Tasawuf didasarkan pada 8 (delapan) sifat yang dicontohkan oleh Para Rasul :
1. Kedermawanan Nabi Ibrahim, yang mengorbankan putranya.
2. Kepasrahan Nabi Ismail, yeng menyerahkan diri pada perintah Allah dan menyerahkan hidupnya.
3. Kesabaran Nabi Ayub, yang dengan sabar menahan penderitaan penyakit gatal dan kecemburuan Yang Maha Pemurah.
4. Perlambangan Nabi Zakaria, yang menerima sabda Tuhan, “ Kau tak akan berbicara dengan manusia selama 3 (tiga) hari, kecuali dengan mempergunakan lambang-lambang”, dan juga “ tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut”.
5. Keasingan Nabi Yunus yang merupakan orang asing di negerinya sendiri dan terasing di tengah-tengah kaumnya sendiri.
6. Sifat Penziarah Nabi Isa, yang begitu melepaskan keduniawian sehingga hanya menyimpan sebuah mangkuk dan sebuah sisir. Mangkuk itu pun di buangnya ketika ia melihat seseorang minum dari telapak tangannya, dan juga sisirnya ketika dilihatnya seseorang menyisir rambut dengan jari-jarinya.
7. Pemakaian jubah wool oleh Musa.
8. Kemelaratan/kemiskinan Muhammad, yang di anugerahi kunci segala harta yang ada di muka bumi oleh Allah, sabda-Nya : “Jangan menyusahkan diri sendiri, tapi nikmati setiap kemewahan dengan harga ini “, namun jawabnya Muhammad, “ Ya Allah, hamba tidak menghendakinya, biarkan hamba sehari kenyang dan sehari lapar “.
Beberapa diantara orang-orang sezaman Junayd menekankan segi tapabrata tasawuf, yakni suatu pemutusan hubungan sepenuhnya dengan apa yang dikatakan sebagai “ dunia” dan egotisme, “ Tasawuf berarti tak memiliki apa pun dan tak dimiliki apa pun.”
Segi sosial dan praktis dalam tasawuf kita ketahui dari batas-batasan seperti yang diberikan oleh Junayd dan Nuri yang menyatakan bahwa “ Tasawuf tidak tersusun dari praktek dan ilmu, tetapi merupakan akhlak”, dan “ siapa pun yang melebihimu dalam nilai akhlak, berate melebihimu dalam Tasawuf ”. Maksudnya ialah bertindak sesuai dengan perintah dan hukum Allah, yang dipahami dalam pengertian rohaninya yang terdalam tanpa mengingkari bentuk-bentuk luarnya. Cara hidup semacam ini hanya mungkin dilaksanakan lewat pengabdian penuh kasih : “ Tasawuf adalah menjadi murninya jiwa dari pengotoran oleh perselisihan”- suatu kalimat yang dijelaskan oleh Hujwiri sebagai berikut : “ Cinta adalah kesepahaman, dan kekasih hanya memiliki satu tugas di dunia, yakni mentapi perintah yang dikasihinya, dan apabila yang di hasratkan satu saja, bagaimana mungkin perselisihan timbul ?
1. Kedermawanan Nabi Ibrahim, yang mengorbankan putranya.
2. Kepasrahan Nabi Ismail, yeng menyerahkan diri pada perintah Allah dan menyerahkan hidupnya.
3. Kesabaran Nabi Ayub, yang dengan sabar menahan penderitaan penyakit gatal dan kecemburuan Yang Maha Pemurah.
4. Perlambangan Nabi Zakaria, yang menerima sabda Tuhan, “ Kau tak akan berbicara dengan manusia selama 3 (tiga) hari, kecuali dengan mempergunakan lambang-lambang”, dan juga “ tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut”.
5. Keasingan Nabi Yunus yang merupakan orang asing di negerinya sendiri dan terasing di tengah-tengah kaumnya sendiri.
6. Sifat Penziarah Nabi Isa, yang begitu melepaskan keduniawian sehingga hanya menyimpan sebuah mangkuk dan sebuah sisir. Mangkuk itu pun di buangnya ketika ia melihat seseorang minum dari telapak tangannya, dan juga sisirnya ketika dilihatnya seseorang menyisir rambut dengan jari-jarinya.
7. Pemakaian jubah wool oleh Musa.
8. Kemelaratan/kemiskinan Muhammad, yang di anugerahi kunci segala harta yang ada di muka bumi oleh Allah, sabda-Nya : “Jangan menyusahkan diri sendiri, tapi nikmati setiap kemewahan dengan harga ini “, namun jawabnya Muhammad, “ Ya Allah, hamba tidak menghendakinya, biarkan hamba sehari kenyang dan sehari lapar “.
Beberapa diantara orang-orang sezaman Junayd menekankan segi tapabrata tasawuf, yakni suatu pemutusan hubungan sepenuhnya dengan apa yang dikatakan sebagai “ dunia” dan egotisme, “ Tasawuf berarti tak memiliki apa pun dan tak dimiliki apa pun.”
Segi sosial dan praktis dalam tasawuf kita ketahui dari batas-batasan seperti yang diberikan oleh Junayd dan Nuri yang menyatakan bahwa “ Tasawuf tidak tersusun dari praktek dan ilmu, tetapi merupakan akhlak”, dan “ siapa pun yang melebihimu dalam nilai akhlak, berate melebihimu dalam Tasawuf ”. Maksudnya ialah bertindak sesuai dengan perintah dan hukum Allah, yang dipahami dalam pengertian rohaninya yang terdalam tanpa mengingkari bentuk-bentuk luarnya. Cara hidup semacam ini hanya mungkin dilaksanakan lewat pengabdian penuh kasih : “ Tasawuf adalah menjadi murninya jiwa dari pengotoran oleh perselisihan”- suatu kalimat yang dijelaskan oleh Hujwiri sebagai berikut : “ Cinta adalah kesepahaman, dan kekasih hanya memiliki satu tugas di dunia, yakni mentapi perintah yang dikasihinya, dan apabila yang di hasratkan satu saja, bagaimana mungkin perselisihan timbul ?
Para sufi telah berbicara mengenai 3 (tiga) segi makna Tasawuf : Menurut Syariat, Tarikat, dan Hakikat. Hal itu merupakan penyucian pada tingkat-tingkat yang berbeda, pertama-tama dari sifat-sifat rendah dan kekejian jiwa, kemudian dari perbudakan sifat-sifat manusia, dan akhirnya penyucian dan pemilihan pada tingkat sifat-sifat.
