangan manusia.
- Kedua, diharamkan shalat di waktu istiwa’ di selain hari Jumat sampai bergesernya matahari.
- Ketiga, diharamkan shalat pada saat remang-remangnya matahari sampai lenyapnya matahari.
- Keempat, diharamkan shalat setelah shalat subuh.
- Kelima, diharamkan shalat setelah shalat Asar sampai tenggelamnya matahari.

DIAMNYA SHALAT
Saktaatushsolaati Sittun : Baina Takbiirotil Ihroomi Wadu’aa-il Iftitaahi, Wabaina Du’aa-il Iftitaahi Watta’awwudzi, Wabainatta’awwudzi Wal Faatihati, Wabaina Aakhiril Faatihati Wa Aamiina, Wabaina Aamiina Wassuuroti, Wabainassuuroti Warrukuu’i.
Tempat diamnya sholat yaitu 6 : Antara Takbirotul Ihrom dan Do’a Iftitah, dan antara Do’a Iftitah dan bacaan Ta’awwudz, dan antara bacaan Ta’awwudz dan Fatihah , dan antara akhir Fatihah dan bacaan Amin, dan antara bacaan Amin dan Surat pendek, dan antara Surat pendek dan ruku’.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Diam dalam shalat terdapat pada enam tempat, yaitu :
- Pertama, diam di antara takbirat al-ihram dan doa al-iftitah. Pada saat diam tersebut disunahkan seorang yang melakukan shalat untuk membaca doa “Inny wajjahtu wajhiyalilladzi fatharas-samawati wa al-ardla hanifan musliman wa ma ana min al-musyrikin inna-shalaty wa nusuky wa mahyaya wa mamaty lilahi rabbil-‘alamina la syarikalahu wa bi-dzalika umirtu wa ana min al-muslimin”.
- Kedua, diam di antara doa ta’awwudl dan doa al-iftitah. Disunnahkan membaca doa “a’udzhu billahi min as-syaythani ar-rajim”.
- Ketiga, diam di antara bacaan surah al-fatihah dan doa ta’awwudl.
- Keempat, diam (saktah) di antara akhir surah al-fatihah, yaitu kalimat ad-dzallin dan Amin. Diam di antara akhir surah al-fatihah dan Amin disunahkan dengan membaca doa “Rabbi ighfir ly”.
- Kelima, diam di natara Amin dan bacaan surah.
- Keenam, diam di antara membaca surah dan ruku’.

WAJIB TUMA'NINAH
Al-Arkaanu Allatii Talzamu Fiihaththuma’niinatu Arba’atun : Arrukuu’u, Wali’tidaalu, Wassujuudu, Waljuluusu Bainassajdataini.
1. Rukun-rukun sholat yang wajib padanya Tuma’ninah yaitu 4 :
2. Ruku, dan I’tidal, dan Sujud  dan duduk diantara dua sujud.
3. Ath-Thuma’niinatu Hiya Sukuunun Ba’da Harkatin Bihaitsu Yastaqirru Kullu ‘Udhwin Mahallahu Biqodri Subhaanalloohi.
4. Tuma’ninah yaitu diam setelah bergerak dengan sekira-kira diam tetap seluruh anggota pada tempatnya dengan sekedar bacaan Subhanalloh.

FASLUN. AL-ARKANU AL-LATY TALZAMU FIHA AL-TUMA’NINATU ARBA’ATUN; AR-RUKU’U, WA AL-I’TIDALU, WA AS-SUJUDU WA AL-JULUSU BANYA AS-SAJDATAYNI. AL-TUMA’NINATU HIYA SUKUNUN BA’DA HARAKATIN BI-HAYTSU YASTAQIRRU KULLU ‘UDHWIN MAHALLAHU BI-QADRI SUBHANALLAH.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Dari tujuh belas rukun shalat yang diwajibkan i’tidal ada empat (4) rukun. 
Pertama, ruku’. Kedua, i’tidal. Ketiga, sujud. Dan keempat, duduk di antara dua sujud.
Tuma’ninah adalah diam setelah bergerak, dengan sekiranya setiap anggauta bada konsisten menetap pada tempatnya masing-masing dengan kadar lamanya kira-kira selama membaca lafadz SubhanalLah.

SUJUD SAHWI
FASLUN. ASBABU SUJUDI AS-SAHWI ARBA’ATUN. AL-AWWALU TARKU BA’DLIN MIN AB’ADHI AS-SHALATI AU BA’DHIL-BA’DHI. AT-TSANI FI’LU MA YUBTHILU ‘AMDUHU WA LA YUBTHILU SAHWUHU IDZA FA’ALAHU NASIYAH. AT-TSALITSU NAQLU RUKNIN QAULIYYIN ILA GHAYRI MAHALLIHI. AR-RABI’U IYQA’U RUKNIN FI’LIYYIN MA’A IHTIMALI AZ-ZIYADATI

Sebab sujud sahwi ada empat, yaitu:
1. Meninggalkan sebagian dari ab’adhus shalat (pekerjaan sunnah dalam shalat yang buruk jika seseorang meniggalkannya).
2. Mengerjakan sesuatu yang membatalkan (padahal ia lupa), jika dikerjakan dengan sengaja dan tidak membatalkan jika ia lupa.
3. Memindahkan rukun qauli (yang diucapkan) kebukan tempatnya.
4. Mengerjakan rukun Fi’li (yang diperbuat) dengan kemungkinan kelebihan.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Ada empat sebab dilaksanakannya sujud sahwi. Namun sebelum merinci satu persatu, terlebih dahulu kita definisikan dulu sahwi yang dimaksud tersebut. Secara kebahasaan sahwi berarti lalai atau lupa terhadap sesuatu. Sedangkan menurut arti syara’, sahwi yang dimaksudkan adalah melalaikan sesuatu yang tertentu dari shalat seperti sebagian rukun shalat pada umumnya.
- Pertama, sujud sahwi dilakukan dengan sebab meninggalkan sebagian dari sunah-sunah ab’adl yang ada tujuh yang telah disebutkan di atas.
- Kedua, sujud sahwi dilakukan dengan sebab mengerjakan sesuatu yang jika dikerjakan secara sengaja maka akan dapat membathalkan shalat dan jika dikerjakan karena lupa maka tidak membatalkan.
- Ketiga, sujud sahwi dilakukan dengan sebab memindah satu rukun qauly (bersifat ucapan) pada tempat yang lain.
- Keempat, sujud sahwi dilaksanakan dengan sebab melaksanakan satu rukuh fi’li (bersifat pekerjaan) dengan anggapan bahwa apa yang telah dikerjakannya merupakan rukun tambahan yang tanpa sengaja dilakukannya.

AB'ADUSSHALAT
FASLUN. AB’ADHU AS-SHALATI SAB’ATUN. ATTASYAHHUDU AL-AWWALU WA QU’UDUHU WA AS-SHALATU ‘ALAN-NABIYYI FIHI WA AS-SHALATU ‘ALA AL-ALI FI AT-TASYAHHUDI AL-AKHIRI WA AL-QUNUTHU WA QIYAMUHU WA AS-SHALATU WA AS-SALAMU ‘ALAN-NABIYYI WA ALIHI WA SAHBIHI FIHI

Ab’adusshalah ada enam, yaitu:
1. Tasyahud awal
2. Duduk tasyahud awal.
3. Shalawat untuk nabi Muhammad SAW ketika tasyahud awal.
4. Shalawat untuk keluarga nabi ketika tasyahud akhir.
5. Do’a qunut.
6. Berdiri untuk do’a qunut.
7. Shalawat dan Salam untuk nabi Muhammad SAW, keluarga dan sahabat ketika do’a qunut.
Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Sunah ab’adl Shalat ada tujuh (7).
Sebelum merinci satu persatu sunnah ab’adl, terlebih dahulu kita akan menjelaskan definisi sunnah ab’adl. Definisi sunnah ab’adl adalah rukun-rukun shalat yang sunnah dilaksanakan, dan apabila ditinggalkan dengan sebab lalai atau yang lainnya maka disunnahkan sujud sahwi sebagai ganti dari rukun yang telah ditinggalkannya tersebut.
- Pertama, tasyahhud awal.
- Kedua, duduk dalam tasyahhud awwal.
- Ketiga, membaca shalawat Nabi dalam tasyahhud awal, maksudnya membaca shalawat Nabi setelah membaca tasyahhud awal. Jika pada waktu melaksanakan shalat berjamaah, sang imam meninggalkan atau tidak melaksanakan tasyahhud awal, maka makmum tidak boleh melaksanakan tasyahhud, dan makmum harus mengikuti imam.
- Keempat, membaca shalawat pada keluarga Nabi dalam tasyahhud akhir.
- Kelima, membaca qunut dalam shalat subuh dan shalat witir di pertengahan akhir bulan Ramadhan. Berbeda dengan qunut an-nazilah yang disunnahkan di setiap shalat. Qunut adalah dzikir tertentu yang di dalamnya mencakup doa dan pujian pada Allah. Dan qunut tidak ditentukan sighat-nya atau dengan kata lain rangkaian kalimatnya bebas yang penting di dalamnya mengandung doa dan pujian pada Allah. Seperti Allahumma ighfir ly ya ghafur (Ya Allah ampunilah dosa-dosaku, wahai dzat yang maha pengampun). Atau rangkaian doa-doa yang lainnya.

Kata qunut berasal dari kata qanata yang artinya patuh dalam mengabdi (kepada Allah). Di dalam Islam, qunut terbagi menjadi dua, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Pertama; qunut nazilah yaitu qunut yang dilakukan atau dibaca saat adanya bencana. Dan dilakukan kapan saja dan shalat apa saja. Kedua; qunut shalat yaitu qunut yang dibaca pada waktu i’tidal (berdiri setelah ruku’) setiap akhir raka’at pada shalat subuh dan shalat whitir (secara umum) karena dalam masalah qunut ini para imam dan ulama mazhab berbeda pendapat tentang pelaksanaannya. Namun menurut penulis kitab ini, Safinah an-Najah yang bermadzhab as-Syafi’iyah tetap menganggap qunut adalah sunnah dilaksanakan. Sedangkan hukum doa qunut itu sendiri adalah Sunnah ab’ad atau sunnah yang diperkuat.

Ada bacaan doa qunut yang pada umumnya dilaksanakan oleh umat Islam, sebagai berikut;

اَللّهُمَّ اهْدِنِىْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِى فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِىْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِىْ فِيْمَا اَعْطَيْتَ، وَقِنِيْ شَرَّمَا قَضَيْتَ، فَاِ نَّكَ تَقْضِىْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَاِ نَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، وَاَسْتَغْفِرُكَ وَاَتُوْبُ اِلَيْكَ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

-  Keenam, melaksanakan qunut dengan cara berdiri.
- Ketujuh, membaca shalawat dan salam pada Nabi, keluarganya dan para sahabatnya dalam kalimat doa qunut.


PEMBATAL SHALAT
FASLUN. TABTULU AL-SHALATU BIARBA’ATA ‘ASYARATA KHASLATAN. BIL-HADITSI WA BI-WUQU’I AN-NAJASATI AN LAN TULQA HALAN MIN GHAYRI HAMLIN WA INKISYAFI AL-‘AURATI IN LAT TUSTAR HALAN. WA AN-NUTQU BI-HARFAYNI ATU BI-HARFIN MAFHUMIN ‘AMDAN. WA BIL-FITHRATI ‘AMDAN WA AL-AKLU AL-KATSIRU NASIYAN. WA TSALATU HARAKATIN MUTAWALIYATIN WA LAU SAHWAN. WA AL-WATSU AL-FAHISYATU WA AL-MADLRUBATU AL-MUFRITHATU WA ZIYADATU RUKNIN FI’LIYYIN ‘AMDAN. WA TAQADDAMA ‘ALA IMAMIHI BI-RUKNAYNI FI’LIYAYYNI WA AT-TAHALLUFU BIHIMA BIGHAYRI ‘UDZRIN. WA NIYATU QAT’IS-SHALATI WA TA’LIQU QAT’IHA BI-SYAIIN WA AT-TARADDUDU FI QAT’IHA.

