Shalat
adalah sarana utama untuk berkomunikasi secara intens (khusyu) dengan
Allah. Namun shalat yang bagaimanakah yang disebut “dapat
dilaksanakan secara intens/ khusyu” sehingga menimbulkan dampak
positip, dan dengan demikian akan menjadi sarana yang efektif untuk
berkomunikasi atau kontak batin dengan Allah?
Pertanyaan ini perlu dikemukakan berkaitan dengan peringatan ibnu Al-Arabi yang mengatakan bahwa: “Banyak orang yang melakukan shalat tetapi tidak pernah mengalami peristiwa apapun, apalagi untuk peningkatan spiritual”. Dengan asumsi ini kita perlu mengadakan koreksi total atas pelaksanaan shalat kita.
Ibnu Al-Arabi berkata : "Betapa banyak orang yang shalat tidak mengalami pengalaman apapun dari shalatnya selain daripada berlelahan berpayah-payah dan memandangi mihrab".
Sebelum menjawab pertanyaan, shalat yang bagaimana yang bisa dipandang sebagai panggilan rahasia dan “Pertemuan Rahasia” sehingga benar-benar terjadi kontak batin yang saling menyambut antara manusia dengan Tuhan, kiranya sangat tepat bila kita memahami beberapa aspek tentang manusia.
Pertanyaan ini perlu dikemukakan berkaitan dengan peringatan ibnu Al-Arabi yang mengatakan bahwa: “Banyak orang yang melakukan shalat tetapi tidak pernah mengalami peristiwa apapun, apalagi untuk peningkatan spiritual”. Dengan asumsi ini kita perlu mengadakan koreksi total atas pelaksanaan shalat kita.
Ibnu Al-Arabi berkata : "Betapa banyak orang yang shalat tidak mengalami pengalaman apapun dari shalatnya selain daripada berlelahan berpayah-payah dan memandangi mihrab".
Sebelum menjawab pertanyaan, shalat yang bagaimana yang bisa dipandang sebagai panggilan rahasia dan “Pertemuan Rahasia” sehingga benar-benar terjadi kontak batin yang saling menyambut antara manusia dengan Tuhan, kiranya sangat tepat bila kita memahami beberapa aspek tentang manusia.
Manusia dari zaman
sekarang menuntut kecerdasan akal, sedangkan tuntutan memperoleh
kecerdasan Budhi berupa kehendak memelihara tata susila,
kehendak memelihara rasa keindahan dan terutama kehendak memelihara
Agama.
Kecerdasan Budhi tidak
kurang pentingnya dari pada kecerdasan akal, bahkan paling perlu
didalam kehidupan manusia.
“Siapa yang cerdas
dalam hal-hal keduniaan, tidak mengerti hal-hal kebatinan, akan
tetapi mereka yang cerdas didalam hal kebatinan juga cerdas didalam
hal-hal keduniaan” (Hadist). Kepribadian seseorang hanya
dapat dibangun dengan kebatinan, lebih dari pada dengan akal
(Sareat).
Nafsu ingin menunaikan
wajib terhadap Agama masuk didikan kebatinan. Kehendak menunaikan
wajib terhadap Agama dibuktikan dengan Shalat.
Sari dari pada Shalat
ialah tuntutan dari pada batin kita untuk memperoleh perhubungan
dengan yang ada diluar kenyataan, Ialah Yang Maha Tinggi yaitu
Allah SWT.”
Shalat ialah
suatu bukti adanya rasa cinta dan bakti terhadap sesuatu Yang
menciptakan kegaiban hidup”.
Shalat ialah
dengan sadar mencari perhubungan dengan Suksma Semesta Alam dan kita
butuh pada itu, seperti kita butuh pada makan dan tidur”.
Shalat bukanlah
minta-minta dengan do’a yang diucapkan dengan kerendahan ; Shalat
ialah satu-satunya perbuatan mulia dan berani bagi tiap orang yang
ragu-ragu apakah dia berbuat benar seperti dia harus berbuat”.
Shalat ialah
mengeluarkan arus atau banjir batin, yang tidak dapat dikatakan
dengan kata-kata, kedalam keadaan yang besar, Yang ada dihadapan
kita; ialah pengluasan daerah, pengluasan batas-batas tubuh kita,
mencari dan meraba, gerakan gelombang gaib kearah pusat kekuasaan
yang selalu ada dihadapan kita”. Shalat ialah kemauan
yang diruncingkan ke arah Tuhan.
Kekuatan Shalat yang
memberi hiburan dan menambah keteguhan terletak didalam kenyataan,
bahwa manusia mengenal sesuatu, kepada siapa ia dapat meminta
pertolongan. Dia merasa tidak bersendiri, Yang Maha Suci ada
berdekatan dengan dia. Dia selalu dapat memaling kepada-Nya dengan
keinginan, kepentingan, kesukaran dan penderitaannya.
Mula-mula orang
mengira, bahwa Shalat itu mengucapkan kata-kata; akan tetapi dia
mengerti, bahwa Shalat itu tidak berdiam, akan tetapi mendengarkan.
Demikian Shalat berarti tidak mendengarkan kata-kata sendiri, Shalat
berarti berdiam dan menunggu, agar yang Shalat mendengar suara
Tuhan”.
Pada waktu kita
menjalankan Shalat, maka pikiran kita tidak lagi mempunyai hubungan
dengan keadaan didunia ini; pikiran kita pada waktu shalat keluar
dari pusat akal dan selanjutnya mengalir ke-arah Budhi ; didalam
Budhi pikiran kita bebas dari pengaruh-pengaruh buruk. Lebih dalam
pikiran kita didalam Shalat ditujukan ke arah Tuhan Yang Maha Esa,
lebih erat pikiran ini mempunyai hubungan dengan Dia. Adapun
hubungan pikiran kita dengan Allah (Tuhan Yang Maha Esa), tidak beda
dari hubungan antara cahaya matahari dengan zat hijau daun
(chlorofil) dari daun-daun. Clorofil yang disinari cahaya matahari
membentuk zat tepung, proses demikian dinamai Assimilasi. Demikian
pada waktu kita Shalat, pikiran kita yang boleh diibaratkan
chlorofil, mengasimilasikan Nur Illahi dan hasilnya ialah pikiran
yang bebas dari keinginan dan marah, akan tetapi diisi dengan tenaga
mencipta dan menyusun sesuai dengan sifat Illahi.
Shalat boleh
diibaratkan dengan fungsi pernafasan. Shalat boleh diibaratkan
pernafasan besar, sedangkan pernafasan biasa dinamakan pernafasan
kecil. Seperti pernafasan kecil menjadi fungsi dasar dari pada
Jasmani kita, demikian pernafasan besar merupakan fungsi dasar dari
pada Rohani kita. Dengan kata lain Shalat ialah fungsi hayati,
fungsi biasa dari seorang yang lengkap fa’alnya.
Shalat ialah
fungsi hayati (hidup) yang terpenting apabila kita ingin berfikir
dengan benar dan ingin mengetahui hakikat kenyataan yang paling
akhir. Pernafasan kecil mengandung maksud membersihkan darah
dengan menghisap Zat asam/Oksigen dari udara dan mengeluarkan zat
asam arang (CO2) dari darah. Pernafasan besar diibaratkan dengan
Shalat, mengandung maksud menjernihkan pikiran dan mengeluarkan
pikiran ini dari otak terus masuk kedalam Budhi.
Didalam Budhi pikiran ini
dibersihkan dari semua nafsu-nafsu yang selalu menyertai pikiran kita
dengan menghisap Nur Illahi yang datang dari Allah. Lebih
banyak orang meninggalkan Agama dan tidak menjalankan Shalat, lebih
sering dunia dihinggapi oleh bencana perang, ialah suatu proses bunuh
membunuh dengan tujuan apabila menang, dapat makan kenyang.
Pemusatan pikiran kearah
benda semata-mata berarti kemusnahan, peningkatan pikiran kearah
Budhi, terus ke Tuhan, dengan jalan Shalat, berarti hidup sejati,
sebagai manusia sejati (Insan Kamil).
Shalat harus
menjadi kegiatan dari suatu bangsa yang ingin tentram dan damai, akan
tetapi kuat dan sentausa. Didalam riwayat cukup terdapat
bukti-buktinya, bahwa suatu bangsa akan runtuh untuk selama-lamanya,
apabila bangsa itu meninggalkan moral dan Agama.
Cara Shalat yang terbaik
ialah cara yang ditetapkan oleh Sabda Allah, yang diturunkan melalui
perantara para Nabi dan Rasulnya. Cara Shalat menurut Agama Islam
mengadung arti kejiwaan yang dalam sekali : pertama harus
diselenggarakan tidak untuk meminta-minta, akan tetapi untuk
ber-Takwa kepada Allah, Yang mengaruniakan semua hajat hidup dengan
secukup-cukupnya. Ber-Takwa atau berterima kasih kepada Allah pada
tiap-tiap waktu, ialah suatu tindakan yang sangat murni bagi tiap
orang yang ingin membersihkan diri dari semua kecemaran (kotoran
noda/dosa) yang dengan sengaja atau tidak, melekat kepadanya.