Kaum mistik Islam menikmati kata dengan akar Safa ‘ kemurnian’, setiap kali mereka membicarakan Tasawuf dan sifat-sifat ideal sufi : ‘ Ia yang dimurnikan cinta menjadi murni (safi ), dan ia yang dimurnikan Kekasih menjadi sufi ‘, yakni seorang yang sama sekali terserap dalam Maha Kekasih dan sama sekali tidak memikirkan apa pun kecuali Dia – hanya dengan begitu ia mencapai taraf sufi sejati. Tidaklah mengherankan bahwa para sufi telah berusaha mengangkat ‘ Adam’ sebagai sufi pertama; sebab selama 40 (empat puluh) hari ia berada “dalam khalwat” (bagaikan pendatang baru di awal Tarikat) sebelum Allah menganugerahkan jiwa; kemudian Allah memasang lampu nalar di hatinya dan cahaya kearifan di lidahnya, dan ia pun muncul bagaikan ahli mistik yang diterangi, dari tempat pengasingannya waktu ia berada dalam adonan Tuhan. Setelah kejatuhannya ia menunjukan rasa penyesalannya di India selama 300 tahun sampai Tuhan ‘ memilih-nya’ sehingga ia menjadi murni (safi ) dan demikian menjadi seorang sufi sejati. Seorang sufi mendefinisikan tentang tasawuf sebagai berikut : “ Tasawuf itu Apa ? Katanya : Menemukan kebahagiaan di hati apabila kesusahan tiba”.
Dalam masa-masa pembentukannya, tasawuf terutama merupakan bagian-bagian Islam, suatu pengalaman pribadi tentang misteri utama Islam, yakni Tauhid, “ menyatakan bahwa Allah itu Esa.” Para Sufi selalu berada dalam lingkungan Islam, dan sikap mistik mereka tidak terbatas pada keanggotaannya pada mazhab hukum atau teologis yang mana pun. Mereka bisa mencapai tujuannya dari titik mana saja, pada dasarnya mereka tidak tertarik pada perbedaan-perbedaan teologis yang sangat kecil. Hujwiri menyimpulkan sikap awal sufi terhadap ilmu dan teknologi dalam pengamatannya yang tajam : “ Pengetahuan itu luas, tetap hidup singkat: oleh karenannya tidaklah wajib mempelajari semua ilmu….. cukup yang ada hubungannya dengan hukum agama.” Itu berarti : astronomi secukupnya agar bisa menentukan kiblat, matematika secukupnya agar bisa menghitung jumlah zakat yang harus diserahkan – itulah yang harus diketahui seorang sufi, seperti juga halnya setiap Muslim yang baik. Bukankah Allah telah mengutuk ilmu yang tak ada gunanya (surah 2 :96), dan bukankah Nabi bersabda, “ Aku berlindung pada-Mu dari pengetahuan (ilmu) yang tak berguna?” Ilmu yang wajib di tuntut oleh setiap Muslim, adalah pengetahuan tentang kewajiban praktis seorang Muslim: “ Jangan membaca ilmu kecuali untuk kehidupan yang sesungguhnya… Ilmu Agama berupa fiqih, tafsir, dan hadist – siapa pun yang membaca yang lain akan menjadi menjijikan.” Kearifan sejati, yakni kearifan Yang Tunggal, tidak bisa dicapai lewat buku-buku (kitab); banyak kisah menceritakan bagaimana seorang sufi yang telah mencapai, atau menganggap dirinya telah mencapai, tujuannya – membuang buku-bukunya (kitab), katanya : “ Buku, kau memang pandu utama, tetapi konyol sekali kalau masih merepotkan diri dengan pandu kalau tujuan sudah tercapai.
“Memecahkan botol tinta dan menyobek buku” dianggap, oleh beberapa ahli sufi, sebagai langkah pertama dalam tasawuf. Orang suci yang agung “ Umar Suhrawardi, yang mempelajari teologis skolastik pada masa mudanya, diberkahi oleh seorang suci yang meletakan tangan di dadanya dan membuatnya melupakan segala yang telah dipelajarinya, “ tetapi ia mengisi dada saya dengan ILMU LADUNI. Yakni pengetahuan yang diturunkan langsung dari Allah. Syekh Abdul Qodir Jailani mempertunjukan mukjizat dengan tiba-tiba menghanyutkan teks sebuah buku filsafat yang dianggapnya berbahaya bagi pengikut-pengikutnya; sufi-sufi lain dalam mimpinya dituntut untuk membuang koleksi bukunya yang berharga ke sungai.
Kegemaran akan pengetahuan langsung yang berbeda dari ilmu pengetahuan menurut hukum pada masa-masa selanjutnya di nyatakan oleh banyak penyair dan ahli sufi yang mencemoohkan pelopor sekolah hukum terkenal, terutama sekali Imam Abu Hanifah (767 M) dan Imam Syafi’I (820 M). “ Abu Hanifa tidak mengajarkan cinta, ( Syafi’I tak mengenal hadist ).
Sana’I ( 1131 m) sering membedakan Sufi dan Kufi, yakni ahli hukum terkenal Abu Hanifa yang berasal dari Kufa; dan masih dalam puisi mistik Sindhi abad ke-18, sufi disebut La-kufi, nir-kufi, yakni tidak terikat pada suatu tatacara agama tertentu. Para Sufi menyatakan bahwa seluruh kearifan tercantum dalam huruf Alif, huruf pertama dalam abjad dan lambing Allah. Bukankah banyak sarjana yang bersandar pada buku “ seperti keledai yang membawa kitab-kitab? “ Bukan kah Nuh hidup sampai 900 (sembilan ratus) tahun dengan hanya Dzikir (mengingat-ngingat) Allah ?
TAUHID
Apakah Tauhid itu ? Tauhid atau ‘ Pernyataan bahwa Allah itu satu’ merupakan tujuan kehidupan ke-agamaan bagi orang Islam pada umumnya dan bagi orang sufi khususnya. Hujwiri menyatakan bahwa ada 3 (tiga) jenis Tauhid :
1. Tauhid Tuhan tentang Tuhan, Yaitu pengetahuan-Nya tentang kesatuan-Nya.
2. Tauhid Tuhan tentang makhluk-Nya, Yaitu ketetapan-Nya bahwa manusia menyatakan Tuhan sebagai Satu dan menciptakan penyatuan dalam hatinya.
3. Tauhid manusia tentang Tuhan, Yaitu pengetahuan mereka tentang Kesatuan Tuhan.
Bagi tasawuf ordtodoks, Tauhid terutama berarti pengakuan bahwa tak ada pelaku selain Allah dan bahwa segala sesuatu dan semua orang tergantung pada-Nya. Gagasan ini sudah membawa kepada pengakuan bahwa hanya Dia sajalah mempunyai wujud sebenarnya dan hanya Dia saja yang berhak mengatakan “Aku” – bahwasanya Tuhan adalah satu-satunya subjek yang benar.
Didalam Kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Gazzali menggambarkan secara sangat jelas, cara untuk mencapai tauhid :
Barang siapa memandang dunia karena itu karya Tuhan, dan mengenalnya karena itu karya Tuhan, dan mencintainya karena itu karya Tuhan, tidak memandang kepada apa pun selain Tuhan, dan tidak mengetahui apa pun selain Tuhan dan tidak mencinta apapun selain Tuhan, ia adalah penyatu ( Muwahhid) sejati, yang tidak memandang apa pun selain Tuhan, bahkan tidak memandang kepada dirinya untuk dirinya sendiri, melainkan karena ia hamba Tuhan – orang seperti itu dinamakan sirna dalam penyatuan dan disebut sebagai sirna dari dirinya sendiri.
