Beliau
adalah tuan kita, teladan dari semua wali terbaik, papan arah menuju arah yang
benar, beliau adalah poros ketuhanan (Qutub Rabbani), nama lengkap beliau
adalah Abu Shalih Sayyidi ‘Abdul Qadir bin Musa bin ‘Abbdullah bin Yahya
az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa al-Jun bin ‘Abdullah al-Mahdhi bin
al-Hasan al-Musatanna bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Beliau yang terkenal
dengan nama ‘Abdul Qadir al-Jailani. Beliau lahir pada tahun 470 H, dan wafat
pada tahun 561 H. dimakamkan di Baghdad.
Ibu beliau
adalah Ummul Khair (dalam bahasa arab berarti ibu kebaikan), ia pernah
berkisah: “Ketika aku melahirkan ‘Abdul Qadir al-Jailani, dia tidak mau menyusu
ke puntingku selama siang hari bulan Ramadhan. Bulan baru Ramadhan suatu kali
tertutup awan sehingga orang-orang datang kepadaku dan bertanya tentang ‘Abdul
Qadir al-Jailani, maka aku katakan kepada mereka, bahwa ‘dia tidak menyusu pada
puntiingku hari ini.’ Hal itu kemudian menjadi isyarat yang jelas bahwa hari
itu adalah awal Ramadhan.”
Kabar tersebut
lalu menyebar luas, bahwa seorang bocah (‘Abdul Qadir al-Jailani) lahir dengan
membawa berbagai kemuliaan (keajaiban), dan bahwa ia adalah bayi yang tidak mau
menyusu di siang hari Ramadhan. Dan dikabarkan pula, bahwa sang Ibunda
mengandungnya ketika berusia 16th. Dikatakan bahwa, tidak mungkin ada gadis 16th bisa hamil kecuali dia
perempuan Quraisy, dan tidak ada gadis 16th yang bisa punya anak kecuali dia pasti orang
Arab.
Ketika
‘Abdul Qadir al-Jailani lahir, sang bayi disambut oleh tangan-tangan keanugerahan
yang agung, dan sang bayi diliputi oleh cahaya petunjuk di belakangnya maupun
di depannya.
Ketika
‘Abdul Qadir al-Jailani berusia 5th, sang ibu mengirimkannya ke sebuah madrasah lokal di
Jilan. Beliau menuntut ilmu di madrasah tersebut hingga berumur 10th. Selama belajar di madrasah
tersebut, beberapa peristiwa menakjubkan terjadi. Setiap kali ‘Abdul Qadir
al-Jailani akan memasuki madrasah, beliau melihat sosok-sosok bercahaya
yang berjalan di depanya sambil berkata, “Beri jalan untuk Wali Allah!” Dan
ketika beliau pernah ditanya kapan beliau mengetahui bahwa dirinya menerima walayah(pangkat
kewalian), beliau menjawab, “Ketika aku berusia sepuluh tahun, kulihat para
malaikat berjalan mengiringiku dalam perjalanan menuju madrasah, dan mereka
selalu berkata, “Beri jalan untuk Wali Allah.” Kejadian itu terus menerus
berulang sampai aku paham bahwa aku dianugerahi walayah.”
Berpisah dengan Sang Bunda
Adalah Syekh
Muhammad bin Qa’id al-Awani yang berkata, bahwa al-Jailani muda meminta izin
kepada sang Bunda untuk pergi ke Baghdad menimba ilmu, beliau berkata “Bunda,
berilah aku kesempatan untuk menuju Allah Swt. Izinkan aku pergi ke Baghdad, di
mana aku akan berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dan di sana aku akan bertemu
dengan orang-orang shalih.” Sang Bunda menangis mendengar beliau akan pergi,
kemudian masuk ke dalam kamar dan mengambil uang sebanyak delapan puluh dinar.
Uang itu adalah warisan dari ayahanda beliau. Kemudian sang Bunda memasukkan
uang tersebut ke dalam saku beliau empat puluh dinar, dan sisanya dimasukkan ke
saku baju mantel beliau. Sang Bunda meminta beliau berjanji untuk selalu
berlaku jujur dalam keadaan apapun. Ketika sang Bunda mengantar beliau sampai
di depan pintu rumah, sang Bunda mengucapkan selamat tinggal dan berkata, “Anakku,
pergilah, karena aku telah melepaskan engkau demi mencari Allah. Aku tahu,
mungkin aku tidak akan bertemu lagi dengan wajahmu hingga hari kebangkitan
kelak.” Maka pergilah beliau menuju Baghdad.