Shalat melatih
kita supaya tahu berterima kasih. Berhubung dengan itu, maka tidak
boleh dilupakan untuk berterima kasih pula kepada mereka, kepada
siapa kita berhutang budi. Mengetahui terimakasih, lahir maupun
batin, boleh kita ibaratkan membayar hutang. Lain dari pada itu,
rasa terima kasih yang meluap-luap, mengantar kita kearah pantai
ibadah, dan ada kalanya, pada waktu kita riang gembira dan bersyukur
kepada Allah, benar-benar kita singgah dipantai dan bersujud.
Menyicil hutang budi tidak lain dengan mengucapkan terima kasih
dengan sungguh-sungguh, yang timbul dari hati yang suci, ialah dengan
Shalat, oleh karena semua kemurahan datangnya dari Allah, dan rahmat
Allah tidak akan diturunkan hanya untuk yang ber-Shalat, akan tetapi
demikian pula untuk mereka yang menghutangkan budi. Terhadap
kemurahan Allah yang terbukti didalam kekayaan alam yang semuanya
disediakan bagi kita, kita wajib mengucapkan rasa syukur dan terima
kasih.
Shalat
menurut Agama Islam ialah alat untuk berterima kasih dan syarat
bagi tiap orang yang ber-Iman. Sesuai dengan Firman Allah dalam
Qur’an Sucinya : “Peliharalah Shalat didalam dua bagian dari
siang hari dan didalam waktu permulaan dari pada malam”.
“Hendaknya
sabar, oleh karena yakin, Allah tidak akan menahan pahalanya bagi
mereka yang berbuat baik”
Shalat
menurut Agama Islam harus dikerjakan dengan tertib dan teratur, serta
tepat pada waktunya, agar semua berjalan dengan teratur dan seragam.
Lain
dari pada itu ketertiban menjadi sifat yang terutama dari Kekuasaan
yang menguasai seluruh alam, menjadi satu-satunya alat perhubungan
antara Khaliq dan Makhluk. Allah menghasratkan ketertiban alam
lebih dahulu, sebelum mengadakan sesuatu ; oleh karena itu kekacauan
sudah barang tentu itu bukan kehendak Allah.
Apabila
seorang menjalankan ketertiban, maka ia sebenarnya memasukan sifat
Illahi kedalam sanubarinya; orang yang tertib ialah orang yang
ber-Iman, yang mempunyai tenaga batin. Ketertiban adalah mengirit
waktu. Siapa yang dapat mengirit waktu akan mempunyai waktu yang
terulang yang dapat dipergunakan untuk lain pekerjaan. Hasil
pekerjaan oleh karenanya melebihi yang diharapkan. Akibat dari pada
ketertiban ialah ketenangan dan ketentraman hati menghadapi tiap-tiap
goda dan coba. Ketertiban didalam lahir menimbulkan ketertiban
didalam batin, oleh karena tidak ada gangguan dari kekalutan dan
kekacauan, hingga kita memperoleh kekuasaan dapat memusatkan pikiran
kita. Siapa yang tertib didalam lahir dan batinnya, dengan
sendirinya memperoleh tenaga ghaib yang terbukti didalam hasil
pekerjaannya yang memuaskan dan mena’jubkan.
Pengertian
Shalat Yang Sesungguhnya ialah Menyembah kepada Yang berhak disembah
ialah Allah SWT.
"KANG MENGKANA SEMPURNA ING SEMBAH BEKTI INGKANG SAMPUNG AWAS SEMBAHE TAN ANA KARI SEBDANE AMURANG DALAN. KANG TAN AWAS KANGGELAN DENYA NGABEKTI YEN SIYANG PUWASA PAMUJINIRA DERWILI WEKASANE NORA NANA".
Artinya : Sembah/Shalat orang sempurna itu. Ialah Manusia yang telah mempunyai wawasan yang tepat, tak ada lagi penyembahan dalam kata-kata, ia menyimpang dari jalan biasa. Barang siapa tidak memiliki wawasan itu dengan susah payah berbakti (Shalat) kepada Allah. Dalam bulan puasa ia berpuasa dan puji-pujian terus menerus mengalir dari mulutnya, tetapi itu semua sia-sia.
“SAMPURNANING SEMBAH LAWAN PUJI TAN ANDULU MUNGGUH ANANING HYANG TAN DINULU ING ANANE PAPAN TULIS WUS LEBUR SIFAT ING RO TAN ANA KARI MUNG MANTEP ANANIRA APA KANG DEN DULU PAN NORA NA PARAN-PARAN IA IKU YOGYA KAWRUHANA YAYI SAMPURNANING PANEMBAH. LAMUN MAKSIH ANEMBAH AMUJI KAWRUH IKU PAN LAGYA SATENGAH DURUNG TUMEKA KAWRUHE AYWA GUPUH GUMUYU LAMUN DERENG WERUH ING JATI AJA RENA WINEJANG ING WARAH LAN WURUK PAN IKU MEKSIH RARASAN SEJATINE KANG MARI NEMBAH AMUJI LAWAN KEDAL ING LESAN. NAMUN ANENGIRA INGKANG DADI LIRE ENENG YWA DADI TULADAN MRING DALIL HADIST KUDUSE MIWAH TUTUR ING GURU GURU IKU MUNG MUMUCUKI TAN NGUWISI LALAKYAN SABAB IKU DUDU INGKANG ING RANAN DALANG DEDE DALANG ANGUWISI ING SEJATI TOK TIL MUNG DAWAKIRA”.
Artinya :Sembah dan puji sempurna ialah tidak memandang lagi Adanya Tuhan, serta mengenai adanya diri sendiri tidak lagi dipandang(?). Papan tulis dan tulisan sudah lebur, dua litas tak ada lagi. Adamu tak dapat dirubah. Lalu apa yang masih mau dipandang(?) Tak ada lagi sesuatu. Maklumilah ini baik-baik. Inilah penyembahan sempurna. Bila kau masih menyembah (shalat) dan memuji Tuhan (dengan cara biasa), kau baru memiliki pengetahuan yang kurang sempurna. Jangan dulu tersenyum/bangga (seolah-olah kau sudah mengerti), bila kau belum mengetahui ilmu sejati. Itu semua hanya berupa tutur kata. Adapun kebenaran sejati ialah meninggalkan sembah (Shalat) dan pujian yang diungkapkan dengan kata-kata. Hanya keheningan yang tetap berharga. Keheningan berarti, tidak lagi taklid (selalu mengikuti/ikut-ikutan) menurut kitab Suci atau Hadist atau ajaran seorang Guru. Seorang guru hanya mengawali, tetapi dia tidak dapat menamatkan lakonnya. Bukan dia yang disebut dalang, ia bukan dalang yang menamatkan lakon. Yang dapat menamatkan akhir cerita dari lakon itu sendiri hanyalah engkau sendiri bukan orang lain.
"KANG MENGKANA SEMPURNA ING SEMBAH BEKTI INGKANG SAMPUNG AWAS SEMBAHE TAN ANA KARI SEBDANE AMURANG DALAN. KANG TAN AWAS KANGGELAN DENYA NGABEKTI YEN SIYANG PUWASA PAMUJINIRA DERWILI WEKASANE NORA NANA".
Artinya : Sembah/Shalat orang sempurna itu. Ialah Manusia yang telah mempunyai wawasan yang tepat, tak ada lagi penyembahan dalam kata-kata, ia menyimpang dari jalan biasa. Barang siapa tidak memiliki wawasan itu dengan susah payah berbakti (Shalat) kepada Allah. Dalam bulan puasa ia berpuasa dan puji-pujian terus menerus mengalir dari mulutnya, tetapi itu semua sia-sia.
“SAMPURNANING SEMBAH LAWAN PUJI TAN ANDULU MUNGGUH ANANING HYANG TAN DINULU ING ANANE PAPAN TULIS WUS LEBUR SIFAT ING RO TAN ANA KARI MUNG MANTEP ANANIRA APA KANG DEN DULU PAN NORA NA PARAN-PARAN IA IKU YOGYA KAWRUHANA YAYI SAMPURNANING PANEMBAH. LAMUN MAKSIH ANEMBAH AMUJI KAWRUH IKU PAN LAGYA SATENGAH DURUNG TUMEKA KAWRUHE AYWA GUPUH GUMUYU LAMUN DERENG WERUH ING JATI AJA RENA WINEJANG ING WARAH LAN WURUK PAN IKU MEKSIH RARASAN SEJATINE KANG MARI NEMBAH AMUJI LAWAN KEDAL ING LESAN. NAMUN ANENGIRA INGKANG DADI LIRE ENENG YWA DADI TULADAN MRING DALIL HADIST KUDUSE MIWAH TUTUR ING GURU GURU IKU MUNG MUMUCUKI TAN NGUWISI LALAKYAN SABAB IKU DUDU INGKANG ING RANAN DALANG DEDE DALANG ANGUWISI ING SEJATI TOK TIL MUNG DAWAKIRA”.