Perkara yang membatalkan shalat ada empat belas, yaitu:
1. Berhadats (seperti kencing dan buang air besar).
2. Terkena najis, jika tidak dihilangkan seketika, tanpa dipegang atau diangkat (dengan tangan atau selainnya).
3. Terbuka aurat, jika tidak dihilangkan seketikas.
4. Mengucapkan dua huruf atau satu huruf yang dapat difaham.
5. Mengerjakan sesuatu yang membatalkan puasa dengn sengaja.
6. Makan yang banyak sekalipun lupa.
7. Bergerak dengan tiga gerakan berturut-turut sekalipun lupa.
8. Melompat yang luas.
9. Memukul yang keras.
10. Menambah rukun fi’li dengan sengaja.
11. Mendahului imam dengan dua rukun fi’li dengan sengaja.
12. Terlambat denga dua rukun fi’li tanpa udzur.
13. Niat yang membatalkan shalat.
14. Mensyaratkan berhenti shalat dengan sesuatu dan ragu dalam memberhentikannya.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Ada empat belas sebab yang dapat membatalkan shalat. 
- Pertama, hadats. Baik disengaja atau tidak disengaja seperti dipaksa, seumpama perut seseorang ditekan oleh orang lain sampai mengeluarkan kotoran dari pantantnya, maka tetap membatalkan shalat. Dalam hal ini ada hadits sahih sebagai landasan dalilnya, yang mengatakan bahwa, “jika salah satu dari kalian kentut pada waktu melaksanakan shalat, maka shalatnya rusak (batal) dan hendaklah berwudhu kembali dan mengulangi melaksanakan shalat lagi.”
- Kedua, kejatuhan najis jika tidak dibuang segera agar sampai tidak terbawa dalam melaksanakan shalat. Yang dimaksud dengan najis tersebut adalah najis yang tidak dapat dimaklumi oleh syariat (la yu’fa ‘anhu). Jika kejatuhan najis yang dapat dimaklumi syariat (yu’fa ‘anhu) maka tidak membatalkan shalat. Baik najis itu jatuh pada baju atau pada badan seseorang yang sedang shalat.
- Ketiga, terbukanya aurat yang wajib ditutupi ada waktu shalat. Terbukanya tersebut baik sebagian atau secara keseluruhan anggauta badan yang dianggap aurat, meskipun shalatnya dilakukan sendirian dalam kesunyian dari hiruk pikuk manusia. Seperti jika angin kencang menyibak gaun atau pakean yang dapat membukakan aurat seorang yang sedang shalat, maka tidak membatalkan shalatnya jika sesegera mungkin kembali menutupnya. Tapi jika angin berulang-ulang kali menyingkap auratnya yang harus secara cepat ditutupnya kembali sekiranya seseorang yang bergerak berkali-kali demi menutupnya maka akan membatalkan shalat karena melakukan gerak berkali-kali dan berulang-ulang.
- Keempat, mengucapkan secara sengaja dua huruf (meski tidak dapat difahami atau tidak mengandung makna tertentu) secara runut atau satu huruf yang dapat difahami. Contoh satu huruf yang mengandung makna yang dapat difahami yaitu huruf Qaf, dengan mengatakan Qi, sebab Qi adalah kalimat fi’il al-amar (kata perintah) dari akar kata wiqayah yang artinya menjaga. Berarti kata qi mengandung arti “jagalah”. Dengan demikian jika seseorang yang sedang shalat mengucapkan Qi, maka shalatnya batal.
Ada pengecualian yang tidak dapat membatalkan shalat, yaitu dehem bagi orang shalat yang sedang berpuasa yang betujuan mengeluarkan riak dan lendir, sebab jika riak dan lendir tidak dkeluarkan melalui dehem maka akan tertelannya dan itu artinya akan membatalkan shalat. Di antara yang tidak membatalkan shalat adalah tabassum (mesem atau tersennyum).
- Kelima, segala sesuatu yang membatalkan puasa akan membatalkan shalat jika disengaja melaksanakannya. Seperti memasukkan kayu atau apa saja kedalam lubang seperti mulut atau kuping atau dubur. Sudah pasti jika seseorang makan—meski banyak—disebabkan lalai atau lupa maka tidak membatalkan puasa, tapi tetap membatalkan shalat.
- Keenam, makan banyak dalam keadaan lupa atau lalai tetap membatalkan shalat. Kecuali makan sedikit disebabkan lupa atau lalai atau tidak tahu maka tidak membatalkan shalat.
- Ketujuh, tiga kali gerak secara berturut-turut meski pun dalam keadaan lupa atau lalai. Yang dimaksud dengan gerak yang membatalkan shalat adalah gerak tubuh yang bukan gerakan yang kecil, seperti pergerakan kaki, geleng-geleng kepala, atau goyang-goyang badan. Jika gerakan yang kecil seperti gerakan jari diputar-putar atau bergaruk-garuk dengan satu jari digerak-gerakkan maka tidak membatalkan shalat.
- Kedelapan, melumpatkan badan secara ekstrim.
- Kesembilan, memukul secara keras.
- Kesepuluh, menambah satu rukun shalat secara sengaja. Tentunya jika lupa atau lalai maka tidak membatalkan shalat.
- Kesebelas, mendahului dua rukun yang bersifat pekerjaan (bagi makmum) pada imam atau mengakhiri keduanya secara sengaja.
- Kedua belas, niat memutus atau keluar dari shalat.
- Ketiga belas, menggantungkan pemutusan shalat dengan sesuatu. Seperti dalam hati mengatakan jika saya keluar dari shalat maka saya akan berbelanja di pasar. Atau meskipun menggantungkan pemutusan shalat dengan sesuatu yang mustahil terjadi sekalipun akan membatalkan shalat.
- Keempat belas, bingung atau bimbang apakah akan keluar atau memutuskan shalat atau tidak, maka kebingungan (taraddud) ini akan membatalkan shalat. Sama halnya juga kebimbangan dalam melanjutkan shalat pun membatalkan shalat. Intinya kebimbangan antara akan memutuskan shalat atau melanjutkannya adalah membatalkan shalat.


NIAT IMAM
FASLUN. AL-LATI YALZAMU FIHI NIYATUL-IMAMATI ARBA’UN AL-JUM’ATU, WA AL-MU’ADATU, WA AL-MANDZURATU JAMA’ATAN, WA AL-MUTAQADDIMATU FI AL-MATHARI

Diwajibkan bagi seorang imam berniat menjadi imam terdapat dalam empat shalat, yaitu:
1. Menjadi Imam jum'at
2. Menjadi imam dalam shalat i`aadah (mengulangi shalat).
3. Menjadi imam shalat nazar berjama'ah
4. Menjadi imam shalat jamak taqdim sebab hujan

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Ada empat shalat yang di dalamnya wajib diniati Imam. 
- Pertama, shalat Jum’at. Sebab shalat Jum’at wajib dilaksanakan secara berjamaah, yang meniscayakan adanya imam dan makmum. 
- Kedua, shalat mu’adah. Yang dimaksud dengan shalat mu’adah yaitu shalat yang dilaksadakan dua kali seperti shalat dzuhur yang dikalsanakan dua kali, maka yang kedua adalah mu’adah, atau setelah shalat Jum’at dilaksanakan shalat dzuhur maka shalat dzuhur itu adalah shalat mu’adah. Atau shalat sunnah yang disunnahkan dilaksanakan secara berjamaah.
- Ketiga, shalat yang dinadzari akan dilaksanakan secara berjamaah.
- Keempat, jama’ takdim dalam keadaan hujan.

MAKMUM DAN IMAM
FASLUN. SYURUTHUL-QUDWATI AHADA ‘ASYARA AN-LA YA’LAMA BUTHLANA SHALATI IMAMIHI BI-HADATSIN AU GHAIRIHI, WA AN-LA YA’TAQIDA WUJUBA QADLAIHA ‘ALAIHI, WA AN-LA YAKUNA MA’MUMAN WA LA UMMIYYAN, WA AN-LA YATAQADDAMA ‘ALAIHI FI AL-MAUQUFI WA AN-LA YA’LAMA INTIQALATI IMAMIHI, WA AN-LA YAJTAMI’A FI MASJIDIN AU FI TSULUTSI MIAH DZIRA’IN TAQRIBAN, WA AN YANWIYA AL-QUDWATA AU AL-JAMA’ATA, WA AN-YATAWAFAQA NADZMU SHALATIHIMA, WA AN-LA YUKHALIFAHU FI SUNATIN FAKHISYATIN AL-MUKHTALIFAH WA AN-YUTABI’AHU.

Syarat–Syarat ma`mum mengikut imam ada sebelas perkara, yaitu :
1. Tidak mengetahui batal nya shalat imam dengan sebab hadats atau yang lain nya.
2. Tidak meyakinkan bahwa imam wajib mengqadha` shalat tersebut.
3. Seorang imam tidak menjadi ma`mum .
4. Seorang imam tidak ummi (harus baik bacaanya).
5. Ma`mum tidak melebihi tempat berdiri imam.
6. Harus mengetahui gerak gerik perpindahan perbuatan shalat imam.
7. Berada dalam satu masjid (tempat) atau berada dalam jarak kurang lebih tiga ratus hasta.
8. Ma`mum berniat mengikut imam atau niat jama`ah.
9. Shalat imam dan ma`mum harus sama cara dan kaifiyatnya
10. Ma`mum tidak menyelahi imam dalam perbuata sunnah yang sangat berlainan atau berbeda sekali.
11. Ma`mum harus mengikuti perbuatan imam.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Syarat makmum ada sebelas (11), yaitu :
- Pertama, seorang makmum tidak tahu atau tidak menyangka terhadap batalnya shalat sang imam disebabkan hadats atau sebab yang lainnya. Dengan demikian maka tidak sah shalatnya seseorang makmum yang menyangka batal shalatnya sang imam, seperti makmu yang bermadzhab as-Syafi’i bermakmum pada imam yang yang bermadzhab Hanafi yang tidak menganggap batal shalat seseorang yang memegang farji (alat kelamin) sedangkan menurut makmum yang bermadzhab as-Syafii dianggap batal. Sebagaimana makmum yang bermadzhab as-Syafii meyakini bahwa membaca Basmalah adalah wajib dalam surah al-fatihah bermakum pada imam yang bermadzhab Hanafi yang tidak mewajibkan membaca Basmalah dalam surah al-fatihah, maka shalatnya makmum tidak sah atau batal dan wajib mengulangi shalatnya (i’adah).
- Kedua, makmum tidak menyangka atau menduga akan kewajiban qadha shalat bagi imam. Maksudnya adalah tidak sah seseorang yang bermakmum pada seseorang yang shalatnya wajib diulang atau diqadha seperti shalatnya seorang yang bertayammum karena udara dingin.
- Ketiga, seseorang yang bermakmum tidak dalam kapasitas menjadi makmum pada orang lain. Artinya jika si A bermakmum pada si B, maka tidak sah jika si A pada saat yang sama juga bermakmum pada si C. Sebab seorang yang bersetatus menjadi makmum tidak boleh bermakmum pada orang lain.
- Keempat, seseorang tidak bermakmum pada orang yang bodoh dalam masalah agama.
- Kelima, seorang makmum tidak berdiri di depannya imam.
- Keenam, seorang makmum harus mengetahui pergerakan atau perpindahan dari satu rukun ke rukun yang lain yang dilaksanakan sang imam. Untuk mengetahui gerakan sang imam, makmum bisa mengetahuinya dengan melihat dengan mata kepala sendiri, atau dengan melihat bagian barisan (shaf) yang ada di depannya, atau dengan mendengera suara sang imam, atau dengan mendengar suara muballigh (penyampai suara imam).
- Ketujuh, berkumpul antara makum dan imam dalam satu masjid atau tempat atau antara makum dan imam berkumpul pada tempat yang lebar atau jaraknya sekitar 300 dzirah (lengan tangan anak Adam). Artinya tidak dalam dua tempat atau ruangan yang berbeda dimana keduanya terpisah dan tersekat makmum dan imam sehingga sang makmum tidak mengetahui apa-apa atas keberadaan imam.
- Kedelapan, makmum harus berniat mengikuti atau berjamaah shalat dengan sang imam.
- Kesembilan, runutan shalat imam dan makmum harus seirama dan harmonis.
- Kesepuluh, sang makmum tidak boleh berpaling dari pekerjaan sang imam berupa kesunahan. Seperti jika imam melaksanakan sujud tilawah maka makmum harus melaksanakannya juga.
- Kesebelas, makmum harus senantiasa mengikuti seluruh gerak-gerik sang imam yang sesuai dengan syarat dan rukun shalat dan tidak bertentangan dengan tatacara shalat. Jika sang imam telah menyimpang dari tatacara yang benar atau dari syarat dan rukun shalat, maka sang makmum wajib mufaraqah (memisahkan diri) dari sang imam.


