1. Tarekat Qadiriyah

Pendiri : Syeikh Abdul Qodir Jaelani

Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarahmenunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira’ di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.

Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.

Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.

Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.

Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”

Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, ‘Urabiyyah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla’iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’ Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut “Syurafa Jilala”.

Dari ketaudanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.

Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa Allah” dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.

Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat “Laa Ilaha Illa Allah” kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak. 

Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.

Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu’tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya’ sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu’ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A’uf dan sebagainya.

Bai’at
Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti pertama, adanya pertemuan guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan “infahna binafhihi minka” dan dilanjutkan dengan ayat mubaya’ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum.

Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.

Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti “jalan” sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16,” Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah”.

Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat “rahasia” yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai’at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.

Qodiriyah di Indonesia

Seperti halnya tarekat di Timur Tengah. Sejarah tarekat Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut.

Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya “Mystical Dimensions of Islam” hal.236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering berontak.

Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903 KH Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH Khasan Tafsir dari Krapyak Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.

Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qodiriyah adalah organisasi tebrbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadariyah Naqsabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.

Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis KH Ahmad Shohibulwafa Tadjul Arifin (Mbah Anom) di Pimpinan Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali ra, Abdul Qadir Jilani dan Syeikh Khatib Sambas ke-34.

Sama halnya dengan silsilah tarekat almrhum KH Mustain Romli, Pengasuh Pesantren Rejoso Jombang Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Khatib Sambas ke-35. Bahwa beliau mendapat talqin dan baiat dari KH Moh Kholil Rejoso Jombang, KH Moh Kholil dari Syeikh Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim dan arifillah (telah mempunyai ma’rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail.

Silsilahnya
1. M Mustain Romli, 2, Usman Ishaq, 3. Moh Romli Tamim, 4. Moh Kholil, 5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura, 6. Abdul Karim, 7. Ahmad Khotib Sambas ibn Abdul Gaffar, 8. Syamsuddin, 9. Moh. Murod, 10. Abdul Fattah, 11. Kamaluddin, 12. Usman, 13. Abdurrahim, 14. Abu Bakar, 15. Yahya, 16. Hisyamuddin, 17. Waliyuddin, 18. Nuruddin, 19. Zainuddin, 20. Syarafuddin, 21. Syamsuddin, 22. Moh Hattak, 23. Syeikh Abdul Qadir Jilani, 24. Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi, 25. Abu Hasan Ali al-Hakkari, 26. Abul Faraj al-Thusi, 27. Abdul Wahid al-Tamimi, 28. Abu Bakar Dulafi al-Syibli, 29. Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi, 30. Sari al-Saqathi, 31. Ma’ruf al-Karkhi, 32. Abul Hasan Ali ibn Musa al-Ridho, 33. Musa al-Kadzim, 34. Ja’far Shodiq, 35. Muhammad al-Baqir, 36. Imam Zainul Abidin, 37. Sayyidina Husein, 38. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, 39. Sayyidina Nabi Muhammad saw, 40. Sayyiduna Jibril dan 41. Allah Swt. Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di antara para kiai itu sendiri.


2. Tarekat Khalwatiyah

Pendiri : Syeikh Muhammad Al-Khalwati

Khalwatiyah diambil dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H), pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi. Secara “nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H).

Tarekat Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria. Ia mengambil tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan tarekat ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).

Musthafa al-Bakri sejak kecil dikenal sebagai seorang zahid yang cerdas. Menurut salah satu bukunya, al-Bakri menceritakan, bahwa dirinya pernah mengalami hidup sebatang kara. Pada waktu kecil, tepatnya ketika berumur dua tahun, Ayah dan ibunya sempat bercerai. Ia kemudian tinggal bersama ayahnya setelah ibunya kawin lagi dengan lelaki lain. Al-Bakri juga menyatakan, secara geneologis, ayahnya masih memiliki nasab sampai kepada Khalifah Abu Bakar r.a. Sedangkan dari sisi ibunya, nasabnya sampai cucu Rasulullah SAW, al-Husein, putra Khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Hidup al-Bakri suka sekali berkeliling, terutama ke negeri-negeri yang ada di kawasan Timur Tengah. Hal itu dilakukannya tak lain guna menambah wawasan dan pengetahuan, dan belajar pada guru-guru yang dianggapnya memiliki ilmu tinggi. Dari Damaskus, kampung halamannya, ia pergi ke kota Quds di Palestina, kemudian ke Tripoli (Libanon Utara), ke kota Akka dan kemudian singgah di kota Sidon atau Shaida. Setelah menikah dengan sepupunya tahun 1141 H, ia melanjutnya perjalanannya ke Mekkah Al-Mukarramah sambil menunaikan ibadah haji. Di sana, ia banyak melakukan kontemplasi untuk memperdalam pengalaman batinnya.

Setelah tinggal beberapa lama di Mekkah, ia melanjutkan perjalannya ke Mesir. Kemudian kembali ke Quds dan Irak (Baghdad dan Basrah). Tak lama, ia kembali pergi ke Mekkah untuk berhaji yang terakhir kalinya. Tahun 1161 H, ia pergi ke Mesir dan menetap di sana hingga akhir hayatnya (1162 H).

Di Mesir inilah, ia banyak berdakwah melalui Tarekat Khalwatiyah yang diambil dari gurunya, Syekh Abdul Latif bin Husamuddin al-Halabi. Tarekat Khalwatiyah nampaknya telah banyak memberi pengaruh pada pemikiran maupun amaliyah al-Bakri sehari-hari. Sehingga dari sekitar 200 karya al-Bakri, sebagian di antaranya banyak berupa amaliyah praktis.

Ajaran dan Dzikir Tarekat KhalwatiyahDalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma’ As-Sab’ah (tujuh nama). Yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh setiap salik.

~ Dzikir pertama adalah La ilaaha illallah (pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah). Dzikir pada tingkatan jiwa pertama ini disebut an-Naf al-Ammarah (nafsu yang menuruh pada keburukan, amarah). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang paling terkotor dan selalu menyuruh pemiliknya untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiat atau buruk, seperti mencuri, bezina, membunuh, dan lain-lain.

~ Kedua, Allah (Allah). Pada tingkatan jiwa kedua ini disebut an-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang menegur). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang sudah bersih dan selalu menyuruh kebaikan-kebaikan pada pemiliknya dan menegurnya jika ada keinginan untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk.

~ Ketiga, Huwa (Dia). Dzikir pada tingkatan ketiga ini disebut an-Nafs al-Mulhamah (jiwa yang terilhami). Jiwa ini dianggap yang terbersih dan telah diilhami oleh Allah SWT, sehingga bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

~ Keempat, Haq (Maha Benar). Tingkatan jiwa ini disebut an-Nafs al-Muthmainnah (jiwa yang tenang). Jiwa ini selain bersih juga dianggap tenang dalam menghadapi segala problema hidup maupun guncangan jiwa lainnya.

~ Kelima, Hay (Maha Hidup). Disebut juga dzikir an-Nafs ar-Radliyah (jiwa yang ridla). Jiwa ini semakin bersih, tenang dan ridla (rela) terhadap apa yang menimpa pemiliknya, karena semua berasal dari pemberian Allah.

~ Keenam, Qayyum (Maha Jaga). Tingkatan jiwa ini disebut juga an-Nafs Mardliyah (jiwa yang diridlai). Selain jiwa ini semakin bersih, tenang, ridla terhadap semua pemberian Allah juga mendapatkan keridlaan-Nya.

~ Ketujuh, Qahhar (Maha Perkasa). Jiwa ini disebut juga an-Nafs al-Kamilah (jiwa yang sempurna). Dan inilah jiwa terakhir atau puncak jiwa yang paling sempurna dan akan terus mengalami kesempurnaan selama hidup dari pemiliknya.
 
Ketujuh tingkatan (dzikir) jiwa ini intinya didasarkan kepada ayat al-Qur’an. Tingkatan pertama didasarkan pada surat Yusuf ayat 53: “Sesunguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada keburukan”. Tingkatan kedua dari surat al-Qiyamah ayat 2: “Dan Aku tidak bersumpah dengan jiwa yang menegur”.
Tingkatan ketiga dari surat as-Syams ayat 7 dan 8: “Demi jiwa dan Yang menyempurnakannya. Allah mengilhami jiwa tersebut kejahatan dan ketakwaannya”.
Tingkatan keempat dari surat al-Fajr ayat 27: “Wahai jiwa yang tenang”.
Tingkatan kelima dan keenam dari surat al-Fajr ayat 28: “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keridlaan dan diridlai”.
Sementara untuk tingkatan ketujuh yang sudah sempurna, atau yang berada di atas semua jiwa, secara eksplisit tidak ada dalam al-Qur’an, karena al-Qur’an seluruhnya merupakan kesempurnaan dari semua dzikir dan jiwa pemiliknya.

Ya Allah, curahkan dan limpahkanlah keridhoan atasnya dan anugerahilah kami dengan rahasia-rahasia yang Engkau simpan padanya, Aamiin

3. Tareqat Naqsabandyah

Pendiri : Syeikh Muhammad Bahauddin An Naqsabandiy RA

Kelahiran : Syekh Muhammad Bahauddin An dari Naqsabandiy Ra. didirikan pada tahun 717 di daerah pedesaan Qoshrul ‘Arifan, Bukhara, Rusia Dia adalah pendiri Thariqah Thariqah Naqsyabandiyah yang sangat terkenal dengan pengikut sampai jutaan Jama’ah dan sampai ke Indonesia. 

Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata: Pada suatu hari aku dan sahabatku sedang bermuraqabah, lalu pintu langit terbuka dan gambaran Musyahadah hadir kepadaku lalu aku mendengar satu suara berkata, “Tidakkah cukup bagimu untuk meninggalkan mereka yang lain dan hadir ke Hadhrat Kami secara berseorangan?”

Suara itu menakutkan daku hingga menyebabkan daku lari keluar dari rumah. Daku berlari ke sebuah sungai dan terjun ke dalamnya. Daku membasuh pakaianku lalu mendirikan Solat dua raka’at dalam keadaan yang tidak pernah daku alami, dengan merasakan seolah-olah daku sedang bersalat dalam kehadiranNya. Segala-galanya terbuka dalam hatiku secara Kashaf. Seluruh alam lenyap dan daku tidak menyedari sesuatu yang lain melainkan bersalat dalam kehadiranNya.

Aku telah ditanya pada permulaan penarikan tersebut, “Mengapa kau ingin memasuki jalan ini?”

Aku menjawab, “Supaya apa sahaja yang aku katakan dan kehendaki akan terjadi. ”

Aku dijawab, “Itu tidak akan berlaku. Apa sahaja yang Kami katakan dan apa sahaja yang Kami kehendaki itulah yang akan terjadi. ”

Dan aku pun berkata, “Aku tidak dapat menerimanya, aku mesti diizinkan untuk mengatakan dan melakukan apa sahaja yang aku kehendaki, ataupun aku tidak mahu jalan ini. ”

Lalu daku menerima jawapan, “Tidak! Apa sahaja yang Kami mahu ianya diperkatakan dan apa sahaja yang Kami mahu ianya dilakukan itulah yang mesti dikatakan dan dilakukan. ”

Dan daku sekali lagi berkata, “Apa sahaja yang ku katakan dan apa sahaja yang ku lakukan adalah apa yang mesti berlaku. ”

Lalu daku ditinggalkan keseorangan selama lima belas hari sehingga daku mengalami kesedihan dan tekanan yang hebat, kemudian daku mendengar satu suara, “Wahai Bahauddin, apa sahaja yang kau mahukan, Kami akan berikan. ”

Daku amat gembira lalu berkata, “Aku mahu diberikan suatu jalan Tariqat yang akan menerajui sesiapa jua yang menempuhnya terus ke Hadhrat Yang Maha Suci. ” Dan daku telah mengalami Musyahadah yang hebat dan mendengar suara berkata, “Dikau telah diberikan apa yang telah dikau minta. ”

Dia telah menerima limpahan Keruhanian dan prinsip dasar Tariqat Naqshbandiyah dari Hadhrat Khwajah ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yang terdiri dari lapan perkara, yaitu:

Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyat, Yad Dasyat, Hosh Dar Dam, Nazar Bar Qadam, Safar Dar Watan, Khalwat Dar Anjuman.

Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga lagi prinsip menjadikannya sebelas yaitu :

Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani.

Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata, :
“Jalan Tariqat kami adalah sangat luarbiasa dan merupakan ‘Urwatil Wutsqa (Pegangan Kukuh), dengan berpegang teguh secara sempurna dan menuruti Sunnah Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Mereka telah membawa daku ke jalan ini dengan Kekurniaan. Dari awal hingga ke akhir daku hanya menyaksikan Kekurniaan Allah bukan kerana amalan. Menerusi jalan Tariqat kami, dengan amal yang sedikit, pintu-pintu Rahmat akan terbuka dengan menuruti jejak langkah Sunnah Baginda Rasulullah Sallahllu ‘Alaihi Wasallam. ”

Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih mempunyai dua orang Khalifah besar iaitu Hadhrat Khwajah ‘Alauddin ‘Attar Rahmatullah ‘alaih dan Hadhrat Khwajah Muhammad Parsa Rahmatullah ‘alaih, pengarang kitab Risalah Qudsiyyah.

Dia adalah ibarat lautan ilmu yang tak bertepi dan dianugerahkan dengan mutiara-mutiara hikmah dari Ilmu Laduni. Dia menyucikan hati-hati manusia dengan lautan amal kebaikan. Dia menghilangkan haus sekelian Ruh dengan air dari pancuran Ruhaniahnya.

Dia amat dikenali oleh sekelian penduduk di langit dan di bumi. Dia ibarat bintang yang bergemerlapan yang dihiasi dengan mahkota petunjuk. Dia menyucikan Ruh-Ruh manusia tanpa pengecualian menerusi napasnya yang suci. Dia memikul cahaya Kenabian dan pemelihara Syari’at Muhammadiyah serta rahsia-rahsia MUHAMMADUR RASULULLAH.

Cahaya petunjuknya menerangi segala kegelapan kejahilan Raja-raja dan orang awam sehingga mereka pun datang berdiri di pintu rumahnya. Cahaya petunjuknya juga meliputi seluruh Timur dan Barat, Utara dan Selatan. Dia adalah Ghauts, Sultanul Auliya dan rantai bagi sekelian permata Ruhani.

Dia meninggal pada hari Minggu malam, 3 tahun Rabbiul-Awal 791 Hijriyah (1388 M). Dia dimakamkan di Halaman rumahnya; halaman sebagai permintaan beliau. Raja Bukhara menjaga madrasah dan masjidnya, memperluas dan meningkatkan waqafnya. Abdul Wahhab asy-Sya’arani, seorang wali Kutub dalam periodenya mengatakan, Ketika Syeikh dimakamkan, sebuah pintu surga terbuka untuk nya, membuat makam sebagai taman dari Surga. 

Ya Allah, mengalir dan melimpah keridhoan untuk nya dan penghargaan kami dengan rahasia yang Engkau tetap di, Amin. 

Kekhususan Tarekat Naqsabandyah

Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih yang merupakan salah seorang dari Para Masyaikh Akabirin THORIQOH NAQSYABANDIYAH telah berkata di dalam surat-suratnya yang terhimpun di dalam Maktubat Imam Rabbani, “Ketahuilah bahawa thoriqoh yang paling Aqrab dan Asbaq dan Aufaq dan Autsaq dan Aslam dan Ahkam dan Asdaq dan Aula dan A’la dan Ajal dan Arfa’ dan Akmal dan Ajmal adalah Tariqah ‘Aliyah Naqshbandiyah, semoga Allah Ta’ala mensucikan roh-roh ahlinya dan mensucikan rahsia-rahsia Para Masyaikhnya. Mereka mencapai darjat yang tinggi dengan berpegang dan menuruti Sunnah Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan menjauhkan dari perkara Bida’ah serta menempuh jalan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Mereka berjaya mencapai kehadiran limpahan Allah secara berterusan dan syuhud serta mencapai maqam kesempurnaan dan mendahului mereka yang lain. ”

Adapun Hadhrat Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Rahmatullah ‘alaih telah menerangkan kelebihan dan keunggulan THORIQOH NAQSYABANDIYAH dengan beberapa lafaz yang ringkas dan padat adalah menerusi pengalaman keruhaniannya. Ia merupakan seorang pembaharu agama (Mujaddid/Reformer) pada abad ke 11 Hijrah. Sebelum dia menerima Silsilah THORIQOH NAQSYABANDIYAH dia telah menempuh beberapa jalan Tariqat seperti Chishtiyah, Qadiriyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah dan beberapa Tariqat yang lain dengan cemerlang serta memperolehi Khilafah dan Sanad Ijazah. Ia telah menerima Tariqat Silsilah ‘Aliyah Khwajahganiyah Naqshbandiyah dari gurunya Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih.

Dia telah berpendapat bahawa dari kesemua jalan Tariqat, yang paling mudah dan paling berfaedah adalah THORIQOH NAQSYABANDIYAH dan telah memilihnya serta telah menunjukkan jalan ini kepada para penuntut kebenaran.

“Allahumma Ajzahu ‘Anna Jaza An Hasanan Kafiyan Muwaffiyan Li Faidhanihil Faidhi Fil Afaq”

Terjemahan: “Wahai Allah, kurniakanlah kepada kami kurnia yang baik, cukup lagi mencukupkan dengan limpahan faidhznya yang tersebar di Alam Maya. ”

Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih telah bersujud selama lima belas hari di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan penuh hina dan rendah diri, berdoa memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar ditemukan dengan jalan Tariqat yang mudah dan senang bagi seseorang hamba bagi mencapai Zat Maha Esa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengkabulkan doanya dan menganugerahkan Tariqat yang khas ini yang masyhur dengan nisbat Naqshband atau digelar Naqshbandiyah.

Naqsh bererti lukisan, ukiran, peta atau tanda dan Band pula bererti terpahat, terlekat, tertampal atau terpateri. Naqshband pada maknanya bererti “Ukiran yang terpahat” dan maksudnya adalah mengukirkan kalimah Allah Subhanahu Wa Ta’ala di hati sanubari sehingga ianya benar-benar terpahat di dalam pandangan mata hati yakni pandangan Basirah. Adalah dikatakan bahawa Hadhrat Shah Naqshband tekun mengukirkan Kalimah Allah di dalam hatinya sehingga ukiran kalimah tersebut telah terpahat di hatinya. Amalan zikir seumpama ini masih diamalkan dalam sebilangan besar Tariqat Naqshbandiyah iaitu dengan menggambarkan Kalimah Allah dituliskan pada hati sanubari dengan tinta emas atau perak dan membayangkan hati itu sedang menyebut Allah Allah sehingga lafaz Allah itu benar-benar terpahat di lubuk hati.

Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah ini dinisbatkan kepada Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu yang mana telah disepakati oleh sekalian ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai sebaik-baik manusia sesudah Para Nabi ‘Alaihimus Solatu Wassalam. Asas Tariqat ini adalah seikhlas hati menuruti Sunnah Nabawiyah dan menjauhkan diri dari segala jenis Bida’ah merupakan syarat yang lazim.

Tariqat ini mengutamakan Jazbah Suluk yang mana dengan berkat Tawajjuh seorang Syeikh yang sempurna akan terhasillah kepada seseorang penuntut itu beberapa Ahwal dan Kaifiat yang dengannya Zauq dan Shauq penuntut itu bertambah, merasakan kelazatan khas zikir dan ibadat serta memperolehi ketenangan dan ketenteraman hati. Seseorang yang mengalami tarikan Jazbah disebut sebagai Majzub.

Dalam Tarekat Naqsabandyah ini, penghasilan Faidhz dan peningkatan darjat adalah berdasarkan persahabatan dengan Syeikh dan Tawajjuh Syeikh. Bersahabat dengan Syeikh hendaklah dilakukan sebagaimana Para Sahabat berdamping dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Murid hendaklah bersahabat dengan Syeikh dengan penuh hormat. Sekadar mana kuatnya persahabatan dengan Syeikh, maka dengan kadar itulah cepatnya seseorang itu akan berjalan menaiki tangga peningkatan kesempurnaan Ruhaniah. Kaedah penghasilan Faidhz dalam Tariqat ini adalah sepertimana Para Sahabat menghadiri majlis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Dengan hanya duduk bersama-sama menghadiri majlis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berkat dengan hati yang benar dan ikhlas serta penuh cinta biarpun hanya sekali, orang yang hadir itu akan mencapai kesempurnaan iman pada maqam yang tertinggi. Begitulah keadaannya apabila seseorang itu hadir dan berkhidmat dalam majlis Hadharat Naqshbandiyah, dengan hati yang benar dan ikhlas, orang yang hadir itu akan dapat merasakan maqam Syuhud dan ‘Irfan yang hanya akan diperolehi setelah begitu lama menuruti jalan-jalan Tariqat yang lain.

Kerana itulah Para Akabirin THORIQOH NAQSYABANDIYAH Rahimahumullah mengatakan bahawa, “Tariqat kami pada ‘Ain hakikatnya merupakan Tariqat Para Sahabat”.

Dan dikatakan juga, “Dar Tariqah Ma Mahrumi Nest Wa Har Keh Mahrum Ast Dar Tariqah Ma Na Khwahad Aamad. ” Yang bermaksud, “Dalam Tariqat kami sesiapa pun tidak diharamkan dan barangsiapa yang telah diharamkan dalam Tariqat kami pasti tidak akan dapat datang. ”

Yakni barangsiapa yang menuruti tarekat kami, dia takkan diharamkan dari menurutinya dan barangsiapa yang Taqdir Allah semenjak azali lagi telah diharamkan dari menuruti jalan ini, mereka itu sekali-kali takkan dapat menurutinya.

Di dalam THORIQOH NAQSYABANDIYAH, Dawam Hudhur dan Agahi (sentiasa berjaga-jaga) menduduki maqam yang suci yang mana di sisi Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in dikenali sebagai Ihsan dan menurut istilah Para Sufiyah ianya disebut Musyahadah, Syuhud, Yad Dasyat atau ‘Ainul Yaqin. Ianya merupakan hakikat: “Bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Nya”.

Perkembangan Tarekat Naqsabandyah

ADAPUN gelaran nama THORIQOH NAQSYABANDIYAH ini mula masyhur pada zaman Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih. Menurut Hadhrat Syeikh Najmuddin Amin Al-Kurdi Rahmatullah ‘alaih di dalam kitabnya Tanwirul Qulub bahawa nama Tariqat Naqshbandiyah ini berbeza-beza menurut zaman.

Di zaman Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu sehingga ke zaman Hadhrat Syeikh Taifur Bin ‘Isa Bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih dinamakan sebagai Shiddiqiyyah dan amalan khususnya adalah Zikir Khafi.

Di zaman Hadhrat Syeikh Taifur bin ‘Isa bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan Taifuriyah dan tema khusus yang ditampilkan adalah Cinta dan Ma’rifat.

Kemudian pada zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan sebagai Khwajahganiyah. Pada zaman tersebut Tariqat ini telah diperkuatkan dengan lapan prinsip asas Tariqat iaitu Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyat, Yad Dasyat, Hosh Dar Dam, Nazar Bar Qadam, Safar Dar Watan dan Khalwat Dar Anjuman.

Kemudian pada zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih, Tariqat ini mulai masyhur dengan nama Naqshbandiyah. Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga asas sebagai penambahan dari Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih iaitu Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani.

Pada zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dikenali dengan nama Ahrariyah sehinggalah ke zaman Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih.

Bermula dari zaman Hadhrat Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini mula dikenali sebagai Mujaddidiyah dan ilmu tentang Lataif Fauqaniyah dan Daerah Muraqabah pun diperkenalkan. Semenjak itu Tariqat ini mulai dikenali dengan nama Naqshbandiyah Mujaddidiyah sehinggalah ke zaman Hadhrat Mirza Mazhar Jan Janan Syahid Rahmatullah ‘alaih.

Kemudian Tariqat ini dikenali dengan nama Mazhariyah sehingga ke zaman Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih.

Pada zaman Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih, seorang Syeikh dari Baghdad yang bernama Hadhrat Syeikh Dhziauddin Muhammad Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih telah datang ke Delhi sekembalinya dia dari Makkah untuk berbai’ah dengan Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih setelah dia menerima isyarah dari Ruhaniah Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mengambil Tariqat ‘Aliyah Naqshbandiyah Mujaddidiyah ini dan dia telah membawanya ke negara Timur Tengah.

Hadhrat Syeikh Dhziauddin Muhammad Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih mula memperkenalkan amalan Suluk iaitu Khalwat Saghirah dan Tariqat ini mula dikenali sebagai Naqshbandiyah Khalidiyah di Timur Tengah khususnya di Makkah dan tersebar di kalangan jemaah Haji dari rantau Nusantara dan tersebarlah ia di serata Tanah Melayu dan Indonesia. Walaubagaimanapun di Tanah Hindi, Tariqat ini masih dikenali sebagai Tariqat Naqshbandiyah Mujaddidiyah.

Adapun Para Masyaikh Mutaakhirin yang datang sesudah itu sering menambahkan nama nisbat mereka sendiri untuk membezakan Silsilah antara satu dengan yang lain seperti Naqshbandiyah Khalidiyah dan Naqshbandiyah Mujaddidiyah. Silsilah Naqshbandiyah ini telah berkembang biak dari Barat hingga ke Timur. Meskipun Silsilah ini telah dikenali dengan beberapa nama yang berbeza, namun ikatan keruhanian dari rantaian emas yang telah dipelopori oleh Hadhrat Khalifah Rasulullah Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu akan tetap berjalan sehingga ke Hari Qiyamat menerusi keberkatan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala kurniakan kepada sekelian Para Masyaikh yang ditugaskan menyambung Silsilah ini.

Dalam perjalanan mencapai kebenaran yang hakiki, terdapat dua kaedah jalan yang biasa diperkenalkan oleh Para Masyaikh Tariqat, iaitu sama ada sesebuah Tariqat itu menuruti Tariqat Nafsani ataupun Tariqat Ruhani.

Tariqat Nafsani mengambil jalan pendekatan dengan mentarbiyahkan Nafs dan menundukkan keakuan diri. Nafs atau keakuan diri ini adalah sifat Ego yang ada dalam diri seseorang. Nafs dididik bagi menyelamatkan Ruh dan jalan Tariqat Nafsani ini amat sukar dan berat kerana Salik perlu melakukan segala yang berlawanan dengan kehendak Nafs. Ianya merupakan suatu perang Jihad dalam diri seseorang Mukmin. Tariqat Ruhani adalah lebih mudah yang mana pada mula-mula sekali Ruh akan disucikan tanpa menghiraukan tentang keadaan Nafs. Setelah Ruh disucikan dan telah mengenali hakikat dirinya yang sebenar, maka Nafs atau Egonya dengan secara terpaksa mahupun tidak, perlu menuruti dan mentaati Ruh.

Kebanyakan jalan Tariqat yang terdahulu menggunakan pendekatan Tariqat Nafsani, namun berbeza dengan Para Masyaikh Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah, mereka menggunakan pendekatan Tariqat Ruhani iaitu dengan mentarbiyah dan mensucikan Ruh Para Murid mereka terlebih dahulu, seterusnya barulah mensucikan Nafs.

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memimpin kita ke jalan Tariqat yang Haq, yang akan membawa kita atas landasan Siratul Mustaqim sepertimana yang telah dikurniakanNya nikmat tersebut kepada Para Nabi, Para Siddiqin, Para Syuhada dan Para Salihin. Mudah-mudahan dengan menuruti Tariqat yang Haq itu dapat menjadikan kita insan yang bertaqwa, beriman dan menyerah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Seorang Penyair Sufi pernah berkata, Al –‘Ajzu ‘An Darakil Idraki Idraku, Wal Waqfu Fi Turuqil Akhyari Isyraku.

Seseorang yang merasa lemah dari mendapat kefahaman adalah seorang yang mengerti; Dan berhenti dalam menjalani perjalanan orang-orang yang berkebaikan adalah suatu Syirik. Apa maksudnya?
ALLAH  HU WA -  ALLAH  HAQ -  ALLAH HAYY

Riwayat Tarekat Naqsyabandiyah

Tarekat merupakan intipati pelajaran Ilmu Tasawwuf yang mana dengannya seseorang itu dapat menyucikan dirinya dari segala sifat-sifat yang keji dan menggantikannya dengan sifat-sifat Akhlaq yang terpuji. Ia juga merupakan Batin bagi Syari’at yang mana dengannya seseorang itu dapat memahami hakikat amalan-amalan Salih di dalam Agama Islam.

