Sebuah sajak karya Syekh Abdul Jalil atau Datu Sanggul pada abad 18 M di Banjar Kalimantan yang bermakna Tassawuf.
SARABA AMPAT
[1] Alloh jadikan saraba ampat
Syariat thoriqot hakikat makrifat
Manjadi satu di dalam kholwat
Rasa nyamannya tiada tersurat
Parafrase:
`Alloh menjadikan serba empat`, diterangkan oleh Syekh Abdul Jalil dibaris berikutnya, serba empat yang pertama adalah `syariat, thoriqot, hakikat, makrifat`.
Urut-urutan ini seolah olah sesuatu yang baku untuk beberapa dekade. Tidak jelas dalil atau dasarnya (Qur-an-Hadits-nya), tapi banyak yang memakai urut-urutan tingkatan atau tahap yang harus ditempuh seperti itu, yaitu syariat dulu (syariat di sini bisa dipahami sebagai ajaran agama yang mengatur wujud lahir manusia), baru thoriqoh (thoriqoh sendiri artinya `jalan`, bisa dipahami sebagai masa transisi atau proses dari syariat menuju hakekat), baru setelah itu hakekat (hakekat bisa diartikan esensi atau jiwa atau hal-hal yang menyangkut isi dari agama), baru kemudian makrifat (ma`rifat di sini bisa dipahami ma`rifatulloh, yaitu mengenal Allah dengan sebenar-benarnya kenal).
Sebagai bahan rujukan disalah satu hadits disebutkan, “awalauddin ma`rifatulloh” , “awal di dalam beragama adalah ma`rifatulloh”. (Tetapi kenapa ma`rifatulloh itu ditempatkan pada tahap yang terakhir?)
`Menjadi satu di dalam kholwat`, `kholwat` adalah salah satu `riyadhoh`, atau salah satu latihan bagi shalik, dimana saat berkholwat itu seluruh perhatian, jiwa, raga, rasa, semata-mata ditujukan pada Allah, hal ini berarti, menurut Syekh Abdul Jalil, syariat, thoriqot, hakekat, dan ma`rifat, keempat-empatnya itu dilakukan saat berkholwat.
Keterangan tambahan, kholwat ini biasanya dipahami oleh sebagian orang yaitu `riyadhoh` yang dilakukan Nabi Muhammad saat beliau berada di gua Hiro.
Karena secara jelas, jarang sekali ada yang membahas tentang apa yang dilakukan Nabi di gua Hiro, dan secara syariat atau hukum-hukumnya bagaimana?.
Padahal hal itulah yang intensif dilakukan Nabi Muhammad sebelum pengangkatan kenabian. Kadang 7 hari, kadang 10 hari, kadang 21 hari kadang 40 hari bahkan diceritakan pernah hampir 2 tahun Nabi Muhammad berada di Gua Hiro.
`Rasa nyamannya tiada tersurat`, Rasa saat berkholwat, dalam bersyariat, thoriqot, hakekat, ma`rifat, digambarkan oleh Syekh Abdul Jalil, sebagai rasa yang tidak bisa dilukiskan (diistilahkan `tiada tersurat`), hanya para pelaku-pelaku kholwat saja yang merasakannya.
[2] Huruf Allah ampat banyaknya
Alif i`tibar dari pada DzatNya
Lam awal dan akhir sifat dan AsmaNya
Ha isyarat dari af`alNya
Inilah penjelasan yang kedua tentang serba empat. Yaitu diambil dari huruf Allah, Alif, Lam, Lam, Ha, yang jumlahnya adalah empat. `Alif i`tibar dari pada DzatNya`, `Lam awal dan akhir sifat dan AsmaNya`, Ha isyarat dari af`alNya`.
Saya buka di naskah lain, yaitu naskah dari Syekh Muhyiddin tentang `Martabat tujuh`, tampak ada hubungan erat antara pengertian `martabat tujuh` dengan yang dijelaskan oleh Syekh Abdul Jalil ini. Yaitu yang diterangkan oleh Syekh Abdul melalui sarana huruf-huruf dalam kata `Allah` ini, menerangkan 4 martabat yang juga diterangkan dalam Martabat Tujuh.
Dan ini membuat muncul kesimpulan awal bahwa Syech Abdul Jalil juga memperoleh pelajaran tentang Martabat Tujuh ini. Untuk pemahaman Istilah-istilah ini lebih baik anda cari bukunya sendiri tentang Martabat Tujuh, karya Syeh Abdul Muhyi, Pamijahan.
