Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhihin iku Ingsun, ora ana Pangeran anging Ingsun sajatining kang urip luwih suci, anartani warna, aran, lan pakartining-Sun (dzat, sipat, asma, afngal).

Bahasa Jawa di atas memiliki arti sebagai berikut : Sesungguhnya tidak ada apa-apa, sejak masih awang-uwung (suwung, alam hampa) belum ada suatu apapun, yang ada pertama kali adalah Ingsun, tidak ada Tuhan kecuali Aku (Ingsun) sejatinya hidup yang lebih suci, mewakili pancaran dzat, sifat, asma dan afngal-Ku (Ingsun).

Kalau menilik dari kata-kata tersebut, maka kita akan bisa mawas diri tentang keberadaan kita sebagai manusia. Kita ini siapa, darimana dan nantinya bakal ke mana. Ketika terlahir ke alam dunia, manusia masih berbentuk bayi dan tidak membawa satu lembar kain pun. Saat menjadi bayi itu, kita yang semula tidak perlu disuapi ketika masih berada di dalam perut ibu, sudah mulai diperkenalkan dengan kejamnya dunia. Dimana kita harus menangis meronta-ronta untuk bisa mendapatkan makanan dengan cara disuapi ibu.

Namun ketika kita menginjak pada masa kanak-kanak, tidak ada hal-hal terindah yang menghiasi kehidupan ini selain bermain dan bermain bersama teman-teman sebaya. Bahkan ketika melihat sungai, kali ataupun empang yang ada di sekitar rumah kita, maka kita yang masih kanak-kanak ketika itu melihat keindahan yang luar biasa. Kita melihat anugerah GUSTI ALLAH yang Maha Besar lewat alam semesta yang diciptakan. Maka, jangan heran ketika kita melihat gunung, pantai dan lainnya, pandangan kanak-kanak kita akan mengagumi keindahan alam Sang Pencipta itu.

Waktu pun beranjak dan terus berlalu. Akhirnya masa kanak-kanak kita berganti dengan masa remaja. Di masa remaja inilah kita sudah mulai menerima unsur-unsur positif dan negatif dari lingkungan. Tragisnya, di masa ini kita masih belum bisa memilah-milah mana yang benar dan mana yang salah. Semuanya ditelan mentah-mentah. Di masa inilah pembentukkan jiwa terjadi. Kalau yang dominan unsur negatif, maka seseorang di masa depannya akan diwarnai dengan perilaku yang negatif. Tetapi kalau unsur positif yang banyak masuk, maka kehidupan orang tersebut di masa depan akan menjadi lebih terang dan terarah.

Ketika kita mulai menginjak masa dewasa dan sudah memutuskan untuk menikah, maka keindahan alam semesta ciptaan GUSTI ALLAH yang ketika masa kanak-kanak kita saksikan, akhirnya musnah. Yang ada adalah berganti dengan pandangan duit, duit dan duit. Kita disibukkan untuk mencari harta dunia. Semua yang kita lakukan semata-mata adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Harta dunia itulah yang mulai menghalang-halangi pandangan kita terhadap keberadaan GUSTI ALLAH.

Buktinya, walaupun kita shalat, meditasi, tafakur ataupun semedi, kadangkala yang tampak di depan kita hanyalah persoalan-persoalan yang berkutat pada duit. Pertanyaan besar yang muncul, DULU KITA INI SIAPA, PUNYA APA DAN SEKARANG KITA PUNYA APA?

Jawabannya mudah, dulu kita ini bayi, kanak-kanak, remaja tidak punya apa-apa. Tetapi ketika dewasa dan berumahtangga, kita "DITITIPI" oleh GUSTI ALLAH dengan anak, istri dan harta benda. Tragisnya, kita malah bangga dengan harta benda yang kita peroleh. "Kekayaan ini adalah hasil kerja kerasku selama ini," ujar kita meski dalam hati.

Tidak, sekali-kali tidak. Harta benda, anak, istri dan apapun yang kita miliki di dunia ini bukanlah milik kita. Itu sekedar "TITIPAN" Sang Kuasa. Kalau Anda merasa memiliki semuanya, mampukah Anda menghalang-halangi bahaya kebakaran yang akan melumat habis harta benda Anda? Mampukah kita menghalang-halangi nyawa anak kita yang akan dipanggil oleh GUSTI ALLAH? Bahkan kita sendiri tidak mampu menolak ketika nyawa kita hendak dicabut dari jasmani ini oleh Tuhan.


SEMUA MILIK GUSTI ALLAH

Pada bait di atas disebutkan kata-kata dzat, sipat, asma, afngal.

ZAT : Semua di dunia ini yang memiliki zat, itu milik GUSTI ALLAH. Coba Anda cari adakah di dunia ini yang sifatnya bukan zat?

SIFAT : Semua makhluk ataupun benda yang memiliki sifat-sifat adalah milik GUSTI ALLAH.

ASMA : Asma adalah berarti nama. Semua benda yang ada di dunia ini yang memiliki nama, adalah milik GUSTI ALLAH. Coba Anda cari makhluk ataupun benda di dunia ini yang tidak memiliki nama. Selama memiliki nama, itu kepunyaan GUSTI ALLAH.

AFNGAL : Rasa. Semua makhluk ataupun benda di dunia ini yang memiliki rasa, maka adalah milik GUSTI ALLAH.

Kembali ke pertanyaan dasar: Lalu kita ini punya apa? Jelas, tidak punya apa-apa. Ketika mati pun kita tidak akan membawa sepeser pun uang. Masihkah kita merasa sebagai makhluk yang adigang-adigung-adiguno? Jelas tidak. Kita harus pandai-pandai mepes hawa nafsu agar kita bisa kembali sebagai satria sejati. Satria sejati adalah manusia yang bisa menemukan sampurnaning urip lan sampurnaning pati (sempurnanya hidup, dan sempurnanya mati).