Dari “Kenapa Takut Bid’ah? ”Alhamdulillah Puji puja dan sukurku tak henti-hentinya kepada pemilik alam semesta ini, pengatur hidup makhluk ini, pengasih dan penyayang setiap makhluknya, maha adil, maha bijaksana, maha pengampun hambanya yang kembali kepadanya. Sholawat dan Salam Allah, Malaikat dan semua makhluk, tetap tercurah tanpa henti-hentinya kepada makhluk yang paling mulia, kekasih raja alam, pemimpin manusia, Nabi muhammad SAW, beserta keluarga, para sohabat, tabi’in, tabi’u tabi’in, dan semua yang mengikuti mereka hingga Akhir alam ini.
Qashidah Maulid al-Burdah, al-Barzanji atau ad-Daiba’i yang hampir setiap saat selalu di baca dan dilantunkan oleh sebagian warga di Indonesia kerap kali dinilai oleh orang-orang Wahhabi sebagai qashidah pujian terhadap Rasulullah yang ‘keblabasan’, karena di dalamnya tercatat ucapan-ucapan yang dinilai syirik terhadap Allah. Salah satu contohnya adalah qashidah sebagaimana berikut:
يَا مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ فَأَغِثْنِي وَأَجِرْنِي
فِي مُلِمَّاتِ اْلأُمُوْرِ يَا غِيَاثِ يَا مَلاَذِ
“Wahai Rasulallah yang menyelamatkan dari Neraka Sa’ir, tolonglah aku dan selamatkanlah aku.Wahai penolongku, wahai tempat berlindungku di dalam segala perkara-perkara yang sulit.”Dua qashidah tersebut memberikan pengertian bahwa ad-Diba’i menyifati Rasulullah dengan sifat sebagai Mujir (penyelamat), Ghiyats (penolong) dan Maladz (tempat berlidung). Dan hal tersebut dianggap oleh mereka sebagai kata-kata yang menyekutukan Allah. Karena menurut mereka ketiga kata tersebut hanya layak di sematkan pada Allah dan bukan kepada makhluk.
Sebelum mengetahui lebih dalam ketiga kata tersebut, harus difahami posisi antara Khaliq (Dzat pencipta) dan makhluq (yang di ciptakan) sebagai pijakan hukum apakah yang dilakukan oleh seseorang adalah bentuk syirik kepada Allah atau tidak. Allah, sebagai sang Al-Khaliq, adalah Dzat yang dapat memberi manfaat dan madharat, sementara makhluk tidak mempunyai daya apa-apa untuk memberikan manfaat atau madharat kepada orang lain. Begitu juga, Allah al-Khaliq, dapat memberi petunjuk atau hidayah kepada makhluk, namun makhluk sebagai hamba lemah tidak dapat melakukannya. Hal ini yang dii’tiqadkan oleh segenap pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah.Manusia, termasuk Rasulullah dan lain-lain yang di sifati dengan kata mujir, ghauts dan maladz (semua mempunyai makna memberikan pertolongan atau perlindungan) adalah dalam kapasitas sebagai makhluk dan bukan sebagai Tuhan, Sang Khaliq Yang Maha Segalanya. Jadi, ada sekat jelas antara maqam (kedudukan) khaliq dan maqam makhluq.
Sekedar contoh, jika kita minta pertolongan atau meminta perlindungan kepada seseorang karena kita sedang kesusahan, dirundung marabahaya, atau akan dicederai orang lain misalnya, apakah berarti kita telah musyrik atau menyekutukan Allah karena tidak meminta perlindungan langsung kepada Allah? Tentu jawabnya tidak setelah kita memahami antara kedudukan khaliq dan makhluq diatas!?