Ini merupakan penjabaran daripada apa yang diucapkan oleh seorang sufi sebelum itu; Hujwiri mengutipnya sebagai berikut : “ Penyatuan adalah bahwa tak ada yang melintas di pikiranmu kecuali Tuhan”. Al-Junaed juga mengembalikan gagasan Tauhid kepada hari perjanjian Purba :
Tauhid artinya seseorang menjadi boneka di tangan Tuhan, boneka yang menuruti perintah-perintah Tuhan sesuai dengan ketentuan-Nya dalam keMahakuasaan-Nya, dan bahwa ia harus tenggelam ke dalam lautan tauhid-Nya, sirna dan mati, baik dalam hal panggilan kemanusiaan maupun dalam hal jawabnya kepada mereka. Ia harus terpana oleh realitas ilahi dalam keakraban sejati, terlena dari pikiran dan perbuatan, karena Tuhan melaksanakan padanya apa yang Ia kehendaki daripadanya, Yaitu bahwa keadaannya yang terakhir menjadi keadaannya yang mula-mula, dan bahwa ia menjadi seperti ketika ia belum berwujud.
Jadi Tauhid sejati berarti melupakan tauhid. Dalam keadaan tauhid orang yang awas menjadi buta dan orang yang bernalar menjadi bingung. “ Dan pada segala sesuatu ada saksi untuk-Nya, yang membuktikan bahwa Ia. ( Esa ).
Kehadiran Tuhan yang meresapi segala sesuatu disaksikan oleh Muwahhid, dan oleh orang sufi dinyatakan dalam ucapan, “ Aku tidak melihat sesuatu tanpa melihat Tuhan sebelumnya dan sesudahnya dan bersamanya ada di dalamnya.” Menurut Muhammad ibn Wasi’ berkata, “ Aku tak pernah melihat sesuatu tanpa melihat Tuhan di dalamnya.” Dan menurut Shibli berseru : “ Aku tak pernah melihat sesuatu kecuali Tuhan.” Dalam keadaan bahagia (Jadhbi) hanya melihat Tuhan, lain tidak. Dari pernyataan Shibli mudahlah orang berlanjut kepada perasaan yang di ungkapkan dalam bayak syair Parsi dan Turki : “ Dalam mesjid dan warung, dalam kafir dan muslim aku hanya melihat Tuhan!” Para sufi mendukung ucapan semacam itu dengan adanya firman Tuhan : “ Ke mana pun engkau berpaling, disitu wajah Tuhan.” (Q.S. 2 : 109) kalimat ini merupakan salah satu dasar bagi teori-teori sufi, kemudian dan memberikan kepada para sufi suatu bukti bahwa Tuhan, Yaitu satu-satunya pelaku, adalah satu-satunya wujud sejati, dan bagi ahli sufi yang mendapat pencerahan, Ia terlihat dalam setiap bentuk dan di balik setiap penyamaran.
BENTUK-BENTUK IBADAH / SHALAT
Satu di antara kelima rukun Islam ialah shalat ( dalam bahasa Parsi dan Turki Namaz ) yang dilakukan 5 (lima) kali sehari pada waktu yang ditentukan di antara sesaat sebelum fajar dan kegelapan malam. Sesuai dengan suatu hadist pada zaman awal Islam, para pertapa serta ahli sufi menganggap shalat sebagai semacam kenaikan ke surga, sebagai mikraj yang membawa mereka dalam kehadiran Tuhan secara langsung. Ada hadist yang mengatakan, “ Shalat itu kunci surga”; dan juga Hadist Nabi : “ ASHALATU MI’RAJUL MU’MININ “. Artinya : Shalat adalah Mi’rajnya orang-orang beriman. Didalam kata Shalat ada tindakan wasola, artinya : tiba, bersatu. Dengan demikian shalat menjadi waktu untuk berhubungan, suatu saat kedekatan kepada Allah. Bukankah di dalam Qur’an dinyatakan berkali-kali bahwa seluruh penciptaan dijadikan dengan tujuan memuja Tuhan? Maka mereka yang mengingkan kedekatan khusus kepada Tuhan serta mau membuktikan ketaatan dan cintanya, pastilah mereka yang mementingkan shalat. Mungkin mereka bahkan mampu menyuruh malaikat maut menunggu sampai mereka selesai shalat.
Saat sang sufi mengucapkan niat dengan menyebut jumlah rokaat yang tepat, berarti juga pernyataannya kemauannya untuk meninggalkan seluruh alam ciptaan. Selama ber-shalat ia merasa seakan-akan menunggu di hadapan Tuhan pada Hari Kiamat. Dengan tepat Muhasibi menggambarkan perasaan takut dan kagum yang memukau :
Yang menguasai hati ahli Ma’rifat sewaktu ia bershalat ialah kesadaran akan kerahasiaan yang meliputi hadirat Tuhan tempat ia menghadap, dan kesadaran akan kekuasaan Tuhan yang dia cari, dan kesadaran akan cinta Tuhan yang berkenan mengijinkan pergaulan yang akrab dengan-Nya. Sang sufi sadar akan hal itu sampai ia selesai shalat, dan ia beranjak dari tempatnya dengan wajah yang berubah sehingga teman-temanya tidak dapat mengenalnya, karena rasa takut dan kagum yang dirasakannya terhadap keagungan Tuhan. Bila seseorang datang menghadap ke hadirat seorang raja atau seseorang yang dia rindukan dan dia takuti, sikapnya berubah daripada ketika ia datang, dan ia pergi dengan wajah yang berubah pula. Betapa pula bila ia menghadapi Tuhan seru sekalian alam yang tiada awal dan tiada akhir, yang tidak ada samanya? (Kitab Ar-ri’aya li huquq Allah).
Bila engkau memulai shalat, hendaknya engkau menghadap ke hadirat-Nya seakan-akan itu Hari Kebangkitan. Saat itu engkau berdiri di hadapan-Nya tanpa perantara, sebab Ia menyambutmu dan engkau berbicara akrab dengan-Nya. Dan engkau tahu Siapa yang kau hadapi, sebab Ia adalah Raja segala raja. Kalau engkau telah mengangkat ke dua belah tangan dan mengucapkan “ Allahu Akbar “, jangan biarkan sesuatu yang lain tinggal di hatimu kecuali memuliakan-Nya; dan pada saat memuliakan-Nya, jangan biarkan sesuatu yang lain ada dalam jiwamu kecuali kemuliaan Allah yang Mahatinggi, sehingga engkau melupakan dunia dan akhirat pada saat memuliakan Dia. Jika seseorang berukuk dalam shalat hendaknya ia tegak kembali, kemudian sujud, sehingga setiap sendi tubuhnya menghadapi singgasana Tuhan, dan ini berate bahwa ia memuliakan Allah yang Mahatinggi, sehingga dalam hatinya tak ada yang lebih besar daripada Allah yang Maha Agung dan Ia menganggap dan merasa dirinya tidak lebih ketimbang sebutir debu. (Kitab Ar-ri’aya li huquq Allah)
Dalam keadaan yang penuh rasa kagum dan takut ini, setiap anggota tubuh ikut serta dalam pemujaan sehingga jiwa dan raga serentak tertuju kepada Tuhan.
