Kepada siapapun kita tidak perlu memaksakan untuk percaya dengan apa yang dinamakan pusaka terutama wesi aji, sebab sebuah kepercayaan tergantung pada perasaan masing-masing manusia. Akan tetapi tiada salahnya seseorang mengetahui dan memahami makna yang terkandung dalam ajaran filsafat para leluhur yang tersimpan dalam bentuk bilahan-bilahan pusaka.

Akhir-akhir ini banyak dari kalangan ormas Islam yang mengatakan bid'ah khurofat dalam menyimpulkan pendapat untuk orang yang menyimpan pusaka, padahal jika diteliti lebih jauh tidak ada yang menyimpang andai dibahas secara ilmiah.

Keris adalah teknologi masa lalu yang mesti ada aturan tertentu dalam perawatan. Dan teknologi di masa kini pun juga ada peraturan yang menyertai produk teknologi tersebut. Perawatan pusaka yang dengan mencuci serta dibuat sedemikian rupa itu adalah aturan teknologi masa lalu. Jamasan pun juga peraturan tentang perawatan pusaka.

Teknologi masa kini pun demikian adanya sebagai contoh orang yang punya motor pasti akan merawatnya dengan aturan yang diperlukan oleh pihak produsen. Dari hal tersebut bisa kita lihat dan kita pahami secara ilmiah tentang teknologi dan perawatan produk tersebut.

Adapun ajaran filsafat para leluhur dengan media keris adalah Keris asa dua jenis (lurus dan luk) keris lurus menyimpan filsafat agar siapapun berusaha teguh pendirian dan tauhid (meng-Esa-kan Tuhan) jujur dalam bertindak. Keris yang luk mengandung arti agar dalam kehidupan selalu melihat kanan kiri, untung rugi dan semua hal yang berbeda untuk melangkah agar tidak melakukan kesalahan dalam mencari tujuan hidup.

Nenek moyang kita masa lalu begitu hati-hati dan teliti dalam mengkaji serta menyimpan sebuah ajaran kehidupan untuk generasi selanjutnya. Keris tidak sebagai senjata tapi sebagai sebuah ajaran kehidupan secara kalimah jarwodosok asal mula kata keris dari kalimah (kekeran dan aris) kekeran yang punya makna pengendalian dan penghalang, aris bermakna bijaksana dan tenang. Dari hal tersebut para leluhur kita mengajarkan tentang pengendalian diri dan bijaksana dalam tindakan ataupun ucapan. Itulah sebagian kecil dari ajaran filsafat para leluhur tanah Jawa

Dan jangankah meremehkan serta beranggapan benar dalam beropini mengenai orang yang masih melestarikan budaya adiluhung dan Janganlah diantara kita sesama umat islam saling menyalahkan.

Para mubaligh era majapahit datang ke tanah Jawa tidak pernah merusak kultur budaya jawa. Bahkan dalam sejarah perkerisan banyak pusaka yang tercipta atas dawuh para ulama zaman itu, diantaranya pusaka mojopahit Kanjeng Kyai purowo Sebilah keris luk 13 atas dawuh Kanjeng Sunan Ampèl. Kanjeng Kyai kalamunyeng pusaka milik Kanjeng Sunan Giri. Keris sumpono bungkem milik Kanjeng Sunan Bonang serta pusaka lain yang atas titah para ulama zaman itu.

Padahal beliau-beliau pun dzuriyah Kanjeng Nabi Muhammad.

Maka dari itu saya tulis hal ini hanya sebagai pengingat serta pengetahuan untuk dijadikan rujukan agar umat islam jangan terprovokasi dengan ajaran yang bisa melemahkan budaya di tanah jawa.


Drajad Keris

Mungkin awalnya sebuah Keris hanyalah menjadi sebuah senjata tikam atau sabet. Tetapi kemudian orang membuat keris memiliki kegaiban di dalamnya, menjadi senjata yang berbeda dengan jenis senjata lain, memiliki suatu kegaiban sebagai senjata tarung sekaligus sebagai alat keselamatan dari serangan gaib.