Selanjutnya akan kita kupas ketiga kata tersebut :
Kata MujirLafaz mujir bukan termasuk Asma’ul Husna (Nama-Nama Allah yang Indah), karena nama tersebut tidak ada dalam 3 riwayat hadits tentang Asma’ul Husna yang ditulis oleh as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir. Selain dari pada itu, al-Munawi berpandangan bahwa—sesuai pendapat yang kuat—membuat shifat atau nama (secara khusus) untuk Allah adalah tauqifi (langsung dari Rasulullah) sehingga tidak boleh membuatnya sendiri miskipun materi lafaznya ada, kecuali ada langsung dalam al-Qur’an atau hadits shahih. Mengenai kata Mujir, dalam al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 88 Allah berfirman:
قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi (menyelamatkan) tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui.”
Dalam Surat at-Taubah ayat 6 Allah berfirman:
وإنْ أَحَدٌ مِنَ المُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ ثُمَّ أَبلِغهُ مَأْمَنَهُ
“Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ke tempat yang aman baginya.”
Kedua ayat tersebut memberikan pengertian bahwasannya sifat mujir (penolong) tidak hanya disematkan pada Allah, akan tetapi selain Allah juga dapat mempunyai sifat tersebut. Artinya, kata mujir bisa saja disifatkan pada Allah atau selain Allah. Dan, bagi selain Allah seperti Rasulullah atau yang lain, pertolongan yang diberikan adalah kadar kapasitasnya sebagai manusia atau makhluk bukan sebagai khaliq, yaitu seperti memintakan syafaat umatnya supaya tidak disiksa oleh Allah atau syafa’at supaya mendapatkan ampunan dari Allah dan lain-lain. Sama halnya dengan kata ar-Rauf dan ar-Rahim yang juga di sematkan pada Rasulallah, selain kedua kata tersebut juga termasuk asma’ul husna bagi Allah. Dan keduanya mempunyai sekat yang jelas antara Tuhan dan makhluk.( Mengenai pembahasan memohon syafa’at setelah Rasulullah wafat, lihat secara khusus dalam kitab At-Tahdzir ‘an al-Ightirar bima Ja’a fi Kitab al-Hiwar hal 141 dengan di sertai dalil-dalilnya yang kuat. Hal ini merupakan bantahan terkait dengan tuduhan aliran Wahhabiyyah – salah satunya adalah Abdullah bin Mani’ pengarang kitab Hiwar ma’a al-Maliki - bahwa memohon syafaat Rasulallah setelah beliau meninggal adalah termasuk perbuatan syirik ).
Sayyid Hasyim ar-Rifa’i saat menjelaskan kemampuan Rasulullah dalam memenuhi kebutuhan dan menghilangkan kesusahan para manusia (dalam shalawat Nariyyah) mengatakan bahwa memenuhi berbagai kebutuhan dan menghilangkan kesusahan adalah Allah yang dapat melakukannya dengan tanpa bimbang sama sekali kecuali orang kafir dan orang yang bodoh. Sedangkan menisbatkan pekerjaan tersebut kepada Rasulullah adalah nisbat majazi (nisbat yang tidak haqiqi atau dalam ilmu balaghah di sebut majaz aqli).
Kata GhiyatsAsma ghiyats (al-Mughits) banyak diakui sebagai salah satu sifat Rasulullah. Meskipun Allah juga mempunyai asma ghauts (al-Mughits) dan tercatat sebagai Asma’ Husna dalam satu riwayat. (Fatawi Haditsiyyah hlm. 204. Darul Fikr.)
Artinya, sebagaimana Allah yang menyandang sifat ghauts, selain Allah seperti Rasulullah atau selainnya juga bisa menyandang sifat tersebut, namun dalam koredor kapasitasnya sebagai seorang makhluq. Dengan begitu, sifat ghauts yang dimiliki Rasulullah adalah sifat menolong dan membantu insan lain dari segala kesusahan dan lain-lain dan hanya sebatas yang dimampuni oleh Rasulullah, seperti memintakan syafa’at kepada Allah agar supaya orang-orang tertentu diampuni, diselamatkan dari siksa api neraka, derajatnya di tinggikan dan lain-lain.Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id juz 10/159 dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir disebutkan:
لاَ يُسْتَغَاثُ بِى إِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاللهِ
“Aku tidak dibuat untuk itighatsah, tapi yang dibuat istighatsah adalah Allah.”