Artinya :Sembah dan puji sempurna ialah tidak memandang lagi Adanya Tuhan, serta mengenai adanya diri sendiri tidak lagi dipandang(?). Papan tulis dan tulisan sudah lebur, dua litas tak ada lagi. Adamu tak dapat dirubah. Lalu apa yang masih mau dipandang(?) Tak ada lagi sesuatu. Maklumilah ini baik-baik. Inilah penyembahan sempurna. Bila kau masih menyembah (shalat) dan memuji Tuhan (dengan cara biasa), kau baru memiliki pengetahuan yang kurang sempurna. Jangan dulu tersenyum/bangga (seolah-olah kau sudah mengerti), bila kau belum mengetahui ilmu sejati. Itu semua hanya berupa tutur kata. Adapun kebenaran sejati ialah meninggalkan sembah (Shalat) dan pujian yang diungkapkan dengan kata-kata. Hanya keheningan yang tetap berharga. Keheningan berarti, tidak lagi taklid (selalu mengikuti/ikut-ikutan) menurut kitab Suci atau Hadist atau ajaran seorang Guru. Seorang guru hanya mengawali, tetapi dia tidak dapat menamatkan lakonnya. Bukan dia yang disebut dalang, ia bukan dalang yang menamatkan lakon. Yang dapat menamatkan akhir cerita dari lakon itu sendiri hanyalah engkau sendiri bukan orang lain.
Adapun
Jalan untuk mencapai penghayatan manunggal dengan Allah (Tokid =
Usaha supaya bisa bersatu dengan Tuhan). Yakni bersatunya antara
Badan dengan Jisimnya (Roh-Nya).
Ada
empat Macam Shalat atau Sembah. Yaitu Sembah Raga, Sembah Cipta,
Sembah Jiwa, Sembah Rasa. Keempat macam sembah itu secara
berurutan merupakan gubahan dari keempat tingkatan dalam ajaran
Tasawuf.
Shalat
Yang Di Terima
Kembali
ke masalah Shalat yang sah dan sempurna. Sebelumnya perlu di sadari
bahwa shalat memang harus dilaksanakan secara benar dan sempurna,
karena inilah salah satu jalan utama menuju Allah. Oleh karenanya
masalah ini perlu kiranya dipaparkan secara lebih luas, dalam dan
terinci. Berikut adalah sebuah panduan yang di ambil dari Hadits
Qudsi. Panduan ini dapat di jadikan sebagai wacana dalam rangka
meraih kesempurnaan shalat, sehingga shalatnya syah dan di terima
oleh Allah.
Allah
SWT, berfirman :
“Tidaklah
Aku menerima shalat setiap orang. Aku hanya menerima shalat dari
orang yang merendah demi ketinggian-KU, ber-Khusyu demi ke
agungan-KU, mencegah nafsunya dari segala larangan-KU, melewatkan
siang dan malamnya dalam mengingat-KU, tidak terus menerus dalam
pembangkangan terhadap-KU, dan selalu mengasihi yang lemah, dan
menghibur orang miskin demi keridho’an-KU. Bila ia memanggil-KU,
Aku akan memberinya. Bila ia bersumpah dengan nama-KU, Aku akan
membuatnya mampu memenuhinya. Aku akan jaga ia dengan kekuatan-KU dan
kubanggakan dia diantara malaikat-KU. Seandainya Aku bagi-bagikan
Nur-Nya untuk seluruh penghuni bumi, niscaya akan cukup bagi mereka.
Perumpamaannya seperti surga firdaus, buah-buahannya tidak akan
rusak, dan kenikmatannya pun tak akan Sirna”. (HADISTS QUDSI).
Jadi
pada intinya, bahwa shalat tidak hanya terdiri dari gerakan fisik
(badan) saja, lebih dari itu yang utama adalah dampak positif dari
shalat dapat dirasakan oleh masyarakat dimana dapat ditunjukan dengan
perilaku penuh santun dan penuh dengan nilai-nilai kebajikan,
misalnya mengasihi dan membantu orang-orang yang lemah. Penting
ditekankan disini adalah jika sudah merasa mendirikan shalat jangan
sampai menyombongkan diri karena telah melakukan ibadah suci dengan
baik. Karena kesombongan diri, baik itu sombong dalam shalat, puasa
dan sebagainya sebaiknya harus dijauhkan dari dalam diri kita,
jikalau kesombongan itu semakin meraja lela didalam diri kita, maka
semua yang kita lakukan akan sia-sia, sehingga perjalanan spiritual
kita pun akan menjadi terbengkalai, hancur tiada tersisa.
Kesombongan,
egoisme atau riya adalah sebuah sikap atau sifat yang menempel pada
diri manusia yang sering kali tidak disadari oleh mereka yang
menyandangnya sehingga amat sulit dihapuskan. Itulah kenapa para kaum
spiritual selalu mengingatkan untuk menjauhi hal-hal tersebut. Dalam
sebuah hadits diriwayatkan bahwa :
“JIKA
DALAM HATIMU TERDAPAT KESOMBONGAN, WALAU ITU HANYA SEBESAR DZARRAH
(BIJI) SEKALIPUN, MAKA PINTU CAHAYA (SURGA) TIDAK AKAN TERBUKA”.
HAKIKAT
SHALAT
INNANII
ALLAHU LAA ILAAHA ANA FA’BUDUNII WA
AQIMI SHALAATA LIDZIKRII
“Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, Tidak ada Tuhan Selain AKU. Maka
sembahlah AKU dan Dirikan Shalat untuk Ber-Zikir
Kepada-KU”
(Al-Qur’an
Surat Thaaha : 14)
“Bacakan
apa yang diwahyukan dari kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Dan dirikan
shalat. sesungguhnya shalat dapat mencegah orang brbuat keji dan
munkar.
Dan
mengingat Allah (Dzikir) adalah yang paling penting (dalam
kehidupan).
Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
(Al-Qur’an
S.Al-Ankabut : 45)
Yang
wajib dalam beragama adalah “Aqoma Din dan Aqimu-Shalat”
yang berarti menegakan Agama dan Menegakan Shalat, menegakan
berarti sama dengan mendirikannya, dan bukan mengerjakannya, jadi
dalam hal ini bukan pengerjaan shalatnya, melainkan penegakannya.
Shalat ditegakan untuk mencapai kondisi meditasi. Shalat
ditegakan agar tercapai Zikir (Ingat) kepada Allah, jadi
yang menjadi sasaran utama itu Zikir-nya bukan pengerjaan
shalatnya. Jika shalat tidak menghasilkan zikir kepada
Allah, ya sama saja dengan gerak badan dalam bentuk shalat,
inilah yang disebut
“FAWAYLUNLLI MUSHALINA’LLADZINAHUM‘AN SHALATIHIM SAHUN. ALLADZINAHUM YURA’UN” Yaitu Kecelakaan bagi orang-orang yang mengerjakan Shalat yang tak ada perhatian (tidak ada Kekhusuan dan Zikir) dalam Shalatnya yang ada hanya untuk sekedar pamer/ria.
“FAWAYLUNLLI MUSHALINA’LLADZINAHUM‘AN SHALATIHIM SAHUN. ALLADZINAHUM YURA’UN” Yaitu Kecelakaan bagi orang-orang yang mengerjakan Shalat yang tak ada perhatian (tidak ada Kekhusuan dan Zikir) dalam Shalatnya yang ada hanya untuk sekedar pamer/ria.
Ingat
kembali Q.S. 20 : 4, dimana diayat tersebut dinyatakan dengan
tegas sekali bahwa yang dituju dalam shalat adalah Zikir
dan dalam Q.S. 29 : 45 diterangkan bahwa nilai Zikir itu
lebih besar dari pada segala ibadah, Mengapa ? Ya, Karena
kesadaran itu tumbuh dari Zikir bahkan pencerahan pun
dicapai melalui Zikir, bahkan Nabi Muhammad sendiri selalu
ber-Tahanus atau ber-Khalwat selama sebulan penuh, pada tiap bulan
Ramadhan di Gua Hira.
