Istilah rawayan jati semakna dengan shirath, intelek kosmos, atau konsep sangkan paraning dhumadi dari teologi Jawa, yaitu kesadaran religius manusia di dunia, dari mana awal dan ke mana akhir keberadaannya. 

Indikator yang digunakan adalah alur teologi Islam dengan pendekatan moral, hal ini yang tercermin dalam pandangan hidup orang Sunda adalah monoteisme atau Sanghiyang Tunggal, Nu Maha Ngersakeun.

Agama Islam berperan sebagai lokomotif peradaban manusia yang bermartabat untuk mencapai innalilahi wa inna ilaihi raji'un, pandangan hidup orang Sunda, yaitu mulih ka jati mulang ka asal, congo nyusup dina puhu, yang menghela gerbong-gerbong kesadaran religius setiap insan dalam meniti Rawayan Jati-nya. Adapun rantai kaitan gerbong-gerbong itu adalah akhlak muslim yang mulia.  Semoga saja sang lokomotif tidak berubah fungsi menjadi buldozer yang menyeruduk ke sana-kemari, dan menimbulkan kerusakan di dunia.

Metode bersosialisasi yang nyunda ada tiga aspek yaitu silih asih atau silaturahim yang bening, silih asah atau saling mencerdaskan akal pikiran lahir batin, dan silih asuh atau sadar posisi, proporsional dan profesional. Indikator keberhasilannya adalah manusia Sunda anu cageur, bageur, bener, pinter, wanter, teger, pangger, singer, cangker.

Manakala orang mempertanyakan hakikat (ontologi) kesundaan, Abah Surya memberikan empat tipologi.

1) Sunda subjektif. Seseorang berdasarkan pertimbangan subjektifnya merasa bahwa dirinya adalah urang Sunda, maka dia adalah urang Sunda. 


2) Sunda objektif. Seseorang dianggap orang lain sebagai urang Sunda, maka orang tersebut sepantasnya mampu mengartikulasikan anggapan orang itu bahwa dirinya orang Sunda. 


3) Sunda genetik. Seseorang yang secara keturunan memiliki silsilah urang Sunda pituin. 


4) Sunda sosio-kultural. Orang yang walaupun secara genetik bukan orang Sunda, tetapi menjadikan falsafah dan kebudayaan Sunda sebagai haluan hidupnya.

Islam Sunda dan Sunda Islam dijadikannya "satu tarikan napas" tanpa satu sama lain saling menegasikan. Dalam kerangka ilmunya (epistemologi) dipadukan tak ubahnya gula dan peueutna. Membaca "Nurhidayahan" (dan "Nadoman Nurul Hikmah") apalagi kalau diiringi kecapi suling alam bawah sadar, kita seakan dibawa tidak dalam imajinasi "Islam Arab padang pasir", tetapi justru ke lingkungan Pasundan yang rimbun dengan padang rumput dengan segala nuansa mistis-mitologisnya, dengan segala keramahannya.

Islam dan Sunda menjadi sebuah kearifan perenial tempat orang mencari kebahagiaan dan kesenangan setelah sebelumnya melakukan fase-fase tirakat :

  • sirna ning cipta (hirup darma wawayangan/subhanallah). 
  • sirna ning rasa (ngertakeun bumi lamba/alhamdulillahi rabbil alamin).
  • sirna ning karsa (hirup dinuhun, paeh dirampes/bismillahirrahmanirrahim).
  • sirna ning karya (muga bareng jeung parengna. Malati lingsir ku wanci, campaka ligar ku mangsa/insya Allah).
  • sirna ning diri (henteu daya teu upaya/la haula wa la quwwata illa billahil adhim).
  • sirna ning hurip (sapanjang maluruh batur kuring deui kuring deui sapanjang neangan kuring batur deui batur deui/assalamu alaikum wa rahmatullohi wa barakatuh).
  •  sirna ning wujud (rengse pancen dipigawe, tutas tugas dipilampah/Q.S. 6: 162-163).
  • sirna ning dunya (mulih ka jati mulang ka asal/astagfirullahal adhim).
  • sirna ning pati (congo nyurup dina puhu, dalitna kuring jeung Kuring/inna lillahi wa inna ilaihi rajiun). Congo nyurup dina puhu/mulih ka jati mulang ka asal/sirnaning pati