Di dalam Al Quran Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah [2]: 183).

Demikian pula beberapa ayat setelahnya, Allah Ta’ala menyebutkan dalam ayat yang mulia ini bahwa Dia telah mewajibkan puasa atas umat ini sebagaimana yang telah Allah Ta’ala wajibkan atas umat-umat sebelumnya. Lafadz (كتب) dalam ayat di atas bermakna (فرض) [diwajibkan]. Puasa diwajibkan atas umat ini dan juga umat-umat sebelumnya.



Sebagian ulama berkata tentang tafsir ayat di atas, ”Ibadah puasa diwajibkan bagi para Nabi dan bagi umat mereka, sejak Adam hingga akhir zaman.” Allah menyebutkan yang demikian itu karena sesuatu yang berat untuk dikerjakan, akan terasa mudah dan lebih menenangkan jiwa manusia jika dikerjakan oleh banyak orang. Oleh karena itu, puasa diwajibkan atas seluruh umat manusia, meskipun berbeda tata cara dan waktu pelaksanaannya?

Merujuk keterangan di atas, dalam kearifan lokal di manuskrip Pakuning Alam, kewajiban berpuasa setelah Nabi Adam melakukan perjalanan astral dari alam padang (dunia) ke alam kalanggengan, dan kembali lagi ke alam Padang (dunia) :

- Dari alam kalanggengan Adam kembali, kembali ke alam Padang (dunia) terus melakukan puasa lamanya 30 windu, Nabi Adam terus bersama dengan Hawa, selama dengan Hawa, Hawa hanya beranak-pinak, cuma anak-anaknya tidak ada tersisa. Hawa banyak sekali berputra, tapi semuanya meninggal, tidak ada yang hidup, Sesudah itu Nabi Adam meminta kepada Yang Maha Agung, meminta disisakan umatnya.

- Hyang Maha Agung nyabda : "Hei, Adam, kalau umatmu tidak banyak yang mati, tidak ada yang tersisa sekarang diturunkan tapanya/puasanya tiga tahun saja". Dari sana puasanya tiga tahun saja, tapi tetap banyak yang tidak kuat.

- Nabi Adam meminta lagi : Minta bertobat, minta diturunkan lagi puasanya. dan diturunkan lagi puasanya, dan itu yang mesti dilakukan untuk umat sebelumnya dan umat adam semuanya. Tetapnya selama 30 malam dan 30 harinya, jadi selama sebulan puasanya. selama sebulan tidak boleh makan dan minum. Dalam setahun cuma sekali, tapana/puasana itu sebulan, baru umatnya tidak mati. Sesudah itu Nabi adam bersabda : "umat kedepan sebulan tapanya/puasanya wajib dilakukan!!" (1)

Ashadu sahadat bawa ngajadi, sahadat batin manusa, malaikat dat maring Allah, metuna ti Ratu Galuh, Medal ti Adam nu ngajadi, tina Hawa dhat nu opat, metuna ti kuncung Agung, medal cahyaning Allah, dina sir acining putih, jasad sukma rohing nyawa. Laa ilaha ilaAllah, muhammadur rosulullaah.


Sejarah Puasa Sebelum dan Pada Masa Nabi
Dalam al-Qur’an disebutkan tentang perintah berpuasa, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS 2: 83). Perintah puasa ditujukan kepada orang-orang yang beriman dan dimaksudkan untuk menjadikan mereka pribadi-pribadi yang luhur dan bertakwa.

Perintah puasa bukan merupakan hal yang baru dan khusus bagi umat Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam. Hal ini telah diperintahkan dan telah dilakukan juga oleh umat-umat terdahulu. Kita tidak mengetahui secara persis tata cara berpuasa yang dilakukan oleh orang-orang di masa lalu, tetapi kita bisa menemukan beberapa cuplikan tentang puasa ini di dalam Alkitab misalnya.