[3] Jibril, Mikail Malaikat mulia
Isyarat sifat Jalal dan Jamal
Izrail, Israfil rupa pasanganya
I`tibar sifat Qohar dan Kamal
Serba empat yang ketiga dijelaskan oleh Syeh Abdul Jalil, dengan menjelaskan Malaikat-malaikat tertentu yaitu Jibril, Mikail, Izrail dan Israfil. Dimana di jelaskan oleh Syech Abdul Jalil di sini, malaikat Jibril dan Mikail sebagai malaikat mulia -`Jibril, Mikail Malaikat mulia`-, Isyarat dari sifat Jalal dan Jamal Nya Allah. (artinya Jalal dan Jamal -lihat di buku-buku tentang Asma`ul husna). Sementara itu pasangannya adalah malaikat Izrail dan Israfi sebagai i`tibar sifat Allah yang Maha Qohar dan Maha Kamal. (artinya Qohar dan Kamal baca pula dibuku tentang asma`ul Husna.
[4] Jabar Ail asal katanya
Bahasa Suryani asal mulanya
Kebesaran Alloh itu artinya
Jalalulloh bahasa Arabnya
Syekh Abdul Jalil di sini menerangkan serba empat yang ke-empat tetapi dengan bahasa tersirat, karena di sini, dibahas tentang asal muasal Jalalulloh dari bahasa wahyu menjadi bahasa lahir yaitu bahasa Arab.
Apakah Qur`an itu diturunkan Allah dalam bahasa Arab?. Maha Suci Allah, hanya Allah yang tahu bahasa wahyu itu. `Jabar Ail` ini sebagai dimaksudkan atau diistilahkan komunikasi awal antara Allah dengan Jibril (memakai bahasa wallohu`alam). Mengacu dari nama `Jibril` menjadi `Jabar-Ail`, tahap yang kedua diterangkan oleh Syekh Abdul Jalil, `Bahasa Suryani asal mulanya`, Bahasa suryani di sini sering dipahami sebagai bahasa malaikat, mirip-mirip bahasa arab, tapi tidak bisa di artikan meskipun ada maknanya.
Contoh lain bahasa Suryani, bi ajin ahujin jalajalyu tu jaljalat, dari kitab rahasia yang biasanya dibaca dengan ritme tertentu dalam suatu kelompok mistis tasawuf.
Tahap ketiga yaitu `Kebesaran Allah itu artinya`, dalam tahap ini, berarti bahasa `wahyu` tadi sudah bisa diterima oleh manusia, dan baru diberi simbol atau bentuk, karena lewatnya Muhammad si Orang Arab, maka menjadilah `Jalalulloh bahasa Arabnya`
[5] Nur Muhammad barmula nyata
Asal jadi alam semesta
Saumpama api dengan panasnya
Itulah Muhammad dengan Tuhannya
Di sini, tampak lebih jelas bahwa Syekh Abdul Jalil atau Datu Sanggul ini, lagi-lagi menjelaskan pelajaran tentang martabat tujuh, hal ini dikatakan dalam syair,` Nur Muhammad barmula Nyata`. Dalam kitab Martabat Tujuh baik yang dikarang oleh Syeh Abdul Muhyi maupun karya Haji Hasan Mustapa, yang ujung-ujungnya akan kita temui dalam pendapat Ibnu Arobi, Nur Muhammad diyakini sebagai asal muasal penciptaan alam semesta.
Dijelaskan oleh Syeh Abdul Jalil di baris ke dua,` Asal jadi alam semesta`. Di pembahasan tentang Martabat Tujuh di kitab yang saya sebutkan di atas, `Nur Muhammad` ini berada pada martabat `wahdah`, atau martabat yang ke dua, tempatnya sifat Allah. Lihat perkataan Syeh Abdul jalil sendiri pada bagian [2] Alif i`tibar dari pada DzatNya, Lam awal adalah sifatNya.
Dengan jelas dikatakan di baris berikutnya,`Saumpama api dengan panasnya`, `Itulah Muhammad dengan Tuhannya`. Api adalah perlambang DzatNya, sedang panas perlambang dari sifat api atau sifat dari DzatNya tadi. Ini juga di sebutkan dalam Martabat Tujuh, yaitu martabat `ahadiyah` dan `wahdah`. Ada kesamaan pemahaman.