Sejarah
hidup beliau terus berlanjut sampai akhirnya beliau menetap di Baghdad, dan
waktu itu umur beliau 18th. Pada masa
itu, khalifah yang berkuasa di Baghdad adalah al-Mustazhir. Ketika beliau akan
memasuki kota Baghdad, beliau dihadang oleh al-Khidir sembari berkata
kepadanya, “Aku tidak akan pernah mengizinkan kamu masuk ke kota Baghdad sampai
tujuh tahun ke depan.” Beliau akhirnya tinggal di pinggiran sungai tigris
selama tujuh tahun dengan hanya memakan dedaunan dari jenis yang boleh dimakan
sampai suatu kali leher beliau berubah warna menjadi hijau.
Pada suatu
malam beliau mendengar suara yang mengatakan, “Wahai ‘Abdul Qadir al-Jailani,
sekarang masuklah ke Baghdad.” Setelah mendengar suara itu, beliau segera
memasuki Baghdad. Malam itu cuaca sangat dingin dan hujan, maka ‘Abdul Qadir
al-Jailani mendekati zawiyah (pondokan sufi) Syekh Hammad bin
Muslim ad-Dabbas. Akan tetapi, Syekh Hammad berkata kepada muridnya, “Kuncilah
pintu zawiyah, tetapi buatlah cahaya lampu tetap menyinari ke arah
luar zawiyah.”
‘Abdul Qadir
al-Jailani hanya duduk di samping pintu, lalu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan
kantuk kepadanya hingga beliau tertidur. Saat terbangun, beliau dalam keadaan
hadats besar (mimpi basah), maka dengan segera beliau mandi besar. Kemudian
Allah ta’ala menurunkan kantuk lagi kepada beliau, dan beliau
pun tertidur lagi. Saat bangun, beliau hadats besar lagi, lalu beliau segera
mandi besar lagi. Demikian itu terjadi berulang-ulang hingga 17 kali. Akhirnya,
ketika fajar menyingsing, pintu zawiyah terbuka dan ‘Abdul
Qadir al-Jailani melangkah masuk.
Syekh Hammad
ad-Dabbas segera melangkah maju menyambut beliau, lalu memeluk erat beliau, dan
memberi beliau rangkulan yang hangat. Airmata menetes di pipi Syekh al-Dabbas
sembari ia berkata, “Oh anakku, ‘Abdul Qadir al-Jailani, hari ini adalah
tanggungjawab kami di sini (zawiyah ini), jika nanti kamu telah memegangnya,
maka bimbinglah si tua yang rambutnya telah memutih ini.”
Para Guru Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani
‘Abdul Qadir
al-Jailani memperoleh latihan spiritual di Baghdad dari dua sufi terbesar di
zaman itu, Syekh Sayyid Abu al-Khair Hammad bin Muslim ad-Dabbas dan
Syekh Qadhi Abu Sa’id Mubarak al-Makhzumi. Meskipun beliau memperoleh banyak
berkah dari kedua guru tersebut, namun beliau belum memberi baiat alias
menduduki posisi mursyid.
Kemudian
beliau menjadi murid Syekh Qadhi Abu Sa’id Mubarak al-Makhzumi sekaligus
bergabung dalam halaqah dan tarekatnya. Syekh Qadhi Abu Sa’id al-Makhzumi
menunjukkan rasa cintanya yang sangat besar terhadap murid istimewanya ini, dan
memberkahinya dengan mutu-manikam spiritualis dan tasawuf. Suatu kali ‘Abdul
Qadir al-Jailani dan para murid yang lain sedang duduk bersama dengan Syekh,
kemudian Syekh meminta ‘Abdul Qadir al-Jailani untuk pergi mengambil sesuatu.
Setelah ia pergi, Syekh al-Makhzumi berkata kepada murid-muridnya yang
lain, “Suatu hari nanti, kaki pemuda itu akan menginjak tengkuk semua Auliya’ (para
wali Allah).”