Orang sufi memberikan makna yang berbeda-beda kepada shalat. Mereka mengatakan bahwa shalat dalam artian Syariat adalah pengabdian, menurut Tarikat adalah ke-Akraban dan menurut Hakikat adalah penyatuan dengan Tuhan.
Bila ditafsirkan secara esoteris mungkin juga gerakan shalat diartikan mewakili gerak pemujaan yang terdapat pada seluruh penciptaan : SUJUD mengingatkan pada hal tumbuhan, RUKUK pada hal hewan dan BERDIRI TEGAK adalah milik husus manusia. Setiap mahluk menyembah Tuhan dengan caranya sendiri. Para Malaikat menyembah Tuhan dalam satu sikap selama berabad-abad, sesuai dengan tingkatannya; hanya manusia yang dalam beberapa gerakan shalat dapat mewakili keseluruhan pemujaan yang merupakan kewajiban segenap mahluk. Di dalam sikap-sikap shalat dihubungkan dengan nama ADAM, yang mewakili segenap umat manusia :
ADAM - ALIF ( ﺍ ) DAL ( ﺪ ) MIM ( ﻢ )
Jika engkau berdiri, terbentuklah ALIF ( ﺍ )
Bila berukuk, lihatlah DAL ( ﺪ ) tercipta;
Kalau engkau bersujud kelihatan MI M ( ﻢ )
Maksudnya, agar bisa menghayati ADAM.
Orang lain menafsirkan nama MUHAMMAD dalam huruf Arab sebagai bentuk mnusia yang bersujud dihadapan Tuhan. Dan pada akhir abad ke-17, seorang sufi mengumpamakan manusia seperti gerakan shalat :
Remaja berdiri tegak, Usia lanjut berukuk, dan kesirnaan ( kematian) bersujud. Dalam keberadaan dan ketiadaan tak dapat diperbuat selain shalat.
Shalat atau “ namaz “ terdiri atas 4 (empat) huruf
n = Nusrat, Artinya Kejayaan
m = Milkat, Artinya Kendali
a = ulfat, Artinya Keakraban
z = ziyadat, Artinya Peningkatan
“Sikap tubuh dalam sujud merupakan keakraban Jiwa”. Sebab Allah sendiri berfirman : “Sujudlah dan dekatkanlah dirimu pada Tuhan”. (QS. 96 : 19).
Ucapan-ucapan dalam shalat juga di artikan secara esoteris khususnya Al-Fatihah yang dalam Islam diucapkan :
- Segala puji bagi Allah Tuhan semesta Alam
- Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
- Yang menguasai hari pembalasan
- Hanya engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan
- Tunjukilah kami jalan yang lurus,
- Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat pada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Dalam suatu hadist qudsi Allah menyatakan bahwa Ia telah membagi surah ini antara Dia sendiri dan hamba-Nya. Berdasarkan kalimat itu, dalam tujuh larik fatihah, Ibn Arabi telah menemukan ungkapan sempurna tentang hubungan manusia dengan Tuhan : Ketiga baris pertama merupakan tindak orang yang beriman terhadap Tuhan, baris keempat merupakan tindak timbal balik dan tiga baris terakhir menggambarkan tindak Ilahi atas manusia.
Macam-macam penafsiran yang diberikan oleh sufi terhadap shalat dengan segala rinciannya dapat mengisi suatu buku tebal. Penafsiran itu berkisar dari perbuatan ketaatan yang sederhana, sampai pada perasaan bahwa Tuhan sendiri mendirikan Shalat, seperti dikatakan oleh Ibn Al-Farid dalam Ta’iyya :
“Kita berdua adalah satu pemuja yang, dalam kebijaksanaan terhadap keesaan, menyembah Zat-Nya sendiri dalam setiap rukuk. Tak ada yang memujaku kecuali aku sendiri dan tak ada yang kusembah kecuali diriku dalam setiap rukuk”
Penafsiran mistik mengenai shalat ini pun belum cukup memenuhi hasrat sang sufi kepada percakapan yang semakin akrab antara asyik dan masyuk. Masalah bagaimana shalat itu mencapai Tuhan yang berkali-kali dipertanyakan barangkali diungkapkan secara paling mengesankan oleh Niffari yang mendapat karunia disapa oleh Tuhan :
“Engkau ingin shalat semalam suntuk, dan engkau ingin membaca semua surah Qur’an semalam itu, tetapi engkau tidak shalat. Hanya yang menyembah Aku, dialah yang bershalat semalam suntuk, bukan demi doa apa pun dan bukan demi bagian Qur’an manapun yang dikenal. Dialah yang kutemui bertatap muka, dan dialah tetap dalam kepadaan Diriku, tanpa menginginkan sesuatu untuk-Ku atau dari-Ku. Bila Aku ingin, Aku bicara dengan dia, dan bila Aku ingin mengajarnya, Aku ajari dia.
“Orang yang bertasbih beranjak jika mereka selesai, dan orang yang mengaji Qur’an beranjak bila mereka telah habis membacanya; tetapi hamba-Ku tidak beranjak, betapa mungkin mereka beranjak?
Do’a Daim (Terus menerus)
Doa sejati adalah terus menerus, tak dapat dibatasi dalam sejumlah rakaat dan ayat Qur’an, melainkan ia meresap dalam segenap jiwa manusia. Do’a dapat diartikan sebagai pembicaraan akrab, atau munajat, antara manusia dan Allah, sebagai bertukar kata cinta yang menghibur hati duka, meskipun tidak langsung dijawab. Ia adalah “ Bahasa kerinduan akan kekasih”.
Menurut suatu hadist Hasan ibn Ali, cucu Rasulullah pernah ditanya :
Mengapa orang-orang yang paling cantik adalah yang berdoa di malam hari ?
Jawabnya : Karena mereka sendirian saja dengan Yang Maha Mengasihi yang menyinari mereka dengan cahaya-Nya. Dan seorang sufi lain yang melewatkan doa malam hari dipersilahkan oleh Tuhan : “ Berdustalah ia yang beralih cinta kepada-KU, tapi bila malam tiba tidur menjauhi Aku”. Shalat malam hari, walaupun mungkin tidak berate di mata umum, adalah seperti “ Pelita bercahaya” di mata Tuhan. Hanya para sufi dari aliran pasif dank eras, baik dalam Islam maupun agama lain- menyangsikan dasar hukum daripada do’a. mereka berpendapat bahwa Tuhan ‘ terlalu Agung untuk didekati dengan do’a, atau di jauhi dengan tidak berdo’a.’ Menurut mereka, Sabar dan diam dalam penderitaan lebih sesuai daripada do’a. salah seorang pertapa utama dari Khurasan yang menulis buku mengenai pertapaan, ( Kitabb Az-Zuhud) Yaitu ‘Abdallah ibn Mubarak berkata : “ Sudah lima puluh tahun lewat sejak aku berdoa atau menginginkan orang berdoa untukku.”