YANG SAH BERJAMAAH
FASLUN. SHUWARUL-QUDWATI TIS’UN TASIHHU FI KHAMSIN. QUDWATU ROJULIN BI-ROJULIN. WA QUDWATU IMROATIN BI-ROJULIN. WA QUDWATU KHUNTSA BI-ROJULIN. WA QUDWATU IMROATIN BI-KHUNTSA. WA QUTWATU IMROATIN BI-IMROATIN. WA TABTHULU FI ARBA’IN. QUDWATHU ROJULIN BI-IMROATIN. WA QUDROTU ROJULIN BI-KHUNTSA. WA QUBROTU KHUNTSA BI-IMRAATIN. WA QUDROTU KHUNTSA BI-KHUNTSA.

Ada lima golongan orang–orang yang sah dalam berjamaah, yaitu:
1. Laki–laki mengikut laki–laki.
2. Perempuan mengikut laki–laki.
3. Banci mengikut laki–laki.
4. Perempuan mengikut banci.
5. Perempuan mengikut perempuan.

Ada empat golongan orang–orang yang tidak sah dalam berjamaah, yaitu:
1. Laki–laki mengikut perempuan.
2. Laki–laki mengikut banci.
3. Banci mengikut perempuan.
4. Banci mengikut banci.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Gambaran bermakmum yang dimungkinkan dan sesuai dengan aturan syairat Islam ada sembilan (9), yang kelima (5) dianggap sah dan yang empat dianggap tidak sah.
Adapun yang lima gambaran yang dianggap sah shalat dan jama’ahnya yaitu: 
- Pertama, bermakumnya laki-laki pada sang imam yang juga laki-laki. 
- Kedua, perempuan bermakmum pada imam dari golongan laki-laki. 
- Ketiga, Banci (khuntsa) yang memiliki dua jenis kelamin bermakmum pada imam dari golongan laki-laki. 
- Keempat, perempuan bermakmum pada imam dari golongan khuntsa (manusia yang memiliki dua jenis kelamin). 
- Dan kelima, perempuan bermakmum pada golongannya sendiri yaitu perempuan.
Sedangkan empat gambaran bermakmum yang dianggap tidak dapat disahkan dan dibenarkan yaitu pertama, laki-laki bermakmum pada imam dari golongan peremuan. Kedua, laki-laki bermakmum pada imam dari golongan khuntsa (banci yang berkelamin dua). Ketiga, khuntsa (banci yang berkelamin dua) bermakmum pada imam dari golongan perempuan. Dan keempat, khuntsa bermakmum pada imam dari golongannya sendiri yaitu khuntsa.


SYARAT JAMAK TAKDIM
FASLUN. SYURUTHU JAM’I AT-TAQDHIMI ARBA’ATUN. AL-BADAATU BIL-ULA WA NIYATU AL-JAM’I FIHA, WA AL-MUWALAT BAYNAHUMA WA DAWAMUL-‘UDZRI.
Ada empat, syarat sah jamak taqdim (mengabung dua shalat diwaktu yang pertama), yaitu :
1. Di mulai dari shalat yang pertama.
2. Niat jamak (mengumpulkan dua shalat sekali gus).
3. Berturut – turut.
4. Udzurnya terus menerus.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Syarat Jama’ taqdim—baik disebabkan karena dalam perjalanan jauh atau disebabkan hujan—ada empat (4) syarat. 
- Pertama, harus terlebih dahulu mengerjakan shalat yang pertama dan disusul dengan shalat yang kedua. Seperti jika seseorang yang menjama’ anatara shalat dzuhur dan asar, maka terlebih dahulu mengerjakan shalat dzuhur dan kemudian disusul dengan shalat asar. Jika dibalik, melaksanakan shalat asar terlebih dahulu kemudian shalat dzuhur, maka shalatnya tidak sah. Sebab yang mengikuti (tabi’) tidak boleh mendahului yang diikuti (matbu’).
- Kedua, niat shalat jama’ pada saat melaksanakan shalat yang pertama.
- Ketiga, dilaksanakan secara berurutan antara kedua shalat. Artinya antara satu shalat yang pertama dengan shalat yang kedua tidak disela-selai oleh pekerjaan yang lain.
- Keempat, adanya udzur yang kontinu. Seperti perjalanan panjang dan hujan yang deras. Jika sudah tidak ada perjalanan lagi, sudah ada di rumah dan dalam hidup normal tanpa ada udzur, maka sudah tidak boleh lagi melakukan shalat jama’.


SYARAT JAMAK TAKHIR
FASLUN. SYURUTHU JAM’I AT-TA’KHIRI ITSNANI. NIYATU AT-TA’KHIRI, WA QAD BAQIYA MIN WAQTI AL-ULYA MA YASA’UHA WA DAWAMUL-‘UDZRI ILA TAMAM AT-TSANIYAH.
Ada dua syarat jamak takhir, yaitu:

1. Niat ta’khir (pada waktu shalat pertama walaupun masih tersisa waktunya sekedar lamanya waktu mengerjakan shalat tersebut).
2. Udzurnya terus menerus sampai selesai waktu shalat kedua.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Syarat melaksanakan shalat jama’ ta’khir ada dua (2). 
- Pertama, niat mengakhirkan shalat pertama yang sejatinya memiliki waktu yang cukup luas untuk melaksanakan shalat yang pertama itu. Seperti jika seseorang hendak men-jamah’ ta’khirkan antara shalat dzuhur dan asar, maka terlebih dahuku harus niat mengakhirkan shalat dzuhur, lantaran shalat dzuhur akan dilaksanakan di waktu shalat asar.
- Kedua, adanya udzur yang kontinu sampai waktu shalat yang kedua tiba. Seperti perjalanan jauh yang memakan waktu dari waktu shalat yang pertama, semisal dzuhur, sampai tiba waktu shalat yang kedua, semisal asar, dan kedua waktu tersebut (dzuhur dan asar) tercakup dalam waktu perjalanan.


SYARAT QASAR
FASLUN. SYURTUL-QOSHRI SAB’ATUN. ANYAKUNA SAFARUHU MARHALATAYNI, WA AN YAKUNA MUBAHAN, WA YA’LAMU BI-JAWAZIL-QOSHRI, WA NIYATUL-QOSHRI ‘INDAL-IHRAM, WA AN TAKUNA AS-SHOLATU RUBA’IYATAN, WA DAWAMUS-SAFARI ILA TAMAMIHA, WA AN LA-YAQTADIYA BI-MUTAMMIMIN FI JUZ’IN MIN SHOLATIHI,

Ada tujuh syarat qasar, yaitu:
1. Jauh perjalanan dengan dua marhalah atau lebih (80,640 km atau perjalanan sehari semalam).
2. Perjalanan yang di lakukan adalah safar mubah (bukan perlayaran yang didasari niat mengerja maksiat ).
3. Mengetahui hukum kebolehan qasar.
4. Niat qasar ketika takbiratul `ihram.
5. Shalat yang di qasar adalah shalat ruba`iyah (tidak kurang dari empat rak`aat).
6. Perjalanan terus menerus sampai selesai shalat tersebut.
7. Tidak mengikuti dengan orang yang itmam (shalat yang tidak di qasar) dalam sebagian shalat nya.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Syarat shalat qashar ada 7 (tujuh).
- Pertama, perjalanannya harus mencapai dua marhalah.
- Kedua, perjalanannya harus perjalanan yang dibenarkan atau diperbolehkan menurut syariat. Termasuk juga perjalanan karena hendak melaksanakan kewajiban, seperti perjalanan haji, dan perjalanan dengan tujuan melaksanakan sunnah seperti ziarah kubur. Jika seseorang yang melakukan perjalanan dengan tujuan bermaksiat, maka tidak diperkenankan meng-qashar shalat. Perlu diketahui bahwa perjalanan (safar) seseorang ada tiga macam motivasi atau niat;
1. Al-‘ashi bi as-safar, yaitu perjalanan dengan tujuan melakukan maksiat, seperti begal jalan, merampok, dll. Jelas sekali perjalanan semacam ini bagi pejalannya tidak boleh melakukan qashar shalat. Namun jika di tengah-tengah perjalanan seseorang bertaubat dan memperbaharui niatnya, maka sisa perjalananya boleh digunakan qashar shalat.
2. Al-‘ashi fi as-safar, yaitu perjalanan dengan tujuan yang benar dan tetap pada rel syariat Islam, namun melakukan maksiat di tengah-tengah perjalanan. Seperti seorang yang bertujuan haji, tapi di tengah perjalanan ia berzina atau minum khamr (arak), maka sisa perjalanan selanjutnya tidak boleh meng-qashar shalat.
3. Al-‘ashi bi as-safar fi as-safar, yaitu perjalanan dengan tujuan yang benar dan ketaatan, namun di tengah-tengah perjalanan dirubah untuk tujuan maksiat.
- Ketiga, mengetahui diperbolehkannya meng-qashar shalat.
- Keempat, niat qashar shalat pada saat takbiratul ihram.
- Kelima, shalat yang di-qashar adalah shalat yang empat rakaat, seperti shalat dzuhur, asar dan ‘isya.
- Keenam, kontinuitasnya perjalanan secara pasti sampai shalat qashar selesai dilaksanakan.
- Ketujuh, seorang yang hendak meng-qashar salah tidak boleh makmum pada orang yang bertayammum dalam sebagian dari shalatnya.