Setelah
beberapa waktu tinggal di Baghdad, ‘Abdul Qadir al-Jailani mengikuti pendidikan
di Jami’ah Nizhamiyah yang tersohor sebagai pusat pendidikan dan ilmu
keruhanian di dunia Islam. ‘Abdul Qadir al-Jailani menuntut ilmu dengan penuh
keikhlasan dan kesungguhan. Di antara guru-guru beliau yang memberikan ilmu
Qira’at, Tafsir, Hadits, Fiqih, Syari’at, dan Tarekat adalah: Abul Wafa’ ‘Ali
bin ‘Aqil, Abu Zakaria Yahya bin ‘Ali at-Tabrizi, Abu Sa’id bin ‘Abdul Karim,
Abul Ana’im Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad, Abu Sa’id bin Mubarak al-Makhzumi,
dan Abul Khair Hammad bin Muslim ad-Dabbas.
Dalam bidang
adab salah satu guru beliau yang merupakan seorang ‘Alim besar pada masa itu
ialah al-‘Allamah Zakariya at-Tabrizi. Dan dalam bidang Fiqih dan ushul Fiqih
guru-guru beliau adalah: Syekh Abul Wafa’ bin ‘Aqil al-Hanbali, Abul Hasan
Muhammad bin Qadhi Abul Ula, Syekh Abul Khatab Mahfuzh al-Hanbali, dan Qadhi
Abu Sa’id al-Mubarak bin Ali al-Makhzumi al-Hanbali. Dalam bidang Hadits,
beliau menerima ilmu dari para ulama sebagai berikut: Sayyid Abul Barakat
Thalhah al-Aquli, Abul Ana’im Muhammad bin ‘Ali bin Maimun al-Farsi, Abu
‘Uthman Isma’il bin Muhammad al-Ishbihani, Abu Ghalib Muhammad bin Hasan
al-Baqillani, Abu Muhammad Ja’far bin Ahmad bin al-Husaini, Sayyid Muhammad
Mukhtar al-Hasyimi, Sayyid abu Manshur ‘Abdur Rahman al-Qaz’az, dan Abul Qasim
‘Ali bin Ahmad Ban’an al-Karghi. Setelah menempuh pendidikan dengan tekun,
‘Abdul Qadir al-Jailani lulus dari Jami’ah Nizhamiyah. Pada masa itu tidak ada
satupun ‘Alim di muka bumi yang lebih faqih dan saleh dibandingkan dengan
‘Abdul Qadir al-Jailani.
Belajar kepada al-Khidir
Abu as-Sa’ud
al-Huraimi mengisahkan, aku suatu kali mendengar tuan kami Syekh ‘Abdul Qadir
al-Jailani berkata: “Aku tinggal di kawasan padang gersang Irak selama 25th, sebagai pengembara terasing. Aku
tidak tau apa dan siapa saja makhluk yang mengikutiku, dan mereka juga tidak
ingin tau aku. Yang selalu mengunjungiku adalah manusia-manusia dari alam gaib
(rijal al-Ghaib), sebangsa jin. Aku biasa mengajari mereka tentang jalan
menuju Allah Swt. (tarekat).”
Aku juga
dipertemukan dengan al-Khidhir a.s. ketika aku memasuki kota Irak untuk kali
pertamanya, meskipun waktu itu aku tidak tau siapa dia sebenarnya, dan dia
pernah berkata kepadaku bahwa aku tidak boleh menentangnya. Ketika kami
mencapai sebuah kawasan, dia berkata kepadaku, “Duduklah dan tinggallah di
sini,” maka aku duduk dan tinggal di tempat itu sebagaimana dia
memerintahkanku. Selama kurun waktu tiga tahun penuh, dia akan datang kepadaku
setiap tahunnya, dan dia berkata kepadaku, “Tetaplah tinggal di situ sampai aku
kembali.” Segala pesona dunia serta daya tariknya selalu datang kepadaku dalam
berbagai bentuk dan tipu muslihat. Setan-setan juga mendatangiku dalam berbagai
wujud serta mengoda dengan keahliannya. Tidak sedikit dari setan-setan itu yang
terlibat perkelahian denganku, tetapi Allah subhanahu wa ta’ala selalu
menguatkanku dalam menghadapi mereka.