[6] Api dan banyu tanah dan hawa
Itulah dia alam dunia
Manjadi awak barupa-rupa
Tulang sungsum daging dan darah
Serba empat yang berikutnya di sini diterangkan oleh Syeh Abdul Jalil yaitu api, air , tanah dan udara (hawa), inilah yang menjadi unsur-unsur terbentuknya jasmani manusia.`Itulah dia alam dunia` kata Syekh Abdul Jalil,`Menjadi badan yang bermacam-macam`, (`manjadi awak barupa-rupa`).` tulang sungsum daging dan darah`. Kembali lagi penurunan air menjadi tulang, api menjadi darah, tanah menjadi daging dan hawa (udara) menjadi sungsum, kita temui juga dalam bahasan Martabat Tujuh.
[7] Manusia lahir ke alam insan
Di alam ajsam ampat bakawan
si Tubaniyahdan Tambuniyah
Uriyah lawan si Camariyah
`Manusia lahir ke alam insan`, di alam ajsam empat unsur itu berkawan (ampat bakawan) atau menjadi satu dengan si Tubaniyah Tambuniyah, Uriyah dengan si Camariyah. Kembali lagi dapat kita temui pemahaman yang sama untuk masalah alam ajsam ini di kitab tentang `martabat tujuh`. Bersatunya unsur-unsur jasmaniah yang kasar, dengan empat unsur dari jasad halus (jisim latif). Tubaniyah, mewakili (istilah) jisim latif dari unsur air, Tambuniyah mewakili (istilah) jisim latif unsur tanah, Uriyah, mewakili (istilah) jisim latif dari unsur api, Camariyah mewakili (istilah) jisim latif dari unsur udara atau hawa.
Pemahaman empat jisim latif ini juga ada di budaya jawa (Kejawen), yaitu yang di sebut `papat dulur` atau `empat saudara`. Hanya sebagian besar kadang memahami jisim latif ini merupakan keghoiban yang tinggi atau bahkan yang tertinggi. Padahal dalam hal keghoiban adalah termasuk relatif rendah, karena sebenarnya adanya jisim latif karena adanya jisim yang kasar ini.
[8] Rasa dan akal, daya dan nafsu
Di dalam raga nyata basatu
Aku meliputi segala liku
Matan hujung rambut ka hujung kuku
Serba empat yang berikutnya yaitu,`Rasa dan akal, daya dan nafsu`,`Di dalam raga (jasmani) nyata bersatu`. Di sini, Syekh Abdul jalil/Datuk Sanggul tampaknya ingin mengingatkan kita bahwa dalam jasmani atau dalam raga kita itu ada rasa ada akal, ada daya dan ada nafsu. Datuk Sanggul juga memilah Rasa dan akal. Ini sebagaimana pemahaman bahwa Rasa dan akal sebagai karunia Tuhan, berhubungan erat dengan Qolb (Qolb ini diterangkan oleh Datu Sanggul di bait berikutnya [9]). Atau bisa dipahami sebagai Cahaya rasa dan Cahaya akal. Hal ini diterangkan di baris berikutnya,`Aku meliputi segala liku`.
Di dalam Al Qur`an S. Nur (35), ”Allahunurrussamawati wamaa fil ardli…….” ~ Cahaya Alloh itu meliputi langit dan bumi…
Ayat ini yang kadang dianggap sebagai pintu gerbang bagi para pengikut tasawuf, untuk menuju ke tingkat `martabat` yang lebih tinggi. Merupakan satu ayat yang pokok di dalam menjelaskan masalah lapisan-lapisan cahaya dari cahaya hamba sampai cahaya ketuhanan. Cahaya rasa dan akal mewakili cahaya ruh idhofi cahaya malaikat, cahaya daya (daya) mewakili ruh Robani (“tidak ada daya dan kekuatan melainkan daya Allah”, “La haula wala quwata ila billah”), sedangkan nafsu (cahaya nafsu), mewakili cahaya jasmani (raga). Sedangkan Cahaya Allah meliputi segala sesuatunya. Memakai pemahaman `martabat tujuh`, maka Cahaya rasa dan akal berada pada martabat `alam arwah` dan `alam mitsal`, sedangkan cahaya daya (ketuhanan) berada pada martabat alam `ahadiyah`, `wahdah`, wahidiyah`. Sedangkan cahaya nafsu berada pada martabat `alam ajsam` dan `insan kamil`.