Hadits ini kerap sekali di buat dalil tentang keharamannya melakukan istighatsah (meminta tolong) kepada Rasulallah oleh mereka orang-orang yang ingkar terhadap legalnya beristighatsah, namun membuat dalil hadits di atas sebagai pelarangan adalah kesalahan, karena jika yang di maksudkan adalah haram beristighatsah kepada Rasulullah secara mutlak, niscaya akan bertentangan dengan apa yang di lakukan oleh para shahabat yang juga melakukan istighatsah, bertawassul dan memohon do’a kepada beliau. Dan Rasulallah melayani dengan senang hati. Maka dari itu, hadits diatas butuh penta’wilan dan penjelasan.
Menurut Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam Mafahim Yajib an Tushahhah hal. 188, sabda Rasulallah tersebut bertujuan menetapkan hakikat tauhid dalam pondasi i’tikad (aqidah) yang sebenarnya, yakni bahwasannya al-Mughits secara hakikat adalah Allah, sementara hamba hanya berkapasitas sebagai perantara dalam hal yang dimaksud. Atau Rasulullah dalam hadits diatas bermaksud memberi pengertian kepada para shahabat agar tidak meminta kepada hamba tentang sesuatu yang tidak mampu di lakukannya, seperti memasukkan ke dalam syurga, selamat dari api neraka atau menanggung mati husnul khatimah.
Sebagai bukti bahwa makhlukpun dapat di sifati mughits adalah dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 15 disebutkan berikut:
وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلاَنِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ
“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu ada dua laki-laki yang berkelahi, yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan yang seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya dan matilah musuhnya itu.”
Dalam hadits shahih tentang doa istisqa’ (meminta hujan) yang masyhur diriwayatkan oleh Abu Dawud (no 988), Ibnu Majah (no 1260), al-Hakim (no 1226), al-Baihaqi (no 6230), dan lain-lain disebutkan:
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا
“Wahai Allah, berilah kami hujan yang dapat menolong.”
Hadits doa meminta hujan tersebut menggunkan kata “mughits” (hujan yang memberikan pertolongan) serta yang mengajarkan adalah Rasulullah.
Kata Maladz Maladz artinya, Rasulullah merupakan ghiyats bagi orang-orang yang meminta perlindungan atau menjadi tempat berlindung saat Allah sedang murka. Pengertian kata ini juga sama dengan 2 kata di atas, artinya Rasulullah mampu melindungi sekedar kapasitas kemampuan beliau. Termasuk perlindungan Rasulullah di akhirat adalah ketika para makhluk merasa keberatan dan kepanasan di padang makhsyar, yaitu supaya semua makhluk sesegera mungkin dihisab oleh Allah (syafa‘atul ‘uzhma atau maqam mahmud).Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Bukhari, dalam Shahih-nya:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُو يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ فَبَيْنَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوا بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya matahari pada Hari Kiamat telah dekat sehingga keringat manusia akan mencapai separuh telinga. Pada saat itu mereka meminta tolong (ghauts)kepada Adam, kemudian kepada Musa, dan terakhir kepada Muhammad Saw.”
Itulah jawaban yang harus disampaikan, karena ucapan para penyair yang menulis qashidah mada’ih an-nabawiyyah (puji-pujian Nabi) seperti al-Barzanji, ad-Diba’i dan al-Bushiri dalam al-Burdah adalah sudah benar adanya dan tidak menyelisih dari ajaran Rasulullah. Selain itu, mereka juga muslim taat yang sangat berhati-hati dan menghindari hal-hal yang berbau syubhat dan syirik. Apakah penyair-penyair di atas sedemikian bodoh dan hina di mata mereka?! Demi Allah, mereka adalah orang soleh!
Apakah Kitab Barzanji Syirik dan Bidah?
Assalamu'alakum ustadz.
Kata orang yang mengerti bahasa arab di kitab barzanji ada kata-kata yang mengandung nilai-nilai kesyirikan. Saya sebagai orang awam yang tidak mengerti bahasa arab sangat bingung. Apa kebiasaan tersebut harus dibiarkan?