Aku tinggal
selama waktu yang lama di kawasan-kawasan gersang kota-kota Irak. Aku memaksa
jiwa rendahku untuk melakukan tugas-tugas berat melalui metode disiplin
spiritual. Kemudian aku menghabiskan waktu selama satu tahun dengan hanya makan
dari sisa-sisa sampah tanpa minum air sedikitpun, kemudian selama satu tahun
berikutnya sambil minum air. Kemudian selama satu tahun penuh dengan hanya
minum air, tetapi tanpa menyantap apapun, dan di tahun berikutnya aku
tidak minum, tidak juga makan, dan tidak tidur sama sekali. Aku juga bermukim
selama beberapa tahun di kawasan gersang nan tandus di sebuah daerah pinggiran
kuno kota Baghdad, di mana satu-satunya sumber makananku adalah dedaunan
lontar. Pada setiap awal tahun, seseorang akan datang kepadaku dengan
mengenakan jubah yang terbuat dari wol.
Aku sudah
memasuki seribu lebih kondisi wujud yang berbeda-beda, dengan tujuan untuk
membebaskan diri dari dunia milik kalian ini, dan keadaan yang menimpaku itu
hanya dapat dipandang sebagai bentuk ketololan, kegilaan, dan ketidakwarasan.
Aku biasa berjalan tanpa alas kaki, melewati onak duri, kerikil tajam, dan
tempat-tempat berbahaya sejenisnya. Tidak pernah sekalipun jiwa rendahku menang
atas diriku, tidak juga ada satupun kemilau dunia yang mampu mengodaku”.
Ujian dari al-Khidir
Beliau,
al-Khidhir, datang kepadaku untuk memberikan suatu ujian, sebagaimana ia telah
menguji para wali-wali Allah yang lain sebelumku. Dia menyingkap kepadaku
rahasia dari wujudnya dengan cara menampakkan wawasan menuju materi-materi yang
aku dapatkan bersamanya, kemudian aku berkata kepadanya, “Wahai Khidhir, jika
benar engkau pernah berkata pada Musa a.s. (kamu tidak akan pernah dapat
bersabar bersamaku), maka sekarang aku akan katakan kepadamu, “Wahai Khidhir,
bahwa kamu tidak akan pernah bersabar bersamaku, kamu seorang Israili,
sementara aku adalah seorang Muhammadi, inilah kita, kamu dan aku, dan ini
adalah bola polonya, celanaku masih terikat kuat dan pedangku belum
disarungkan.”
Anugerah Jubah Sufi
Beliau juga
berkata, “Selama sebelas tahun aku membetahkan diriku tinggal direruntuhan
benteng yang saat ini disebut menara Persia. Tempat itu menjadi pemukiman
panjangku. Di tempat itu aku membuat perjanjian dengan Allah Swt. bahwa aku
tidak akan pernah makan sampai akhirnya ada yang menyediakan makanan buatku,
dan aku tidak akan pernah minum sampai ada yang memberiku sarana untuk
memuaskan dahagaku. Kemudian aku tinggal di situ selama empat puluh hari tanpa
makan dan minum. Pada hari keempat puluh, datang seorang laki-laki membawa
sepotong roti dan beberapa makanan, dia meletakannya di depanku dan segera
beranjak pergi meninggalkanku sendiri. Nafsuku kemudian cepat-cepat memaksakan
keinginan untuk menyambar makanan tersebut, maka aku katakana, “Demi Allah,
makanan ini tidak sejalan dengan perjanjian yang aku ikrarkan kepada Allah,”
kemudian di dalam batinku aku mendengar suara yang keras dan berteriak,
“Lapar!” tapi aku tetap menolak untuk menurutinya.
Kebetulan
pada saat itu Syekh Abu Sa’id al-Makarimi melintas di depanku dan mendengar
suara teriakan itu, lalu ia mendekatiku dan bertanya kepadaku, “Apa arti
teriakan tadi, wahai ‘Abdul Qadir al-Jailani?” Aku menjawab, “Tadi itu hanyalah
bisikan jiwa rendahku, seperti halnya ruh, ia akan reda dengan sendirinya.”
Kemudian ia berkata kepadaku, “Datanglah ke gerbang Al-Azaj.” Lalu ia pergi
meninggalkanku, dan aku berkata kepada diriku sendiri, “Aku tidak akan pernah
meninggalkan tempat ini, kecuali Tuhan sendiri yang memerintahkanku.”