Ilmu Tarekat juga merupakan suatu jalan yang khusus untuk menuju Ma’rifat dan Haqiqat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia termasuk dalam Ilmu Mukasyafah dan merupakan Ilmu Batin, Ilmu Keruhanian dan Ilmu Mengenal Diri. Ilmu Keruhanian ini adalah bersumber dari Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang diwahyukan kepada Hadhrat Jibrail ‘Alaihissalam dan diwahyukan kepada sekelian Nabi dan Rasul khususnya Para Ulul ‘Azmi dan yang paling khusus dan sempurna adalah kepada Hadhrat Baginda Nabi Besar, Penghulu Sekelian Makhluk, Pemimpin dan Penutup Sekelian Nabi dan Rasul, Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Alihi Wa Ashabihi Wasallam.

Kemudian ilmu ini dikurniakan secara khusus oleh Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada dua orang Sahabatnya yang unggul iaitu Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib Radhiyallahu ‘Anhuma. Melalui mereka berdualah berkembangnya sekelian Silsilah Tariqat yang muktabar di atas muka bumi sehingga ke hari ini.

Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengurniakan Ilmu Keruhanian yang khas kepada Hadhrat Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘Anhu.

Di zaman Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, seorang Tabi’in yang bernama Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu juga telah menerima limpahan Ilmu Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam meskipun dia berada dalam jarak yang jauh dan tidak pernah sampai ke Makkah dan Madinah bertemu Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, sedangkan dia hidup pada suatu zaman yang sama dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Pada tahun 657 Masihi Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu Wa Rahmatullah ‘Alaih telah membangunkan suatu jalan Tarekat yang mencapai ketinggian yang terkenal dengan Nisbat Uwaisiyah yang mana seseorang itu boleh menerima limpahan Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sekelian Para Masyaikh Akabirin meskipun pada jarak dan masa yang jauh.

Di dalam kitab ‘Awariful Ma’arif ada dinyatakan bahawa pada zaman Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib Radhiyallahu ‘Anhuma telah menghidupkan perhimpunan jemaah-jemaah di mana upacara Bai’ah dilakukan dan majlis-majlis zikir pun turut diadakan.

Tarekat menurut pengertian bahasa bererti jalan, aliran, cara, garis, kedudukan tokoh terkemuka, keyakinan, mazhab, sistem kepercayaan dan agama. Berasaskan tiga huruf iaitu huruf Ta, Ra dan Qaf. Ada Masyaikh yang menyatakan bahawa huruf Ta bererti Taubat, Ra bererti Redha dan Qaf bererti Qana’ah. Lafaz jamak bagi Tariqat ialah Taraiq atau Turuq yang bererti tenunan dari bulu yang berukuran 4 hingga 8 hasta dan dipertautkan sehelai demi sehelai. Tariqat juga bererti garisan pada sesuatu seperti garis-garis yang terdapat pada telur dan menurut Al-Laits Rahmatullah ‘alaih, Tariqat ialah tiap garis di atas tanah, atau pada jenis-jenis pakaian.

Tokoh dalam Tarekat Naqsyabandiyah
  • Imam Tariqah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Uwaisi Al-Bukhari
  • Hadhrat Mawlânâ Khâlid-i Baghdâdî
  • Hadrat Syaikh KRM Muhammad Irfa'i Nahrawi An Naqsyabandi Al Hajj QS (Ki Ageng Atas Angin, Kasepuhan Atas Angin Ciamis)Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini
  • Syaikhul Masyaikh Khwajah Khwajahgan Pir Piran Maulana Khwajah Khan Muhammad Sahib Khanqah Sirajiah
  • Maulana Ameer Muhammad Akram Awan
  • Imam Shamil
  • Jami
  • Shaykh Said Afandi al-Chirkawi
  • Shaikh Abdul Wahab Babussalam Langkat
  • Shaikh Umar bin Muhammad Batu Pahat[3]
  • Shaikh Imam Hj Ishaq bin Hj Muhammad 'Arif
  • Shaikh Dr Hj Jahid bin Hj Sidek al-Khalidi An-Naqshabandi[4]
  • Shaikh Ma'aruf Lengging
  • Shaykh Nazim al-Qubrusi
  • Abdullah Fa'izi ad-Daghestani
  • Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin
  • Shaykh Muhammad Hisham Kabbani
  • Professor Sibghatullah Mojaddedi
  • Haji Soofi Masood Ahmad Siddiqui Lasani Sarkar
  • Ahmet Kayhan Dede
  • Abdullah Isa Neil Dougan
  • Irina Tweedie
  • Idries Shah
  • Muchsin Al-Hinduan
  • Omar Ali Shah
  • Hazrat Mujadid Abdul Wahab Siddiqi
  • Shaykh Faiz-ul-Aqtab Siddiqi
  • Syed Abdullah Shah Naqshbandi
  • Mohammed Amin Kuftaro
  • Khalid al-Baghdadi
  • Mukhsin Bin Ali Al-Hinduan
  • Prof. Dr. H. Saidi Syaikh Kadirun Yahya Muhammad Amin Al Halidi Naqsyabandi QS
  • Faqir Maulawi Jalalluddin Ahmad Ar-Rowi Naqshbandi Mujaddidi
  • Hazrat Nachrawi An-Naqsyabandie QS
  • Syeikh Raja Ashman Shah an-Naqshabandi
  • Sheikh Nursy Al-Naqsyabandiah
  • Sheikh Abdul Wahab b. Abdul Manaf ALKholidi, cicit Sheikh Abdul Wahab Rokan ALKholidi (Mursyid di Jerlun, Kuala Kangsar)
  • Sheikh Haji Zainuddin bin Haji Alang Ahmad Al-Kholidi
  • Sheikh Haji Hashim b. Haji Hassan Al-Kholidi, Mursyid di Pekan Cendawan, Ipoh
  • Sheikh Haji Suhaimi Khalis b. Haji Ishak Al-Kholidi, Mursyid di Greenwood, Gombak.

Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah

Tarekat Qoodiriyah Naqsyabandiyah atau Thoriqoh Qoodiriyah Naqsyabandiyah adalah perpaduan dari dua buah tharekat besar, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah. Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Syekh Sufi besar yang saat itu menjadi Imam Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah, Syaikh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi (w.1878 M.). Dia adalah ulama besar nusantara yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syaikh Ahmad Khatib adalah mursyid Thariqah Qadiriyah.

Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil Syaikh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi thorekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Thariqoh Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Thariqah Naqsabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan dia mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian dia menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqoh Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia.

Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut adalah karena pertimbangan logis dan strategis. Kedua thorekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengkapi, terutama jenis dan metode dzikirnya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud, Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahar Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat. Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien. Dalam kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak hanya merupakan penggabungan dari dua thorekat tersebut. Tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi ajaran inti dari lima tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Tarekat Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah). Karena yang diutamakan adalah ajaran Torekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Disinyalir tharekat ini belum berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara), meskipun secara personal para penganutnya sudah tersebar di hampir seluruh penjuru dunia.

Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadlu' dan ta'dhim Syaikh Ahmad Khathib al-Sambasi terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Dia tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekat itu, sebenarnya layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihadnya.

Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran inti dalam tarekat ini diyakini paling efektif dan efisien untuk menghantarkan pengamalnya kepada tujuan tertinggi yakni Allah swt. Ajaran sufistik dalam tarekat ini selalu berdasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.

Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu: tentang kesempurnaan suluk, adab (etika), dzikir, dan murakabah.

Silsilah Tarekat Qoodiriyah Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya

1. Robbul Arbaabi wa mu’tiqur-qoobi Allah S.W.T.
2. Sayyidunaa Jibril A.S.
3. Sayyidunaa Nabi Muhammad S.A.W
4. Sayyidunaa ‘Alliyyu karrama ‘llohu wajhah. (Sayyidunaa Ali Bin Abi Thalib kw)
5. Sayyidunaa Hussain R.A
6. Sayyidunaa Zainul Aabidinn R.A
7. Sayyidunaa Muhammadul Baaqir R.A
8. Sayyidunaa Ja’farus Shoodiq R.A
9. Sayyidunaa Imam Muusa Alkaadhim R.A
10. Syeikh Abul Hasan ‘Alii bin Muusa R.A
11. Syeikh Ma’ruuful Kurkhi R.A
12. Syeikh Sirris Saqothii R.A
13. Syeikh Abul Qoosim Al-Junaedil Baghdaadii R.A
14. Syeikh Abuu Bakrin Dilfis Syibli R.A
15. Syeikh Abul Fadli Ao’abdul Waahid at Tamiimii R.A
16. Syeikh Abdul Faroj at Thurthuusi R.A
17. Syeikh Abul Hasan ‘Alii bin Yuusuf al Qirsyi al Hakaarii R.A
18. Syeikh Abuu Sa’iid al Mubarok bin ‘Alii al Makhzuumii R.A
19. Syeikh ‘Abdul Qodir Al Jaelanii q.s.
20. Syeikh ‘Abdul ‘Aziiz R.A
21. Syeikh Muhammad Al Hattak R.A
22. Syeikh Syamsuddin R.A
23. Syeikh Syarofuddiin R.A
24. Syeikh Nuuruddiin R.A
25. Syeikh Waliyuddiin R.A
26. Syeikh Hisyaamuddiin R.A
27. Syeikh Yahya R.A
28. Syeikh Abuu Bakrin R.A
29. Syeikh ‘Abdur rohiim R.A
30. Syeikh ‘Utsman R.A
31. Syeikh ‘Abdul Fattah R.A
32. Syeikh Muhammad Murood R.A
33. Syeikh Syamsuddiin R.A
34. Syeikh Ahmad Khootib Syambaasi Ibnu ‘Abdul Ghoffaar R.A
35. Syeikh Thalhah Kali Sapu Cirebon R.A
36. Syeikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad R.A atau Abah Sepuh Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya.
37. Syeikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin R.A. atau Abah Anom Pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya.
 