Terimakasih atas penjelasannya.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebenarnya kalau cuma butuh jawaban pendek, mudah saja caranya. Buka google.com lalu ketik kata kunci 'barzanji', Anda pasti akan segera menemukan puluhan tulisan tentang hukumnya.
Tidak Ada Yang Objektif
Namun meski nampak mudah kita mencari di google tentang apa itu kitab Barzanji, yang jadi masalah justru nyaris hampir semua informasi itu berat sebelah. Yang satu menyerang habis-habisan dengan menyebut kitab Barzanji itu syirik, sesat, bid'ah, kumpulan hadits lemah dan palsu, sehingga kitab ini hukumnya HARAM. Sementara pendapat kelompok lainnya membela mati-matian sambil balik membalas dengan berbagai argumentasi.
Terus terang bahwa di tengah khalayak muslim, kitab Barzanji ini diagungkan oleh sebagian kelompok masyarakat, sehingga selalu dibaca berulang-ulang dalam banyak even kehidupan. Misalnya dalam perayaan Maulid Nabi SAW, ritual kelahiran bayi, aqiqah, syukuran, tahlilan, perkawinan dan seterusnya.
Namun sebagian kelompok masyarakat menyatakan kebalikannya, yaitu menuduh kitab ini penuh dengan kekeliruan, kesesatan, kesyirikan, bahkan juga dituduh sebagai kitab yang tidak berdalil atau bahkan berdalil tapi dalil palsu, sehingga tidak layak dimasukan dalam ibadah maupun muamalah.
Jarang Akur
Sangat disayangkan memang bahwa dalam urusan kecil seperti ini ternyata umat Islam yang sedang mengalami masa kemunduran lebh suka mencari-cari titik perbedaan dengan saudaranya sendiri. Tetapi yang seharusnya saudara kemudian entah bagaimana, kemudian diciptakan sendiri untuk menjadi lawan yang harus diperangi.
Entah karena tidak ada kerjaan, atau pun juga karena kurangnya ilmu agama, atau juga mungkin karena korban adu domba pihak-pihak yang tidak suka umat Islam bersatu. Yang pasti perdebatan itu masuk ke wilayah saling mengejek, saling mencaci bahkan saling menuduh sesat dan masuk neraka.
Dan salah satu objek 'peperangan' itu adalah keberadaan kitab Barzanji ini. Meski tidak terlalu tepat benar, di masa lalu umumnya kalangan muslim tradisionalis atau pedesaan dan perkampungan, punya tradisi kuat dengan kitab Barzanji ini. Sebaliknya, kalangan modernis dan perkotaan, umumnya bersikap anti terhadapnya. Namun pembagian ini akhir-akhirnya sudah agak terbalik-balik. Begitu banyak 'orang kota' yang maulidan dan 'barzanjian', dan tidak sedikit 'orang desa' yang anti maulid dan anti barzanji.
Sekilas Tentang Kitab Barzanji
Kalau kita buka literatur, ternyata kitab Barzanji ini tidak kuno-kuno amat. Disebutkan bahwa penulisnya, yaitu Asy-Syaikh Syekh Jafar Al Barzanji bin Husin bin Abdul Karim hidup antara tahun 1690 hingga 1766 Masehi. Kalau dibandingkan dengan kitab-kitab fiqih mazhab turats, kitab yang judul aslinya ‘Iqdul Jawahir (عقد الجواهر), yang artinya untaian permata ini terbilang karya ulama modern, setidaknya tidak terlalu salaf-salaf banget.
Konon Al-Barzanji dikenal sebagai seorang qadli (hakim), bahkan mazhabnya pun bukan mazhab As-Syafi'i sebagaimana yang orang-orang menduganya. Beliau disebutkan bermukim di kota Madinah Al-Munawwarah. Tentu jangan dibayangkan Madinah seperti masa sekarang yang lebih didominasi oleh kalangan mazhab Hanbali, bahkan kalangan salafi. Madinah di masa beliau hidup masih mengakui empat mazhab, bahkan beliau sendiri adalah seorang hakim yang bermazhab Maliki.