Kemudian
al-Khidhir a.s. datang kepadaku dan berkata, “Bangunlah dan pergilah ke Abu
Sa’id al-Makarimi.” Maka akupun bergegas pergi, dan di sana aku menjumpainya
sedang berdiri di depan rumahnya tengah menanti kedatanganku. “Wahai ‘Abdul
Qadir al-Jailani,” katanya kepadaku, “Apakah belum cukup bagiku ketika aku
katakana, “Datanglah kepadaku,” kemudian ia menganugerahkan jubah sufi dengan
tangannya sendiri, dan semenjak saat itu, aku dengan tekun membaktikan diriku
kepadanya, dan menjadi muridnya yang rajin. Semoga Allah meridhoinya.
Melayang saat Berdakwah
Al-Khatab,
pembantu Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani, berkata: suatu hari ketika Syekh sedang
memberikan ceramah, beliau tiba-tiba naik beberapa langkah ke angkasa dan
beliau berkata, “Wahai Israil, berhentilah dan dengarkan kata-kata Sang
Muhammad!” Kemudian beliau kembali ke tempat duduknya semula. Ketika beliau
diminta untuk menjelaskan kejadian tersebut, beliau menjawab, “Abu al-Abbas
al-Khidhir berada di atas sana. Tadi ia sedang melintasi majelis kita ini, maka
aku memintanya berhenti dan berkata kepadanya apa saja yang aku dakwahkan
kepada kalian semua.”
Diludahi Nabi Saw. Tujuh Kali, Ali Enam Kali
Ini diriwayatkan oleh Syekh Abu Muhammad al-Juba’I, bahwasannya beliau Syekh
Abdul Qadir al-Jailani berkata, “Aku suatu kali berjumpa dengan Rasulullah Saw.
dalam penampakan ruhani sebelum waktu zuhur, dan beliau Saw. berkata kepadaku,
“Wahai anakku terkasih, kenapa engkau tidak berbicara (berdakwah) kepada
manusia?” Maka aku menjawab, “Wahai bapakku terkasih, aku adalah seorang ‘Ajam
(bukan orang Arab), lalu bagaimana aku bisa berkata-kata dengan fasih di
tengah-tengah orang Baghdad yang jelas mereka pandai berbahasa Arab.” Kemudian
beliau Saw. Berkata, “Sekarang, bukalah mulutmu!” Maka aku membuka mulutku
lebar-lebar, dan beliau meludahiku sebanyak tujuh kali. Kemudian beliau Saw.
berkata kepadaku, “Kamu harus berdakwah kepada manusia sekarang, ajaklah mereka
menuju jalan Allah dengan hikmah dan nasihat yang baik.” Aku kemudian
menunaikan shalat zuhur, dan kemudian aku duduk setelah itu hendak berceramah,
namun aku masih kehilangan kata-kataku. Kemudian aku melihat penampakan
Sayidina ‘Ali kwh., dan beliau berkata, “Bukalah mulutmu!” Aku lalu membuka
mulutku, dan beliau meludahiku sebanyak enam kali, lalu aku bertanya kepada
beliau, “Kenapa engkau tidak meludahiku sebanyak tujuh kali seperti halnya
Rasulullah Saw. Melakukannya?” Beliau menjawab, “Sebagai adab penghormatanku
kepada Rasulullah.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, beliau pergi.
Menghilang ke Balik Matahari
Pengasuh Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani menceritakan, bahwa sewaktu beliau masih
kecil seringkali ketika dia menggendong sang Syekh, mendadak beliau sudah tidak
ada lagi di tangannya. Dia mengatakan, bahwa kemudian dia melihat Syekh ‘Abdul
Qadir al-Jailani terbang ke langit dan bersembunyi di balik cahaya matahari.
Ketika Syekh
‘Abdul Qadir al-Jailani sudah dewasa, sang pengasuhnya mengunjunginya dan
bertanya, apakah beliau masih sering melakukan hal yang dulu sewaktu kecil
beliau lakukan. Kemudian Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani menjawab, “Itu dulu
ketika aku masih kecil, dan pada waktu itu aku masih lemah, maka aku
bersembunyi di balik matahari, namun kini daya dan kekuatanku telah sedemikian
besar, sehingga bila 1000 matahari dating, pasti mereka semua akan bersembunyi
di balik diriku.”