SYARAT SHALAT JUMAT
FASLUN. SYURUTUL-JUM’ATI SITTATUN. AN TAKUNA KULLAHA FI WAQTID-DUHRI, WA AN TUQOMA FI KHITTHATIL-BALADI, WA AN TUSHOLLIYA JAMA’ATAN, WA AN YAKUNU ARBA’INA IHRARAN DZUKURON BIL-GHINI MUSTHAUTHINIYNA AN LA TASBIQUHA WA LA TUQORINUHA JUM’ATUN FI TILKAL-BALADI, WA AN YATAQODDAMAHA KHOTBATANI

Syarat sah shalat Jum’at ada enam, yaitu:
1. Khutbah dan shalat Jum’at dilaksanakan pada waktu Dzuhur.
2. Kegiatan Jum’at tersebut dilakukan dalam batas desa.
3. Dilaksanakan secara berjamaah.
4. Jamaah Jum’at minimal berjumlah empat puluh (40) laki-laki merdeka, balig dan penduduk asli daerah tersebut.
5. Dilaksanakan secara tertib, yaitu dengan khutbah terlebih dahulu, disusul dengan shalat Jum’at.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Syarat shalat Jum’at ada 6 (enam). 
- Pertama, secara keseluruhan rukun-rukun shalat Jumat harus berada dalam waktu dzuhur. Jika ada seorang makmum mendapati hanya satu rakaat dari dua rakaat shalat Jumat sang imam, maka ia tinggal menambahi satu rakaat berikutnya, yaitu rakaat keduanya dan dianggap sebagai shalat Jum’at. Tapi jika tidak mendapatkan satu rakaat dari dua rakaatnya imam, maka ia harus menggenapi sebagaimana shalat dzuhur yaitu empat rakaat.
- Kedua, shalat Jum’at dilaksanakan dalam batasan satu daerah.
- Ketiga, Shalat Jum’at harus dilaksanakan secara berjamaah. Tidak sah jika shalat Jum’at dilaksanakan sendirian (munfaridl).
- Keempat, jamaah yang melasanakan shalat Jumat harus minimal empat puluh orang yang merdeka, laki-laki, yang sudah aqil baligh, dan penduduk asli daerah atau wilayah setempat. Menurut madzhab as-Syafii bahwa shalat Jumat baru bisa dilaksanakan harus ada empat puluh orang. Sedangkan menurut madzhab Hanafi tidak mensyaratkan harus empat puluh, bahkan Jumatan dapat dilaksanakan oleh empat orang jamaah, yang satu menjadi imam dan yang tiga menjadi makmumnya. Imam Malik pun memperbolehkan shalat Jumat dilaksanakan oleh tiga puluh atau dua puluh jamaah.
- Kelima, tidak didahului atau tidak dibarengi oleh shalat jumat yang lain dalam satu daerah. Artinya tidak boleh mendirikan shalat Jum’ah lebih dari satu, seperti dua Jum’ah-an atau tiga atau lebih. Namun, jika dibutuhkan melaksanakan dua atau tiga Jum’ah dalam satu daerah karena jamaah tidak dapat tertampung dalam satu masjid, maka diperbolehkan melaksanakan shalat Jumat lebih dari satu.
- Keenam, shalat Jum’ah harus didahului dengan kedua khutbah. Ada perbedaan antara khutbah shalat jumat dan khutbah shalat ‘Ied. Jika khutbah shalat Jumat dilaksanakan sebelum melaksanakan shalat, sedangkan khatbah ‘Ied dilaksanakan setelah shalat.
Syekah as-Sayyid Muhammad Shalih berfatwa bahwa dimakruhkan khatib Jum’ah dari selain imam. Dengan kata lain, sebaiknya khatib dan imam Jum’ah adalah satu orang, bukan orang yang berbeda, sebab jika orang yang berbeda maka dimakruhkan meski shalat Jum’ahnya tetap sah.

RUKUN KHUTBAH JUMAT
FASLUN. ARKANUL-KHUTBATAYNI KHOMSATUN. HAMDUL-LAHI FIHI, WA AS-SHOLATU ‘ALAN-NABIYYI SHALLAL-LAHU ‘ALAIHI WA SALLAM FIHIMA, WAL-WASHIYYATU BIT-TAQWA FIHIMA, WA QIROATU AYATIN MIN AL-QUR’AN FI IHDAHUMA, WA AD-DU’AU LIL-MU’MININA WA AL-MU’MINATI FIL-AKHIROTI.
Rukun khutbah Jum’at ada lima, yaitu:
1. Mengucapkan “الحمد لله” dalam dua khutbah tersebut.
2. Bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW dalam dua khutbah tersebut.
3. Berwasiat ketaqwaan kepada jamaah Jum’at dalam dua khutbah Jum’at tersebut.
4. Membaca ayat al Qur’an dalam salah satu khutbah.
5. Mendo’akan seluruh umat muslim pada akhir khutbah.
Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah

Rukun Khutbah Jum’ah.
Ada lima (5) rukun dalam melaksanakan kedua khutbah Jum’ah. 
- Pertama, memuji pada Allah (hamdul-Lah) dalam kedua khutbah. 
- Kedua, membaca shalawat pada Nabi Muhammad SAW. dalam kedua khatbah. 
- Ketiga, berwasiat dan memerintahkan atau menganjurkan ketakwaan yang diucapkan dalam kedua khutbah. Yang dinamakan dengan takwa adalah mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya.
- Keempat, membaca minimal satu ayat dari al-Qur’an di salah satu kedua khutbah.
- Kelima, membaca doa bagi umat mukmin laki-laki dan mukmin perempuan yang dikumandangkan di khutbah kedua.


SYARAT SAH KHUTBAH JUMAT
FASLUN. SYURUTHUL-KHATBATAYNI ‘ASYAROTUN. AT-TOHAROTU ‘ANIL-HADATSAYNI AL-ASGHAR WA AL-AKBAR, WA AT-TOHAROTU ‘ANIN-NAJASATI FI AT-SAUBI WA AL-BADANI WA AL-MAKANI, WA SATRUL-‘AURATI, WA AL-QIYAMU ‘ALAL-QODIRI, WAL-JULUSI BAYNAHUMA FAUQO THUMA’NINATIS-SHOLATI, WAL-MUWALATU BAYNAHUMA, WAL-MUWALATU BAYNAHUMA WA BAYNAS-SHOLAT, WA AN TAKUNA BIL-‘AROBIYYATI, WA AN YASMA’UHUMA ARBA’INA, WA AN TAKUNA KULLUHA FI WAQTHI AD-DUHRI.

Syarat sah khutbah jum’at ada sepuluh, yaitu:
1. Bersih dari hadats kecil (seperti kencing) dan besar seperti junub.
2. Pakaian, badan dan tempat bersih dari segala najis.
3. Menutup aurat.
4. Khutbah disampaikan dengan berdiri bagi yang mampu.
5. Kedua khutbah dipisahkan dengan duduk ringan seperti tuma’ninah dalam shalat ditambah beberapa detik.
6. Kedua khutbah dilaksanakan dengan berurutan (tidak diselangi dengan kegiatan yang lain, kecuali duduk).
7. Khutbah dan sholat Jum’at dilaksanakan secara berurutan.
8. Kedua khutbah disampaikan dengan bahasa Arab.
9. Khutbah Jum’at didengarkan oleh 40 laki-laki merdeka, balig serta penduduk asli daerah tersebut.
10. Khutbah Jum’at dilaksanakan dalam waktu Dzuhur.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah

Syarat kedua khutbah Jum’ah.
Ada sepuluh (10) syarat kedua khutbah Jum’ah. 
- Pertama, suci dari kedua hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.
- Kedua, suci dari najis dalam pakean, badan, dan tempat. Artinya pakean, badan dan tempat atau bahkan semua yang menempel atau bersentuhan langsung dengan dan di pakean, badan dan tempat secara keseluruhan harus suci dari najis.
- Ketiga, menutup aurat. Syarat menutup aurat khusus bagi khatib, tidak bagi para pendengarnya.
- Keempat, khutbah harus dilaksanakan berdiri bagi yang mampu. Namun jika tidak mampu berdiri, maka diperbolehkan dilaksanakan sambil duduk.
- Kelima, duduk di antara kedua khutbah dengan kira-kira lamanya di atas tuma’ninah shalat. Disunnahkan membaca surah al-Ikhlas pada saat duduk di antara kedua khutbah.
- Keenam, muwalah (runut) di antara kedua khutbah. Tidak boleh disela-selai dengan pekerjaan yang lain.
- Ketujuh, muwalah (runut di antara kedua khutbah dan shalat Jum’ah. Artinya tidak boleh disela-selai oleh diam yang terlalu lama atau dengan pekerjaan lain yang memakan waktu lama.
- Kedelapan, khutbah dengan berbahasa Arab. Artinya kedua khutbah Jum’ah harus dikumandangkan dan disampaikan dengan menggunakan bahasa Arab, meskipun para jamaahnya orang non-Arab yang tidak mengerti dan tidak memahami isi kandungan khubtahnya. Namun menurut Imam as-Syarqawai yang dinukil dari Imam Barmawi mengatakan bahwa syarat khubtah harus menggunakan bahasa Arab dalam konteks para jamahnya adalah komunitas Arab yang memahami dan mengerti bahasa Arab, dan jika tidak demikian, artinya para jamaahnya adalah non-Arab maka kedua khutbah cukup menggunakan bahasa non-Arab (‘ajam) yang sesuai dengan bahasa mereka, agar mereka memahami isi dan kandungan khutbahnya. Kecuali ayat al-Quran yang harus dibaca sesuai dengan teks aslinya yang berbahasa Arab.
- Kesembilan, kedua khutbah yang dikumandangkan sang khatib harus terdengar bagi minimal empat puluh jamaah. Dengan demikian suara sang khatib harus lantang dan keras agar dapat didengar oleh empat puluh pendengar dari para jamaah Jum’ah.
Kesepuluh, keseluruhan khutbah harus dilaksanakan dalam waktu dzuhur.


KEWAJIBAN PADA JENAZAH
FASLUN. AL-LADZI YALZAMU LIL-MAYYITI ARBA’U KHISHALIN. GHOSLUHU, WA TAKFINUHU, WA AS-SHOLATU ‘ALAIHI WA DAFNIHI.

Kewajiban pada jenazah. Pertama: Kewajiban muslim terhadap saudaranya yang meninggal dunia ada empat perkara, yaitu:
1. Memandikan.
2. Mengkafani.
3. Menshalatkan (sholat jenazah).
4. Memakamkan .

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Kewajiban bagi orang yang hidup atas mayat ada empat. 
- Pertama, memandikannya. Atau gantinya mandi, seperti tayammum jika mayat tidak dapat dimandukan dengan air, semisal mayat yang gosong terbakar api dengan sekiranya jika dimandikan maka akan rapuh dan hancur. Kecuali orang yang telah mati syahid. Sebab orang yang mati syahid haram dimandikan dan wajib dishalati.
- Kedua, mengkafaninya setelah selesai memandikannya atau setelah men-tayamumi-nya.
- Ketiga, menshalati setelah dimandikan dan dikafani secara sempurna.
- Keempat, menguburkannya. Bagi mayat yang mati syahid disunnahkan dikuburkan berikut pakean-pakeannya yang menempel di badan. Sedangkan mayat orang kafir—baik dzimmi (kafir yang berdamai dengan umat Islam) atau harby (kafir yang memerangi umat Islam)—tidak wajib dimandikan, tapi boleh dimadikan secara mutlak. Diharamkan untuk dishalati.