Seiring perkembangan jaman, di pulau Jawa khususnya, pada jamannya, selain faktor kegaibannya, sebuah keris menjadi lambang derajat pemiliknya, lebih dari sekedar senjata perang / tarung, yang dibuat khusus oleh empu pembuatnya untuk si pemilik keris. Fisik keris, kegaiban / tuah dan tingkat kesaktiannya oleh si empu disesuaikan dengan kondisi si pemesan sesuai batas kemampuan si empu.

Keris tidak ditampilkan sebagai alat kegagahan, karena dibawa dengan diselipkan di belakang pinggang. Bila keris hanya menjadi sebuah alat kegagahan, hanya menjadi sebuah senjata tarung atau senjata tikam, tidak mungkin keris akan dibuat sangat indah bentuknya atau beraksesoris mewah, bila akhirnya hanya akan menjadi sebuah senjata yang berlumuran darah.

Pada awalnya, di tanah jawa (kerajaan masa silam) keris diciptakan hanya untuk memberikan tuah perlindungan gaib, kesaktian, dan wibawa kekuasaan. Keris adalah sebuah benda yang menjadi kebanggaan masyarakat pada umumnya dan juga menjadi lambang status / derajat pemiliknya. Keris menjadi "keharusan" untuk dimiliki oleh para Pejabat, baik Raja, keluarga kerajaan atau bangsawan, orang-orang kaya, para Senopati sampai prajurit  (prajurit biasanya menggunakan jenis tombak maupun Pedang), Adipati / Bupati sampai lurah desa. Di kalangan masyarakat umum-pun hampir semua orang laki-laki ingin memiliki Keris, terutama mereka yang memiliki ilmu Beladiri dan orang-orang tua yang menghayati Spiritual Kejawen.

Di pulau Jawa khususnya, pada jamannya, keris merupakan lambang derajat pemiliknya, lebih daripada sekedar sebuah senjata perang / tarung. Ada aturan-aturan yang harus dipatuhi di masyarakat tentang cara mengenakan keris dan jenis-jenis keris yang boleh dimiliki oleh seseorang. Seorang rakyat biasa tidak boleh mengenakan keris yang diperuntukkan untuk seorang lurah. Seorang raja juga tidak boleh mengenakan keris yang diperuntukkan untuk seorang senopati.

Bila ada seseorang memiliki keris yang derajatnya lebih tinggi dari kedudukan dirinya di masyarakat, maka orang itu tidak akan menyimpannya untuk dirinya sendiri. Begitu juga bila seseorang memiliki keris yang peruntukkannya untuk kelas derajat yang lebih rendah, biasanya akan diberikannya kepada orang lain yang lebih pantas untuk memilikinya.

Kehormatan pribadi seseorang bukan hanya ditentukan oleh status keningratan atau jabatan, kemewahan atau kekayaan, tetapi terutama juga adalah kepantasannya dalam berperilaku dan berpenampilan, kepantasannya dalam mengenakan busana dan pusaka, dan kepantasannya dalam menempatkan diri di dalam pergaulan dan di masyarakat, sesuai derajatnya masing-masing.

Keberadaan sebuah keris bersifat pribadi. Keris menjadi lambang kehormatan pribadi dan harga diri seseorang. Keris diakui sebagai sesuatu yang menyatu dengan pribadi pemiliknya, sehingga sebuah keris milik seseorang akan sangat dihormati, sama seperti menghormati manusia pemiliknya, sehingga keris seseorang dapat diterima dan diakui untuk mewakili kehadiran seseorang sebagai pengantin pria yang berhalangan hadir dalam acara pinangan atau perkawinan, atau mewakili kehadirannya dalam acara penting kekeluargaan, dan keris seorang raja dapat mewakili kehadiran sang raja dalam acara kenegaraan. Dan dalam setiap upacara formal, seseorang yang terpandang atau berderajat tinggi akan jatuh martabatnya / kehormatannya jika menghadiri upacara tersebut tanpa mengenakan keris.