Bertarung Melawan Setan, Iblis, dan Hawa Nafsu
Kisah ini
diriwayatkan oleh Syekh ‘Utsman as-Sirafani, baliau berkata, Aku suatu kali
mendengar tuan kita, Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Aku pernah
bermukim sendirian di sebuah kawasan gersang. Setiap hari dan setiap malam
setan-setan sering datang kepadaku berbaris-baris dalam wujud manusia
jadi-jadian yang membawa berbagai macam senjata serta memikul berbagai benda
yang berbunyi sangat keras. Mereka terlibat perkelahian denganku dan melempariku
dengan bola api. Saat menghadapi keadaan seperti itu, aku mendapati di dalam
hatiku suatu rasa tentram yang sulit terucapkan dengan kata-kata, aku mendengar
suara dalam hatiku yang berkata, “Berdirilah dan serang mereka wahai ‘Abdul
Qadir al-Jailani, karena Kami selalu siap menambah kekuatanmu, dan Kami akan
datang dengan pasukan yang tidak mungkin terkalahkan oleh mereka.” Dan saat aku
melemparkan satu serangan kepada para setan itu, mereka sontak berlari tunggang
langgang dan pergi menghilang.
Setelah itu,
ada sesosok setan datang dari tengah-tengah para setan yang berlari menjauh
dariku. Setan itu menghampiriku dan berkata kepadaku, “Pergilah dari sini atau
aku akan melakukan begini dan begitu kepadamu.” Dia memperingatkanku akan
akibat apa saja jika aku tidak pergi dari wilayah itu, maka kemudian aku
menamparnya dengan tanganku dan diapun melarikan diri dariku, lalu aku berucap,
“Tidak ada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi lagi Maha
Agung.” Setan itu diterkam oleh api dan aku melihatnya terbakar hangus.
Pada waktu
yang lain, aku didatangi oleh sosok yang penampilanya benar-benar menakutkan,
dan bau badannya sangat menjijikkan, baunya sangat bacin dan memuakkan, dia
berkata kepadaku, “Aku adalah iblis. Aku datang kepadamu dengan maksud untuk
menjadi budakmu, karena kamu telah berhasil menggagalkan segala upayaku dan
mengalahkan pengikutku.” Aku berkata kepadanya, “Pergilah! karena aku tidak
percaya sama sekali kepadamu.” Tapi pada saat itu sebuah tangan turun dari sisi
iblis dan memukul tengkorak kepalanya dengan kekuatan yang sangat besar hingga
membuat iblis itu terjungkal keras melesat ke dalam tanah, dan dia pun
menghilang entah ke mana.
Iblis itu
datang kembali kepadaku untuk kedua kalinya dengan membawa anak panah api di
tangannya dan hendak menyerangku, tetapi dengan cepat seseorang yang memakai
jubah penutup kepala lari menuju diriku dengan menaiki kuda berwarna kelabu dan
dengan tangkas melemparkan pedang kepadaku. Melihat itu, iblis secepat kilat
langsung lari terbirit-birit dari hadapanku.
Dan ketika
aku bertemu dengannya lagi untuk yang ketiga kalinya, iblis itu sedang duduk
dengan jarak yang agak jauh dariku, berlinangan air mata, sekujur tubuhnya
dipenuhi oleh debu, dan ia berkata, “Aku sungguh telah putus asa menghadapi
orang sepertimu, wahai ‘Abdul Qadir al-Jailani.” Aku lalu berkata kepadanya,
“Enyahlah kau dari sini, sang terkutuk! karena aku tidak akan pernah berhenti
membentengi diriku sendiri (dengan perlindungan Allah) untuk melawanmu. Dan dia
berkata, “Apa yang telah kau ucapkan itu lebih menyakitkan bagiku ketimbang
jepitan besi neraka.”
Menembus Jarak
Diriwayatkan
dari Syekh Umar, beliau berkata: aku suatu kali mendengar tuan kami Syekh
‘Abdul Qadir al-Jailani bercerita:
keadaan
ruhani (ahwal) pernah datang kepadaku tanpa terduga sama sekali. Pada
awal masa-masa aku melakukan pengembaraan dan berada di padang tandus di
wilayah Baghdad, aku berlari melewati jarak kira-kira satu jam perjalanan, dan
aku benar-benar tidak sadar bahwa aku sedang berlari, saat aku kembali dalam
kesadaranku yang normal, aku mendapati diriku sampai di kawasan Syastar, di
mana jarak tersebut dengan Baghdad kira-kira sekitar dua belas hari perjalanan.