Disana beliau ber-Zikir terus menerus sebelum ia diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Diriwayatkan oleh Abudarda’ bahwa Rasululloh saw. Bersabda :
Disana beliau ber-Zikir terus menerus sebelum ia diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Diriwayatkan oleh Abudarda’ bahwa Rasululloh saw. Bersabda :
"ALAA
U’NABBI’UKUUM BIHOIRII A’MAALIKUM WA A’ZKAAHAA I’DA
MALIIKIKUUM WA’ARFAI’HAA FIDARAZATIKUM WA HOIRUN’LAKUUM MIN
I’NFAAQILDZAHABI WALMISSOTTI WAHOIRUN LAKUUM MIN A’NTALQAWW
ADUWWAKUM FATAD’RIBUU A’ANAA QOKUUM ; QOLUU TALA YAA RASUULULLAH
: QOLA : HUWADZKURULLAHI TA’ALA".
Yang
artinya : “Dapatkah
aku memberitahukan kepadamu tentang amal terbaik diantara
derajat-derajatmu, lebih baik bagimu dari menafkahkan emas dan perak
dan lebih baik dari pada menghadapi musuh dalam medan perang sambil
penggal-memenggal kepala. “Apakah itu ?’’ Ya Rasulullah, Tanya
para sahabat, “ialah dzikir pada Allah” jawab Rasulullah saw.
Dikatakan
oleh Rasulullah bahwa Dzikir lebih tinggi dari semua macam
ibadah, karena ibadah-ibadah itu adalah jalan kepada dzikir (ingat)
pada Allah, maka dzikrullah adalah tujuan utama. Dzikir mempunyai
dua cara : Pertama di ucapkan dengan mulut sehingga terdengar oleh
telinga, dan yang kedua dilakukan dengan hati dan fikiran yang
terpusat hanya kepada Allah tanpa disuarakan dan itulah tingkat
teratas dari semua cara-cara ber-dzikir.
Shalat
itu kepunyaan Allah, karena itu tidak terjadi hukum timbal
balik, lain halnya dengan Zikir, ini memang aktivitas
manusia terhadap Allah dan selanjutnya Allah menyapa balik kepada
manusia. Seperti apa yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadist
Qudsi : “ FADZKURUNI ADZKURKUM “ (Karena itu ingat-lah kamu
kepada-KU, niscaya AKU ingat pula kepadamu Q.S. Al-Baqarah : 152 ).
“MAN DZAKARANII WALAM YAN SANII DZAKARTUHUU WALAM AN SAHUU”
(Barang siapa senantiasa ber-Zikir, mengingat-KU dan tidak
melupakan-KU, maka AKU selalu mengingatnya, dan tidak akan AKU
lupakan - Hadist Qudsi ).
Zikir merupakan
hubungan timbal balik, manusia ber-Zikir (ingat) kepada Allah dan
Allah pun ber-Zikir (ingat) kepada manusia, karena itu Zikir
merupakan sarana untuk manunggal dengan Allah. Pengertian
manunggal, bukan manunggal Dzat-Nya, tapi manunggal Sifat, Asma,
dan Af’al sang hamba dengan Tuhan-Nya. Dalam istilah jawa disebut
“LORO-LORONING ATUNGGAL” Yang berarti Dua tapi Satu
adanya. Dan inilah kiranya yang dimaksud dengan TAUHID SEJATI.
(Pengesaan Yang Sebenar-benarnya).
Zikir
berasal dari kata ZAKARA, Kata ZA yang berarti
“Mengingat” , dan KA yang berarti “ Memperhatikan”,
sedangkan RA yang berarti “Mengisi atau Menuangkan Asma
Allah kedalam Lubuk Hatinya. Jadi dalam ber-Zikir kita bukan
menyatukan dirinya dengan Dzat Allah, karena Allah meliputi segala
sesuatu, tapi yang perlu kita satukan adalah Sifat, Asma dan Af’al
Tuhan, agar sesuai dengan Kodrat dan Iradat Allah.
Dan
untuk bisa menyatukan diri dengan Allah atau Manunggaling Kawula
Gusti, kita harus dapat ber-Semadi (Tapakur), yakni harus bisa
menyatukan perasaan, pikiran dengan Nafasnya dalam ber-Zikir. Puncak
dari penyatuan ini adalah ketenangan jiwa, tentramnya qolbu,
perasaan dan pikiran dikembalikan kepada Allah dan diiringi dengan
perhatian terhadap keluar – masuknya Nafas.
Nafas
adalah merupakan wahana bagi sang permana untuk mengunjungi setiap
sudut sel-sel kehidupan manusia, sang permana sendiri tergantung
pada daya sang Sukma Jati, bila sang permana telah menjangkau semua
sudut sel-sel kehidupan badan, maka tenanglah hati manusia.
Pancamaya dan Hartadaya yang melekat pada Sukma Jati tidak
bergejolak lagi setelah sang permana menjelajah semua sudut sel
tubuh ini. Hati yang bergoncang, tenang semua unsur dalam diri
manusia menjadi patuh kepada sang pencipta ketika manusia ber-Zikir,
karena itu hanya dengan ber-Zikir hati menjadi tenang.
Puncak
dari Zikir adalah kondisi diam, sunyi dari perasaan dan
angan-angan, dan hasilnya perasaan tenang dan tenteram.
Adanya
Allah karena Zikir. Pada saat Zikir manusia tenggelam
dalam dirinya sendiri, Dzat, Sifat, Asma dan Af’al
Tuhan digulung menjadi Antaya dan Rasa dalam
diri. Apakah Antaya itu ? Antaya adalah angan-angan yang tampak
nyata dalam diri kita, ketika orang itu sedang berzikir.
Ada
Antaya dan Rasa dalam diri pada saat Zikir
sehingga terjadilah “JADAB” semacam hilangnya
kesadaran diri, dan meluncurlah ucapan “ANA AL-HAQ”
atau Saya Tuhan dan sayalah kebenaran itu. Timbulah pengakuan
bahwa dirinya telah menjadi Zat Yang Mulia. Sehingga banyak
orang yang ber-Zikir merasakan kedekatannya dan pertemuannya dengan
Allah, sehingga seolah-olah kita larut dan hanyut tenggelam dalam
samudra Tauhid yang tak bertepi.
Adapun
Manusia dan Allah adalah satu Realita, bukankah Allah senantiasa
beserta manusia, dimana saja kita berada “WAHUWA MA’AKUM
AINAMAA KUNTUM” (Allah bersama kamu, dimanapun kamu berada.
Q.S. Al-Hadid (57) : 4 ).
Dalam
ber-SAHADAT dianggap sebagai kepalsuan mengapa ? karena Sahadat
umumnya hanya sebatas bibir, sebatas menyebut namanya, dan
sebenarnya banyak orang yang ber-Sahadat tapi tidak benar-benar
menyaksikan Allah, dia hanya baru sampai mengucapkan Sahadat.
Adapun
pembakuan makna Zikir sekarang justru telah mengaburkan arti
yang sesungguhnya, ada yeng menghitung jumlah Zikirnya
dengan tasbih, ada yang menggunakan mesin hitung dll. Yang jelas
Zikir mereka tidak “tanpa pamrih”. Ada yang menginginkan
rejeki, adapula yang menginginkan sorga, sehingga dengan hal
demikian Cinta kita kepada Allah belum menjadi Kasih, karena masih
bersyarat atau masih bersifat Pamrih (Meminta sesuatu balasan Jasa
atau upah atau pahala dsb).
Tapi
jika Zikir diterjemahkan sebagai “Meditasi atau Tafakur “
Maka hidup kita harus menjadi “Akhand Japa” (Zikir yang
tak pernah berhenti), tidak perlu menggunakan tasbih, tidak perlu
menghitung jumlah, karena apapun yang kita lakukan harus dilakukan
dalam semangat Zikir, makan dalam Zikir, minum dalam Zikir,
berarti kita makan dan minum dengan penuh kesadaran, jangan-jangan
makanan dan minuman yang mengisi perut kita adalah hasil rampasan hak
orang lain, bekerja di kantor dalam Zikir, jangan-jangan pekerjaan
ini hanya menguntungkan kita tetapi merugikan orang lain.
Bukankan Allah telah ber-Firman didalam sebuah Hadist Qudsi : “YAA IBNA ADAM ! TAFARRAGHLI DZIKKRII ADZKURUKA ‘ INDAMAAIKATII” (Hai anak Adam ! Kosongkan waktumu guna mengingat, ber-Zikir kapada-KU, niscaya AKU akan menyebutmu dihadapan Malaikat-MalaikatKU). “YAA IBNA ADAM ! LAA YADKHULU JANNATII ILLA MAN TAWADLA’A LI’ADHOMATII WA QATHA’A NAHAARAHUU BI DZIKRII WA KAFFA NAFSAHU’ ANISSY SYAHAWAATI MIN AJLII (Hai anak Adam ! Tak akan memasuki Syorgaku (tempat-KU) kecuali orang-orang yang tunduk dengan ke Agungan-KU, dan hari-harinya ia lalui untuk mengingat (Ber-Zikir kepada-KU), serta yang dapat mencegah dirinya dari hawa nafsu hanya karena Aku).