Keris menjadi kelengkapan "wajib" untuk dikenakan sebagai busana kehormatan dalam acara-acara resmi Kenegaraan, kekeluargaan, perkawinan, dan acara ritual kerohanian, seperti acara ruwatan, selametan, bersih desa, dsb.

Demikianlah, keris memiliki status tersendiri di masyarakat dan menjadi unsur penting dalam budaya dan kehidupan sehari-hari, lebih daripada sekedar sebuah senjata tarung.

Pada jaman itu seorang empu keris adalah juga seorang spiritualis dan pemuka Agama karena itu sebuah keris yang diterima seseorang dari seorang empu keris akan sangat dihargai dan juga 'dikeramatkan', lebih daripada sekedar jimat dan senjata, karena berisi doa-doa keselamatan dan kesejahteran dari seorang spiritualis / pemuka Agama untuk si pemilik keris dan menjadi lambang diturunkannya restu Tuhan kepada si Manusia pemilik keris untuk keberkahan.

Dengan demikian, lebih daripada sekedar sebuah senjata, keris juga secara psikologis menjadi lambang kerohanian dan kedekatan hati dengan Tuhan. Karena itulah sang pemilik keris akan benar-benar menjaga dan memelihara kerisnya, bahkan akan 'mengeramatkan'-nya, lebih daripada sekedar sebuah senjata atau jimat. Keris menjadi sarana kedekatan hati dengan Tuhan dan juga menjadi sarana pemujaan kepada Tuhan. Karena itu sang pemilik keris akan selalu menjaga kelurusan hati, tekun beribadah, menjaga moral dan budi pekerti dan sikap ksatria. Itulah sebabnya orang-orang yang hidup dalam dunia kejahatan, yang menjadi penyamun, perampok, dsb, orang-orang golongan hitam, biasanya tidak memakai keris, tetapi menggunakan senjata jenis lain.

Mengenai kelengkapan dan kemewahan hiasan / perabot keris adalah tergantung pada akan diberikan kepada siapa keris itu nantinya, tergantung pada status pribadi si pemilik keris di masyarakat. Selain kesanggupan untuk membayar biaya pembuatan keris, status pribadi itulah yang menentukan kepantasan keris yang akan dikenakannya. Semakin tinggi status kedudukan sang pemilik keris, maka akan semakin lengkap dan mewah hiasan kerisnya.

Sesuai status pemiliknya di masyarakat (dalam pembuatannya masing-masing keris sudah disesuaikan dengan status pemiliknya di masyarakat), keris mempunyai status dan kelas sendiri-sendiri sebagai berikut :

1. Keris Pusaka Kerajaan.

Tingkatannya:

(1) Keris Pusaka Keraton
Adalah keris dan pusaka-pusaka lain yang maksud dan tujuan pembuatannya adalah untuk menjadi lambang kekuasaan dan kebesaran sebuah keraton.

(2) Keris Pusaka Kerajaan
Adalah keris dan pusaka-pusaka lain yang oleh pemerintahan kerajaan dijadikan lambang kekuasaan dan kebesaran kerajaan atau diandalkan untuk mengamankan Kerajaan dari gangguan kerusuhan, pemberontakan atau serangan gaib.

Keris-keris jenis tersebut di atas biasanya disimpan di dalam ruang pusaka kerajaan dan tempatnya disendirikan, terpisah dari pusaka-pusaka yang lain dan baru akan dikeluarkan bila ada upacara-upacara kerajaan atau bila terjadi situasi yang mendesak dan berbahaya.

Pusaka Kerajaan berbentuk tombak dan Payung Kebesaran, yang juga merupakan lambang kebesaran sebuah kerajaan, biasanya diletakkan berdiri di belakang Singgasana Raja.