Ketika sampai di sana, aku berdiri dan melihat-lihat sekeliling, lalu seorang
wanita datang kepadaku sambil berkata, “Apakah yang kamu alami itu membuatmu
terkejut dan heran, padahal kamu tidak lain adalah ‘Abdul Qadir al-Jailani?!”
Melihat al-Lauh al-Mahfudz
Tertulis
dalam riwayat, bahwa Syekh Abul Hafash menyatakan, “Syekh ‘Abdul Qadir
al-Jailani biasa melayang di udara dan berkata ‘Matahari tidak pernah terbit
tanpa mengucapkan salam kepadaku. Demi kemuliaan dan murka Allah, aku melihat
semua manusia yang baik maupun yang jahat, mataku tertuju pada al-Lauh
al-Mahfudz. Berkali-kali aku menyelam ke samudera ilmu dan kebijaksanaan yang
dianugrahkan oleh Allah, dan akulah kebaikan murni Allah kepada manusia dan
utusan khusus kakekku, Rasulullah Saw., dan akulah khalifah beliau di bumi.”
Kuasa atas Raja Jin
Syekh Abu
Futub Muhammad bin Abul ‘Ash Yusuf bin Isma’il bin Ahmad ‘Ali Qarsyi at-Tamimi
al-Bakari al-Baghdadi meriwayatkan, bahwa suatu ketika Syekh Abu Sa’id
‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad al-Baghdadi al-Azja’i datang kepada Syekh
‘Abdul Qadir al-Jailani dan mengatakan bahwa putrinya yang berusia 16th, Fatimah yang sangat cantik,
kemarin naik ke tingkat rumah, tapi tiba-tiba dia lenyap dari sana. Ketika
Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani mendengar hal ini, beliau menghiburnya dan
mengatakan kepadanya agar tidak perlu khawatir.
Sang Wali Agung
kemudian memerintahkan dia untuk pergi ke sebuah hutan pada malam hari. Syekh
‘Abdul Qadir al-Jailani menyatakan bahwa di dalam hutan dia akan melihat banyak
gundukan pasir. Dia harus duduk di gundukan pasir keenam yang dilewatinya, dan
harus membuat sebuah gambar lingkaran di sekeliling dirinya sambil berkata,
“Bismillah,” dan kemudian berkata, “Abdul Qadir.”
Syekh ‘Abdul
Qadir al-Jailani berkata, “Menjelang sepertiga malam terakhir kau akan melihat
pasukan jin berlalu. Mereka tampak sangat mengerikan dan ganas, tetapi engkau
tak perlu takut, engkau harus tetap duduk dan menunggu. Tepat pada saat cahaya
matahari pertama tampak, raja jin yang paling berkuasa akan lewat, dan dia akan
menghampirimu lalu menanyakan permasalahanmu. Jelaskanlah permasalahanmu
kepadanya, dan katakan bahwa aku yang mengutusmu. Beritahukan kepada raja jin
itu tentang putrimu yang hilang.”
Syekh
Muhammad al-Baghdadi berkata, “Aku mengerjakan apa yang Syekh ‘Abdul Qadir
al-Jailani perintahkan. Aku duduk di gundukan pasir tersebut dan menunggu.
Setelah beberapa waktu, aku melihat pasukan jin dalam rupa-rupa yang mengerikan
melintas. Mereka sangat marah kepadaku karena aku duduk di tengah-tengah
jalannya, namun mereka tetap berlalu tanpa mengucap sepatah katapun, karena
mereka tidak berani memasuki lingkaran tersebut. Pada waktu fajar, sang raja
jin melintas, lalu menanyakan permasalahanku. Ketika aku mengatakan bahwa yang
mengutusku adalah Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani, maka dia segera turun dari
kudanya dan berdiri dengan penuh hormat mendengarkan perkataanku, lalu dia
mengutus para jin untuk mencari jin yang telah menculik putriku. Akhirnya,
putrikupun kembali, dan jin yang telah menculik putriku itu dihukum oleh sang
raja jin.”