Kalau kita bahas dari segi isinya, tema besar kitab Al-Barzanji adalah riwayat hidup Rasulullah SAW yang ditulis dalam bentuk syair prosa, atau istilahnya natsr, seperti format ayat-ayat Al-Quran. Namun ada juga versi puisi atau nazham, yaitu yang kita kenal seperti susunan pantun yang ada ketukannya.
Di masyarakat Betawi umumnya, Barzanji natsar itu dibaca oleh jamaah laki-laki, dan Barzanji nadzam dibaca oleh jamaah perempuan.
Yang Jadi Tititk Perdebatan
Biasanya yang jadi titik perdebatan atau yang selalu dijadikan persoalan tentang kitab Barzanji ini antara lain :
1. Terlalu Mengagungkan Nabi SAW Dengan Bahasa Sastra
Misalnya lafadz dalam kitab ini memuji Nabi SAW dengan ungkapan sastra :
أشـرق البــدر علـينا فاخـتفت منه البدور مثل حسنك ما رأينا قط يا وجـه السرور
Telah terbit purnama di tengah-tengah kita, maka tertutuplah semua bulan purnama
انت شمس انت بدر انت نور فــوق نـور انت اكســير وغـالى انت مصباح الصدور
Engkaulah surya, engkaulah purnama. Engkaulah cahaya di atas cahaya
Dalam tradisi masyarakat Arab, metafora dan simbol terhadap benda-benda langit dimaksudkan menumbuhkan kekuatan rasa cinta dan rindu terhadap orang yang dijunjung, sebagaimana manusia selalu merindukan hadirnya purnama.
Dengan penggambaran yang demikian, sang pengarang ingin menyampaikan betapa pribadi Rasulullah begitu agung lagi penting bagi umat manusia, sebagaimana benda-benda langit yang letaknya di atas, memancarkan keindahan, tak terjangkau oleh tangan namun selalu dirindukan, dan memiliki peran penting dalam menjaga dinamika kehidupan alam semesta.
Tetapi buat kalangan anti Barzanji, semua teks di atas dianggap syirik dan menuhankan Nabi SAW. apalagi ada ungkapan bahwa Rasulullah SAW itu cahaya di atas cahaya. Menurut penentanganya, itu hanya boleh terjadi pada Allah SWT saja, dimana Allah SWT berfirman :
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونِةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاء وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS An-Nur : 35)
Nah, kemudian mereka yang mengagungkan kitab Barzanji itu balik berhujjah, bahwa bila kita mengerti ilmu bahasa Arab, lengkap ilmu syairnya, badi' dan bayan, maka bahasa-bahata metafora itu sangat lekat kuat di dalamnya. Justru kekuatan bahasa sastra terletak disana. Kalau tidak hiperbol, maka bukan kitab sastra namanya, tetapi buku matematika, kimia dan fisika.
Nah, kemudian mereka yang mengagungkan kitab Barzanji itu balik berhujjah, bahwa bila kita mengerti ilmu bahasa Arab, lengkap ilmu syairnya, badi' dan bayan, maka bahasa-bahata metafora itu sangat lekat kuat di dalamnya. Justru kekuatan bahasa sastra terletak disana. Kalau tidak hiperbol, maka bukan kitab sastra namanya, tetapi buku matematika, kimia dan fisika.
Kurang lebih mirip-mirip bahasa gombal dan sastra surat cinta, si perjaka biasanya menuliskan begini : "Engkau lah bidadariku". Kalau dinilai secara ilmiyah, kata-kata ini pasti sesat, karena tidak mungkin bidadari ada di dunia dan manusia bukan bidadari. Bahkan kalau mau diteruskan, surat cinta itu bisa dinilai syirik juga, sebab telah menentang kehendak Allah bahwa bidadari cuma ada di surga.
Tetapi surat cinta seperti itu ditulis oleh berjuta laki-laki di dunia dan menyenangkan berjuta wanita di dunia. Lantas, apakah kita akan mengatakan bahwa dunia ini dipenuhi dengan orang-orang musyrik karena imannya bertentangan dengan Quran yang mengatakan bahwa bidadari itu adanya cuma di surga?