Sedangkan Allah meliputi segala sesuatu,` Matan hujung rambut ka hujung kuku`,`Mulai ujung rambut sampai ujung kuku. Mulai martabat `Ahadiyah` sampai martabat `insan kamil`
[9] Tubuh dan hati nyawa rahasia
Satu yang dzohir amat nyatanya
Tiga yang batin pasti adanya
Alam soghir itu sabutnya
Serba empat berikutnya dijelaskan oleh Datu Sanggul yaitu `tubuh` dan `hati nyawa rahasia`. Bisa diartikan `hati itu nyawa yang rahasia`. Bisa juga hal ini dikupas dari tiap kata yang mewakili satu pengertian. Yaitu `hati` mewakili satu pengertian, `nyawa` mewakili satu pengertian dan `rahasia` mewakili satu pengertian.
Padanan pemahamannya adalah, `tubuh` ini yang dimaksudkan adalah jasmani, `hati` di sini yang dimaksudkan adalah `hati sanubari` (maqomnya `yakin`), `nyawa` di sini yang dimaksudkan adalah `hati maknawi` (maqomnya `ainul yakin`), dan yang dimaksudkan `rahasia` di sini adalah `hati sirri` (maqomnya `haqul yakin`).
Gambaran keyakinan ini contohnya sebagai berikut:
Kalau manusia melihat ada asap, sebagian sudah yakin, bahwa ada asap pasti ada api (yakin), sebagian meningkatkan keyakinan mereka dengan cara melihat tempat asal asap tersebut. Dan terlihat lah memang ada api-nya (`ainul yakin), sebagian lagi masih meningkatkan keyakinannya, dipeganglah api tadi, dan terasa panasnya, (haqqul yakin).
Saya sementara membatasi pengertian-pengertian di masalah hati ini, karena sangat lekat dengan rahasia mistis yang ada. Dan terlebih lagi bahwa semuanya yang bersifat teoritis tidak ada artinya dipahami bagaimanapun tingginya pemahaman itu, bila tidak dibarengi dengan `perjalanan` sesungguhnya. (maaf)
`satu yang Dzohir amat nyatanya`. Tidak ada maksud lain kecuali menegaskan masalah kenyataan jasmani. `Tiga yang batin pasti adanya`, mengacu pada tiga hal yang sudah disebutkan di atas. `Alam soghir itu sabutnya`,`Alam kecil itu namanya`
Dalam pemahaman tasawuf, manusia ini juga disebut sebagai `alam soghir` atau `alam kecil` karena semua yang ada di alam ini juga ada di manusia. Dalam kitab “Hakekat Makrifat”, bahkan disebutkan, setiap unsur yang ada di alam besar atau alam kabir, juga ada di alam kecil, manusia ini. Baik H,Li, Na, K, Rb,Cs,Fr, dst….maupun yang lainnya, semua ada di manusia.
Ada 3 analog besar di sini yaitu Alam Kabir atau jagad raya ini, analog dengan manusia (alam soghir), analog dengan Al Qur`an.
Di alam besar atau jagad ini secara keseluruhan, di analog-kan dengan manusia secara keseluruhan pula dan analog lain adalah adanya Al Qur`an.
Di alam ini ada `bulan` yang menerima cahaya dari matahari, di manusia ada `akal`, dan di Qur`an ada Doa-doa` (“Ad do`au mukhul ibadah” ~ do`a itu otaknya ibadah). Di alam ada `matahari` (jantungnya alam), dianalogikan di manusia ada `hati` atau `qolb` atau `jantung`. Di Al Qur`an ada jantungnya yaitu Surat Yasin (Qolbun Qur`an). Inti dari surat Yasin yaitu, ”Salamun qaulan mirrobirrohim”. Di sinilah muncul satu perlambang bahwa hatinya orang-orang yang beriman haruslah di arahkan pada hati yang `salamun` atau selamat atau `Qolbun salim`. Yaitu hati yang terkena goncangan bagaimanapun beratnya, yang terkena ujian bagaimanapun beratnya tetap hati yang ingat dan syukur pada Tuhannya. Hati yang terkena kesenangan bagaimanapun, tetap ingat dan syukur pada Tuhannya. Dalam keadaan apa saja, dalam situasi apa saja, dimana saja, kapan saja, selalu ingat dan syukur pada Tuhannya. Inilah hati yang selamat, `Qolbun Salim`. Tidak berkeluh kesah, tidak kecewa, tidak sedih, tidak menggerutu, dll.