MEMANDIKAN JENASAH
FASLUN. AQALLUL-GHUSLI TA’MIMU BADANIHI BIL-MA’I, WA AKMALUHU AN YAGHSILA SAU’ATAYHI, WA AN YAGHSILA AL-QADZRA MIN ANFIHI, WA ANYUDHIUHU, WA AN YUDLIKA BADANAHU BIL-SADRI, WA AN YUSHIBA AL-MA’A ‘ALAIHI TSALATSAN.

Cara memandikan seorang muslim yang meninggal dunia:
Minimal (paling sedikit): membasahi seluruh badannya dengan air dan bisa disempurnakan dengan membasuh qubul dan duburnya, membersihkan hidungnya dari kotoran, mewudhukannya, memandikannya sambil diurut/digosok dengan air daun sidr dan menyiramnya tiga (3) kali.
Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Menjelaskan cara memandikan mayat.
Paling minimal memandikan mayat adalah dengan mengguyurkan air dengan secara merata pada sekujur tubuh mayit. Akan tetapi jika targetnya adalah memandikan mayat yang baik adalah dengan sekiranya dapat membersihkannya. Jika satu kali basuhan atau siraman belum juga dapat membersihkannya, maka harus disusul dengan siraman kedua, dan siraman berikutnya dan seterusnya.
Memandikan mayat yang paling sempurna adalah dengan cara membasuh kedua alat kelamin mayit, menghilangkan kotoran yang ada di dalam hidung mayat, mewudhulinya, menggosok sekujur tubuhnya dengan daun widara atau dengan sabun, membasuh dengan air tiga kali basuhan.

MENGKAFANI JENAZAH
FASLUN. AQOLLUL-KAFANI TSAUBUN YU’UMMUHU, WA AKMALUHU LIR-ROJULI TSALATSU LAFAIFA, WA LIL-MAR’ATI QOMISHUN WA KHIMARUN WA IZARUN WA LAFAFATANI.

Cara mengkafani:
Minimal: dengan sehelai kain yang menutupi seluruh badan. Adapun cara yang sempurna bagi laki-laki: menutup seluruh badannya dengan tiga helai kain, sedangkan untuk wanita yaitu dengan baju, khimar (penutup kepala), sarung dan 2 helai kain.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Batasan mengkafani mayit.
- Batas minimal mengkafani mayit adalah baju atau pakean yang dapat menutupi sekujur tubuh mayit. Artinya baju yang dapat menutupi sekujur tubuh kecuali kepalanya mayit.
- Batas maksimal dan yang paling sempurna kafan bagi mayat laki-laki adalah tiga lapis kain yang dapat menutup sekujur tubuhnya. Sementara kafan yang paling sempurna bagi mayat perempuan adalah baju gamis, baju kurung, kain jarik (nyamping atau izar) dan dua lapis kain.


RUKUN SHALAT JENAZAH
FASLUN. ARKANU SHALATIL-JANAZATI SAB’ATHUN. AL-AWWALU AN-NIYATU. ATSANI ARBA’U TAKBIRATIN. AT-TSALITSU AL-QIYAMU ‘ALAL-QODHIR. AR-ROBI’U QIRO’ATUL-FATIHAH. AL-KHOMISU AS-SHOLATU ‘ALAN-NABIYYI BA’DA AT-TSANIYYAH. AS-SADISU AD-DU’AU LIL-MAYYITI BA’DA AT-TSALITSAH. AS-SABI’U AS-SALAMU.

Rukun shalat jenazah ada tujuh (7), yaitu:
1. Niat.
2. Empat kali takbir.
3. Berdiri bagi orang yang mampu.
4. Membaca Surat Al-Fatihah.
5. Membaca shalawat atas Nabi SAW sesudah takbir yang kedua.
6. Do’a untuk si mayat sesudah takbir yang ketiga.
7. Salam.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Rukun Shalat Jenazah.
Ada tujuh (7) rukun shalat jenazah. 
- Pertama, niat shalat jenazah. 
- Kedua, empat kali takbir. 
- Ketiga, berdiri bagi orang yang mampu. Jika tidak mampu berdiri, cukup dengan duduk. 
- Keempat, membaca al-fatihah setelah takbir yang pertama. 
- Kelima, membaca shalawat pada Nabi setelah tabir kedua. 
- Keenam, do’a bagi mayit setelah takbir yang ketiga. Doa-doa yang berkaitan dengan ritual janazah sebagaimana disebutkan di bawah ini;

DOA KETIKA MEMEJAMKAN MATA MAYAT

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِفُلاَنٍ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّيْنَ، وَاخْلُفْهُ فِيْ عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِيْنَ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ، وَافْسَحْ لَهُ فِيْ قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيْهِ

“Ya Allah! Ampunilah si Fulan angkatlah derajatnya bersama orang-orang yg mendapat petunjuk berilah penggantinya bagi orang-orang yg ditinggalkan sesudahnya. Dan ampunilah kami dan dia wahai Tuhan seru sekalian alam. Lebarkan kuburannya dan berilah penerangan di dalamnya.”

DOA DALAM SHALAT JENAZAH

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ (وَعَذَابِ النَّارِ)

“Ya Allah! Ampunilah dia berilah rahmat kepadanya selamatkanlah dia maafkanlah dia dan tempatkanlah di tempat yang mulia luaskan kuburannya mandikan dia dgn air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan sebagaimana Engkau membersihkan baju yg putih dari kotoran berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya berilah keluarga yang lebih baik daripada keluarganya istri yang lebih baik daripada istrinya dan masukkan dia ke Surga jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka.”

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيْرِنَا وَكَبِيْرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا. اَللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى اْلإِسْلاَمِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى اْلإِيْمَانِ، اَللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تُضِلَّنَا بَعْدَهُ

“Ya Allah! Ampunilah kepada orang yg hidup di antara kami dan yg mati orang yg hadir di antara kami dan yg tidak hadir laki-laki maupun perempuan. Ya Allah! Orang yg Engkau hidupkan di antara kami hidupkan dgn memegang ajaran Islam dan orang yg Engkau matikan di antara kami maka matikan dgn memegang keimanan. Ya Allah! Jangan menghalangi kami untuk tidak memperoleh pahalanya dan jangan sesatkan kami sepeninggalnya.”

اَللَّهُمَّ إِنَّ فُلاَنَ بْنَ فُلاَنٍ فِيْ ذِمَّتِكَ، وَحَبْلِ جِوَارِكَ، فَقِهِ مِنْ فِتْنَةِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ، وَأَنْتَ أَهْلُ الْوَفَاءِ وَالْحَقِّ. فَاغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

“Ya Allah! Sesungguhnya Fulan bin Fulan dalam tanggunganMu dan tali perlindunganMu. Peliharalah dia dari fitnah kubur dan siksa Neraka. Engkau adl Maha Setia dan Maha Benar. Ampunilah dan belas kasihanilah dia. Sesungguhnya Engkau Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Penyayang.”

اَللَّهُمَّ عَبْدُكَ وَابْنُ أَمْتِكَ احْتَاجَ إِلَى رَحْمَتِكَ، وَأَنْتَ غَنِيٌّ عَنْ عَذَابِهِ، إِنْ كَانَ مُحْسِنًا فَزِدْ فِيْ حَسَنَاتِهِ، وَإِنْ كَانَ مُسِيْئًا فَتَجَاوَزْ عَنْهُ.

Ya Allah ini hambaMu anak hambaMu perempuan membutuhkan rahmatMu sedang Engkau tidak membutuhkan utk menyiksanya jika ia berbuat baik tambahkanlah dalam amalan baiknya dan jika dia orang yg salah lewatkanlah dari kesalahan-nya.

DOA UNTUK MAYAT ANAK KECIL

اَللَّهُمَّ أَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ.

Ya Allah lindungilah dia dari siksa kubur.

Apabila membaca doa berikut maka itu lebih baik:

اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًا وَذُخْرًا لِوَالِدَيْهِ، وَشَفِيْعًا مُجَابًا. اَللَّهُمَّ ثَقِّلْ بِهِ مَوَازِيْنَهُمَا وَأَعْظِمْ بِهِ أُجُوْرَهُمَا، وَأَلْحِقْهُ بِصَالِحِ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَاجْعَلْهُ فِيْ كَفَالَةِ إِبْرَاهِيْمَ، وَقِهِ بِرَحْمَتِكَ عَذَابَ الْجَحِيْمِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَسْلاَفِنَا، وَأَفْرَاطِنَا وَمَنْ سَبَقَنَا بِاْلإِيْمَانِ

.“Ya Allah! Jadikanlah kematian anak ini sebagai pahala pendahulu dan simpanan bagi kedua orang tuanya dan pemberi syafaat yg dikabulkan doanya. Ya Allah! Dengan musibah ini beratkanlah timbangan perbuatan mereka dan berilah pahala yg agung. Anak ini kumpulkan dgn orang-orang yg shalih dan jadikanlah dia dipelihara oleh Nabi Ibrahim. Peliharalah dia dgn rahmatMu dari siksaan Neraka Jahim. Berilah rumah yg lbh baik dari rumahnya berilah keluarga {di Surga} yg lbh baik daripada keluarganya . Ya Allah ampunilah pendahulu-pendahulu kami anak-anak kami dan orang-orang yg mendahului kami dalam keimanan”

اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا فَرَطًا وَسَلَفًا وَأَجْرًا

“Ya Allah! Jadikan kematian anak ini sebagai simpanan pahala dan amal baik serta pahala buat kami.”

DOA UNTUK BELASUNGKAWA

إِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ، وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى .. فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ.

Sesungguhnya hak Allah adl mengambil sesuatu dan memberikan sesuatu. Segala sesuatu yang di sisi-Nya dibatasi dgn ajal yg ditentukan. Oleh krn itu bersabarlah dan carilah ridha Allah.”

وَإِنْ قَالَ: أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ، وَأَحْسَنَ عَزَاءَكَ وَغَفَرَ لِمَيِّتِكَ. فَحَسَنٌ.

Apabila seseorang berkata: “Semoga Allah memperbesar pahalamu dan memperbagus dalam menghiburmu dan semoga diampuni mayatmu” adalah suatu perkataan yang baik.


BACAAN KETIKA MEMASUKKAN MAYAT KE LIANG KUBUR

بِسْمِ اللهِ وَعَلَى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ

Bismillaahi wa ‘alaa sunnati Rasulillaah. artinya Dengan nama Allah dan di atas petunjuk Rasulullah.


DOA SETELAH MAYAT DIMAKAMKAN

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اَللَّهُمَّ ثَبِّتْهُ

Ya Allah ampunilah dia ya Allah teguhkanlah dia.


DOA ZIARAH KUBUR

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ (وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ) أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

Semoga kesejahteraan untukmu wahai penduduk kampung dari orang-orang mukmin dan muslim. Sesungguhnya kami –insya Allah- akan menyusulkan kami mohon kepada Allah utk kami dan kamu agar diberi keselamatan.
- Ketujuh, membaca salam.


