Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisaa’: 69)

Bagi orang yang belum mengenal apa itu Ilmu Tasawuf atau sufi tentu akan merasa asing untuk keduanya, karena tidak tahu orang cendrung untuk menjauhi atau enggan untuk mempelajarinya bahkan sampai mengejeknya. Hal ini serupa dengan awal kedatangan Islam tempo dulu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Permulaan Islam ini asing, dan akan kembali asing pula, maka gembiralah orang-orang yang dianggap asing (orang-orang Islam).” (HR Muslim)

Kaum Sufi bukanlah sekelompok aliran bid’ah yang ajarannya masih saja diperdebatkan, namun dalam memahami Ilmu kesufian hati perlu benar-benar bersih dan jeli untuk menangkap doktrin-doktrin yang diajarkan dalam sufi itu sendiri dengan catatan tidak melenceng dari Islam. Tanpa didampingi ilmu sebagai manusia terlalu gampang untuk mencoreng, mencela dan berprasangka buruk terhadap sesama. Dalam sebuah hadits Nabi SAW bersabda, “Hati-hatilah kalian terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu merupakan perkataan yang paling dusta.” (HR Bukhari-Muslim)

Ilmu kesufian atau Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang didasari oleh Al-Qur’an dan hadits dengan tujuan utamanya amar makruf nahi munkar. Sejak jaman sahabat Nabi SAW, tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah ada. Namun nama sufi dan ilmu tersebut belum muncul, sebagaimana ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Hadits, Ilmu Kalam, Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqh dan lain sebagainya. Barulah pada tahun 150 H atau abad ke-8 M Ilmu Sufi atau Ilmu Tasawuf ini berdiri sebagai ilmu yang berdiri sendiri yang bersifat kerohanian.

Kontribusi Ilmu Tasawuf ini banyak dibukukan oleh kalangan orang-orang sufi sendiri seperti Hasan Al-Bashri, Abu Hasyim Shufi Al-Kufi, Al-Hallaj bin Muhammad Al-Baidhawi, Sufyan ibn Sa’id Ats-Tsauri, Abu Sulaiman Ad-Darani, Abu Hafs Al-Haddad, Sahl At-Tustari, Al-Qusyairi, Ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat, Basyir Al-Haris, As-Suhrawardi, Ain Qudhat Al-Hamadhani dan masih banyak yang lainnya hingga kini terus berkembang.

Dalam praktek realisasi ilmu sufi, khususnya tempo dulu, mutasawwif (orang sufi) memerlukan adaptasi yang amat sangat. Hal ini agar mampu untuk menarik orang-orang yang belum masuk muslim dengan jalan tanpa kekerasan dan paksaan, dengan kata lain berdakwah yang tidak keluar dari tujuan utama yang membuktikan akan cintanya kepada Maha Pencipta yakni Allah SWT.

Di sisi lain orang-orang sufi menjauhkan diri dari hal keduniaan yang dapat menghijab antara hamba-Nya dengan Allah SWT dalam beribadah. Di sinilah Sufi mulai mengembangkan metode-metode bagaimana cara untuk membersihkan jiwa, pembinaan lahir batin, berdzikir, mendekatkan diri pada Allah, membangun jiwa mulia dalam mengenal Allah atau berma’rifat. Selain itu berintrospeksi diri, siapa diri ini sebenarnya, sesuai dengan hadits Nabi SAW, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu, (Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya).”

Jelas bahwa Ilmu Tasawuf dan sufi adalah merupakan salah satu ilmu dalam Agama Islam yang sangat halus dan mendalam yang mampu menembus alam batin serta sulit sekali untuk diilmiahkan dan diterangkan secara konkret. Hal ini bukan berarti tidak dapat dibuktikan secara ilmiah namun seseorang yang memiliki kebersihan hati dan kecerdasan yang luar biasa yang mampu mecahkannya. Sebab “Al-Islaamu ‘ilmiyyun wa ‘amaliyyun, (Islam adalah ilmiah dan amaliah)” (HR Bukhari)

Karena halusnya ilmu ini, persoalan-persoalan di dalamnya bagi orang awam dapat menimbulkan khilafiyah (perbedaan) dan pertentangan-pertentangan. Tapi inilah keindahan Islam, berlomba dalam kebaikan selama tidak menyimpang dari aturan Islam.