Karena semuanya sudah ditakdirkan, buat apa berdoa? Lebih baik kita tawakal sepenuhnya dan menerima sepenuhnya apa saja yang diberikan Tuhan. Bahkan menurut cerita, Dhun-Nun pernah mengatakan kepada orang yang meminta di doakan : “ Andaikata ada sesuatu yang sudah ditakdirkan Tuhan bagimu, itu berarti bahwa banyak doa yang tidak diucapkan telah dikabulkan; bila tidak, apa guna orang yang mau terbenam berteriak-teriak? Ia hanya akan tenggelam lebih cepat karena lebih banyak air yang masuk ke kerongkongannya. Akan tetapi sikap pasrah penuh ini tidak dapat dianggap sebagai khas sufi pada umumnya. Kebanyakan mereka yakin benar bahwa doa itu perlu dan penting, sebab Allah sendiri telah memerintahkan dalam firman-Nya : “ Berdo’alah padaKu, Aku akan menjawabmu!”.
Imam Al-Ghazzali dalam kitabnya IHYA ULUMUDDIN menerangkan tentang do’a bebas (daim) dalam suatu bab yang panjang. Ia merumuskan jawaban atas bantahan bahwa doa tidak sesuai dengan gagasan takdir; takdir mencakup kemungkinan menolak kejahatan dengan do’a ‘ Seperti layaknya perisai menolak anak panah, keduanya saling melawan”(G 1 : 298). Ia mengulangi suatu gagasan yang diungkapkan oleh Yahya ibn Mua’adh tiba abad sebelumnya : “ Bila nasib menyerangku kemalangan, aku menyambutnya dengan serangan doa.” (A 10:53) Doa yang diucapkan oleh yahya mengumandangkan masalah dosa dan karunia dan selalu berakhir dengan keyakinan penuh harap akan pengampunan serta pertolongan Tuhan. Sebenarnya, perlunya Istighfar atau ‘ mohon ampun’ pada umumnya disebut sebagai taraf persiapan untuk doa sejati.
Para sufi di zaman awal suka merenungkan hubungan yang saling bertentangan antara kelemahan manusiawi dan kekuasaan Ilahi, dan bila Attar dalam syairnya berkata :
“Aku tiada, tetapi semua kejahatan berasal daripadaku. Tak ada apapun selain Engkau, tetapi semua kebajikan berasal daripada-Mu”.
“Aku tiada, tetapi semua kejahatan berasal daripadaku. Tak ada apapun selain Engkau, tetapi semua kebajikan berasal daripada-Mu”.
Maka ia memberikan bentuk yang canggih begi kebingungan yang merupakan ciri khas kehidupan doa para sufi. Kebanyakan tokoh besar tasawuf memang mendorong murid-murid mereka untuk terus berdo’a, dan berdoa, penuh keyakinan. Sha’rani, tokoh sufi Mesir dari abad ke-16, dengan kata-kata menyentuh hati telah menggambarkan malam kelam dalam jiwanya yang berlangsung selama sebulan tanpa ia sanggup berdoa. (Abdul Wahab As-Sha’rani – Kitab Lawqih al-anwar al-qusiyya).
Banyak guru-guru sufi yang memberikan peraturan-peraturan mengenai apa yang disebut doa ‘ Bebas’. Cukuplah kalau kita melihat klasifikasi doa yang diberikan oleh Al-Ghazali dalam Ihya (G 1:274). Peraturan untuk setiap doa amat terperinci sehingga hampir-hampir merupakan cabang baru dalam ibadah yang diatur secara ketat, dan seakan-akan didalamnya tidak ada gerak hati yang bebas. Saat yang tepat dan sikap yang tepat sewaktu berdoa dianggap amat penting, demikian juga bentuk luarnya : prosa lirik misalnya, hendaknya tidak digunakan dalam doa bebas. Meskipun demikian para ahli tasawuf yang besar seringkali mengubah doa-doa yang paling indah dalam prosa lirik. Penekanan khusus diberikan kepada pengulangan formula doa dan surah-surah dari Qur’an. Jumlah pengulangan yang paling biasa dipakai 3x, 7x, 15x, 70x, dan 1000x. angka-angka khusus ini sesuai dengan kepercayaan mengenai angka magis yang terdapat di mana-mana, tetapi menurut paham Islam aturan-aturan ini diturunkan dari Rasululloh dan sahabatnya. Konsep doa ma’thur, Yaitu doa yang manjur karena pertama kali diucapkan oleh orang yang saleh atau di ilhamkan oleh Rasululloh melalui mimpi, sangat mempengaruhi kecenderungan ibadah umum, seperti yang telah dinyatakan Constance Padwick dalam bukunya yang utama, Muslim Devotions. Melalui jalan ‘doa yang disunahkan’ dalam ‘doa yang manjur’, kesalahan mistik diresapkan kedalam masa yang luas dan lebih berkesan dalam pembentukan kesadaran keagamaan mereka ketimbang rumus-rumusan yang digunakan dalam shalat yang diwajibkan.
Kesalahan hati yang dimiliki oleh orang-orang kebanyakan ini tercermin dalam salah satu kisah Rumi yang paling indah, Yaitu kisah doa pengembala. Dalam cerita ini Nabi Musa, yang mewakili agama yang mapan, mendapat pelajaran bahwa kata hati yang terbata-bata dan keluhan tak berdaya dan bahkan citraan kekanak-kanakan dalam doa pun, lebih bisa diterima Tuhan ketimbang bentuk-bentuk yang ilmiah dan tepat – asal orang yang berdoa itu mengucapkan katanya dengan ketulusan dan kepasrahan sejati.
Musa melihat seorang gembala di jalan, yang berkata : “ Ya Tuhan, Engkau memilih (siapa yang Kau mau) : Dimana Kau? Aku ingin menjadi hamba-Mu dan menjahit sepatu-Mu dan menyisir rambut-Mu
Aku ingin mencuci baju-Mu dan mencari kutu-Mu dan mengantar susu pada-Mu, wahai Yang kumulyakan. Aku ingin mencium tangan-Mu kecil dan menggosok kaki-Mu mungil (dan bila) tiba waktu tidur, kusapu bilik-Mu kecil.
Wahai Engkau, jadilah semua kambingku sebagai korban bagi-Mu, wahai Engkau yang kuseru dengan Wah dan aduh ! ”.
Nabi Musa terperanjat mendengar kata-kata itu: “ Ocehan apa ini? Serapah dan igauan apa ini? Bungkam mulutmu dengan kapas !”. (M 2: 1720-24, 1728). Tetapi ia terpaksa menyadari bahwa gembala yang berhati sederhana telah mencapai taraf rohaniah yang lebih tinggi dari pada dia sendiri, Nabi yang sombong.