[10] Mani manikam madi dan madzi
Titis manitis jadi manjadi
Si Anak Adam balaksa kati
Hanya yang tahu Allahu Rabbi
`Mani manikam`, umumnya diperuntukkan untuk mewakili perhiasan yang indah, bagus, elok, sedangkan di sini, mani manikam menjelaskan soal `madi dan madzi`. Arti `madi dan madzi secara harfiah, untuk bahasa Banjar tidak saya temukan arti, untuk bahasa arab, saya tidak begitu tahu, juga untuk bahasa melayu, kok rasanya tidak.
Tapi sepertinya di sini Datuk Sanggul menerangkan `indahnya `perhiasan`, `sel sperma` dan `sel telur`, dalam hubungannya dengan proses persatuan keduanya yang menghasilkan anak adam. Dibaris berikutnya diterangkan,`titis manitis jadi menjadi`, seperti ungkapan,` Abrakadabra`, `Si anak adam balaksa kati`, `Si anak adam beribu beratnya (balaksa kati)`. Datuk sanggul memakai istilah berat di sini sepertinya untuk menggantikan istilah `banyak`. Bisa di artikan,` Si Anak adam menjadi banyak sekali`. `Hanya yang tahu Allahu Rabbi`. Nah ini agak sulit memahaminya, apa yang dituju dengan Datuk Sanggul. Apakah yang dituju itu masalah jumlah anak adam itu sampai seberapa banyak, ini yang tahu hanya Allah? atau, rahasia persatuan `madi dan madzi` tadi hanya Allah yang tahu? atau rahasia di dalam diri anak adam itu hanya Allah yang tahu?
Mengacu pada baris sebelumnya, (dianggap yang diberi keterangan adalah baris sebelumnya), maka yang dimaksud hanya Allah yang tahu adalah jumlah dari si anak Adam, sampai kapankah berakhirnya proses reproduksi, atau proses tambahnya anak adam ini. Dan ini sesuai dengan Hadits Nabi waktu di tanya oleh malaikat Jibril,”Ya Nabi, kapankah datangnya kiamat itu? (kiamat bisa dipahami sebagai akhir masa reproduksi anak adam, atau akhir masa manusia yang di waktu itu sudah tidak ada kelahiran lagi). Nabi menjawab,”Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya”. Karena waktu datangnya kiamat hanya Allah yang mengetahuinya.
[11] Kaampat-ampatnya kada tapisah
Datang dan bulik kapada Allah
Asalnya awak dari pada tanah
Asalpun tanah sudah disyarah
`Keempat-empatnya tidak terpisah`, kata Datu Sanggul. Kempat-empatnya di sini, dimaksudkan masalah serba empat yang sudah dijelaskan di atas.
`Datang dan pergi kepada Allah`, mengacu pada ayat “Inna lillahi wa ina ilaihi roji`un”,`siapa yang berasal dari Allah akan kembali kepada Allah. Dalam bahasa jawa umumnya di sebut,”Sangkan paraning Dumadi”.
`Asalnya awak dari pada tanah`,`Asalnya jasmani dari tanah`, `asalpun tanah sudah disyarah`, `asalnya tanah-pun sudah ditentukan.
Nah, di sini Datuk Sanggul ingin menunjukkan pada kita, bahwa yang kembali pada Allah itu bukan manusia dari unsur jasmani karena asal jasmani adalah tanah dan dari tanah kembali ke tanah lagi, melainkan unsur rohani-lah yang datang dan perginya dari Allah.
Di sini muncul dua pemahaman.
“Sangkan paraning Dumadining Jasmani”, yaitu `dari tanah kembali ke tanah`dan “Sangkan paraning Dumadining Ruhani”, inilah yang `dari Allah dan akan kembali ke Allah`
Dua hal ini, bagi yang kurang paham kadangkala di samakan. Kadang dianggap kita kembali pada Allah dengan jasmani dan rupa kita dan dengan jenis kelamin yang kita miliki. Padahal rupa kita, jenis kelamin kita, itu adalah bawaan jasmani. Bukankah tidak pernah kita temui adanya dalil, baik Quran maupun hadits yang menerangkan bahwa ruhani itu ada yang laki atau ada yang wanita?