4. Tarekat Syadziliyah

Pendiri : Syeh Abul Hasan Asy Syadzili

Tarekat Syadziliyah adalah tarekat yang dipelopori oleh Syeh Abul Hasan Asy Syadzili. Nama Lengkapnya adalah Abul Hasan Asy Syadzili al-Hasani bin Abdullah Abdul Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Hatim bin Qushay bin Yusuf bin Yusya’ bin Ward bin Baththal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad anak pemimpin pemuda ahli surga dan cucu sebaik-baik manusia: Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a dan Fatimah al-Zahra binti Rasulullah SAW..

Nama kecil Syeh Abul Hasan Asy Syadzili adalah Ali, gelarnya adalah Taqiyuddin, Julukanya adalah Abu Hasan dan nama populernya adalahAsy Syadzili. al-Syadzili lahir di sebuah desa yang bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah pada tahun 593 H(1197 M). menghapal al-Quran dan pergi ke Tunis ketika usianya masih sangat muda. Ia tinggal di desa Syadzilah. Oleh karena itu, namanya dinisbatkan kepada desa tersebut meskipun ia tidak berasal dari desa tersebut.

Intisari tarekat

Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, doa, dan hizib. Ibn Atha’illah as- Sukandari adalah orang yang prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha’illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.

Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha’illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.

Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: “Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali”. Perkataan yang lainnya: “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya.” Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah’illah.

Sanad dan Silsilah Tariqah
As-Syaikh As-Sayyid Abil Hasan Asy-Syadzili ra drp
As-Syaikh Abdus Salam b Mashish ra drp
As-Syaikh Muhammad bin Harazim ra drp
As-Syaikh Muhammad Salih ra drp
As-Syaikh Shuaib Abu Madyan ra drp
As-Syaikh As-Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani ra drp
As-Syaikh Abu Said Al-Mubarak ra drp
As-Syaikh Abul Hasan Al-Hukkari ra drp
As-Syaikh At-Tartusi ra drp
As-Syaikh Asy-Shibli ra drp
As-Syaikh Sari As-Saqati ra drp
As-Syaikh Ma’ruf Al-Kharkhi ra drp
As-Syaikh Daud At-Tai ra drp
As-Syaikh Habib Al-Ajami ra drp
Imam Hasan Al-Basri ra drp
Sayyidina Ali bin Abu Talib ra drp
Sayyidina Muhammad saw

Sanad Nasab Abil Hasan Asy-Syadzili


As-Sayyid Asy-Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzili bin Ali bin Abdullah bin Tamim bin Hurmuz bin Hatim bin Qusay bin Yusuf bin Yusya bin Ward bin Bathaal bin Ali bin Ahmad bin Muhammad bin
Isa bin Muhammad bin Abi Muhammad bin Imam Hasan bin Sayyidna Ali ra dan Sayyidatina Fathimah binti Rasulullah Sayyidina Muhammad saw.  
                                                                                                                                                                                                               
Wejangan Dasar
  • Tauhid dengan sebenar-benarnya tauhid yang tidak musrik kepada Alloh ta’ala
  • Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara’ dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.
  • Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
  • Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
  • Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana’ah/ tidak rakus) dan menyerah.
  • Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.
Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:
  1. Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
  2. Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.
  3. Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
  4. Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.
  5. Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.
Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn Atha’illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.

Perkembangan Tarekat


Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita.”

Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha’ilah berikut: “Asma al-Latif,” Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, “Yang Mengalahkan” sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.

Demografik Para Pengikut

Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat di dalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah “ketenagan” yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha’illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri’ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri “ketenangan” ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.

Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya’nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.

Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat

Amalan-Amalan

Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, Hizb Barr disamping Hizib al-Hafidzah, merupaka Hizib-Hizib yang terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan dan bermanfaat dalam meningkatkan kadar ibadah kepada Alloh ta’ala.

Sebagai contoh, Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya doa ini baik dan tidak bertentangan dengan Sunatulloh dan Sunnatur Rosul. Untuk pengamalan hizb ini sebaiknya dalam bimbingan guru yang mengamalkannya.

Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa’iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah. Akan tetapi yang utama adalah Hizb tersebut dipergunakan untuk meningkatkan kadar ibadah yang sebenarnya kepada Alloh ta’ala.

Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia bukan hanya merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A’zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkah dan menjamin respon supra natural dan yang terpenting adalah mendapatkan Ridho Alloh ta’ala semata. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasanya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa berlandaskan Al Qur’an dan tuntunan Rosululloh SAW, sebab murid tersebut sedang mengikuti suatu pelatihan dari sang guru untuk dapat beribadah kepada Alloh ta’ala dengan benar.

Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin tingkah laku islami, pemahaman, adab hati, penyaksian, pembuktian yang sangat dahsyat.

Pengaruh dan Cabang-Cabang Tarekat Syadziliyyah

Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.

Kata-Kata Hikmah

Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili:
Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya ” Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya.”Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji itu milik Alloh ta’ala!

Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): “Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkan keridhoan Allah ta’ala, dan jangan duduk dimajelis kecuali majelis yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah.”

Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ikhtiar sendiri.

Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk dapat selalu taat kepada Allah yang memiliki pemelihara dirimu.

Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala’ dan ni’mat yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya di dalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya dan bersyukur atas syukur yang mendalam.

Sedikit amal dengan mengakui dan mensyukuri karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.

Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu’min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : “Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.


5. Tarekat At Tijaniyah

Pendiri : Abul Abbas Ahmad bin Muhammad At-Tijani (Tareqat At Tijaniyah)

Kelahiran

Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815 M), At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150 H/1737 M di ‘Ain Madi, bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun.salah seorang tokoh dari gerakan “Neosufisme”. Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari’at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.

Pada tahun 1186 (1772 – 1773), dia menuju Hijaz untuk menunaikan ibadah haji, dan meneruskan belajar di Makkah dan Madinah. Di dua kota Haramain ini, dia lebih banyak memfokuskan diri untuk berguru kepada banyak tokoh tarekat sufi dan mengamalkan ajarannya. Di antara tarekat yang dipelajarinya, misalnya Tarekat Qadiriyah, Thaibiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Di Madinah dia belajar langsung kepada seorang tokoh sufi, Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman, pendiri tarekat Sammaniyah, yang mengajarinya ilmu-ilmu rahasia batin. Kemudian dari Makkah dan Madinah, dia menuju Kairo dan menetap untuk beberapa lama di sana. Pada tahun 1196 (1781 – 1782), atas saran dari seorang syekh sufi yang baru dikenalinya, dia kembali ke Tilimsan untuk mendirikan tarekat sendiri yang independen. Di sana at-Tijani mengadakan khalwat khusus, yakni memutuskan kontak dengan masyarakat sampai mendapatkan ilham (fath/kasyf).

Dalam fath yang diterimanya, dia mengaku bahwa hal itu terjadi dalam keadaan terjaga. Ketika itu, Nabi SAW mendatanginya dan memberitahukan bahwa dirinya tidaklah berhutang budi pada syekh tarekat mana pun. Karena menurut dia, Nabi sendiri-lah yang selama ini menjadi pembimbingnya dalam bertarekat. Selanjutnya, Nabi SAW menyuruh dia untuk meninggalkan segala sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya berkenaan dengan tarekat. Bahkan dia juga diberi izin untuk mendirikan tarekat sendiri disertai wirid yang mesti diajarkan kepada masyarakat, yaitu istighfar dan shalawat yang diucapkan masing-masing sebanyak 100 kali.

Setelah kejadian itu, ia kembali ber’uzlah di padang pasir dan berdiam di oase Bu Samghun. At-Tijani tampaknya menghadapi tekanan dari kaum otorita Turki. Di tempat inilah ia menerima ilham yang terakhir (1200/1786).

Dalam fath ini Nabi SAW memberikan tambahan wirid, yaitu tahlil yang harus diucapkan sebanyak 100 kali. Nabi SAW juga mengatakan bahwa at-Tijani adalah penunggu yang akan menyelamatkan hamba Allah yang durhaka. Pada tahun 1213/1798, dia meninggalkan ‘uzlahnya dari padang pasir dan pindah ke Maroko untuk memulai menjalankan misi yang lebih luas lagi, dari kota Fes.
Meskipun dia banyak bertarekat dan menjadi muqaddam khalwatiyah (at-Tijani mempunyai silsilah Khalwatiyah), tetapi pada perkembangan selanjutnya, yakni setelah menjalani hidup sufistik secara ketat dan keras, dia kemudian mendirikan tarekat yang independen, yang diyakini atas izin Nabi SAW.

Tarekat yang didirikan at-Tijani ini agak unik dan sedikit banyak berbeda dengan tarekat-tarekat lain terutama soal silsilahnya. Misalnya dari Syekh Ahmad, sang pendiri, langsung kepada Nabi SAW, melintas jarak waktu 12 abad. Begitu juga anggota tarekat ini bukan hanya tidak dibenarkan untuk memberikan bait ‘ahd kepada syekh mana pun, tetapi juga melakukan dzikir untuk wali lain dan dirinya serta wali-wali dari tarekatnya. Menurut at-Tijani, Tuhan tidak menciptakan dua hati dalam hati manusia, dan oleh karenanya tak seorang pun dapat melayani dua orang mursyid sekaligus.