Para sufi mengetahui bahwa doa dalam arti permohonan adalah hak khusus manusia. Walaupun semua makhluk memuji Tuhan dengan bahasa mereka masing-masing, hanya manusialah yang dapat berbicara dengan-Nya, mengadukan penderitaan serta harapannya kepada Tuhan yang Mahabijaksana. Walaupun Ia telah mengatur jalannya dunia dengan takdir-Nya, Ia ingin - seperti yang ditekankan oleh Kazaruni (T 2:30) – memberi kehormatan kepada manusia dengan mengabulkan doanya. Lebih lagi: Tuhan merindukan doanya.” (L 136) suatu hadist yang diikuti oleh Qusyairi menyebutkan bahwa Tuhan menitahkan kepada Jibril supaya jangan menjawab doa hamba-Nya yang tercinta karena Ia senang mendengar suaranya. Ar-Rumi melukiskan pandangan yang agak antropomorfik ini dengan suatu cerita yang mengumpamakan orang berdoa seperti burung perkutut dan beo yang ditaruh dalam sangkar supaya pemiliknya dapat menikmati suara mereka yang merdu. Tuhan menyukai doa-doa ini; dan Ia langsung mengabulkannya, hanya bila Ia tidak suka kepada orang yang berdoa seperti kita memberi sekeping roti kepada pengemis yang tua dan buruk muka supaya ia lekas berlalu dari depan pintu rumah kita. Ini bukan suatu gagasan teologi yang luhur, tetapi tidak jarang disebut dalam puisi sufi. Rumi juga menceritakan tentang bau hati terbakar yang naik ke hadirat Tuhan melalui doanya yang membara (M 5:2259) ini mengingatkan kita kepada citraan Perjanjian Lama tentang jantung dan hati yang dipersembahkan sebagai korban yang dibakar.
Masalah lain ialah sejauh mana orang dalam doanya dapat mendesak Tuhan. Pencinta sejati boleh menggunakan bahasa yang tidak pantas untuk ukuran manusia biasa. Aturan-aturan sopan santun boleh diperlukan dalam hubungan antara Asyik dan Masyuk. “ Pertikaian penganut paham (mistik/tarekat) Islam dengan Tuhan” tercermin dalam doa mereka dan merupakan suatu bab tersendiri dalam sejarah Tassawuf. Banyaknya cerita yang di kisahkan oleh ‘ Attar menunjukan betapa masalah ini menimbulkan keprihatinannya. Ia melukiskan orang yang kerasukan dan kegila-gilaan yang mengesampingkan semua aturan shalat dan bahkan mengancam Tuhan untuk mendapatkan suatu anugerah “ Kita harus memaksa Dia!” kata salah seorang tokoh yang ditampilkan ‘Attar (U218), ketika ia minta kepada Tuhan agar dikirim makanan untuk tamu yang datang tiba-tiba. Makanan ini datang begitu saja, dan tamu-tamunya terheran-heran. Doa-doa semacam itu tidak terikat oleh peraturan apapun, dan ditemukan dalam tradisi rakyat Turki, terutama dalam puisi Bektashi. Sering kali penyair-penyair ini mengikuti contoh Yunus Emre dan menuduh Tuhan bahwa janji-Nya mengenai hari Kiamat tidak masuk akal. Bahkan sekarang ini kita dapat mendengar kata-kata serupa, kalau ada seorang “ Wali “ disebuah desa merasa berhak untuk mengancam Tuhan dalam usahanya mencapai maksudnya – perbuatannya seringkali cenderung ke arah magis.
Dalam pertikaian dengan Tuhan semacam ini, dan khususnya dalam puisi doa di seluruh dunia Islam, sering terdengar keluhan bahwa makin besar cinta Tuhan terhadap seseorang makin besar siksaan yang ditimpakan kepadanya. Banyak sekali Nabi dan Wali disebut dalam hubungan ini untuk menunjukan bahwa tampaknya Tuhan itu tidak adil, dan bahwa semua penderitaan itu diterima dengan segala kerelaan bila Ia sendiri yang menimpakannya kepada sang sufi yang berdoa.
Pada umumnya para sufi moderat sepaham bahwa kalau tidak setiap doa dikabulkan oleh Tuhan, hal itu semua besar manfaatnya bagi si pemohon seperti bila ia dikabulkan permohonannya. Syekh Abdul Qadir Jaelani merasa bahwa keengganan Tuhan semacam itu membuat manusia selalu harap-harap cemas, dan itu merupakan keadaan ideal bagi seorang pelaku spiritual, tetapi ia menambahkan bahwa setiap doa yang tidak terkabul paling tidak akan dicatat di Lauhful Makhfudz untuk kebaikan si pemohon. “ Banyak doa yang bila dikabulkan akan menyebabkan kehancuran, sehingga kebijaksanaan ilahi tidak mengijinkannya.” (M 2: 140). Begitu kata Rumi dalam kitab Mathnawi. Di situ ia sering kali membicarakan doa-doa yang tidak terkabul karena rahmat Tuhan, sebab Ia tahu bahwa akibatnya akan merusak. Nilai doa yang sebenarnya ialah bahwa dari tindakan itu kita mendapat hiburan, dan dengan ini kemauan manusia dapat menyesuaikan diri dengan kehendak ilahi. Gagasan-gagasan ini amat penting bagi seluruh kehidupan keagamaan. Muhammad Iqbal sering menyebut keajaiban do’a yang sungguh-sungguh, yang akhirnya membuat manusia pasrah sempurna kepada kehendak Tuhan; kesitulah semua harapan dan kecemasan manusia beralih.
“Ia mengubah biji do’a yang kering menjadi pohon kurma yang indah. Seperti Maria yang penderitaannya waktu melahirkan dihadiahi hujan kurma. (M 5:118).
Kata Rumi dengan menggunakan citraan dari Qur’an (Surah 10 : 25). Para ahli sepiritual ekstrim seperti Malamatiyya rupanya kecewa dan kurang senang bila doa mereka terkabul, karena mereka takut jangan-jangan anugerah semacam itu hanya tipu daya, suatu usaha dari Tuhan untuk memperdayakan mereka. Suatu do’a yang selalu dikabulkan ialah do’a untuk orang lain. Selawat dan doa untuk Rasululloh merupakan bagian daripada persyaratan ritual dan dianggap sebagai doa yang harus diulang beberapa kali pada setiap peristiwa. Sang sufi harus mendoakan orang tua, orang yang dicintai, dan mereka yang dengan sadar atau tidak, telah membantu dia dalam perjalanannya menuju kesempurnaan. Bahkan penyamun pun mungkin menyebabkan ia bertobat harus disertakan juga dalam doanya. ( M 4:81-99) maka banyak syair epik dan prosa Parsi, Turki, dan Urdhu diakhiri dengan permohonan agar pembaca memanjatkan doa bagi pengarang dan penyalinnya. Dan kita ingat pada kata orang ahli sepiritual yang merindukan kesendirian dengan Tuhan tetapi selalu diminta mengajarkan langkah-langkah menuju kesempurnaan, sebagai berikut, “ Ya Allah, bila ada yang membelokan aku daripada-Mu, belokanlah dia dari padaku kepada-Mu!”. (N 54) Doa ini mencakup dua tujuan yang mulia.