MENGUBUR JENAZAH
FASLUN. AQOLLU AD-DAFNI HAFROTUN TAKTUMU ROIHATUHU WA TAHRISUHU MIN AS-SIBA’I. WA AKMALUHU QOMATUN WA BASTHATUN, WA YUDHA’U KHODDAHU ‘ALA AT-TUROB, WA YAJIBU TAUJIHUHU ILA AL-QIBLAT.
Sekurang-kurang menanam (mengubur) mayat adalah dalam lubang yang menutup bau mayat dan menjaganya dari binatang buas. Yang lebih sempurna adalah setinggi orang dan luasnya, serta diletakkan pipinya di atas tanah. Dan wajib menghadapkannya ke arah qiblat.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Penguburan Janazah.
- Batas minimal liang lahat bagi kuburan janazah adalah lubang yang dapat menyimpan dan meredam bau busuk mayat dan menjaganya dari hewan atau binatang buas. Artinya liang lahat yang dapat menyimpan bau busuk mayat dengan sekiranya bau busuknya tidak sampai keluar dari lubang dan terbawa oleh angin menyebar ke seluruh sekitar lingkungannya yang dapat menyebabkan polusi udara. Dan lubang tersebut juga dapat menyimpannya sekiranya tidak dapat dibongkar dan dibuka oleh binatang buas yang akan memangsannya.
- Sedangkan batas maksimal liang lahat bagi jenazah adalah kedalamannya sedalam dan sepanjang orang yang sedang berdiri sambil mengangkatkan tangannya, pipi janazah sebelah kanan diletakkan di atas tanah, dan wajib menghadapkan janazah ke arah kiblat.


MENGGALI KUBURAN
FASLUN. YUNBASYU AL-MAYYITU LI-ARBA’I KHISHOLIN. LIL-GHUSLI IDZA LAM YATAGHOYYAR. WA LI TAUJIHIHI ILA AL-QIBLATI. WA LI AL-MALI IDZA DUFINA MA’AHU. WA LI AL-MAR’ATI IDA DUFINA JANINUHA MA’AHA WA AMKANAT HAYATUHU.

Mayat boleh digali kembali, karena ada salah satu dari empat perkara, yaitu:
1. Untuk dimandikan apabila belum berubah bentuk.
2. Untuk menghadapkannya ke arah qiblat.
3. Untuk mengambil harta yang tertanam bersama mayat.
4. Wanita yang janinnya tertanam bersamanya dan ada kemungkinan janin tersebut masih hidup.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Kuburan mayit boleh dibuka atau dibongkar dengan adanya empat (4) sebab. 
- Pertama, karena hendak memandikannya jika mayat belum berubah, atau belum hancur dan membusuk. Artinya ketika mayat—mungkin karena lupa—belum dimandikan kemudian dikuburkan dengan begitu saja, maka kuburannya boleh dibuka kembali bertujuan hendak memandikannya.
- Kedua, karena hendak menghadapkan mayat ke arah kiblat. Jika mayat dalam posisi berpaling dari arah kiblat atau telungkup, maka kuburannya boleh dibuka dan posisi mayat dibenahi agar menghadap kiblat.
- Ketiga, mengambil harta atau materi yang terkubur bersama mayat.
- Keempat, bagi mayat perempuan yang dikuburkan beserta janin yang dikandungnya di dalam perut dengan sekiranya dimungkinkan atau ada harapan janinnya bisa hidup. Artinya demi menyelamatkan janin yang ada di dalam perut mayit, yang masih ada harapan hidup, maka boleh dibongkar kembali kuburannya tersebut.


ISTI'ANAH
FASLUN. AL-ISTI’ANATU ARBA’U KHISHOLIN. MUBAHATUN, WA KHILAT AL-AULA, WA MAKRUHAH, WA WAJIBAH. FA AL-MUBAHATU HIYA TAQRIBU AL-MA’I. WA KHILAFU AL-AULAI HIYA SHOBBU AL-MA’I ‘ALA NAHWI AL-MUTAWADDHI’. WA AL-MAKRUHATU HIYA LI-MAN YAGHSILU A’DHA’AHU. WA AL-WAJIBATU HIYA LIL-MARIDLI ‘INDA AL-‘IJZI.

Hukum isti’anah (minta bantuan orang lain dalam bersuci) ada empat (4) perkara, yaitu:
1. Boleh.
2. Khilaf Aula.
3. Makruh
4. Wajib.
- Boleh (mubah) meminta untuk mendekatkan air.
- Khilaf aula meminta menuangkan air atas orang yang berwudlu.
- Makruh meminta menuangkan air bagi orang yang membasuh anggota-anggota (wudhu) nya.
- Wajib meminta menuangkan air bagi orang yang sakit ketika ia lemah (tidak mampu untuk melakukannya sendiri).

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Macam-macam pertolongan ada empat (4) hukumnya menurut syariat Islam, yaitu hukum mubah (diperbolehkan), khilaf al-aula (tidak yang lebih utama), makruh, dan makruh.
- Pertama, pertolongan yang diperbolehkan adalah mendatangkan atau memberikan air.
- Kedua, pertolongan yang dihukumi khilaf al-aula (tidak yang lebih utama) adalah mengalirkan atau mengucurkan air pada orang yang berwudhu.
- Ketiga, makruh memberikan pertolongan pada orang yang mampu membasuh anggota badanya sendiri.
- Keempat, wajib memperikan pertolongan bagi orang yang sedang sakit ketika ia tidak mampu membasuhnya sendiri.


HARTA WAJIB ZAKAT
FASLUN. AL-AMWALU AL-LATI FIHA AZ-ZAKATU SITTATU ANWA’IN. AN-NA’AMU WA AN-NAQDANU, WA AL-MU’SYIROTU, WA AMWALU AT-TIJAROTI. WAJIBUHA RUB’U ‘ASYARI QYMATI ‘URUDL AT-TIJAROTI, WA AR-RIKAZI, WA AL-MA’DANI.

Zakat Harta yang wajib di keluarkan zakatnya ada enam macam, yaitu:
1. Binatang ternak.
2. Emas dan perak.
3. Biji-bijian (yang menjadi makanan pokok).
4. Harta perniagaan. Zakatnya yang wajib di keluarkan adalah 4/10 dari harta tersebut.
5. Harta yang tertkubur.
6. Hasil tambang.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Harta atau banda yang wajib dizakati ada enam macam :
- Pertama, binatang ternak. Yang dimaksud dengan binatang ternak yang wajib dizakait yaitu Unta, sapi, kerbau dan kambing. Sedangkan Jaran tidak wajib dizakati.
- Kedua, emas dan perak.
- Ketiga, pertanian dan tumbuh-tumbuhan yang ditanam dalam kebiasaan para petani yang wajib dikeluarkan zakatnya sepersepuluh, 10%.
- Keempat, harta dagangan. Ada beberapa syarat bagi harta dagangan yang wajib dizakati, di antaranya yaitu harta secara sempurna milik sendiri, harta diniati untuk berdagang, sudah mencapai satu tahun (haul), dan nilainya sudah mencapai satu nishab.
- Kelima, harta yang tertimbun atau biasa diistilahkan dengan harta karun. Seperti harta milik orang-orang terdahulu yang tertimbun tanah dan ditemukan oleh seseorang, maka harta itu wajib dizakati.
- Keenam, tambang, yaitu tempat yang diciptakan oleh Allah mengandung emas atau perak. Tambang wajib dizakati jika sudah mencapai satu nishab, maka zakatnya seperempat.

Prosentase zakat :

1.  Jenis harta  : Emas Murni
Nisab                     : Senilai 85gr Emas Murni
Kadar                    : 2,5%
Waktu                   : Tiap Tahun

2.  Jenis harta  : Perhiasan, Perabotan/Perlengkapan Rumah Tangga dari Emas
Nisab                    : Senilai 85gr Emas Murni
Kadar                   : 2,5%
Waktu                  : Tiap Tahun

3.  Jenis harta : Perak
Nisab                    : Senilai 642gr Perak Murni
kadar                    : 2,5%
waktu                   : Tiap Tahun

4.  Jenis harta : Perhiasan, Perabotan/Perlengkapan Rumah Tangga dari Perak
Nisab                    : Senilai 642gr Perak Murni
kadar                    : 2,5%
Waktu                  : Tiap Tahun

5.  Jenis harta           : Logam Mulia selain Perak seperti Platina, dsb.
Nisab                   : Senilai 85gr Emas Murni
Kadar                   : 2,5%
Waktu                  : Tiap Tahun

6.  Jenis harta : Batu Permata, seperti Intan Berlian, dsb.
Nisab                   : Senilai 85gr Emas Murni
Kadar                   : 2,5%
Waktu                  : Tiap Tahun

7.  Jenis harta : Uang Simpanan, Deposito, Giro, Cek, dsb.
Nisab                   : Senilai 85gr Emas Murni
Kadar                   : 2,5%
Waktu                  : Tiap Tahun

8.  Jenis usaha  : Industri seperti Semen, Pupuk, Tekstil, dsb.
Nisab                   : Senilai 85gr Emas Murni
Kadar                   : 2,5%
Waktu                  : Tiap Tahun

9. Jenis usaha : Perdagangan, Export/Import, Kontraktor, Real Estate, Percetakan, Penerbitan, Swalayan, Supermarket, dsb.
Nisab                   : Senilai 85gr Emas Murni
Kadar                   : 2,5%
Waktu                  : Tiap Tahun

10. Jenis usaha  : Usaha Perhotelan, Hiburan, Restoran, dsb.
Nisab                   : Senilai 85gr Emas Murni
Kadar                   : 2,5%
Waktu                  : Tiap Tahun

11. Jenis Usaha : Jasa Konsultan, Notaris, Komisioner, Travel Biro, Salon, Transportasi, Pergudangan, Perengkelan, Akuntan, Dokter, dsb.
Nisab                   : Senilai 85 gr Emas Murni
kadar                   : 2,5%
Waktu                 : Tiap Tahun

12. Hasil Pertanian      : Padi
Nisab                   : 815 Kg Beras/1481 Kg Gabah
Kadar                   : 5%-10%
Waktu                  : Tiap Panen

13. Hasil pertanian  : Biji-bijian: Jagung, Kacang, Kedelai, dsb.
Nisab                   : 815 Kg Beras/1481 Kg Gabah
Kadar                   : 5%-10%
Waktu                  : Tiap Panen

14. Hasil pertanian : Tanaman Hias, seperti Anggrek dan Segala Jenis Bunga-Bungaan.
Nisab                   : 815 Kg Beras/1481 Kg Gabah
Kadar                   : 5%-10%
Waktu                  : Tiap Panen

15. Hasil pertanian  : Rumput-rumputan: Rumput Hias, Tebu, Bambu.
Nisab                    : 815 Kg Beras/ 1481 Gabah
Kadar                    : 5%-10%
Waktu                   : Tiap Panen

16. Hasil pertanian  : Buah-buah: Mangga, Jeruk, Pisang, Kelapa, Rambutan, Durian, dsb.
Nisab                    : 815 Kg Gabah/1481 Kg Gabah
Kadar                    : 5%-10%
Waktu                   : Tiap Panen

17. Hasil pertanian  : Sayur-sayuran: Bawang, Wortel, Cabe, dsb.
Nisab                    : 815 Kg Gabah/1481 kg Gabah
Kadar                   : 5%-10%
Waktu                  : Tiap Panen

18. Hasil pertanian  : Segala Jenis Tumbuh-tumbuhan lainnya yang bernilai Ekonomis
Nisab                    : 815 Kg Gabah/1481 Kg Gabah
Kadar                   : 5%-10%
Waktu                  : Tiap Panen

19.Jenis usaha           : Usaha Perkebunan dan Perikanan
Nisab                    : Senilai 85gr Emas Murni
Kadar                   : 2,5%
Waktu                  : Tiap Tahun

20. Hasil Peternakan     : Kambing, Domba, Biri-biri, dsb.
Nisab                    : a. 40-120 ekor
b. 121-200 ekor
Kadar                   : a. 1 ekor umur 1 tahun
b. 1 ekor umur 1 tahun
Waktu                  : Tiap Tahun
Keterangan         : setiap bertambah 100 ekor, zakat-nya tambah 1 ekor umur 1 thn.