Lagi pula, bagaimana mungkin seorang salik akan bisa sempurna menempuh suatu jalan, sedangkan pada waktu bersamaan ia juga sedang menampuh (mengambil) jalan lain?Sejak tinggal di kota Fes ini, at-Tijani lebih berkonsentrasi pada pengembangan tarekatnya sendiri. Sebagai seorang syekh tarekat yang berpengaruh dia berkali-kali diajak oleh penguasa negeri itu untuk bergabung dalam urusan politik. Namun, dia tetap menolak. Sikapnya inilah yang membuat dia semakin disegani, dicintai, dan dihormati, baik oleh penguasa setempat maupun oleh masyarakat sekitarnya. Lebih dari itu, pihak penguasa Maulay Sulaiman, meski permintaannya ditolak, tetap memberikan berbagai hak istimewa kepadanya.

Semula tarekat yang dipimpin at-Tijani ini mendapatkan pengikut di Maghribi karena kecamannya terhadap ziarah ke makam para wali dan mawsin yang populer pada waktu itu. Namun karena perekrutan untuk menjadi muqaddam yang ditetapkan oleh at-Tijani agak longgar, misalnya dengan menunjuk sebagai muqaddam-muqaddam siapa pun yang melakukan bai’at, tanpa mengharuskan latihan selain dalam hukum dan aturan-aturan ritual, dengan tekanan utama pada ditinggalkannya semua ikatan dengan syekh-syekh lama kecuali dirinya. Sehingga setelah at-Tijani wafat, agen-agen tadi telah tersebar luas dan dengan sebuah sistem yang mendukungnya membuat dia mempunyai kekuatan penuh. Tarekat ini dengan segera menyebar luas dari Maghribi hingga Afika Barat, Mesir dan Sudan.

Aktivistas gerakan Tarekat Tijaniyah terbukti sangat positif dan militan. Seperti halnya para pengikut tarekat Qadariyah dan Syadziliyah, para murid tarekat ini berjasa menyebarluaskan Islam ke berbagai kawasan Afrika.

Menurut Coppolani, mereka menyiarkan Islam di kalangan pemeluk animisme dengan persaudaraan-persaudaraan sufi lainnya dan berada di garis terdepan dalam melakukan perlawanan terhadap ekspansi kolonialisme. Dari at-Tijani lalu diwakili oleh tokoh lainnya seperti al-Hajj Umar di Sudan Barat. Di Republik Turki, sebuah kelompok kecil penganut Tarekat Tijaniyah, adalah orang-orang muslim pertama yang secara terbuka menetang rezim sekulerisme sekitar tahun 1950.
Tarekat ini mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1920-an, setelah disebarkan di Jawa Barat oleh seorang ulama pengembara kelahiran Makkah, Ali bin Abdullah at-Tayyib al-Azhari, yang telah menerima ijazah untuk mengajarkan tarekat ini dari dua orang syekh yang berbeda. Dan, pada tahun-tahun berikutnya, beberapa orang Indonesia yang belajar di Makkah menerima bai’at untuk menjadi pengikut Tarekat Tijaniyah dan mendapat ijazah untuk mengajar dari para guru yang masih aktif di sana. Ini terjadi setelah serbuan Wahabi kedua terhadap Makkah pada tahun 1824, dan kebanyakan tarekat lain tidak dapat lagi menyebarkan ajaran pengkultusan terhadap para wali, tampaknya masih dapat ditolelir.

Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh tarekat-tarekat lain. Gugatan keras dari kalangan ulama tarekat itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Tarekat Tijaniyah beserta keturunannya sampai tujuh generasi akan memperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Tarekat Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru tarekat lain, yang dalam pandangan syekh pesaingnya dianggap sebagai praktik bisnis yang culas. Meski demikian, tarekat ini terus berkembang, utamanya di Cirebon dan Garut (Jawa Barat), Madura dan ujung Timur pulau Jawa sebagai pusat peredarannya. Penentangan ini baru mereda ketika Jam’iyyah Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah menetapkan keputusan setelah memeriksa wirid dan wadzifah tarekat ini. Dan tanpa memberikan pernyataan-pernyataan ekstremnya tarekat ini bukanlah tarekat sesat, karena amalan-amalannya sesuai ajaran Islam.

Sepanjang tahun 80-an tarekat ini ngalami perkembangan yang sangat pesat, terutama di Jawa Timur. Respons terhadap perkembangan yang dicapai tarekat ini menyebabkan pecahnya kembali konflik dengan para guru dari tarekat lain. Akar konflik ini lebih tertuju kepada persaingan keras untuk mendapatkan murid dan perasaan sakit hati di kalangan sebagian guru yang kehilangan banyak murid berpindah ke Tarekat Tijaniyah.

Kepindahan murid-murid dari tarekat lain ke Tarekat Tijaniyah ini berarti hilang pula murid-murid dari tarekat lain. Karena Tarekat Tijaniyah sama sekali tidak membolehkan para pengikutinya untuk berafiliasi lagi kepada syekh tarekat yang dianut sebelumnya.

Ajaran dan Dzikir Tarekat TijaniyahSejauh ini at-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan dalam tarekatnya. Ajaran-ajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk dalam bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir al-Ma’ani wa Biligh al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa Ma’a at-Tijani min al-Ahzab, dan As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani. Dua kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh murid at-Tijani sendiri, dan dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam Tarekat Tijaniyah pada abad ke-19.

Meskipun at-Tijani menentang keras pemujaan terhadap wali pada upacara peringatan haii tertentu dan bersimpati kepada gerakan reformis kaum Wahabi, tetapi dia sendiri tidak menafikan perlunya wali (perantara) tersebut. At-Tijani sangat menekankan perlunya perantara (wali) antara Tuhan dan manusia, yang berperan sebagai wali zaman. Oleh karena itu, buku panduan Tijani kalimatnya dimulai dengan, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan sarana kepada segala sesuatu dan menjadikan sang Syekh perantara sarana untuk manunggal dengan Allah”. Dalam hal ini, perantara itu tak lain adalah dia sendiri dan penerusnya. Dan sebagaimana tarekat-tarekat lain, tarekat ini juga menganjurkan agar anggota-anggotanya mengamalkan ajaran dengan menggambarkan wajah syekh tersebut dalam ingatan mereka, dan mengikuti seluruh nasehat syekh dengan tenang.

Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang sangat sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari Istighfar, Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Boleh dilakukan dua kali dalam sehari, setelah shalat Shubuh dan Ashar. Wadhifahnya terdiri dari Istghfar (astaghfirullah al-adzim alladzi laa ilaha illa hua al hayyu al-qayyum) sebanyak 30 kali, Shalawat Fatih (Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad al-fatih lima ughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir al-haqq bi al-haqq wa al-hadi ila shirat al-mustaqim wa’ala alihi haqqaqadruhu wa miqdaruh al-adzim) sebanyak 50 kali, Tahlil (La ilaaha illallah) sebanyak 100 kali, dan ditutup dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali.

Pembacaan wadhifah ini juga paling sedikit dua kali sehari semalam, yaitu pada sore dan malam hari, tetapi lebih afdlal dilakukan pada malam hari. Selain itu, setiap hari Jum’at membaca Hayhalah, yang terdiri dari dzikir tahlil dan Allah, Allah, setelah shalat Ashar sampai matahari terbenam. Dalam hal dzikir ini at-Tijani menekankan dzikir cepat secara berjamaah. Beberapa syarat yang ditekankan tarekat ini untuk prosesi pembacaan wirid dan wadhifah: berwudlu, bersih badan, pakaian dan tempat, menutup aurat, tidak boleh berbicara, berniat yang tegas, serta menghadap kiblat.

Satu hal yang penting dicatat dari dzikir Tarekat Tijaniyah yang membedakannya dengan tarekat-tarekat lain — adalah bahwa tujuan dzikir dalam tarekat ini, sebagaimana dalam Tarekat Idrisiyyah, lebih menitikberatkan pada kesatuan dengan ruh Nabi SAW, bukan kemanunggalan dengan Tuhan, hal mana merupakan perubahan yang mempengaruhi landasan kehidupan mistik. Oleh karena itu, anggota tarekat ini juga menyebut tarekat mereka dengan sebutan At-Thariqah Al-Muhammadiyyah atau At-Thariqah al-Ahmadiyyah, termanya merujuk langsung kepada nama Nabi SAW. Akibatnya, jelas tarekat ini telah memunculkan implikasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendadak terhadap asketisme dan lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas praktis. Hal ini tampak sekali dalam praktik mereka yang tidak terlalu menekankan pada bimbingan yang ketat, dan penolakan atas ajaran esoterik, terutama ekstatikdan metafisis sufi.

Berikut petikan dari kitab As-sirr al-Abhar Ahmad at-Tijani yang menyangkut berbagai tata tertib, aturan dan dzikir dalam tarekat ini:

“Anda haruslah seorang muslim dewasa untuk melaksanakan awrad, sebab hal (awrad) itu adalah karya Tuhannya manusia. Anda harus meminta izin kepada orang tua sebelum mengambil thariqah, sebab ini adalah salah satu sarana untuk wushul kepada Allah. Anda harus mencari seseorang yang telah memiliki izin murni untuk mentasbihkan Anda ke dalam awrad, supaya Anda dapat behubungan baik dengan Allah.