Dalam kategori Pusaka Kerajaan ini termasuk juga, sesuai tingkatannya masing-masing, pusaka-pusaka yang menjadi lambang kekuasaan dan kebesaran sebuah Keraton Kadipaten atau kabupaten.

Keris Keraton dan Keris Pusaka Kerajaan agak sulit membedakannya. Orang harus memiliki spiritualitas yang tinggi untuk bisa membedakan kandungan wahyu di dalam masing-masing keris untuk bisa membedakan mana yang adalah Keris Keraton dan mana yang bukan Keris Keraton tetapi dijadikan Pusaka Kerajaan dan diperlakukan sama seperti sebuah Keris Keraton.

Dalam pengertian Keris Keraton, pusaka yang tujuan pembuatannya adalah untuk menjadi lambang kebesaran sebuah keraton, terkandung di dalamnya apa yang biasa disebut sebagai Wahyu Keraton.

Jenis-jenis pusaka itu tidak boleh dipakai oleh sembarang orang, termasuk walaupun ia adalah anak seorang raja. Hanya orang-orang yang sudah menerima wahyu Keraton / Keprabon saja yang boleh memakainya, sehingga wahyu di dalam orang itu dan wahyu dari kerisnya akan mewujudkan sebuah sinergi kegaiban, yang kegaibannya tidak akan bisa disamai oleh jenis-jenis Pusaka lain.

Contoh Keris Keraton adalah Keris Nagasasra dan Keris Sabuk Inten, sepasang keris yang pernah menjadi lambang kebesaran keraton Majapahit. Sepasang keris itu, menurut sejarahnya, juga pernah digunakan untuk membersihkan wilayah kerajaan Majapahit pada saat terjadi wabah penyakit sampar yang menyerang rakyatnya.

Setelah masa kerajaan Majapahit berakhir dan kekuasaan pemerintahan berpindah ke kerajaan Demak, sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten juga ikut di boyong dan dipindahkan ke Demak, dijadikan lambang kebesaran kerajaan Demak, tetapi sayangnya, di Demak itu wahyu kerisnya tidak bekerja.

Contoh pusaka yang dijadikan Pusaka Kerajaan adalah pusaka Bende Mataram yang digunakan oleh kerajaan Mataram (Panembahan Senopati) untuk menaikkan semangat tempur prajurit Mataram, tetapi sekaligus ditujukan untuk merusak psikologis prajurit musuh, pada saat akan berperang melawan prajurit kerajaan Pajang dan pasukan Brang Wetan. Dan akhirnya perang pun tidak terjadi. Dengan kemenangan mutlak.

Contoh lainnya adalah pusaka tombak Kyai Plered yang dijadikan pusaka lambang kerajaan Mataram, sebuah pusaka yang diberikan Secara turun temurun dari Kyai Ageng Tarub sampai kepada Sutawijaya sebagai bekal untuk mengalahkan Raden Arya Penangsang, yang kemudian mengantarkan Sutawijaya menjadi penguasa Mataram (Panembahan Senopati).

2.  Keris Raja. 

Keris Raja ada 3 macam, yaitu :

(1) Keris yang menjadi pegangan / piyandel Sang Raja sehari-hari  (bersifat pribadi dan dipakai oleh Sang Raja sehari-hari).

(2) Keris yang merupakan keharusan untuk dimiliki oleh seorang Raja (biasanya dikenakan dalam upacara-upacara Kerajaan)

(3) Keris yang diberikan / dipersembahkan oleh orang lain (Empu) kepada Raja sebagai pengabdian

Selain yang sehari-hari dipakai oleh sang raja, keris-keris lainnya disimpan dalam ruangan pusaka kerajaan.


3.  Keris keluarga Kerajaan / Bangsawan, Bupati / Adipati.

Jenis ini adalah keris-keris yang memiliki tanda / bentuk tersendiri sesuai statusnya.