Bukankan Allah telah ber-Firman didalam sebuah Hadist Qudsi : “YAA IBNA ADAM ! TAFARRAGHLI DZIKKRII ADZKURUKA ‘ INDAMAAIKATII” (Hai anak Adam ! Kosongkan waktumu guna mengingat, ber-Zikir kapada-KU, niscaya AKU akan menyebutmu dihadapan Malaikat-MalaikatKU). “YAA IBNA ADAM ! LAA YADKHULU JANNATII ILLA MAN TAWADLA’A LI’ADHOMATII WA QATHA’A NAHAARAHUU BI DZIKRII WA KAFFA NAFSAHU’ ANISSY SYAHAWAATI MIN AJLII (Hai anak Adam ! Tak akan memasuki Syorgaku (tempat-KU) kecuali orang-orang yang tunduk dengan ke Agungan-KU, dan hari-harinya ia lalui untuk mengingat (Ber-Zikir kepada-KU), serta yang dapat mencegah dirinya dari hawa nafsu hanya karena Aku).
Zikir
harus di artikan sebagai kesadaran yang mewarnai segala aspek
kehidupan. Mengingat Allah setiap saat dan disetiap tempat, baik
itu di dalam Masjid, di rumah, di dalam kamar mandi, kamar tidur,
ruang kerja. Dan Allah berada di semua arah dan tempat, karena
kemanapun kita pergi, dimanapun kita berada semua yang kita lihat
dan kita saksikan hanyalah WajahNya. “AIYNAMAA TUKKUU FASAMMA
WAJ’HU LLAAHI” (Kemanapun kita menghadap, disanalah Wajah (Zat)
Allah. Q.S. 2 : 115).
Adapun Zikir Khusus yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari
tersebut adalah Zikir Akhfa yakni Zikir yang tidak lagi
terucapkan oleh mulut dan hati, berjalan setiap saat, seperti
perjalanan Nafas kita ini. Setiap saat Zikir, artinya setiap saat
sadar dalam keadaan apapun, baik sedang bertransaksi ekonomi,
berdagang, bekerja, bergaul, beristirahat, makan-minum, aktif
dikantor, aktif diluar rumah, bercengkrama, dan berhubungan intim
dengan istri, maupun lagi buang air, Zikir senantiasa berjalan
seperti Nafas kita. Betapa nikmatnya buang air tat kala Zikir terus
menerus berlangsung, sekali lagi hal ini menyangkut tingkat
kesadaran dalam memahami Zikir sebagai kesadaran. Tuhan pun harus
disadari sebagai “KESADARAN AGUNG” dalam Al-Qur’an kesadaran
Agung ini juga dinyatakan sebagai Yang Maha Mendengar, Lagi Maha
Melihat, jadi DIA senantiasa melihat dan mendengar, yang senantiasa
SADAR “Samiul Bashir”. Q.S. 31 : 28. (Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar dan Maha Melihat).
SELANJUTNYA
TENTANG APLIKASI SHALAT DALAM
HIDUP SEHARI-HARI
Tentang
Aplikasi (Penerapan ) Shalat dalam hidup sehari-hari, Shalat memang
harus didirikan untuk membangkitkan kesadaran. Kaitan Shalat dengan
Zikir bisa di umpamakan seperti system pengisian Baterai atau ACCU
pada mobil/motor. Baterai/Accu pada mobil tersebut harus selalu
memberikan tenaga listrik ketika mesin mobil bekerja, tapi ia harus
selalu diisi oleh dinamonya, jadi Zikir senantiasa harus ada ketika
manusia beraktivitas, dan hilangnya energi batin selama beraktivitas
harus diisi kembali dengan Shalat, Sembahyang/Shalat atau apapun
namanya yang tujuannya adalah untuk membangkitkan kesadaran.
Kesadaran
yang timbul inilah, yang harus bekerja mewarnai segala tindakan,
ucapan, dan pikiran manusia. Sekali lagi kesadaran yang timbul atau
yang bangkit/ yang bekerja, bukan lagi pamrih atau dorongan hawa
nafsu yang menggerakannya melainkan kehendak Allah yang terjadi, dan
bukan kehendak Egonya.
Pada
tingkatan awam, mereka tidak memahami bila yang dituju dalam Shalat
itu bukan semata-mata menggerakan anggota badan, dan yang dimaksud
dengan orang Awam disini, tak ada hubungannya dengan posisi seseorang
ditengah masyarakat, apakah itu seorang tokoh, ulama, kiai, atau
Ustad. Tapi yang dimaksudkan Awam disini adalah mereka-mereka yang
tingkat kesadaran jiwanya masih didominasi atau dikuasai oleh
Nafsunya sendiri, sehingga terjadilah Sifat keakuan pada diri, merasa
dirinya yang paling benar, sehingga dari sini lahirlah Jiwa/sifat
Pamrihnya atau keakuannya atau pikirannya yang terbatas alias Taklid
pada sesuatu hal.
Adapun
gerakan dan waktu pelaksanaan yang dimaksudkan dalam Shalat adalah
Riyadhoh untuk membangun kedisiplinan hidup, karena itu shalat yang
tidak dapat membangkitkan kesadaran tak lebih dari “gerakan badan”
atau senam. Ada yang bertanya, kalau gerakan shalat itu tidak
lebih penting dari tujuannya mengapa Nabi Muhammad senantiasa
menjalankan shalat seperti yang dicontohkannya kepada umatnya?
Disini
kita perlu ketahui bahwa Diri atau Pribadi Nabi Muhammad
itu sudah bukan milik dirinya lagi, beliau sudah menjadi milik
umatnya, dan beliau sudah memberi contoh Suri tauladan yang baik,
dan secara general kepada umatnya, yang waktu itu keadaan
orang-orang Arab baru terbebas dari keadaan Jahiliah (kebodohan),
dimana hukum dan aturan kala itu masih semrawut, sehingga dengan
bentuk disiplin lahiriah, Nabi tidak menjadi pemimpin/presiden bagi
umatnya yang masih bermalas-malasan. Dengan gerakan shalat secara
lahiriah itu, beliau mengajarkan, serta menerapkan kedisiplinan
kepada umatnya, sehingga bila ada umat yang tidak mengerjakan shalat
secara utuh, maka dia dengan mudah bisa mengingatkannya, bahwa Nabi
pun masih menjalankannya, Sehingga dengan contoh yang beliau terapkan
itu, akhirnya beliau berhasil mengajak mereka untuk mengikuti segala
ajaran dan seruannya dalam memasuki Agama Islam Yang Kaffah.
Betapapun kerasnya hati orang arab .kala itu, akhirnya dapat di
luluhkan dengan kelembutan dan kesabaran Nabi Muhammad SAW.
Kembali
kepada shalat yang berfungsi untuk membangkitkan kesadaran. Pada
Al-Qur’an surat Al-Ma’arij ayat 19 – 23, disini dijelaskan :
- : “Sesungguhnya Manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”
- : “Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah”
- : “Apabila mendapat rejeki (kekayaan/kesenangan) ia amat kikir”
- : “Kecuali orang-orang yang mengerjakan SHALAT”
- : “ALLADZIINAHUM A’LAA SHALATIIHIM DAA’IMUN”
(Yaitu, mereka yang tidak putus-putus menjalankan Shalatnya
(Shalat Daim).
Shalat
Daim adalah shalat yang tidak pernah terputus artinya shalat 5 waktu
itu tidak pernah absent (telat), tapi kalau kita melihat kenyataan,
banyak orang yang tidak pernah absent Shalatnya tapi masih tetap
hidup gelisah, bahkan tidak bisa menghindarkan diri dari jebakan
dosa-dosa dalam kehidupan ini. Jadi jelaslah disini bahwa kita harus
lebih berpegangan pada makna shalat sebagai hubungan atau persatuan
dengan Allah. Sedangkan gerakan hanyalah sebuah bentuk atau cara
semata. Adapun Shalat dimaksudkan untuk ber-Zikir atau ber-Meditasi,
agar terciptanya “Khusyuk” dan berfungsi untuk membangkitkan
kesadaran. Bentuk shalat dapat terputus oleh waktu, keadaan,
tempat, geograpi dan situasi kondisi. Dan hal ini sebenarnya
dipahami betul oleh kaum muslim, misalnya dikendaraan atau di
pesawat, pesawat ruang angkasa dan lain sebagainya. shalat cuma
dilakukan dengan isyarat, dan berdasarkan ayat tersebut Shalat
memang harus Da’im, tak pernah terputus artinya Zikir
dan Shalat berlangsung terus seperti hubungan baterai dan
dynamo listrik, setiap saat kita isi dan selalu siap digunakan.