Pengakuan 360 Wali
‘Abdullah
al-Jubbai suatu kali berkata: “Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani memiliki seorang
murid bernama ‘Umar al-Hawali, dia meninggalkan Baghdad dan tinggal di tempat
lain selama beberapa tahun. Ketika ia akhirnya kembali ke Baghdad, maka aku
berkata kepadanya, “Sekian lama ini kamu berada di mana?” Dia menjawab, “Aku
mengembara menyinggahi kota-kota di Suriah, Mesir, Persia, dan aku bertemu
dengan tiga ratus enam puluh Syekh, yang kesemuanya adalah para wali Allah.
Tidak ada seorangpun dari mereka yang tidak berkata, “Syekh ‘Abdul Qadir
al-Jailani adalah Syekh kami, dan merupakan pembimbing teladan kami menuju
Allah Swt.”
Syekh Hammad
ad-Dabbas konon berkata, “Ketika Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani yang pada waktu
itu masih remaja, disebut dalam majelisnya “Aku melihat dua tanda di kepalanya,
yang terpasang tegak di antara kebinatangan terendah dan kedaulatan tertinggi.
Dan aku telah mendengar tentara kerajaannya memangil-mangilnya dengan suara
yang keras lagi jelas pada cakrawala tertinggi. Semoga Allah meridhoinya.”
Syekh Hammad
ad-Dabbas kemudian berkata, “Kamu adalah penghulu para ‘Arifin di zamanmu
nanti. Panjimu tertancap kuat untuk dibentangkan, baik dari kawasan timur
sampai kawasan barat. Pundak orang-orang di zamanmu akan tunduk di bawah
kendalimu, dan kamu akan diangkat pada suatu tingkatan spiritual yang
mengungguli semua orang yang sebaya denganmu.”
Pernyataan “Kakiku Berada di Tengkuk Para Wali”
Diriwayatkan
oleh al-Hafidz Abu al-Izz ‘Abd al-Mugtis bin Harb al-Baghdadi beserta banyak
lagi lainya, “Kami menghadiri majelis Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani. Di ruang
tamu beliau banyak sekali para Syekh dan wali yang mengikuti majelis beliau
waktu itu. Ada sekitar kurang lebihnya empat puluh tujuh para Syekh, dan masih
banyak lagi yang berada dalam majelisnya. Ketika Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani
berbicara, tampak sekali hati beliau dalam keadaan kesadaran penuh, yakni
ketika beliau menyatakan, “Kakiku Berada di Atas Tengkuk Para Wali
Allah.” Syekh ‘Ali bin al-Haiti melangkahkan kakinya saat itu juga,
lalu naik beberapa langkah ke mimbar Sang Syekh, di mana kemudian dia memegang
kaki Sang Syekh dan meletakkannya di atas tengkuknya sembari memposisikan
kepalanya di bawah keliman jubah Syekh. Semua yang hadir di situpun membungkuk
seperti yang dilakukan oleh Syekh al-Haiti. Dan tidak ada satupun seorang wali
Allah di muka bumi ini yang pada saat itu tidak menundukkan tengkuknya sebagai
pengakuan tulus terhadap Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani, serta sebagai
penghormatan kedudukan ruhani beliau yang khusus. Ada 300 auliya’Allah
dan 700 rijaul ghaib yang hadir di majelis itu. Bahkan
kumpulan para jin berkumpul pada saat itu. Para jin shalih tersebut keluar dari
segala penjuru cakrawala demi menghormati pernyataan beliau tersebut. Mereka
mengucapkan selamat kepada Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani dan menunjukkan laku
taubat melalui tangan beliau.
Syekh
al-Makarimi menyatakan, “Pada hari itu, seluruh Wali Allah tahu, bahwa panji
kesultanan wali telah tertancapkan di sisi Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani. Semua
wali dari timur hingga barat serentak membungkukkan badan mematuhi pernyataan
beliau ini.”
Sayyid Syekh
Khalifatul Akbar berkisah, “Aku bermimpi bertemu dengan Rasul Saw. tercinta,
dan aku bertanya kepada beliau tentang pernyataan Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani
tersebut. Rasul Saw. Menjawab, “‘Abdul Qadir al-Jailani telah mengatakan hal
yang sebenarnya, karena dia sang Quthb, dan dia kuberikan tempat di bawah
sayapku dan dalam perlindunganku.”
0 Komentar