Contohnya adalah keris-keris ber-luk lima, keris pulanggeni atau keris pandawa, keris-keris berdapur Nagasasra dan keris-keris Singa Barong.

Keris-keris tersebut secara umum disebut  Keris Keningratan  yang hanya boleh dimiliki oleh Raja, keluarga Raja dan kerabat kerajaan, bangsawan adipati / bupati dan keluarganya (kalangan Ningrat).

Selain mereka, bahkan para Menteri Kerajaan, panglima, senopati dan prajurit, tumenggung, demang dan lurah, dan orang-orang kaya, yang tidak memiliki garis kebangsawanan dan bukan kerabat kerajaan, tidak boleh memilikinya, apalagi rakyat biasa.Keris-keris berdapur Nogo sosro hanya patut dimiliki oleh seorang Raja dan anggota keluarga Raja saja.

Keris-keris berdapur singa barong untuk kelas di bawahnya, yaitu untuk Adipati / bupati dan keluarganya.

4.  Keris untuk menteri dan pejabat kerajaan, panglima, senopati dan prajurit.

Keris-keris ini memiliki tanda khusus yang melambangkan status mereka di kerajaan dan biasanya memiliki hiasan-hiasan / simbol yang melambangkan derajat mereka.

5.  Keris untuk orang-orang kaya (yang bukan kerabat kerajaan), tumenggung, demang dan lurah.

Biasanya memiliki hiasan-hiasan yang melambangkan derajat mereka.

6.  Keris milik seorang panembahan / spiritualis dan keris milik seorang raja atau keluarga raja yang sudah mandito (meninggalkan keduniawian).


Biasanya ber-luk 7 atau 9.

Biasanya bentuknya sederhana dan tidak memiliki hiasan-hiasan mewah sesuai kondisi mereka yang sudah meninggalkan keduniawian.

7.  Keris untuk ksatria dan rakyat biasa.

Biasanya tidak memiliki hiasan-hiasan yang mewah, sesuai budaya dan kebiasaan mereka untuk merendahkan hati. Keris yang khusus dibuat untuk para ksatria, pesilat dan pendekar dunia persilatan biasanya sederhana bentuknya, dan tidak menunjukkan kesan angker, tetapi memiliki kesaktian gaib yang tinggi dan mengandung energi gaib yang tajam. Keris-keris jenis ini biasanya aktif berinteraksi dengan kebatinan pemiliknya, walaupun kerisnya tidak dikeluarkan dari sarungnya.

Keris untuk rakyat biasa, sesuai status pemiliknya, biasanya tuah utama keris-keris tersebut bukan untuk kesaktian, kekuasaan atau wibawa, tetapi untuk perlindungan gaib, ketentraman keluarga, kerejekian dan kesuburan. Keris untuk rakyat biasa biasanya pembuatannya dilakukan secara masal oleh sang empu, karena tidak bersifat pesanan khusus, dan yang melakukan penempaannya adalah para cantrik-cantriknya.

Sesuai jenis dan kelas keris-keris tersebut di atas, para empu pembuatnya pun terbagi-bagi sesuai kelasnya masing-masing yang diterima dan diakui di masyarakat dan di lingkungan perkerisan, yaitu Empu Kerajaan, Empu kelas menengah dan Empu desa.

Sesuai status dan kelas keris di atas, kemampuan para Empu keris dalam membuat keris yang sesuai dengan masing-masing jenis dan kelas keris di atas pun terbagi-bagi sesuai kualitas masing-masing empu keris yang ditentukan berdasarkan kelas / tingkatan kualitas wahyu ilham yang sudah diterima oleh masing-masing empu keris, tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan pribadi manusia sang empu keris dalam membuat keris. Para Empu Di masa lalu selalu berhati-hati dalam menentukan bahan dan garapan serta tempat untuk membuat Pusaka.

Sekian dan mohon dikoreksi