22. Hasil peternakan     : Sapi, Kerbau, Kuda
Nisab                   : a. 30 ekor
b. 40 ekor
Kadar                  : a. 1 ekor umur 1 thn
b. 1 ekor umur 1 thn
Waktu                 : Tiap Tahun
Keterangan    : Setiap Bertambah 30 ekor zakat-nya tambah 1 ekor umur 1 thn, Setiap bertambah 40 ekor zakat-nya tambah 1 ekor umur 2 thn

23. Jenis harta : Harta Terpendam (Harta Karun)
Nisab                 : Senilai 85gr Emas Murni
Kadar                : 20%
Waktu               : Ketika memperoleh

24. ZAKAT FITRAH : Makanan Pokok (Beras, Gabah dan sejenisnya)
Kadar                : 2,5Kg /3,5 Lt.
Waktu               : Akhir Bulan Ramadhan (Tiap tahun)


WAJIBNYA PUASA ROMADHAN
FASLUN. YAJIBU SHAUMU RAMADHANA BI-AHADI UMURI KHOMSATIN. AHADUHA BI-KAMALI SYA’BANA TSALATSINA YAUMAN. WA TSANIHA BI-RU’YATI AL-HILALI FI HAQQI MAN RO’AHU WA IN KANA FASIQON. WA TSALITSUHA BI-TSUBUTIHI FI HAQQI MAN LAM YAROHU BI-‘ADLI SYAHADATIN. WA ROBI’UHA BI-AKHBARI ‘ADLI RIWAYATIN MAUTSUQIN BIHI SAWAAUN WAQO’A FI AL-QOLBI SHIDQUHU AM LA, ATU GHOIRU MAUTSUQIN BIHI IN WAQO’A FI AL-QOLBI SHIDQUHU. WA KHOMISUHA BATHNU DUKHULI ROMADHONA BI AL-IJTIHADI FI-MAN ISYTABAHA ‘ALAIHI DZALIK.

Puasa Ramadhan diwajibkan dengan salah satu ketentuan-ketentuan berikut ini:
1. Dengan mencukupkan bulan sya’ban 30 hari.
2. Dengan melihat bulan, bagi yang melihatnya sendiri.
3. Dengan melihat bulan yang disaksikan oleh seorang yang adil di muka hakim.
4. Dengan Kabar dari seseorang yang adil riwayatnya juga dipercaya kebenarannya, baik yang mendengar kabar tersebut membenarkan ataupun tidak, atau tidak dipercaya akan tetapi orang yang mendengar membenarkannya.
5. Dengan beijtihad masuknya bulan Ramadhan bagi orang yang meragukan dengan hal tersebut.

Syarah atau penjelasan:
Diwajibkannya puasa Ramadhan dengan salah satu sebab yang ada lima. Pertama, sempurnanya bulan Sya’ban, yaitu tiga puluh hari. Kedua, melihat tanggal (hilal) bagi seorang yang benar-benar melihatnya, meski ia orang fasik. Ketiga, melihat hilal dapat ditetapkan bagi orang yang tidak melihat hilal dengan sebab adanya persaksian orang yang adil dan dapat dipercaya bahwa ia telah melihat hilal. Keempat, informasi orang yang adil yang riwayatnya dapat dipercaya, baik di dalam hatinya benar atau pun tidak, atau tidak dapat dipercaya (fasik) tapi di dalam hatinya benar. Kelima, menyangka masuknya ramadhan dengan ijtihadnya sendiri bagi seorang yang remang-remang atau tidak dapat mengakses informasi dengan jelas. Seperti seorang yang ada di dalam buih atau penjara, yang tidak tahu masuknya ramadhan.

Ayat al-Quran yang mempertegas bahwa puasa ramadhan diwajibkan bagi umat Islam. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (SQ. Al-Baqarah: 183)


SYARAT SAH PUASA
FASLUN. SYURUTHU SYIHHATIHI ARBA’ATU ASYA’A, ISLAMUN WA ‘AQLUN, WA NIQO’UN MIN NAHWI HAIDHIN, WA ‘ILMUN BI-KAUNI AL-WAQTHI QOBILAN LI AS-SHOUM.
Syarat sah puasa ramadhan ada empat (4) perkara, yaitu:
1. Islam.
2. Berakal.
3. Suci dari seumpama darah haidh.
4. Dalam waktu yang diperbolehkan untuk berpuasa.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Syarat sahnya puasa—baik puasa wajib atau sunnah—ada empat. Pertama, Islam. Kedua, berakal. Ketiga, bersih dari haidl. Dan keempat, mengetahui waktu yang sudah siap untuk melaksanakan puasa.


SYARAT WAJIB PUASA RAMADHAN
FASLUN. SYURUTHU WUJUBIHI KHOMSATU ASYYA’A, ISLAMUN, WA TAKLIFUN, WA ITHOQOTUN, WA SIHHATUN, WA IQOMATUN.
Syarat wajib puasa ramadhan ada lima perkara, yaitu:
1. Islam.
2. Taklif (dibebankan untuk berpuasa).
3. Kuat berpuasa.
4. Sehat.
5. Iqamah (tidak bepergian).

Syarah atau penjelasan :
Syarat wajibnya puasa ada lima.
1. Islam.
2. Tertaklif. Artinya seseorang sudah baligh dan berakal. Ada pengecualian orang-orang yang tidak diwajibkan berpuasa yaitu anak kecil, orang gila, orang yang terserang penyakit epilepsi, dan mabuk. Karena mereka belum tertaklif.
3. Mampu melaksanakan puasa. Maka tidak wajib puasa bagi orang yang tidak mampu melaksanakan puasa, seperti orang yang sudah tua rentah atau orang sakit yang tidak mampu berpuasa.
4. Sehat. Sehingga tidak diwajibkan berpuasa bagi orang sakit.
5. Berdiam diri di rumah. Artinya bagi orang yang sedang melakukan bepergian jauh tidak diwajibkan berpuasa alias oleh berbuka.

Dalil ayat al-Quran yang menjelaskan syarat dan ada beberapa keadaan yang diperbolehkan berbuka puasa atau tidak diwajibkan berpuasa, tapi wajib diqadha pada hari-hari yang lain atau dengan membayar fidyah.

Allah berfirman:

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggati atau qadha) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Tetapi barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka ia lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (SQ. Al-Baqarah: 184)

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkannya al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang salah). Karena itu barang siapa diantara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (ia wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur. (SQ. Al-Baqarah: 185)


RUKUN PUASA RAMADHAN
FASLUN. ARKANUHU TSALATSATU ASYA’A. NIYATUN LAYLAN LI-KULLI YAUMIN FI AL-FARDLI, WA TARKU MUFTHIRIN DZAKIRON MUKHTARON GHOERO JAHILIN MA’DZURIN WA SHOIMIN.

Rukun puasa ramadhan ada tiga perkara, yaitu:
1. Niat pada malamnya, yaitu setiap malam selama bulan Ramadhan.
2. Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa ketika masih dalam keadaan ingat, bisa memilih (tidak ada paksaan) dan tidak bodoh yang ma’zur (dima’afkan).
3. Orang yang berpuasa.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah:
Rukun puasa ada tiga.
- Pertama, niat puasa wajib di malah hari di setiap hari. Tempat niat adalah di hati dan wajib menghadirkan niat berpuasa.
- Kedua, meninggalkan sesuatu yang bisa membatalkan puasa sepertu makan dan minum atau bersetubuh dengan istri.
- Ketiga, ingat bahwa dirinya berpuasa, melaksanakannya atas kehendak pribadi tanpa paksaan, tidak bodoh yang dapat dianggap sebagai udzur, dan betul-betul berpuasa. Jika sebaliknya, semisal melaksanakan puasa atas dasar paksaan orang lain, maka tidak sah.


QADHA PUASA
FASLUN. WA YAJUBU MA’A AL-QODHOI LI AS-SHAOMI AL-KAFAROTU AL-‘UDHMA, WA AT-TA’ZIRU ‘ALA MAN AFSADA SHAOMAHU FI RAMADHANA YAUMAN KAMILAN BI-JIMA’IN TAMIN ATSAMMA BIHI LI AS-SHAOM, WA YAJIBU MA’A AL-QODHOI AL-IMSAKU LI AS-SAOMI FI SITTATI MAWADHI’A. AL-AWWALU FI RAMADHANA LA FI GHOERIHI ‘ALA MUTA’ADDIN BI-FITHRIHI. WA AT-TSANI ‘ALA TARIKIN AN-NIYAT LAYLAN FI AL-FARDHI. WA AS-TSALITSU ‘ALA MAN TASAHHARO DZANNAN BAQOA AL-LAYLI FA BANA KHILAFUHU. WA AR-ROBI’U ‘ALA MAN AFTHORO DZHONNAN AL-GHURUBA FA BANA KHILAFUHU AYDHON. WA AL-KHOMISU ‘ALA MAN BANA LAHU YAUM AT-TSULUTSAYI SYA’BANA ANNAHU MIN ROMADONA. WA AS-SADISU ‘ALA MAN SABAQOHU MA’ AL-MUBALAGHOH MIN MADLMADHOHTIN WA ISTINSYAQIN.

Diwajibkan : mengqhadha puasa, kafarat besar dan teguran terhadap orang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan satu hari penuh dengan sebab menjima’ lagi berdosa sebabnya .

Dan wajib serta qhadha: menahan makan dan minum ketika batal puasanya pada enam tempat:
1. Dalam bulan Ramadhan bukan selainnya, terhadap orang yang sengaja membatalkannya.
2. Terhadap orang yang meninggalkan niat pada malam hari untuk puasa yang Fardhu.
3. Terhadap orang yang bersahur karena menyangka masih malam, kemudian diketahui bahwa Fajar telah terbit.
4. Terhadap orang yang berbuka karena menduga Matahari sudah tenggelam, kemudian diketahui bahwa Matahari belum tenggelam.
5. Terhadap orang yang meyakini bahwa hari tersebut akhir Sya’ban tanggal tigapuluh, kemudian diketahui bahwa awal Ramadhan telah tiba.
6. Terhadap orang yang terlanjur meminum air dari kumur-kumur atau dari air yang dimasukkan ke hidung.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah:
Bersamaan dengan wajib meng-qadha yaitu wajib membayar kafarah dan hukuman ta’zir atas seseorang yang merusak puasa di bulan ramadhan satu hari penuh dengan sebab bersenggama dengan istrinya (jima’), dan ia pun berdosa.
Bersama dengan wajib meng-qadha yaitu wajib mengekang untuk berpuasa dalam enam kondisi atau keadaan.
- Pertama, di bulan ramadhan dan bukan yang lainnya bagi orang yang sembrono dan semena berbuka puasa. Seperti seorang yang minum arak sampai mabuk di malam hari bulan puasa ramadhan. Maka di siang hari ia harus memuntahkannya. Sehingga dengan sebab muntah, puasannya batal, akan tetapi ia wajib mengekah dengan tidak makan, minum dan jimak sebagaimana orang yang sedang berpuasa.
- Kedua, orang yang meninggalkan niat puasa fardhu di malam hari, ia wajib mengekang diri agar tidak memakan, minum dan jimak layaknya seperti berpuasa, akan tetapi ia wajib meng-qadhanya.
- Ketiga, seorang yang makan sahur karena menduga masih malam, namun kenyataannya sudah pagi, jika ia tidak berdasarkan ijtihad maka ia wajib meng-qadha serta mengekang seperti berpuasa.
- Keempat, orang yang berbuka puasa dengan dugaan sudah masuk waktu maghrib, tapi kenyataannya berbeda. Maka ia tetapi mengekah seperti puasa dan sekaligus wajib qadha.
- Kelima, seorang yang dengan jelas bahwa ternyata hari ketiga puluh bulan Sya’ban adalah bulan ramadhan.
- Keenam, orang yang menelan minuman dari seseorang yang air berkumur atau air isapan hidung.