Anda sebaiknya terhindar sepenuhnya dari awrad lain manapun selain awrad dari Syekh Anda, sebab Tuhan tidak menciptakan dua hati di dalam diri Anda. Jangan mengunjungi wali manapun, yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, sebab tidak seorang pun dapat melayani dua mursyid sekaligus. Anda harus disiplin dan menjalankan shalat lima waktu dalam jamaah dan disiplin dalam menjalankan ketentuan-ketentuan syari’at, sebab semua itu telah ditetapkan oleh makhluk terbaik (Nabi SAW). Anda harus mencintai Syekh dan khalifahnya selama hidup Anda, sebab bagi makhluk biasa cinta semacam itu adalah sarana untuk kemanunggalan: dan jangan berfikir bahwa Anda mampu menjaga diri Anda sendiri dari Kreativitas Tuhan Semesta, sebab ini adalah salah satu ciri dari kegagalan. Anda dilarang untuk memfitnah, atau menimbulkan permusuhan terhadap Syekh Anda, sebab hal itu akan membawa kerusakan pada diri Anda. Anda dilarang berhenti untuk melantunkan awrad selama hidup Anda, sebab awrad itu mengandung misteri-misteri Sang Pencipta. Anda harus yakin bahwa Syekh mengatakan kepada Anda tentang kebijakan-kebijakan, sebab itu semua termasuk ucapan-ucapan Tuhan Yang Awal dan Yang Akhir.

Anda dilarang mengkritik segala sesuatu yang tampak aneh dalam thariqah ini, atau Penguasa Yang Adil akan mencabut Anda dari kebijak-kebijakan.

Jangan melantunkan wirid Syekh kecuali sesudah mendapat izin dan menjalani pentasbihan (talqin) yang selayaknya, sebab itu keluar dalam bentuk ujaran yang lugu. Berkumpullah bersama untuk wadhifah dan dzikir Jum’at dengan persaudaraan, sebab itu adalah penjagaan terhadap muslihat syetan. Anda dilarang membaca Jauharat al-Kamal kecuali dalam keadaan suci dari hadats, sebab Nabi SAW akan hadir dalam pembacaan ketujuh.

Jangan menginterupsi (pelantunan yang dilakukan oleh) siapa pun, khususnya oleh sesama sufi, sebab interupsi semacam itu adalah cara-cara syetan. Jangan kendur dalam wirid Anda, dan jangan pula menundanya dengan dalih apa pun atau yang lain, sebab hukuman akan jatuh kepada orang yang mengambil wirid lantas meninggalkan sama sekali atau melupakannya, dan dia akan menjadi hancur. Jangan pergi dan mengalihkan awrad tanpa izin yang layak untuk malakukan itu, sebab orang yang melakukan hal itu dan tidak bertaubat niscaya akan sampai kepada kejahatan dan kesengsaraan akan menimpanya. Anda dilarang memberitahukan wirid kepada orang lain kecuali saudara Anda dalam thariqah, sebab itu adalah salah satu pokok etika sains spiritual”.

Setiap tarekat memiliki satu atau lebih doa kekuatan khusus, misalnya Hizb al-Bahr milik Tarekat Syadziliyah, Subhan ad-Daim Isawiyah, Wirid as-Sattar milik Khalwatiyah, Awrad Fathiyyah milik Hamadaniyyah, dan lain-lain. Ciri khusu dari dzikir dan wirid yang menjadi andalan milik penuh tarekat ini adalah Shalawat Fatih dan Jauharat al-Kamal. Mengenai Shalawat Fatih, at-Tijani mengatakan bahwa dirinya telah memperintahkan untuk mengucapkan doa-doa ini oleh Nabi SAW sendiri. Meskipun pendek, doa itu dianggap mengandung kebaikan dalam delapan jenis: orang yang membaca sekali, dijamin akan menerima kebahagiaan dari dua dunia; juga membaca sekali akan dapat menghapus semua dosa dan setara dengan 6000 kali semua doa untuk memuji kemuliaan Tuhan, semua dzikir dan doa, yang pendek maupun yang panjang, yang pernah dibaca di alam raya. Orang yang membacanya 10 kali, akan memperoleh pahala yang lebih besar dibanding yang patut diterima oleh sang wali yang hidup selama 10 ribu tahun tetapi tidak pernah mengucapkannya. Mengucapkannya sekali setara dengan doa seluruh malaikat, manusia, jin sejak awal penciptaan mereka sampai masa ketika doa tersebut diucapkan, dan mengucapkannya untuk yang kedua kali adalah sama dengannya (yaitu setara dengan pahala dari yang pertama) ditambah dengan pahala dari yang pertama dan yang kedua, dan seterusnya.

Tentang Jauharat al-Kamal, yang juga diajarkan oleh Nabi SAW sendiri kepada at-Tijani, para anggota tarekat ini meyakini bahwa selama pembacaan ketujuh Jauharat al-Kamal, asalkan ritual telah dilakukan sebagaimana mestinya, Nabi SAW beserta keempat sahabat atau khalifah Islam hadir memberikan kesaksian pembacaan itu. Wafatnya Nabi SAW tidaklah menjadi tirai yang menghalangi untuk selalu hadir dan dekat kepada mereka. Bagi at-Tijani dan anggota tarekatnya, tidak ada yang aneh dalam hal kedekatan ini. Sebab wafatnya Nabi SAW hanya mengandung arti bahwa dia tidak lagi dapat dilihat oleh semua manusia, meskipun dia tetap mempertahankan penampilannya sebelum dia wafat dan tetap ada di mana-mana: dan dia muncul dalam impian atau di siang hari di hadapan orang yang disukainya.

Akan tetapi kaum muslim ortodoks membantah penyataan Ahmad Tijani dan para pengikutnya yang menyangkut pengajaran Nabi SAW ini kepadanya. Sebab jika Nabi SAW secara pribadi mengajari at-Tijani rumusan-rumusan doa tertentu maka itu berarti bahwa Muhammad telah “wafat” tanpa menyampaikan secara sempurna pesan kenabiannya, dan mempercayai hal ini sama dengan tindak kekafiran, kufr.

Tentu saja, alasan kaum muslim ortodoks ini masih bisa diperdebatkan, misalnya tanpa bermaksud membela tarekat ini dengan mempertanyakan kembali, apakah betul pengajaran Nabi SAW melalui mimpi itu berarti mengurangi kesempurnaan kenabiannya? Bukankah substansi dari pengajaran itu lebih tertuju kepada perintah bershalawat yang masih dalam bingkai pesan kenabian (syari’at), dan bukan merupakan hal yang baru? Bukankah Nabi SAW pernah bersabda bahwa mimpi seorang mukmin seperempat puluh enam dari kenabian? Menyangkut pahala pembacaannya, bukankah rahmat dan anugerah Allah yang tak terhingga akan tercurahkan kepada umat Islam yang senantiasa mewiridkan shalawat kepada sang hamba paripurna, kekasih dan pujaan-Nya, Muhammad Rasulullah SAW?

Wafatnya
Sheikh At-Tijani di kota Fes dia diterima baik oleh penguasa Maulay Sulaiman dan tetap tinggal di sana sampai wafatnya pada 22 September 1815 M, dalam usia 80 tahun.

6. Tarekat Chisytiyyah

Pendiri : Syekh Kalimullah

Chisytiyyah Pernah Bertemu Syekh Abdul Qodir Jaelani India, negara jajahan Inggris ini ternyata tidak saja kreatif melahirkan film-film yang populer di Indonesia. Tapi, juga melahirkan tarekat Chisytiyyah. Imam tarekat Chisytiyyah ini adalah Khwaja Mu inuddin Hasan Sanjari Chisyti, ia juga dijuluki Nabi al-Hind (Nabi India), Gharib Nawaz (penyantun orang-orang miskin), Khwaja-I- khwajagan (imam segala imam), Khwaja-I-Buzurg (Imam Agung), Athaal Rasul (Pemberian Nabi), dan Khwaja-I-Ajmeri (wali dari Ajmer). Chisyti lahir pada 1142 M atau sebagian ahli tarekat menyebutkan tahun 1136 M di Sanjar, sebuah kota di Sistan, pinggiran Khurasan, dan masa mudanya dihabiskan di Sanjar, India.

Ia murid dari dan pengganti Khwaja Utsman Haruni. Sesudah berbaiat, selama 20 tahun Chisyti hidup bersama Syekh Najmuddin Kubro, Syekh Awhaduddin Kirmani, Syekh Syihabuddin Suhrawardi, dan Khwaja Yusuf Hamadani. Pertemuannya dengan Syekh Abdul Qodir Jaelani yang dibuktikan dengan berbagai catatan sejarah. Ia wafat pada hari Jumat, bulan Rajab 632 H/1235 M dan dimakamkan di Ajmer, India.

Dalam tarekat Chisytiyyah sebelum Syekh memberikan perintah labih jauh kepada murid, ia menyuruhnya untuk berpuasa sehari, terutama pada hari Kamis. Kemudian Syekh menyuruhnya untuk mengucapkan istighfar dan durud sepuluh kali serta membaca ayat al-Quran; Annisa: 103 : "Maka ingatlah Allah di waktu kamu berdiri, duduk, dan berbaring".