Merujuk pada Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) disebutkan adanya perintah berpuasa baik yang dilakukan pada bulan tertentu atau pun puasa yang secara khusus dilakukan untuk mendekatkan diri padaTuhan. Di dalam Hakim-Hakim 20: 26 misalnya disebutkan: “Kemudian pergilah semua orang Israel, yakni seluruh bangsa itu, lalu sampai di Betel; di sana mereka tinggal menangis di hadapan Tuhan, berpuasa sampai senja pada hari itu….” Di bagian lain, pada masa pemerintahan Daud a.s, disebutkan bahwa mereka “berpuasa sampai matahari terbenam” (2 Samuel 1: 12).

Ayat yang lain lagi menyebutkan bahwa masyarakat Yerusalem dan sekitarnya diperintahkan untuk berpuasa pada bulan kesembilan (Yeremia 36: 9).

Umat Islam pada hari ini juga berpuasa pada bulan Ramadhan yang merupakan bulan kesembilan dalam penanggalan hijriah.Mereka dahulu diperintah berpuasa antara lain untuk “membuka belenggu-belenggu kelaliman” (Yesaya 58: 6). Amalan puasa juga terus dipraktekkan hingga kemasa Yesus (Nabi Isa ‘alaihissalam) dan juga dipraktekkan oleh beliau sendiri (lihat misalnya Matius 3: 1-2).

Jadi amaliah puasa merupakan hal yang sudah dijalankan sejak lama oleh umat manusia.Bahkan sebenarnya bukan hanya manusia, hewan-hewan pun banyak yang melakukan puasa pada momen-momen tertentu hidupnya yang kadang menjadi sebuah proses transformasi pada hewan-hewan ini.

Di kalangan masyarakat Arab, khususnya orang-orang Quraisy, kebiasaan berpuasa bukan sesuatu yang sama sekali asing. Di dalam Shahih Bukhari sebagai mana diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha disebutkan bahwa sejak jaman jahiliyah, orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah juga biasa melakukannya.Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau juga memerintahkannya kepada kaum Muslimin, hingga datangnya perintah berpuasa di bulan Ramadhan. Sejak saat itu puasa Asyura’ menjadi sesuatu yang sunnah bagi kaum Muslimin.

Puasa di bulan Ramadhan baru diperintahkan pada tahun ke-2 setelah Hijrah Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam ke Madinah. Pada bulan Ramadhan tahun itu juga terjadi perang besar yang pertama di antara kaum Muslimin dan musyrikin Makkah, yaitu ghazwah al-Badr. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami berperang dalam dua pertempuran bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadhan, yaitu pada hari Badrdan Fathu Makkah (penaklukkan Kota Makkah), maka kami tidak berpuasa pada kedua hari itu” (HR Turmidzi, dikatakan status hadits ini dhaif).

Di dalam Tarikh Thabari (Jil.2, hlm. 417) disebutkan bahwa perintah berpuasa di bulan Ramadhan telah diumumkan sejak bulan Sya’ban pada tahun tersebut.Begitu pula satu atau dua hari sebelum Iedul Fitri pada tahun itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabat untuk mengeluarkan zakat fitrah. Dan pada hari Ied, Nabi dan para Sahabat keluar untuk mengerjakan solat Ied. Ketika itulah hal-hal tersebut dilakukan untuk pertamakalinya di tengah kaum Muslimin di Madinah. Pada bulan itu juga, kurang lebih pada tanggal 17 Ramadhan, kaum Muslimin berperang menghadapi musyrikin Makkah di Badr. Allah memberi mereka kemenangan besar di Badr, sehingga mereka menyambut Hari Raya Iedul Fitri pada tahun itu dengan dua kemenangan.Menurut Ibn Katsir di dalam kitab tarikh-nya, Al-Bidayahwa-l-Nihayah (Jil. 5, hlm. 54), zakat atas harta yang telah jatuh nishab-nya juga ditetapkan pada tahun ke-2 ini.