BATAL PUASA RAMADHAN
FASLUN. YABTHULU AS-SHOUMU BI-RIDDATIN WA HAIDHIN WA NIFASIN AU WILADATIN WA JUNUNIN WALAU LAHDHATAN WA BI-IGHMAIN WA SUKARIN TA’ADDA BIHI IN ‘AMMA JAMI’ AN-NAHARI
Batal puasa seseorang dengan beberapa macam, yaitu:
- Sebab-sebab murtad.
- Haidh.
- Nifas.
- Melahirkan.
- Gila sekalipun sebentar.
- Pingsan dan mabuk yang sengaja jika terjadi yang tersebut di siang hari pada umumnya.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah:
Puasa bisa dibatalkan dengan sebab murtad, haid, nifas, atau menggendung anak.

KATEGORI HUKUM MEMBATALKAN PUASA
FASLUN. AL-IFTHORU FI ROMADHONA ARBA’ATU ANWA’IN. WAJIBUN KAMA FI AL-HAIDL WA NUFASA’. WA JAIZUN KAMA FI AL-MUSAFIR WA AL-MARIDL. WALA WALA KAMA FI AL-MAJNUN. WA MUHARROMUN KAMAN AKKHORO QODHUA ROMADHONA MA’A TAMAKKUNIHI HATTA DHOQO AL-MAQTU ‘ANHU. WA AQSAMU AL-IFTHARI ARBA’ATUN AYDHON. MA YALZAMU FIHI AL-QODHOU WA AL-FIDYATU WA HUWA ITSNANI, AL-AWWAL AL-IFTHOR LI-KHAUFIN ‘ALA GHOERIHI, WA AT-TSANI AL-IFTHOR MA’A TA’KHIRI QODHOIN MA’A IMKANIHI YA’TIYA ROMADHONUN AKHOR. ATSANIHA MA YALZAMU FIHI AL-QODHO’ DUNA AL-FIDYAH WAHUA YUKATSIRU KAL-MUGHMA ‘ALAIHI, WA TSALITSUHA MA YALZAMU FIHI AL-FIDYATU DUNA AL-QODO’ WA HUAS SYAIKHUN KABIRUN. WA ROBI’UHA LA WA LA WA HUA AL-MAJNUNU AL-LADZI LAM YA’TAD BI-JUNUJIHI.
Membatalkan puasa di siang Ramadhan terbagi empat macam, yaitu:
1. Diwajibkan, sebagaimana terhadap wanita yang haid atau nifas.
2. Diharuskan, sebagaimana orang yang berlayar dan orang yang sakit.
3. Tidak diwajibkan, tidak diharuskan, sebagaimana orang yang gila.
4. Diharamkan (ditegah), sebagaimana orang yang menunda qhadha Ramadhan, padahal mungkin dikerjakan sampai waktu qhadha tersebut tidak mencukupi.
Kemudian terbagi orang-orang yang telah batal puasanya kepada empat bagian, yaitu:
1. Orang yang diwajibkan qhadha dan fidyah, seperti perempuan yang membatalkan puasanya karena takut terhadap orang lain saperti bayinya. Dan seperti orang yang menunda qhadha puasanya sampai tiba Ramadhan berikutnya.
2. Orang yang diwajibkan mengqhadha tanpa membayar fidyah, seperti orang yang pingsan.
3. Orang yang diwajibkan terhadapnya fidyah tanpa mengqhadha, seperti orang yang sangat tua yang tidak kuasa.
4. Orang yang tidak diwajibkan mengqhadha dan membayar fidyah, seperti orang gila yang tidak disengaja.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah:
Berbuka puasa di bulan Ramadhan terdapat empat keadaan dan hukum.
- Pertama, berbuka puasa adalah wajib sebagaimana perempuan yang sedang mengalami menstruasi (haid) dan perempuan yang mengalami nifas.
- Kedua, berbuka puasa adalah diperbolehkan sebagimana orang yang dalam keadaan diperjalanan (musafir) dan orang yang sedang sakit.
- Ketiga, berbuka puasa yang tidak diwajibkan dan juga tidak diperbolehkan yaitu bagi orang gila.
- Keempat, berbuka puasa diharamkan bagi orang yang mengakhirkan qadha puasa ramadhan padahal ia punya banyak kesempatan waktu yang sangat luas sampai waktu untuk meng-qadha semakin menyempit.
Setelah membahas berbagaimacam hukum berbuka puasa di bulan ramadhan dengan mempertimbangkan kondisi dan situasi seseorang. Selanjutnya menjelaskan konsekwensi dan hukuman apa yang setimpal bagi orang yang berbuka puasa di bulan ramadhan, setidaknya ada empat juga konsekwensi bagi hukuman orang yang berbuka puasa tersebut.
- Pertama, wajib meng-qadha sekaligus bayar fidyah (denda) bagi dua jenis penyebab berbuka puasa, yaitu :
1). Berbuka puasa disebabkan takut pada ancaman orang lain, dan
2). Berbuka puasa serta dalam menunaikan qadha-nya diakhirkan sampai menjelang bulan ramadhan yang lain, padahal ia memiliki waktu yang cukup luas untuk memenuhinya.
- Kedua, wajib qadha tapi tidak wajib membayar fidyah, dan jenis inilah yang paling banyak. Seperti orang yang terserah penyakit epilepsi (ayan) pada waktu berpuasa, orang yang lupa niat, dan orang-orang yang berbuka puasa secara sembrono semaunya (sendiri) kecuali berbuka puasa disebabkan jima’.
- Ketiga, wajib membayar fidyah tapi tidak wajib qadha puasa, seperti orang yang sudah tua rentah yang sama sekali tidak mampu menjalankan puasa sepanjang masanya.
- Keempat, tidak diwajibkan membayar fidyah dan juga tidak diwajibkan qadha puasa, yaitu anak kecil yang belum baligh, orang gila yang penyebab kegilaannya tidak dikarenakan penyebab yang sembarangan dan semaunya sendiri, dan orang kafir asli.
Berkaitan dengan konsekwensi bagi orang yang berbuka puasa disebabkan ada udzur tertentu, sebagaimana Allah berfirman:

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggati atau qadha) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Tetapi barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka ia lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (SQ. Al-Baqarah: 184)

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkannya al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang salah). Karena itu barang siapa diantara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (ia wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur. (SQ. Al-Baqarah: 185)


YANG TIDAK MEMBATALKAN PUASA
FASLUN. AL-LADZI LA YUFTHIRU MIMMA YASHILU ILA AL-JAUFI SAB’ATU AFRODIN, MA YASHILU ILA AL-JAUF BI-NISYANIN AU JAHLIN AU IKROHIN WA BI-JIRYANI RIQIN BI-MA BAYNA ASNANIHI WA QOD ‘AJIZA ‘AN MAJJIHI LI-‘UDZRIHI. WA MA WASHOLA ILA AL-JAUF WA KANA GUBARA THORIQIN WA MA WASHOLA ILAIHI WA KANA GURBALATA DAQIQIN ATU DUBABAN THAIRAN AU NAHWAHU. WA AL-LAHU A’LAM BI AS-SHOWAB. NAS’ALU AL-LAHA AL-KARIM BI-JAHI NABIYYIHI AL-WASYIM AN YUKHRIJADI MIN AD-DUNYA MUSLIMAN WA WALIDAYYA WA AHIBBA’Y WA MAN ILAYYA INTAMA WA AN YAGHFIROLY WA LAHUM MUQHIMATIN WA LAMAMA WA SHOLA ALLOHU ‘ALA SAYYIDINA MUHAMMAD IBNU ‘ABDULLAHI BIN ‘ABDU AL-MUTHALLIBI BIN HASYIM BIN ‘ABDU MANAFIN WA ROSULI AL-MALAHIM HABIBI ALLAH AL-FATIH AL-KHOTIM WA ALIHI WA SOHBOHI AJMA’IN WA AL-HAMDU LILLAHI ROBBI AL-‘ALAMINA.

Perkara-perkara yang tidak membatalkan puasa sesudah sampai ke rongga mulut ada tujuh macam, yaitu:
1. Ketika kemasukan sesuatu seperti makanan ke rongga mulut denga lupa
2. Atau tidak tahu hukumnya .
3. Atau dipaksa orang lain.
4. Ketika kemasukan sesuatu ke dalam rongga mulut, sebab air liur yang mengalir diantara gigi-giginya, sedangkan ia tidak mungkin mengeluarkannya.
5. Ketika kemasukan debu jalanan ke dalam rongga mulut.
6. Ketika kemasukan sesuatu dari ayakan tepung ke dalam rongga mulut.
7. Ketika kemasukan lalat yang sedang terbang ke dalam rongga mulut.

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah:
Ada tujuh kondisi atau keadaan yang menyebabkan tidak membatalkan puasa segenap sesuatu yang sampai dan masuk ke dalam perut seseorang.
- Pertama, dengan sebab lupa. Sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan bahwa “Barang siapa yang lupa bahwa ia adalah orang yang sedang berpuasa, kemudian makan atau minum maka orang itu harus tetap melanjutkan dan menyempurnakan puasanya, sedangkan makanan dan minuman yang tertelah adalah pemberian Allah bagi dirinya”, diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, dan hadits tersebut termasuk hadits sahih.
- Kedua, dengan sebab tidak tahu. 
- Ketiga, dipaksa agar makan atau minum.
- Keempat, mengalirnya ludah yang ada di antara sela-sela gigi dan tidak mampu untuk meludahkan atau mengeluarkannya disebabkan ada udzur. Berbeda dengan riak atau dahak yang dapat dikeluarkan dengan mudah, maka harus dikeluarkan dan tidak boleh ditelan. Demikian juga semisal ada sisa-sisa Kopi di dalam mulut, lidah dan gigi seseorang yang kebetulan minum kopi menjelang fajar, maka sisa-sisa Kopi itu harus dikeluarkan dari mulutnya sampai tidak tersisa.
- Kelima, debu jalanan yang masuk ke dalam perut, baik debu yang suci atau najis—meskipun najis mughalladhah maka tidak membatalkan puasa.
- Keenam, debunya gelepung atau tepung terigu atau aci yang berterbangan masuk ke dalam perut seseorang maka tidak membatalkan puasa.
- Ketujuh, lalat atau nyamuk dan sesamanya yang terbang memasuki mulut seseorang kemudian tertelan, maka tidak membatalkan puasa sebab susah untuk dihindarinya.


Akhir kata sebagai kata penutup (epilog) kitab as-Safinah an-Najah ini, penulis kitab ini mengatakan dengan penuh kerendahan hatinya bahwa hanya Allah yang maha mengetahui hakikat kebenaran. Kami memohon kepada Allah, dengan ditempatkan bersama Nabi dan para rasulNya yang agung, agar Allah mengeluarkan kami dari dunia dalam keadaan muslim, demikian juga kedua orang tua, dan kami berharap supaya Allah memberikan maaf dan ampunannya pada kami, para kekasih dan orang-orang yang sebangsa dan setanah air dengan kami atas dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil yang telah kami perbuat.