Didalam sebuah Hadist yang terdapat dalam Kitab Ihya Ulumudin dari
Al-Ghazali, disana disebutkan bahwa sesungguhnya : “Allah
tidak memperhatikan Shalat seseorang yang tidak menghadirkan Hati dan
Badannya”. Adapun yang dimaksud tidak menghadirkan Hati
disini adalah banyak orang yang ber-Shalat tapi tidak ada kekhusuan
dan perhatian pada shalatnya dikarenakan hatinya lalai kepada selain
Allah. Adapun yang dimaksud tidak menghadirkan Badannya
disini adalah Bahwa dilain sisi hati ber-Zikir kepada Allah,
tapi perilaku dan perbuatannya tidak mencerminkan kerendahan hatinya.
Ada
cerita tentang Shalat Khusyuk
PERTAMA :
Kisah Ali bin Abi Thalib, suatu hari terkena panah dalam sebuah
peperangan, tetapi dia meminta sahabat lainnya untuk mencabut panah
tersebut tatkala dia sedang Shalat. Sahabat mencabutnya dan Ali
tidak mengaduh sama sekali, inilah “Khusyuk” atau Fana
atau Samadhi sehingga badan jasmani terasa lenyap.
KEDUA Muslim
bin Yasar, seorang Sufi, bila shalat tidak dapat lagi mendengarkan
percakapan anggota keluarganya.
KETIGA Imam
Al-Ghazali adalah seorang Sufi Islam yang sangat terkenal. Ada
perbedaan ke-Sufian antara Al-Ghazali dengan Al-Arabi dan Ar-Rumi.
Arabi dan Ar-Rumi dikenal sebagai Sufi Filsafat, sedangkan
Al-Ghazali dikenal sebagai Sufi Fikiyah. Yaitu Sufi yang merasa
sangat terikat dengan Syariat (Aturan). Al-Ghazali memiliki saudara
laki-laki yang juga Sufi, tapi tidak terkenal, namanya Imam Ahmad,
suatu hari Imam Al-Ghazali memimpin Shalat berjamaah, tetapi
ternyata Imam Ahmad shalat sendirian disudut Masjid. Selesai
shalat, para jemaah agak rebut menyaksikan Imam Ahmad yang tidak ikut
berjamaah, beberapa jemaah mendatangi Imam Al-Ghazali dan mencoba
menanyakan alasannya, mengapa saudara Al-Ghazali tersebut tidak ikut
berjamaah, padahal Al-Ghazali adalah seorang Imam terkenal. Ada apa
? selesai shalat dan zikir Imam Ahmad dihampiri oleh Al-Ghazali
dan bertanya tentang alasan saudaranya ini memilih shalat sendirian,
adapun jawaban Imam Ahmad tersebut, katanya ketika ia hendak ikut
shalat berjemaah, ia melihat Hati (Qolbu) Al-Ghazali sedang
memikirkan dalil-dalil tentang fikih wanita yang mengalami
menstruasi, Atas jawaban saudaranya tersebut Imam Al-Ghazali
membenarkannya, dan Ia mohon ampun kepada Allah. Sehingga dari
pengalaman itulah Al-Ghazali semakin banyak ber-Uzlah atau
ber-Khalwat agar hatinya dapat menjadi Khusyuk.
HAKIKAT
SHALAT SEJATI
"UTANING
SARIRA PUNIKI ANGAWRUHANA JATING SHALAT, SEMBAH
LAWA PUJINE, JATINING SHALAT IKU DUDU NGISA TUWIN
MAGERIB, SEMBAHYANG ARANEKA WENANGE, PUNIKU
LAMUN ARANA SHALAT PAN MINANGKA KEKEMBANGIN
SHALAT DA’IM INGARAN TATA KRAMA"
Artinya
: Unggulnya
diri itu mengetahui Hakikat Shalat, sembah dan pujian, Shalat yang
sebenarnya bukan mengerjakan Shalat Isa dan Maghrib, itu namanya
sembahyang. Apabila disebut Shalat, maka itu hanyalah hiasan (kulit
luarnya) dari Shalat Da’im, hanyalah tatakrama.
Adapun
Shalat 5 Waktu adalah ibadah shalat yang termasuk kedalam “Hablum
Min’nanas” yakni hubungan manusia dengan manusia, karena
bentuk dari ibadah pelaksanaannya harus diketahui oleh orang lain
atau diketahui oleh sesama manusia baik itu di rumah, disurau
maupun di Masjid.
Adapun
Hablum Minallah yakni hubungan manusia dengan Allah adalah
hubungan yang sangat pribadi, yang tidak mungkin diketahui oleh orang
lain apalagi oleh sesama manusia, karena yang tahu hanyalah kita dan
Allah, bukankah didalam Shalat terkandung hubungan hamba dan
TuhanNya. Dan hubungan ini tidak semestinya diketahui oleh orang
lain.
Jadi
jelas sekali bahwa orang yang unggul adalah orang yang mampu memahami
dan menghayati Kesejatian Shalat. Bukan orang yang tidak
pernah telat mengerjakan shalat 5 kali sehari itu yang unggul, tapi
justru yang unggul itu adalah orang yang telah memahami dan
menghayati Hakikat dari Shalat. Sembah dan pujian itulah
yang unggul, karena Inti dari Shalat bukan sekedar pelaksanaannya
atau pengerjaannya semata-mata, tapi juga adalah Penegakannya
(Aqimu Shalat Wa Qiyamuhu bi Nafsihi).
Seorang
Wali Sanga atau Yang lebih dikenal dengan sebutan “Sunan Bonang”
(Syekh Rohmat), dimana beliau pernah menulis didalam Kitabnya:
"ENDI
INGARAN SEMBAH SEJATI AJA NEMBAH YEN TAN NORA WERUH KANG SINEMBAH
ING DUNYA IKI KADI ANULUP KAGA, PUNGLUNE DEN SAWUR MANUKE
MANGSA KENAA, AWE KASA AMANGGERAN ADAM SARPIN, SEMBAHE SIYA-SIYA".
Artinya
: Manakah
yang disebut Shalat Sejati (Shalat yang sebenarnya), janganlah
menyembah bila tidak tahu siapa yang di sembah, akibatnya akan
direndahkan martabat hidupmu. Apabila engkau tidak mengetahui siapa
yang disembah di dunia ini, engkau seperti menyumpit burung, dimana
pelurunya disebar tetapi tidak satupun yang mengenai burungnya,
akhirnya Cuma menyembah Adam Sarpin, penyembahan yang tiada berguna.
Adapun
ungkapan: “JANGAN MENYEMBAH BILA TIDAK TAHU SIAPA YANG DISEMBAH?
Yang
dimaksudkan disini adalah bahwa yang diperintahkan di dalam Al-Qur’an
adalah “AQIMU SHALAT (Menegakan/mendirikan Shalat)”,
Menegakan /mendirikan shalat tidak sama dengan mengerjakan atau
menjalankan shalat, juga tidak sama dengan mempelajari dalil-dalil
shalat. Mengerjakan shalat lebih cenderung hanya sekedar menjalankan
ritual upacara lahiriah belaka, sedangkan justru yang dikehendaki
oleh Al-Qur’an tentu saja tidak demikian, karena kata kerja yang
digunakan untuk menyatakan perbuatan shalat adalah “Aqama”
yang artinya adalah menegakan sesuatu dalam arti yang sebenarnya.
Sedangkan arti shalat sendiri adalah permohonan atau Do’a.
Dalam
shalat terkandung tindakan WASHOLA yaitu menyatukan diri
dengan Allah, jadi termasuk dalam menegakan shalat adalah menegakan
subtansi atau semangat dari shalat, sama dengan menegakan Agama.
Shalat
harus dilakukan dalam keadaan sadar sepenuhnya, didalam Al-qur’an
Surat An-Nisa (4) : 43, disebutkan bahwa dalam shalat setiap kata
yang di ucapkan harus dimengerti (kepada siapa dan untuk siapa kata
dan ucapannya ditujukan). Shalat baru dapat dilakukan bila setiap
kata yang diucapkan diketahui kepada siapa kata ini ditujukan,
dalam keadaan inilah orang mengerti kepada siapa dia melakukan
penyembahan, tanpa mengetahui siapa yang disembah, jelas itu hanya
pekerjaan sia-sia. Disebut sebagai orang yang menyembah Adam Sarpin
atau Makdum Sarpin berarti sesuatu yang tidak ada objek dan
tujuannya, dan hanya orang bodoh (tidak sadar) yang mau melakukan
pekerjaan yang sia-sia. Hal semacam inilah disebut sebagai orang
yang direndahkan martabat hidupnya.