Semua orang tahu bahwa seorang sufi seharusnya tidak memohon kekayaan dunia kepada Tuhan melainkan hanya kekayaan jiwa. Bagi ahli spiritual yang sudah lanjut tingkatannya, hanya Tuhan tujuan segenap doanya. Meskipun demikian, kita mendengar dan membaca banyak legenda mengenai para sufi utama yang Mustajab ad-du’a, Yaitu doanya dikabulkan sehingga “ jika ia minta sesuatu, pasti Tuhan akan memberinya.” Dalam keadaan sakit dan bahaya, di waktu kelaparan dan kekurangan, mereka mengucapkan doa yang efektif bagi dirinya atau orang sedaerahnya; dan mereka mampu menghukum orang yang menentang mereka. Kisah-kisah mengenai kekuatan magis yang dimiliki oleh doa seorang wali kadang-kadang mendekati dunia dongeng dan sihir. Ada seorang Syekh yang begitu mustajab doanya sehingga ia dapat mengembalikan malaikat yang dibuang kepada tempatnya dalam hirarki sorga. (N 379)
Sufi-sufi tertentu menggunakan doa-doa yang dalam kenyataan sangat mendekati pengucapan mantera magis – terutama dalam kurun waktu mutakhir. Sang guru mempermainkan huruf-huruf abjad Arab: ia menyusun doa dengan menggunakan semua kata turunan yang mungkin dibuat dari satu akar kata Arab, misalnya akar yang mendasari satu Asma Allah tertentu. Atau ia menyusun doa menurut abjad dan mengisinya dengan kata dengan aksara tertentu yang dianggap berkesan dan mengandung tenaga dalam. Asma Allah dengan makna praktisnya digunakan oleh orang yang mendoa sesuai dengan keinginan serta kebutuhannya. Asma itu diulang-ulang untuk menambah kekuatannya dan jumlah pengulangannya tergantung pada nilai angka asma tertentu itu. Ar-Rahman mempunyai nilai angka 298 dan harus diulang sebanyak itu. Penyakit dapat disembuhkan dengan menyebut asma Allah yang sesuai, dan untuk meningkatkan kekuatan doa, ditambahkan pula kata bukan Arab yang bunyinya aneh, dan nama-nama makhluk halus yang rumit.
Akan tetapi doa mistik sejati adalah doa yang mencerminkan kepercayaan kepada Tuhan, cinta serta kerinduan. Tidak memohon sorga atau mengharapkan selamat dari neraka – itu cita-cita tentang cinta tanpa pamrih yang seharusnya mendasari setiap pikiran seorang sufi. Satu-satunya sebab yang mungkin menjadi alasan mengapa seorang sufi menginginkan sorga ialah harapan bahwa di situ ia akan bisa memandang wajah Allah, tetapi itu pun tidak dapat diterima oleh para sufi di zaman kemudian. Bayajid Al-Bustomi menggambarkan kemutlakan usaha spiritual ini – Tuhan berkata : “ Semua orang meminta sesuatu daripada-Ku, hanya Bayajid menginginkan diri-Ku sendiri” (T 1:152). Seorang sufi sejati dalam berdoa : “ Tangan doa seorang arif membuka-buka halaman buku ketidaksengajaan, seperti daun pohon pisang yang tidak ingin meraih gaun sang mawar harapan. Daun itu harus menuruti arah angina nasib, ia bergerak sesuai dengan geraknya.” Intisari doa mistik ialah tidak meminta dan tidak menuntut : intisarinya ialah puji dan puja sepanjang waktu. Daqqaq, Yaitu guru Al-Qusyairi menggolongkan doa menjadi 3 (tiga) golongan, ada tiga taraf :
1. Meminta
2. Mendoa
3. Memuji
- Meminta adalah bagi orang yang menginginkan akhirat.
- Memuji adalah bagi mereka yang merindukan Tuhan.
Hal ini sesuai dengan sebutan Qusyairi mengenai taraf-taraf kesyukuran, yang mencapai puncaknya dalam “ bersyukur karena bersyukur”. Sabda Rasululloh : “ Aku tak dapat menghitung karunia-Mu dan puji syukur abadi yang harus kupanjatkan pada-Mu,” merupakan sari daripada kesalehan sang spiritual.
Walaupun seorang sufi merasa bahwa dengan pemujaannya yang terus menerus ia dalam keserasian dengan segala makhluk, bak pujiannya maupun pujaannya belum memadai untuk mengungkapkan kesyukuran dan kebaktian yang seharusnya ia sampaikan kepada Penciptanya.
Walaupun seorang sufi merasa bahwa dengan pemujaannya yang terus menerus ia dalam keserasian dengan segala makhluk, bak pujiannya maupun pujaannya belum memadai untuk mengungkapkan kesyukuran dan kebaktian yang seharusnya ia sampaikan kepada Penciptanya.
Cara yang sempurna untuk menafsirkan doa spiritual sejati diperlihatkan oleh Ar-Rumi. Ia ditanya : “Adakah jalan yang lebih dekat kepada Tuhan ketimbang doa dalam shalat? ” Dalam karyanya Fihi ma fihi, ia menjawab :
Tidak, tetapi doa tidak hanya terdiri atas peraturan. Doa adalah ketenggelaman dan ketidaksadaran jiwa, sehingga semua peraturan tinggal di permukaan. Saat itu tak ada tempat untuk Jibril pun, yang merupakan roh murni. Yang berdoa seperti ini bebas dari semua kewajiban keagamaan, karena ia kehilangan kesadarannya. Tenggelam dalam kekuatan ilahi adalah jiwa doa”.
Akan tetapi Rumi tahu benar bahwa tak mungkin kesatuan spiritual ini dicapai dengan perenungan, dan waktu bersusah payah, manusia tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun doa sejati; semuanya itu rahmat Tuhan. Segenap pikiran manusia dan kerinduan manusia untuk mencapai Tuhan adalah karya Tuhan, tidak lain. Gagasan bahwa doa itu karunia Tuhan dapat dipahami dengan 3 (tiga) cara yang berbeda, sesuai dengan konsep Tauhid yang dianut dan dilaksanakan oleh sang sufi :
1. Tuhan sang Pencipta telah menakdirkan setiap kata doa;
2. Tuhan yang bersemayam di hati manusia, menyapa dia dan mendorong dia supaya menjawab; atau
3. Tuhan Sang Wujud Tunggal adalah tujuan doa dan kenangan dan juga subjek yang mendoa dan mengenang.
Allah pertama-tama menyapa umat manusia dengan sapaan cinta yang terungkap pada Hari Perjanjian : WA IDZA KHADZA ROBBUKA MIN BANI ADAMA MIN THUHUURIHIM DZURIYYATAHUM WA ASYHADAHUM A’LA ANFUSIHIM ﺝ ALASTU BIROBBIKUM ﻃ QOLUU BALA ﺝ SYAHIDNA ﺝ ANTAQUULU YAUMAL QIYAMATI INNAKUNNAA AN HAADZA GHOFILIN
Artinya : Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan (menciptakan) keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil (sumpah) atas kesaksian dari diri mereka sendiri dengan firman-Nya “ Bukankah Aku Tuhanmu?, mereka menjawab, “ Ya, Kami mengakui (bersaksi).” Nanti di hari kiamat kamu tidak dapat lagi mengatakan “ Sesungguhnya kami lengah (lupa) terhadap hal ini (Keesaan Allah) {Q.S. Al-Araf : 172}
“Bukankah Aku Tuhanmu?“ – supaya manusia memuji dan menyembah Dia sebagai satu-satunya objek pemujaan. Sesuai dengan Firman Allah didalam Al-qur’an : WAMA KHOLATUL JINNA WAL INSAA ILA LIYABUDUN (Dan tidak aku ciptakan Jin dan manusia selain untuk menyembah-Ku) kata LIYABUDUN ditafsirkan oleh Abubakar dalam suatu hadist dengan LILMA’RIFATIHI dimana lebih lengkapanya WAMA KHOLAQOL INSANA ILA LIL-MA’RIFATIHI (Dan tidak aku ciptakan manusia selain untuk Ma’rifat (mengenal) kepada-Ku).