Dalam kitab Ta’yad Al-Haqiqtul ‘Aliyya hal. 57, salah seorang ulama fiqh dan ahli tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi berkata, “Tasawuf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti sunnah Nabi dan meninggalkan bid’ah.”

Sedangkan Al-Junaid, seorang pimpinan tokoh sufi mazhab moderat yang berasal dari Baghdad, menyatakan tentang ilmu kesufian dalam syairnya, “Ilmu sufi (tasawuf) adalah benar-benar ilmu, yang tidak seorang pun dapat memperolehnya, kecuali dia yang dikarunia kecerdasan alami, dan berbakat untuk memahaminya. Tak seorang pun dapat berpura menjadi sufi, kecuali dia yang melihat rahasia nuraninya.”

Ilmu Tasawuf dan sufi adakalanya orang mencap sebagai ilmu kolot, ketinggalan jaman, usang, bahkan disebut aneh. Akan tetapi di balik itu semua bahwa Ilmu Tasawuf memiliki kekuatan yang sungguh luar biasa untuk lebih mengenal Tuhan serta membangun mental dan akhlak yang mulia. Yang perlu diperhatikan kenapa orang dapat menjadi sesat dan madlarat dalam mempelajari dan mengamalkan Ilmu Tasawuf. Sehingga ia menjadi orang yang apatis atau mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat dan keluarga, meninggalkan keduniaan yang padahal di dunia ini adalah sebagai ladang amal dalam berbuat kebajikan untuk bekal di hari kemudian. Hal demikian dapat terjadi kesesatan pada diri seseorang dengan mempelajari ilmu Tasawuf tetapi tanpa didampingi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) dan Ilmu Fiqh.

Menurut Imam Malik (94-179 H/716-795 M), “Man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq, (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelajari tasawuf dan fiqih dia meraih kebenaran).” Dengan demikian bahwa Ilmu Tasawuf dan Ilmu Fiqh umpama dua jemari yang tak dapat dipisahkan, dan tidak untuk diabaikan dimana keduanya sama-sama penting suatu perpaduan antara akal dan hati.

Jadi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) atau Ilmu Tauhid, bahwa Allah SWT itu ada dan memercayainya sebagai Tuhan yang wajib disembah. Ilmu Kalam ini adalah Ilmu pokok-pokok kepercayaan dalam agama Islam. Selain itu pula untuk menghindari dari kemusyrikan serta memperkuat akan tauhidullah sebagai esensi akidah Islam. Ilmu Fiqh, pemahaman tentang syariat-syariat Islam berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan lautan ilmu yang meluas secara horizontal. Sedangkan dalam Ilmu Tasawuf adalah mengatur kesempurnaan hubungan dengan Allah dan juga sebagai ilmu yang mampu menembus vertikal kedalam. Dengan mempelajari ketiganya maka akan kuatlah Iman, Islam dan Ihsan kita yang merupakan kesempurnaan dalam Islam, sebagai wujud mempelajari Ilmu Tauhid, Fiqh dan Tasawuf.