Jelas yang bilang begitu tidak mengerti hal yang sesungguhnya. Siapa pula yang bilang di surga ada bidadari? Ayat mana pula yang dilanggar? Ungkapan 'engkau adalah bidadariku' itu adalah ungkapan pujian, kalau mau diterjemahkan secara lengkap, bunyinya begini : "Engkau ibarat atau seumpama bidadari yang ada surga di hatiku". Pasti yang bikin surat itu tidak pernah meyakini bahwa pasangannya itu bidadari betulan. Masak bidadari bidadari betulan, lagi kok bidadari jerawatan?
2. Banyak Hadits Dhaif dan Palsu
Kitab Barzanji selain merupakan kitab sastra, isinya juga merupakan sejarah atau sirah nabawiyah. Mereka yang anti dengan Barzanji menuduh bahwa bahkan isi sejarahnya pun banyak yang tidak benar, karena hadits-haditsnya dianggap lemah dan palsu.
a. Tanggal Kelahiran Nabi
Misalnya yang paling sering diangkat adalah tentang tuduhan bahwa Barzanji keliru dalam menentukan tanggal kelahiran Nabi SAW. Tahun, bulan dan hari kelahirannya, masih belum disepakati oleh ahli sejarah. Tetapi menurut qaul/pendapat yang kuat adalah sebelum subuh pada hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awwal tahun gajah.
Mereka yang pro kepada Barzanji menjawab bahwa kitab ini bukan kita Sirah Nabawiyah secara 100%. Sehingga kalau mau dikritisi, jangan kitab ini. Kitab ini hanya berisi kisah kelahiran Nabi SAW yang banyak beredar di tengah masyarakat, lepas dari benar atau tidaknya. Oleh karena itu penulisnya pun menyebutkan adanya perbedaan itu, walau pun juga menyebutkan keterangan bahwa yang masyhur adalah tanggal 12 Rabiul Awwal. Hampir semua kitab sirah nabawiyah menuliskan hal yang sama.
b. Bisa Berdiri Usia 3 Bulan, Berjalan Usia 5 Bulan dan Bicara Usia 9 Bulan
Di dalam teks Barzanji memang ada lafafz di atas :
فَقَامَ عَلَى قَدَمَيْهِ فِي ثَلَاثٍ وَمَشَى فِي خَمْسٍ وَقَوِيَتْ فِي تِسْعٍ مِنَ الشُّهُورِ بِفَصِيحِ النُّطْقِ قَوَاه
Rasulullah SAW berdiri di atas kedua kakinya usia 3 bulan, berjalan usia 5 bulan dan fasih bicara di usia 9 bulan.
Buat kita memang hal ini aneh, walau pun bukan aneh kalau buat orang yang bakalannya akan jadi nabi umat terakhir. Kita mengenal istilah irhashat, yaitu semacam mukjizat tetapi khusus buat orang yang belum lagi menjadi nabi. Jadi kalau apakah mungkin, jawabannya mungkin-mungkin saja.
Tetapi yang memang hal ini tidak dilandasi dengan hadits yang shahih, atau setidaknya umat Islam tidak menemukan kisah ini dalam hadits-hadits yang valid. Sehingga kalau bicara dari segi validitasnya, silahkan saja bila ada yang meragukan kebenarannya. Tidak bisa dinafikan bahwa riwayat-riwayat ini begitu banyak disampaikan, sehingga terjadilah berbedaan pendapat tentang kebenarannya.
Salah satu yang mendukung kebenarannya adalah ulama Indonesia yang jadi guru besar di Mekkah Saudi Arabia di masa lalu. Beliau bernama Seyikh Nawawi Al-Bantani. Khusus untuk informasi terakhir ini, beliau termasuk yang ikut membenarkan kejadiannya. Dan kita tahu banyak ulama nusantara yang berguru kepada beliau. Bahkan beliau juga menulis kitab khusus yang merupakan syarah atau penjelasan dari kitab Barzanji ini.
Wallahu a'lam bishshaw, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
0 Komentar