Shalat
atau penyembahan yang berguna adalah shalat yang dapat mencegah
terjadinya “Fakhsya” dan “Munkar”, dengan
ayat ini sebenarnya yang harus menjadi perhatian ulama Islam adalah
Hakikat atau tujuan Shalat, malah justru mereka disibukan untuk
memperhatikan orang yang mengerjakan shalat sehingga akhirnya timbul
perasaan sinis dan berpandangan Negatif terhadap orang yang tidak
mengerjakan shalat, apalagi yang jarang hadir ke Mesjid. Yang
ujung-ujungnya mereka lebih tertarik kesangkarnya daripada burungnya,
kita lebih tertarik kulit daripada isinya, mereka hanya sibuk
mengurus pengerjaan dan pelaksanaan shalatnya ketimbang Penegakannya.
Adapun
yang dimaksud dengan Keji dan Munkar didalam shalat yaitu :
1. Perbuatan
Keji : adalah perbuatan hina dan menjijikan yaitu
perbuatan hati yang penuh dengan sifat Iri, dengki, dendam, dan
sejenisnya.
2. Perbuatan Mungkar : adalah perbuatan yang
nyata-nyata ditolak oleh masyarakat seperti : Dzalim, judi,
mabuk-mabukan, per-Jinahan, kolusi, korupsi, per-canduan dll.
Jadi kalau orang betul-betul sudah menegakan shalat, niscaya
tidak akan ada lagi KKN, meskipun pemimpin, pejabat negara, tokoh
masyarakat yang tak pernah kemesjid, tidak kelihatan shalat bersama,
tapi kalau mereka sudah benar-benar menegakan shalatnya niscaya kita
akan mendapatkan pemerintahan yang bersih, dan tentu saja akan lebih
baik jika pemimpin tersebut memberikan suri tauladan yang baik,
dengan rajin pergi ke Masjid untuk mengerjakan shalat secara
berjemaah, agar tercipta suasana yang kondusif. Suasana yang aman,
nyaman dan bersahabat.
Seperti
yang telah kita bahas diatas bahwa shalat 5 kali sehari itu hanyalah
tata krama dalam kehidupan beragama Cuma kiasan. Sedangkan shalat
yang sesungguhnya disebut sebagai “Shalat Dha’im” yaitu
shalat yang tidak pernah terputus oleh waktu dan tempat, dimanapun
kapanpun, baik dalam situasi keadaan apapun dan dimanapun.
“AIYNAMAA
TUKKUU FASAMMA WAJ’HULLAHI” (Kemanpun kita menghadapkan diri
kita, maka disanalah wajah Allah. Q.S : 2 : 115).
Maksudnya
: Bahwa Shalat Daim itu tidak lagi mengenal arah, waktu maupun
tempat, karena dimana pun kita berada yang kita Ingat ataupun kita
lihat hanyalah Wajah Allah.
“ALLADZINA
YADZKURUUNALLAHA QIYAAMAA WAQU’UDAA WA A’LAA JUNUUBIHIM WAYA
TAFAKKARUUNA FI KHALQI SAMAWATI WAL ARDHI” (Merekalah orang-orang
yang selalu ber-Zikir mengingat Allah, baik di waktu berdiri, duduk
dan berbaring. Dan selalu memikirkan tentang kejadian langit dan
bumi. Q.S. 3 : 191).
“ALLADZIINAHUUM
ALAA SHALATIHIM DAA’IMUN” (Dan merekalah yang tetap khusyu
(secara terus menerus hatinya ber-Zikir mengingat Allah ) dalam
Shalatnya. Yang tidak pernah lupa meski sehembus Nafas, yang tidak
pernah terlena meski sedenyut jantung, dan tidak pernah lalai walau
sekedip mata (itulah SHALAT DA’IM . Q.S. AL-MA’ARIJ : 22).
Seperti yang dikutipkan oleh Hujatul Islam tanah Jawa yaitu
Syekh Malaya atau yang lebih dikenal Sunan Kali Jaga dalam Kitab-nya
:
"PANGABAKTINE
INGKANG UTAMA, NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA SEMBAHE,
MENENG MUN, PUNIKU SASOLAHE RAGAN’ REKI, TAN SIMPANG DADI SEMBAH,
TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS DADI SEMBAH, IKU INGARANAN NIYAT KANG
SEJATI, PUJI TAN PAPEGATAN"
Maksudnya
: Kebaktian
(Shalat) yang unggul itu tidak mengenal waktu, semua tingkah lakunya,
itulah sembahyangnya, diam, bicara, dan semua gerak gerik badannya
merupakan sembahyang, hingga wudhu, berak, dan kencingnya pun
merupakan sembahyang, itulah yang disebut niat yang sejati, Pujian
yang tak putus-putusnya.
Shalat
Daim disebut kebaktian yang unggul !, karena semua tingkah
lakunya merupakan wujud dari sembahyang. Dan tidak mengenal waktu,
ya makna “Da’im” memang terus menerus tak pernah berhenti, tak
pernah putus-putus, itulah Da’im. Jadi shalat Da’im adalah
shalat sepanjang hidup, diam, bicara, bekerja, istirahat,
makan-minum, tidur maupun bangun senantiasa shalat, semua gerak tubuh
ini merupakan sembahyang, bukan hanya wudhu bahkan tatkala ber-tinja
dan kencingpun dalam keadaan shalat.
Coba
kita lihat lagi Hakikat Shalat yang termaktub dalam Al-Qur’an
surat Thaha (20) : Ayat 14, disana tertulis dengan jelas
INNANII ALLAHU LAA ILAAHA ANA FA’BUDUNII WA AQIMI SHALAATA
LIDZIKRII
“Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, Tidak ada Tuhan Selain AKU. Maka
sembahlah AKU dan Dirikan Shalat untuk Ber-Zikir
Kepada-KU” (Al-Qur’an
Surat Thaaha : 14)
Jadi
jelas, bahwa shalat itu didirikan untuk ber-Zikir kepada Allah,
kalau dalam bahasa sehari-hari, shalat merupakan kewajiban minimal
dalam ber-Zikir. Artinya bahwa dalam hidup ini, bangun dan tidur
seharusnya ber-zikir terus menerus, kapan saja dan dimana saja harus
ber-zikir (ingat kepada Allah), tapi nyatanya kebanyakan orang tidak
bisa menjalani hidup yang demikian ini, makanya disediakan waktu
Zikir secara khusus seperti yang diterapkan Nabi Muhammad SAW
kepada umatnya, yaitu 5 kali dalam sehari, yang kita kenal dengan
shalat 17 rakaat.
Shalat
Da’im adalah shalat yang tidak memerlukan lagi sesuatu/
tanpa perantara, yakni shalat tanpa menggunakan air wudhu untuk
menghilangkan hadast besar/kecil, Itulah Shalat batin yang
sebenarnya. Shalat yang didalamnya seseorang boleh makan-minum,
tidur, bersenggama (dengan istri), maupun buang kotoran, hal ini
disampaikan Syekh Malaya atau Sunan Kalijaga, setelah ia mendapatkan
pelajaran yang sebenarnya dari Nabi Khidir A.S.
Adapun
Maksud sebenarnya dari Shalat 50 Rakaat atau shalat 50 kali
dalam sehari, yang dititahkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW,
sebenarnya mengandung maksud tujuan yang paling mendasar
dalam hal ber-Ibadah kepada Allah. Adapun dasar tujuan utamanya
adalah agar manusia selalu ingat ber-Zikir kepada Allah.
Jika
dalam waktu 24 jam, kita bagi menjadi 8 jam untuk makan, tidur,
mandi dan lain-lain, maka sisanya adalah 16 jam. Jika angka 50
rakaat tadi kita bagi dengan sisa waktu yang 16 jam, maka hasilnya
akan menjadi 3 koma sekian. Berarti setiap jam harus melaksanakan
Shalat 3 kali, lalu jika setiap shalat memakan waktu 10 menit
saja, berarti 30 menit untuk shalat, sisa 30 menit lagi untuk mencari
nafkah.
Maka
dibalik apa yang tersurat, ada yang tersirat dalam shalat 50
rakaat tersebut, yang dimaksudkan adalah bahwa Shalat
harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup dan kehidupan
manusia. Jadi setiap saat harus dilewati dalam keadaan shalat, yang
harus didirikan, dibangkitkan dan harus mewarnai setiap tindakan,
ucapan, dan pikiran manusia. Pantas saja didalam Al-qur’an Allah
memberitahukan : “INNAMAA LAKABIRATUN ILLA A’LAL KHOSYI’UN
- ALLADZIINAHUM ALAA SHALATIHIM DAA’IMUN” (Sesungguhnya
SHALAT itu berat sekali, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu. Yaitu mereka yang tetap terus menerus mengerjakan shalat
(dalam hidup dan penghidupannya), yang tidak pernah lupa meski
sehembus Nafasnya, yang tidak pernah terlena meski sedenyut jantung,
dan tak pernah lalai walau sekedip mata. (Q.S ;2 : 45 – Q.S ;
AL-MAARIJ : 22).