Kadang ada yang berlogika bahwa saat kita mati, saat itulah yang tetap di akherat. Artinya bila kita mati muda, maka dengan wajah muda kita itu kita menghadap Allah, sedang bila kita mati tua, maka wajah tua kita itu yang menghadap Allah.
Nah, kalau anggapan ini diteruskan, muncul persoalan yang tak terjawab. Kalau kita mati dengan usia yang lebih tua dari kakek kita waktu mati, maka bukankah `lucu`, karena logikanya menjadi, kita menghadap Allah lebih muda kita dari pada kakek kita. Naudzubillah, pikiran yang sesat.
Ingatlah satu hadits, ”Allah tidak melihat rupamu, tidak melihat pakaianmu, tidak melihat jasmanimu, melainkan yang dilihat Allah adalah hatimu”. Sekali lagi, asal dari Allah, kembali ke Allah, asal tanah kembali ke tanah. Ini yang ada dalilnya di Qur`an. Dan ini pula yang diterangkan oleh Datuk Sanggul.
[12] Dadalang Simpur barmain wayang
Wayang asalnya sikulit kijang
Agung dan sarun babun dikacang
Kaler di pasang di atas gadang
`Dadalang simpur bamain wayang`, bisa di artikan `Dalang bekerja bermain wayang. `Simpur`, sepertinya di ambil dari bahasa Jawa, `Sampur` yang berarti `selendang`, tapi apabila dikatakan `ketiban sampur`, atau `ketiban selendang`, sama artinya terkena suatu beban kerja`. Jadi `Dalang bekerja bermain wayang.`
Suatu turunan dari kebudayaan Hindu di India, yang dibawa masuk ke Indonesia, khususnya Jawa adalah `Pagelaran Wayang`. Dan setelah masuknya agama Islam, melalui para wali-wali (terutama wali sembilan), maka cerita-cerita dalam wayang di modifikasi sehingga semuanya membawa nafas ajaran agama Islam. Seperti cerita,`Dewa Ruci` yang katanya karya Sunan Bonang. Dan yang senang memakai wayang untuk memberikan pelajaran tentang agama Islam, terutama sekali memang Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang (konon).
Perlambang didalam wayang inilah, yang dipakai oleh Datuk Sanggul untuk menerangkan maksudnya. `Dalang kerja bermain wayang`, `Wayang asalnya si kulit kijang`.
`Agung dan Sarun Babun di kacang. Untuk satu bait ini, lama saya merenung, mempertanyakan apa yang dimaksud oleh Datuk Sanggul dalam memakai Istilah ini, karena istilah `sarun babun dikacang`, tidak saya temukan dalam istilah bahasa Banjar (yang sekarang), tidak pula saya temukan di istilah bahasa Arab maupun Melayu. Atau mungkin saja saya yang memang tidak tahu bahwa istilah itu sebenarnya ada dalam salah satu bahasa tadi.
Bahkan saya juga sempat berpikir, jangan-jangan Datuk Sanggul memakai bahasa `Suryani`. Tapi, kalau melihat di baris berikutnya,` Kaler dipasang di atas gadang`, tampak serapan bahasa jawa ke dalam bahasa Banjar.
(Karena sudah saya tanyakan pada orang-orang Banjar sendiri, bahwa tidak ada istilah itu)., yang kata itu berasal dari bahasa Jawa yaitu, `Kelir dipasang di atas gedang`. Artinya,` Kelir` itu layar putih yang ada sebagai `background wayang`. `dipasang di atas gedang`. `gedang di sini dimaksudkan adalah `pisang` atau `pohon pisang`. Kalau istilah Jawanya `dhebog`.
Alhamdulillah ada salah seorang sahabat memberitahukan bahwa di kitab karya KH. Haderanie tentang ” Ma`rifat Musyahadah Mukasyafah Mahabah”, maksud dari `Agung dan sarun babun dikancang` itu :
Agung = gong; Sarun = Saron; babun = genderang; dikancang = dikencangkan talinya. Dengan memakai pemahaman Martabat Tujuh, baris ke tiga dan keempat bisa dipahami sebagai berikut:
`Agung dan sarun babun di kacang`.`Kaler dipasang di atas gadang. `Agung` mewakili Dzat Allah dalam martabat `Ahadiyah`, `sarun babun dikacang` mewakili dan menceritakan `kemuliaan` dari martabat yang kedua dan ketiga. Karena lanjutannya adalah `Kelir` yang dalam filsafat Islam di jawa ini dipahami sebagai `Jagad` alam semesta ini. Yang berada pada martabat ke enam dan ketujuh, yaitu `alam ajsam` dan `alam insan kamil`. Sedangkan `pohon pisang` atau `gadang` yang dipakai menancapkan `Kelir` tersebut adalah mewakili perlambang `alam arwah` dan `alam mitsal`.