Sejak turunnya perintah berpuasa tersebut hingga ke hari ini, kaum Muslimin selalu melaksanakan kewajiban puasa, menahan lapar dan dahaga serta menahan hawa nafsu, sejak subuh hingga waktu maghrib sepanjang 29 atau 30 hari bulan Ramadhan. Tidak ada yang tidak menjalankannya kecuali orang-orang yang memiliki udzur syar’i di antara mereka atau orang-orang yang ada penyakit di hatinya (yang terakhir ini pun biasanya tidak melakukan pelanggarannya secara terbuka).

Banyak peristiwa penting terjadi pada bulan ini. Selain Perang Badar, sebagaimana telah disinggung di atas, peristiwa penaklukkan Kota Makkah juga terjadi pada bulan Ramadhan. Sekitar tanggal 10 Ramadhan tahun 8 Hijriah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat meninggalkan Madinah menuju Makkah bersama 10.000 tentara. Seminggu kemudian mereka memasuki Makkah dan menguasainya nyaris tanpa pertempuran (al-Mubarakfury, hlm. 547-556).Dengan begitu, seolah-olah Ramadhan menjadi pembuka dan penutup terjadinya peperangan besar antara kaum Muslimin Madinah dan kaum musyrikin Makkah pada masa itu.

Begitu pula halnya, ibadah puasa Ramadhan pada hakikatnya merupakan satu bentuk peperangan besar antara diri kita dan hawa nafsu.Dan ketika kita berhasil memenangkan peperangan itu, kita pun merayakan ke-fitri-an diri tepat setelah keluar dari madrasah Ramadhan. Setiap kali kita berbuka puasa (fathara), tubuh kita dalam keadaan siap menerima makanan dengan rasa nikmat yang besar. Saat kita kembali kepada fitrah di penghujung Ramadhan, jiwa kita semestinya juga dalam keadaan siap sepenuhnya untuk menerima curahan ilmu, iman, serta kasih saying dari-Nya. Sehingga ruhani kita pun bisa tumbuh sehat dan naik tinggi kepada-Nya. (2)



Kapankah Puasa Ramadhan Diwajibkan Kepada Umat Manusia?

Allah Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah [2]: 183).

Demikian pula beberapa ayat setelahnya, Allah Ta’ala menyebutkan dalam ayat yang mulia ini bahwa Dia telah mewajibkan puasa atas umat ini sebagaimana yang telah Allah Ta’ala wajibkan atas umat-umat sebelumnya. Lafadz (كتب) dalam ayat di atas bermakna (فرض) [diwajibkan]. Puasa diwajibkan atas umat ini dan juga umat-umat sebelumnya.

Sebagian ulama berkata tentang tafsir ayat di atas, ”Ibadah puasa diwajibkan bagi para Nabi dan bagi umat mereka, sejak Adam hingga akhir zaman.” Allah menyebutkan yang demikian itu karena sesuatu yang berat untuk dikerjakan, akan terasa mudah dan lebih menenangkan jiwa manusia jika dikerjakan oleh banyak orang. Oleh karena itu, puasa diwajibkan atas seluruh umat manusia, meskipun berbeda tata cara dan waktu pelaksanaannya.

Sa’id bin Jubair berkata, “Dahulu, puasa yang diwajibkan atas umat sebelum kami adalah dari waktu ‘atamah (waktu shalat ‘Isya) sampai malam berikutnya, sebagaimana dalam awal-awal Islam.”

Al-Hasan berkata, “Puasa Ramadhan dulu diwajibkan atas orang-orang Yahudi. Akan tetapi, mereka meninggalkannya dan berpuasa pada satu hari dalam setahun dan menyangka bahwa hari itu adalah hari ditenggelamkannya Fir’aun. Padahal mereka berdusta dalam hal tersebut, karena hari (ditenggelamkannya Fir’aun) tersebut adalah hari ‘Asyura (tanggal 9 Dzulhijjah) (sehingga puasa yang mereka lakukan tidak dapat menggantikan kewajiban puasa yang Allah wajibkan bagi mereka, pen.).