Tasawuf berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad SAW. gaya hidup sederhana, tetapi penuh kesungguhan. Akhlak Rasul tidak dapat dipisahkan serta diceraikan dari kemurnian cahaya Alquran. Akhlak Rasul itulah titik tolak dan garis perhentian cita-cita tasawuf dalam Islam itu. Zhunnun al-Misri (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M, seorang sufi yang terkemuka, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tasawuf ialah pembebasan dari ragu dan putus asa, kemudian tegak berdiri beserta yakin iman. Pengertian yang simpang siur tentang urat bahasa sufi dan tasawuf menimbulkan pengiraan bahwa tasawuf Islam mencakup pula bahan-bahan sufi Yunani dan mistik, serta Hindu Farsi. Pandangan tersebut merupakan pengiraan yang keliru dan mengelirukan. Terlepas dari adanya pengakuan jujur tentang adanya persamaan yang tampak lahirnya, ataupun mengenal istilah-istilah dan cara-cara melatih jiwa.

Di dalam tasawuf Islam ditemukan ciri-ciri yang istimewa; yaitu pengembalian dengan cara mutlak segala persoalan agama dan kehidupan kepada Al Quran dan Sunnah.

Dan yang mungkin menjadi ahli tasawuf itu hanyalah barang siapa yang mengetahui keseluruhan Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena itu yang sebenarnya tasawuf adalah kefanaan diri ke dalam kemurnian al Quran dan Sunnah.

Abdul Hasan Al Fusyandi, seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasan Al Bisri (w. 110H./728 M.) mengatakan, “Pada zaman Rasulullah saw, tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya.”

Pernyataan ulama dari kalangan tabi’in ini bisa menjadi acuan untuk menjawab salah satu pernyataan dari sebgian kalangan yang mengatakan bahwa tasawuf itu bid’ah. Memang benar, tidak ada istilah tasawuf pada zaman Rasulullah saw. Namun, realitasnya ada dalam kehidupan dan ajaran Rasulullah saw. seperti sikap Zuhud, Qona’ah, Taubat, Rido, Sabar, dll. Kumpulan dari sikap-sikap mulia seperti ini dirangkum dalam sebuah nama yaitu Tasawuf. Oleh sebab itu, ketika Imam Ahmad menulis buku tentang tasawuf, beliau tidak memberi nama kitab itu dengan Kitaab At-Tasawuf. Akan tetapi, beliau memberi nama kitab itu dengan Kitaab Az-Zuhud (Kitab tentang Zuhud).

Kalau kita cermati isi kitab tersebut, hampir seluruh isinya membicarakan persoalan-persoalan yang ada dalam kajian tasawuf. Kita tidak perlu mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya. Dalam mengarungi hidup, kita harus punya jiwa zuhud, qona’ah, taubat, muraqabatullah, ‘iffah, dll. Anda boleh memberi nama untuk sederet istilah itu dengan nama Tasawuf. Namun kalau anda tidak suka dengan istilah Tasawuf dengan alasan istilah tersebut tidak dipakai pada zaman Rasulullah saw, pakai saja istilah lain seperti yang digunakan Imam Ahmad yaitu ilmu zuhud. Yang pasti, materi yang dibahas dalam ilmu zuhud dan ilmu tasawuf substansinya sama, yang berbeda hanyalah nama.

Seorang tokoh Sufi modern, Al Junaid Al Baghdadi (w. 289H.) menyebutkan bahwa, “Tasawuf adalah riyadhah (latihan) membebaskan hati dari hayawaniyyah (sifat yang menyamai binatang) dan menguasai sifat basyariah (kemanusiaan) untuk memberikan tempat bagi sifat-sifat kerohanian yang suci, berpegang pada ilmu dan kebenaran, dan benar-benar menepati janji terhadap Allah swt, dan mengikuti sunnah Rasulullah saw.”

Jadi kalau kita mencermati definisi diatas, bisa kita simpulkan bahwa tasawuf adalah latihan untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat kebinatangan dan mengisinya dengan akhlak mulia melalui pelaksanaan ajaran agama yang benar dengan mengikuti apa yang disunnahkan Rasulullah saw, dan apa yang sudah digariskan kalamullah yaitu al Qur,an al Karim.

Masihkah kita berdebat bahwa tasawuf itu bid’ah? lalu sesatnya dimana.