[13] Wayang artinya si bayang-bayang
Antara kadap si lawan tarang
Semua majaz harus dipandang
Simpur balakun hanya saorang
Wayang artinya si bayang-bayang, Dipahami dalam filsafat Islam yang di Jawa, bahwa makna `wayang` memang berasal dari kata bayang. Menandakan bahwa wayang itu si bayang-bayang. Demikian juga manusia ini, yang dilambangkan sebagai wayang, adalah merupakan bayang-bayang dari Allah ta`ala.
Hal itu juga yang menjadi alasan, kenapa wayang yang indah warna-warnai, tapi yang ditunjukkan pada penonton justru bayang-bayangnya. Tetapi bila penontonnya atau si wayang sendiri bisa memahami hakekat diri, maka tampaklah keindahan atau kemuliaan dirinya. Dan kalau diteruskan kesadarannya, maka sadarlah, bahwa yang menggerakkan wayang adalah si dalang. ”Man arofa nafsahu faqod arofa robahu”, barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”.
Cerita di wayang, sama, atau analog dengan cerita di dunia ini yaitu Antara kadap lawan si tarang. Antara gelap lawan terang.
Kalau kita lihat, ada kesamaan filsafat wayang ini dengan filsafat aji saka yaitu : “ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa da ja ya nya, ma ga ba ta nga” ~ ada cerita, dua utusan, sama kuatnya, sama matinya.
Dua utusan ini adalah `kadap lawan tarang`, antara `gelap musuh terang`, antara `kebenaran musuh kebatilan. Yang memang sudah nash Qur`an juga sampai kiamat nanti, akan terus bertarung antara kebenaran musuh kebatilan ini. Dan barulah saatnya nanti (qiamat), kedua-duanya akan hancur lebur atau mati.
Analog juga dengan filsafat cina: yang dilambangkan dengan bulatan, yang separo terang dan yang separo gelap. Atau unsur yin dan yang. Hanya saja kalau di filsafat cina ini, dipahami bahwa seputih-putihnya, ada gelap sedikit. Dan segelap-gelapnya ada terang sedikit. Kenisbian gelap dan terang ini yang ditonjolkan.
Artinya tidak ada yang benar mutlak dan tidak ada yang salah mutlak. Tapi Datuk sanggul mengingatkan, semua majaz harus dipandang. Semua wujud atau semua bentuk tetap harus dipandang, tetapi, simpur balakun hanya saorang. Hakekatnya, semua pekerjaan itu berasal dari si Dalang (hanya seorang).
“La haula wala quwata ila billah” ~ Tidak ada daya dan kekuatan melainkan hanya dari Allah semata. (Tauhid)
[14] Samar, Bagung si Nalagaring
Si Jambulita suara nyaring
Ampat isyarat amatlah panting
Siapa hendak mencari hening
Serba empat yang terakhir yang diceritakan Datu Sanggul adalah 4 punakawan (4 hamba) dalam wayang yaitu,`Semar, Bagong, dan Nologareng (Gareng),`serta` Si Jambulita suara nyaring`yaitu `Petruk` yang rambutnya njambul itu. Mungkin ini bisa dipahami satu tahapan akhir dalam proses manusia yang mencari kebenaran yaitu proses `penghambaan diri` pada Allah, atau `Hamba Allah` atau “Abdullah”.
Serba empat menurut Datuk Sanggul sangatlah penting,`Ampat isyarat amatlah panting` bagi Siapa yang hendak mencari hening atau bagi siapa saja yang hendak mencari kebenaran`.
Kututup dengan ucapan syukurku “Alhamdulillah” pada Allah, pada Nabi Muhammad dan pada Syekh Abdul Jalil atau Datu Sanggul, yang telah memberikanku petunjuk, pengertian dan pemahaman.
Ada kesalahannya, semata-mata adalah karena kedholiman diriku ini, yang tidak mampu memberikan keterangan.
0 Komentar