Para Syekh tarekat Chisytiyyah menganjurkan metode zikir berikut ini: Murid mestiduduk bersila, dan menghadap kiblat. Ia tidak harus berwudhu lebih dahulu, namunakan lebih sempurna jika ia berwudhu. Duduk dengan tegak, menutup kedua matanya,dan meletakkan kedua tangannya di atas lututnya. Jika ia duduk bersila, ia harusmenahan kima atau nadi kaki kirinya dengan jari kaki kanannya. Posisi ini bisamembuat hati merasa hangat mampu menghilangkan bisikan-bisikan was-was. Denganduduk seperti itu murid mulai melakukan zikir jali (keras) atau khafi (diam).

Dalam tarekat Chisytiyyah, Dzikr-I-Haddadi juga diamalkan sebagaimana dalam tarekat Qodiriyah. Seperti dituturkan Imam Abu Hafsh Haddad. Metode pengamalannya adalah: sang Dzakir (orang yang berdzikir) mesti duduk dengan melipat kedua kakinya sedemikian rupa sehingga kedua pahanya berada dalam keadaan istirahat di tanah. Kemudian ia mesti membentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas. Dan ketika mengucapkan Laailaaha, ia berdiri di atas kedua lututnya dan kemudian kembali ke posisi semula. Lalu meletakkan kedua tangannya di antara kedua pahanyayang terlipat dan sampil mengucapkan illallaah-dengan memukul dadanya dengan kata-kata yang sarat (penuh) dengan makna keagungan dan kebesaran Allah swt. Sebagian orang mengucapkan Laailaaha dari hati dan membawanya ke bahu kanan, serta mengetukkan kalimat illallaah. Sebagian lagi mengetukkan kalimat hu (Dia Yang Maha Esa) pada dada.

Sang Dzakir antara lain diperintahkan melakukan zikir tiga ketukan: zikr-I-she-paaya. Ada tiga rukun dalam zikir ini: yaitu nama Allah, perenungan atas sifat-sifat-Nya (Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan sebagainya), serta adanya perantara. Sang Dzakir dengan memahami maknanya-mengucapkan Allaahu alimun, Allaahu bashirun, Allaahu sami un. Ini disebut nuzul atau tangga turun.

Gerakan ganda ini disebut sebuah dawr atau sirkulasi yakni sebuah zikir yang terdiri atasuruj dan nuzul. Rahasiauruj dan nuzul adalah bahwa jangkauan pendengaran lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan penglihatan, dan jangkauan penglihatan lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan pengetahuan.

Karena menurut Chisytiyyah dalam tahap awalnya, sang hamba terbelenggu oleh akalnya dan apa yang diamatinya, yang lebih sempit ketimbang semua tahap lainnya. Karena itu, ia menempatkan samilebih dahulu dan ketika sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap kegaiban yang luas, ia pun menempatkan bashir lebih dahulu. Ketika sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap kegaiban dalam kegaiban yang bahkan lebih luas lagi, ia pun memikirkan alim, dan kemudian ia kembali.

Dalam zikir tiga ketukan ini sang dzakir mesti menahan napasnya sedemikian rupa sehingga secara berangsur-angsur, dari dua hingga tiga kali, zikir ini bisa diulangi sebanyak 40 kali sampai 50 kali. Ini bisa membantu menghangatkan hati, agar lemak dalam hati tempat penghasut yang melahirkan berbagai perasaan kemunafikan dalam hati, bisa terbakar, dan sehingga sang dzakir diliputi oleh cinta Allah dan keadaan fana (kesementaraan) diri bisa dikembangkan.

Selain itu jamaah tarekat Chisytiyyah mengamalkan dzikir pas-I-anfas atau zikir menjaga napas sebagai berikut: Orang yang berzikir mengucapkan Laailaaha dalam napas yang dihembuskan, dan illallaah dalam napas yang dihirup, dengan lidah hati. Artinya, penafian (Laailaaha) dilakukan ketika napas keluar, dan penegasan dilakukan ketika napas masuk. Selama keluar-masuknya napas ini pandangan diarahkan kepada pusar. Zikir ini mesti sering diulang-ulang agar pernapasan itu sendiri menjadi dzakir, baik di waktu sang dzakir itu tidur maupun terbangun.

Bahkan zikir di bawah ini sangat efektif untuk mengobati berbagai penyakit: yaitu sang dzakir memukul sisi sebelah dada kiri dengan Ya Ahad (Wahai Yang Mahaesa), pada sisi sebelah kanan dengan Ya Shamad (Wahai zat tempat meminta), dan Ya Witr (Wahai Yang Mahaganjil) pada hati.

Para sufi terkemuka berpandangan bahwa ketika diri manusia terlepas dari segenap kesenangan duniawi, dan wujud bathiniyahnya makin bertambah kuat dengan mengingat Allah, maka terjalinlan sebuah hubungan antara dirinya dengan alam ruhani. Disebabkan hubungan ini hati manusia pun tercerahkan dan ia pun melihat zat Allah serta mengetahui perintah-perintah dan keridhaan Allah. Kini cahaya pun terpantul dari pandangan batin pada mata lahir dan ia pun mulai melihat dengan indera-indera lahiriah berbagai alam spiritual batiniah. Pada tahap ini, ia sudah terlepas dari alam lahiriah dan batiniah.

Kontemplasi yang ditetapkan Sufi Chisytiyyah


~ Kontemplasi atas nama diri Allah; Sang penempuh jalan spiritual pergi ke suatutempat terpencil dan merenungkan bahwa kata Allah tertulis dengan tinta emas dihatinya bahwa ia tengah membaca dengan penuh gairah dan semangat, dan berada dihadapan Allah. Ia merasa asyik dengan itu sehingga kehilangan kesadaran tentang dirinya sendiri.

~ Kontemplasi Allahu hadir; Allah Maha Melihat dan Allah bersamaku. Sang penempuh jalan spiritual mestilah berpandangan bahwa Allah senantiasa bersama dirinya dan bahwa mustahil Allah berpisah darinya. Dilakukan dengan menutup matanya dan memusatkan perhatian pada hatinya dan berpandangan bahwa Allah bersamanya dan melihatnya.

~ Kontemplasi Nashirah; sang penempuh jalan spiritual membuka matanya dan mengarahkan pandangannya pada ujung hidungnya. Ini dilakukan sampai bagian hitam matanya sama sekali hilang (tidak terlihat), dan yang tinggal hanya bagian putihnya.

~ Dan saat melakukan ini ia memikirkan bahwa Allah hadir dan melihat dirinya. Berbagai perasaan munafik bisa dihilangkan dengan kontemplasi ini serta kedamaian bias diraihnya.

~ Kontemplasi Mahmudah; dengan membuka matanya dan mengarahkan pandangannya ke tengah-tengah alis mata serta merenungkan kebesaran dan keesaan Allah.

~ Kontemplasi Aku tidak ada, yang ada hanya Allah; dilakukan dengan dia dan merenungkan hanya untuk Allah.

~ Kontemplasi Mi raj al-Arifin (kenaikan kaum arif). Di sini mesti menyadari bahwa segenap wujud yang bersifat mungkin bagaikan cermin. Dan segenap capaian mereka yang bersifat material maupun spiritual di dalamnya tidak lain kecuali cerminan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah swt. Seseorang mesti membayangkan seluruh alam semesta ini sebagai cermin dan melihat Allah di dalamnya dengan segenap nama dan sifat-Nya, agar ia bisa dimasukkan ke dalam orang-orang yang telah menyaksikan Allah (ahl al-musyahadah).

~ Kontemplasi Pendekatan (Muqarabah), Penyaksian (Musyahadah), Pengawasan (Mu ayanah); seseorang duduk seperti salat, bersama syekhnya, merenungkan alim, sami , bashir (Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat). Kemudian mengarahkan pandangannya ke hati, lalu menutupnya. Dan lalu melihat hatinya dengan mata batin dan berpikir bahwa ia tengah menyaksikan Allah. Kemudian menengadahkan tangannya ke langit dan tetap membuka tangannya. Lalu ia membayangkan bahwa ruhnya telah meninggalkan tubuhnya dan, sambil menembus langit ia menyaksikan Allah secara bertatap-muka.

~ Kontemplasi atas Ayat al-Quran:Tidakkah engkau lihat Tuhanmu?(Al-Furqan; 45). Sesudah merenungkan ayat ini, seseorang yang sedang mengalami ekstase (puncak spiritual) mengungkapkan keadaan mentalnya dalam-bait syair:
Engkaulah yang kucari, wahai kekasihku!
Ke manapun kuedarkan pandangan, yang kucari hanya diri-Mu!
Mataku bermaksud mencar-iMu semata,
Doa ungkapkan Diri-Mu kepadaku, siapapun yang kulihat!
Seribu jendela terbuka untuk melihat-Mu,
Jendela mana saja yang kubuka, tujuanku hanya Diri-Mu!
Kematianlah jika aku tak melihat-Mu,
Jauh lebih baik aku memandang-Mu daripada mati!

~ Kaum sufi dalam tarekat Chisytiyyah juga merenungkan ayat-ayat al-Quran ini untuk mengosongkan sirr dan mencapai kehadiran abadi bersama Allah : 
- Kemana pun engkau menghadapkan wajahmu, di situ ada wajah Allah, (Albaqarah:115).
- Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya (QS. Qaf : 16).
- Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat (QS. Al Waqiah: 85).
- Dia bersamamu di mana pun kamu berada(QS. Al Hadid: 4).
- Dan juga dalam dirimu, apakah tidak kamu perhatikan? (QS. Adzdzaariyat : 21).
- Dan lain sebagainya.

Syekh Kalimullah adalah seorang syekh berkedudukan tinggi dalam tarekat Chisytiyyah. Ia adalah khalihah dan murid syekh Yahya Madani Chisyti, lahir pada 1060 H/1460 M, dan meninggal pada 1142 H/1720 M.