Puasa juga diwajibkan atas umat Nashrani, dan hal ini berlangsung lama. Sampai suatu ketika, Ramadhan ketika itu bertepatan dengan cuaca yang sangat terik. Puasa ketika itu menyebabkan mereka mendapatkan kesulitan saat bepergian atau pun saat mencari nafkah. Akhirnya, para ulama Nasrani bersepakat untuk mem-paten-kan bulan puasa antara musim dingin dan musim panas. Pilihan jatuh pada musim semi. Akhirnya, puasa di bulan Ramadhan dipindah ke musim semi sehingga waktunya paten dan tidak berpindah-pindah musim. Saat mereka menggeser bulan pelaksanaan puasa wajibnya, mereka mengatakan, ‘Tambahkan puasa selama sepuluh hari sebagai kaffarah atau penebus dosa karena telah menggeser bulan puasa’.”

Dan firman Allah Ta’ala (yang artinya), ”agar kamu bertakwa”, maksudnya adalah dengan sebab berpuasa. Puasa menyebabkan ketakwaan karena menundukkan hawa nafsu dan syahwat.

Pada awal-awal Islam, umat Islam boleh memilih antara berpuasa atau membayar fidyah, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah [2]: 184).

Adanya pilihan tersebut (antara berpuasa atau membayar fidyah) kemudian dihapus dengan mewajibkan puasa itu sendiri dengan adanya firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al Baqarah [2]: 185).

Hikmahnya adalah adanya tahapan-tahapan dalam perintah syari’at dan kelemah-lembutan terhadap umat manusia. Ketika mereka belum terbiasa berpuasa, jika langsung diwajibkan berpuasa dari awal, maka hal itu akan memberatkan mereka. Oleh karena itu, mereka boleh memilih terlebih dahulu antara berpuasa atau membayar fidyah. Kemudian ketika keyakinan mereka sudah menguat, jiwa-jiwa mereka sudah siap, dan sudah terbiasa berpuasa, maka wajib bagi mereka untuk berpuasa (tidak ada pilihan yang lain). Demikianlah syariat Islam lainnya yang berat semacam itu, akan disyariatkan secara bertahap (tadarruj).

Akan tetapi yang benar bahwa ayat tersebut (tentang pilihan untuk berpuasa atau membayar fidyah) hanya dihapus untuk orang yang mampu berpuasa. Adapun bagi orang yang tidak mampu berpuasa, karena tua renta atau sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, maka ayat tersebut masih berlaku (tidak dihapus) untuk mereka. Mereka boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap satu hari yang ditinggalkan. Dan mereka tidak wajib meng-qodho’ (membayar hutang) puasa.

Adapun selain mereka, maka wajib berpuasa. Barangsiapa yang tidak berpuasa karena sakit atau bepergian (safar), maka wajib bagi mereka untuk meng-qodho’ puasa karena firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah [2]: 185).

Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun kedua hijriah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa selama sembilan kali Ramadhan. Sehingga jadilah puasa Ramadhan sebagai kewajiban dan salah satu rukun Islam. Barangsiapa yang mengingkari wajibnya puasa Ramadhan, maka dia telah kafir. Barangsiapa yang tidak berpuasa tanpa udzur, dan dia mengakui kewajiban puasa, maka dia telah melakukan dosa yang sangat besar dan wajib mendapatkan hukuman. Wajib pula baginya untuk bertaubat dan meng-qodho’ hari yang ditinggalkan. [3]

Salam Santun..
Selesai diterjemahkan di pagi hari, Sint-Jobskade Rotterdam NL, Sabtu 5 Sya’ban 1436
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penerjemah: M. Saifudin Hakim


Sumber
(1) Manuskrip Pakuning Alam
(2) Penulis buku “Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III
[3] Diterjemahkan dari: Ittihaaf Ahlil Imaan bi Duruusi Syahri Ramadhan, karya Syaikh Dr. Shalih Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Daar ‘Ashimah Riyadh KSA, cetakan ke dua, tahun 1422, hal. 128-130.