Abu Ishak al-Kazaruni benar waktu ia menyatakan dalam doanya :”Ya Tuhan, rahmat-Mu kepada kami tidak ada habisnya, dan karena rahmat-Mu, Engkau memberi kepada kami karunia untuk menyebut-Mu dengan lidah dan bersyukur kepadamu dengan hati.”
Keakraban para sufi dengan gagasan ini berpangkal pada suatu hadist mengenai do’a Nabi Musa : “ Ya Tuhan, Engkau memerintahkan agar aku bersyukur atas rahmat-Mu, dan kesyukuranku sendiri adalah rahmat dari-Mu.’ Ini benar-benar do’a khas sufi.
Berabad-abad kemudian Ibn Ata Allah berdoa dengan cara yang serupa : “Ya Tuhan, bila kami tidak Kauberi iman, kami tidak beriman, dan bila lidah kami tidak kau fasihkan untuk berdoa, kami tidak berdoa. Sebab semua tindak tergantung pada Tuhan, diperintahkan oleh-Nya dan berlaku sebagai pelaksana kehendak-Nya yang abadi dan azali.
Ibn Qayyim al-Jauziyya yang dikenal sebagai orang ortodoks mengatakan dalam kitabnya yang kecil berjudul Kitab Asrar as-salat : “Dan Ia adalah Yang Maha Tinggi, yang memuji diri-Nya dengan lidah sang pemuji; sebab Dialah yang meletakan pujian di atas lidahnya dan di dalam hatinya, dan menggerakkannya dengan puji-Nya.
Dan adalah kewajiban manusia untuk mengakui bahwa puji yang dipanjatkannya adalah karunia Tuhan kepadanya, dan bila ia memuji Dia karena karunia itu, pujiannya harus diikuti dengan puji lagi.” Perasaan bahwa memang doa itu di ilhami oleh Tuhan, agaknya amat berkesan diantara generasi-generasi sufi yang pertama. Abu Bakar al-Kattani berkata kepada muridnya : “Ia tak pernah menggerakan lidah manusia dalam doa atau membuat mereka sibuk memohon ampun atas doa mereka, tanpa membuka pintu pengampunan.”
Dan Niffari, ahli teologi doa terbesar dalam abad ke-10 diberi tahu oleh Tuhan “ Memberi adalah kuasa-Ku; andaikata aku tidak menjawab doamu, aku tidak akan membuat agar engkau meminta. Tuhan yang bermukim di antara kulit luar jantung dan jantung, bercakap dengan sahabatNya dalam bahasa rahasia dan mereka menjawab dalam kediaman, demikian kata Al-Hallaj.
DZIKIR
Salat dan doa bebas merupakan segi kehidupan kejiwaan Islam yang di alami baik oleh para pelaku mistik maupun para awam. Tetapi ibadah yang membedakan para sufi ialah dzikir, Yaitu mengingat atau mengenang Tuhan yang dapat dilakukan diam-diam atau bersuara. Kedua cara itu didukung oleh Firman Tuhan :
DZIKIR
Salat dan doa bebas merupakan segi kehidupan kejiwaan Islam yang di alami baik oleh para pelaku mistik maupun para awam. Tetapi ibadah yang membedakan para sufi ialah dzikir, Yaitu mengingat atau mengenang Tuhan yang dapat dilakukan diam-diam atau bersuara. Kedua cara itu didukung oleh Firman Tuhan :
“Kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu (Q.S. (17) : 110). Praktek dzikir para sufi didasari oleh perintah Allah : “ Dzikir yang sebanyak-banyaknya” (Q.S. (33) : 41) sebab seperti kata firman lain : “ Hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.” (Q.S. (13) : 28)
“Dzikir merupakan tiang yang kuat di jalan menuju Allah, bahkan ia adalah tiang yang paling penting,” sebab orang tak dapat mencapai Dia tanpa mengingat-Nya terus menerus. Sesungguhnya hidup tanpa ingatan (Yad) kepada-Nya adalah angina (Bad).” Dalam peristilahan modern dapat dikatakan bahwa pengingatan yang terpusat membebaskan tenaga rohani yang membantu langkah-langkah menuju kesempurnaan.
Dzikir boleh dilakukan dimana saja, pada saat apa saja, tanpa dibatasi pada waktu-waktu shalat atau pada tempat suci yang bersih. Tuhan dapat dikenang dimana saja di dunia yang merupakan milik-Nya. Apabila sang murid menjumpai kesulitan dalam Tarekat, “ dzikir merupakan pedang untuk menakuti musuhnya dan Tuhan akan melindungi siapa pun yang ingat akan Dia pada saat dalam kesusahan dan bahaya.”
Secara umum para sufi sepaham bahwa hati orang beriman harus di harumi dengan ingatan kepada Allah. “ Dzikir adalah makanan spiritual ahli sufi. Seorang Sahl at-Tustari merasa lapar, dan setelah berhari-hari berpuasa ia bertanya : “ Guruku, apa makanannya? Dan Sahl menjawab: Ingat akan Tuhan Yang Abadi! Hati dapat di umpamakan Nabi Isa, yang dibesarkan dengan air susu Mariam, yang dapat di misalkan sebagai dzikir. Dzikir membawa kepada keadaan kejiwaan yang sempurna, dan “barang siapa senantiasa ingat kepada Tuhan ia adalah pendamping ( Jalis ) Tuhan yang sejati”, sebab Tuhan telah berjanji dalam suatu hadist qudsi : “ ANA JALISU MAN DZAKARANI “, artinya : Aku adalah pendamping siapa pun yang ingat akan Daku. Dzikir adalah langkah pertama di jalan cinta; sebab kalau kita mencintai seseorang, kita suka menyebut namanya dan selalu ingat kepadanya. Oleh sebab itu, siapa pun yang dalam hatinya telah tertanam cinta akan Tuhan, di situlah tempat kediaman dzikir yang terus menerus.
Menurut para ahli sufi Rasululloh sendiri memuji dzikir :
Siapa yang ingat akan Tuhan di tengah-tengah kaum yang lupa, ia seumpama prajurit di tengah-tengah tentara yang melarikan diri, seperti pokok hijau di antara pohonan kering.
Para penyair Turki (yang meniru Rumi dan Yunus Emre) dan India sering memisalkan “Hati sebagai pohon yang hidup dan bergerak karena tiupan angin cinta, dan mendapat makan dari air dzikir; hati bagaikan melati yang mendapat air dari La dan illa (dua bagian syahadat yang sering disebut dalam dzikir)
0 Komentar