Ibadat
tidak dapat dilepaskan dari makna dan tujuan yang mendasari ibadat.
Ambil saja Shalat, makna atau tujuan dari shalat adalah
ber-Zikir kepada Allah. Tapi justru kebanyakan kita lupa kepada
makna dan tujuannya. Kita malah asyik dengan pelaksanaan dan
pengerjaan shalatnya saja, ketimbang Zikir-nya. Padahal suatu
gerakan tak mungkin merubah suatu keadaan akan menjadi lebih baik,
bila dalam shalatnya kita lupa akan tujuannya, bukankah Allah sudah
memberitakan kepada kita semua “WADZKURULLI ADZKURKUM”
Ber-Zikirlah kepadaKU, niscaya AKU akan ber-Zikir kepadamu. Dan bila
kita mampu mencapai tahap Zikir dalam keadaan bergerak, baik dikala
Berdiri, Rukuk, Sujud, dan Duduk dalam satu kesatuan, maka
terciptalah ketentraman batin.
Didalam
shalat ada “WASHALA”, yakni tindakan untuk menghubungkan
atau menyatukan Diri dengan Allah. Bila hal ini tercapai maka
lahirlah “Kasih (Rahim-Allah)” yang wujudnya adalah tercegahnya
seseorang yang menegakan/mendirikan shalat dari perbuatan dan
tindakan FAKHSYA (Keji) dan MUNKAR, bahkan di ayat ini
dinyatakan dengan tegas, bahwa nilai Zikir itu lebih besar daripada
ibadat-ibadat lainnya Q.S. 29 : 45.
Tujuan
Shalat itu untuk mencegah perbuatan dan tindakan Keji dan Munkar,
bukan untuk mendapatkan SORGA, jika orang sudah tidak berbuat Keji
dan Munkar, maka SORGA-nya akan datang dengan sendirinya. Seseorang
dikatakan terbebas dari perbuatan dan tindakan Keji bila ia sudah
tidak lagi melakukan perbuatan yang memalukan, tidak lagi berbuat
yang menjijikan, ia bebas dari perbuatan dan tindakan munkar bila ia
tidak melakukukan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku.
Orang
hanya bisa mengajarkan TATA CARA SHALAT dan melakukan
pengerjaan shalatnya ketimbang mengajarkan bagaimana supaya kita
dapat Menegakan/mendirikan shalat itu dalam praktek nyata di
kehidupan sehari-hari. Seorang petani yang berangkat pagi-pagi ke
sawah, lalu melakukan pekerjaan di sawah dengan benar tanpa pamrih,
itu artinya ia telah melakukan shalat secara nyata, dengan kata lain,
orang yang mengerjakan pekerjaannya dengan benar dan LILLAHI
TA’ALLA, bukan karena egonya berarti dia telah melaksanakan
Shalat Sejati yakni Shalat yang sebenarnya atau disebut
dengan Shalat Da’im.
Adapun
pelaksanaan shalat 5 waktu, itu bukan shalat yang sebenarnya, dan
kalau toh itu tetap disebut shalat, maka pelaksanaan shalat yang
tampak terlihat secara lahiriah ini, hanyalah hiasan dari pada Shalat
Da’im, yakni hiasan atau bungkus atau baju dari shalat yang
sebenarnya.
Shalat
Da’im adalah shalat yang ditegakan secara terus menerus tak
pernah putus, baik ketika melek / terjaga maupun ketika tidur. Baik
ketika bekerja maupun sedang beristirahat. Shalat 5 waktu hanya
Tata Krama, sedang Shalat Da’im. Shalat yang sebenarnya adalah
menyadari keberadaan Hyang Maha Agung dihadapan dirinya sendiri, dan
dia merasa bahwa dirinya sirna/lenyap. Sehingga semua tingkah lakunya
merupakan shalatnya, berwudhu, buang air besar dan kecil, semuanya
merupakan sembah, itulah yang disebut niat yang sejati dan pujian
yang tak pernah putus.
Makna
Niat
Sekarang
perihal Niat, sebagaimana yang telah diutarakan bahwa berwudhu harus
disertai niat. Tanpa niat, sama saja dengan membersihkan
bagian-bagian tertentu dari anggota badan. Dalam sebuah hadist yang
diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan bahwa “Sesungguhnya amal
perbuatan itu tergantung niat-nya,” [Innama al-amal bi
al-niyat]”. Hadits ini amat popular dikalangan awam.
Ajaran
tentang niat ini pun diajarkan oleh Syekh Syaripudin (Sunan Bonang)
dalam kitabnya yang disebut dengan Suluk Wujil. Dijelaskan
dalam bait 40 pada suluk tersebut sebagai berikut :
Niyat
iku luwih saking amale ponang akathah, nora basa swara reke, niyating
pingil iku kang gumelar nyananireki sajatine kang niyat nora
niyatipun niyating pingil gumelar niyating sembahyang nora
bedaneki lan niyat ambebegal.
Artinya
: Niat itu lebih utama dari amalan yang banyak. Niat itu bukan
bahasa maupun suara! Niat itu untuk melakukan tindakan yang ada di
dalam pikiran. Sesungguhnya yang disebut niat itu bukan pada niatnya,
tetapi niat untuk melakukan tindakan yang terungkap. Kalau hanya
niat, maka niat sembahyang tiada bedanya dengan niat merampok.
Kata
niat dalam bentuk “Umniyyat” ditemukan pada ayat Q.S.
22: 52. Yang dimaksud adalah kehendak untuk melakukan sesuatu. Ya
niat memang merupakan dorongan untuk melakukan atau
mengerjakan sesuatu. Karena itu, niat bukan berupa bahasa atau
suara. Ajaran ini bukan untuk menyalahkan orang yang mengucapkan
niat ketika hendak mengerjakan sembahyang atau lainnya. Yang
dimaksud dalam ajaran suluk tersebut, niat itu tidak sebatas ucapan,
baik itu ucapan dalam hati atau melalui mulut. Niat, tidak demikian!
Kalau hanya berupa ucapan [bersuara atau dalam hati], maka itu sama
saja antara mengucapkan niat untuk bersembahyang maupun merampok.
Niat yang demikian, jelas tidak lebih utama daripada perbuatan.
Niat
disebut lebih penting, daripada amalan yang banyak, bila mana niat
itu merupakan kehendak untuk melakukan sesuatu yang sudah digagas
dalam pikiran. Niat semacam inilah yang membedakan antara perbuatan
bajik dan perbuatan jahat. Niat semacam inilah yang disebut dalam
suatu hadist sebagai niat yang lebih baik daripada amalnya.
7 Komentar
Subhanallah.. sangat Sangat bermanfaat...
BalasHapusHatur Nuhun pisan kang
Aku jadi kasihan sama sudara-saudaraku yg belum mencapai sholat yg sebenarya yg akhirnya sholat yg dia kerjakan tidak bisa menciptakan kedamaian dunia untuk semua manusia tapi malah dijadikan ajang memuaskan nafsu dan belomba-lomba ftnah-memfitnah,tindas-menindas,membuat aturan yg hanya untuk kepentingan golonganya dan menciftakan senjata teknologi serba moderen agar yg lemah tdk bisa melawan atau untuk melindungi kekuasaanya " subhanallah "
BalasHapusMenambah pengetahuan dan wawasan πππ
BalasHapussubhanallah...postingan ilmunya terimakasih sudah berbagi soudaraku.
BalasHapusAlhamdulillah.. Trimakasih
BalasHapusMasyaallah sangat luar biasa, tapi tanpa Mursyid semua itu sia2.
BalasHapusBeruntung sekali bagi saudara2 ku yg sdh berguruππ»
Saya mau bertanya kepada pada akhli tata bahasa Arab, tetapi sebelumnya mohon dimaafkan jika pertanyaan saya ini dapat menyinggung perasaan Saudara-saudara ku, pertanyaan saya tentang ucapan Huruf dalam bahasa Arab yang kita lihat secara umum di Indonesia agak kaku terutama rata-rata umat Islam di tanah Jawa apakah karena pengaruh dialek Jawa atau bagaimana...
BalasHapusContoh kata "ALLAH" rata orang Jawa menyebutnya "ALLOH"
SALLALLAHU = SOLLOLLOHU, WARAHMATULLAHI = WAROHMATULLAHI jadi huf (A) ditebalkan menjadi huruf (O). Pertanyaan saya Apakah ucapan huruf yang berbeda dengan Harakat yang ada dalam tulisan itu Sah kah menurut Anda?