Setelah tujuh hari khalwat di ruang al-Fath, di bulan Ramadhan Mas Wardi Bashari keluar dengan wajah berbinar-binar memancarkan kegembiraan. Meski tampilannya kusut, namun wajahnya memantulkan suatu keluas-bebasan jiwa yang tidak diberati beban-beban yang menekan. Dan sewaktu menghadap Guru Sufi yang sedang  berbincang-bincang dengan para sufi dan salik di teras mushola, Mas Wardi Bashari mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Guru Sufi yang telah menunjukkannya ‘jalan’ Kebenaran yang haqqiqi kepadanya sampai ia menemukanNya. “Saya telah menyaksikan-Nya,  romo kyai. Saya telah sampai. Matur nuwun.”

Guru Sufi ketawa mendengar pengakuan Mas Wardi Bashari sambil memandang para sufi yang juga ketawa. Setelah itu, dengan suara lembut Guru Sufi bertanya,”Engkau telah menyaksikan apa? Engkau merasa telah sampai di mana?”

“Saya telah menyaksikan cahaya Kebenaran, romo  kyai,” sahut Mas Wardi Bashari menegaskan,”Saya telah sampai kepada-Nya. Saya sudah menyaksikan cahaya-cahaya aneka warna memancar dari qalbu saya. Saya tidak bisa menceritakan bagaimana cahaya-cahaya itu, tetapi keindahannya tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata dalam bahasa manusia,” sahut Mas Wardi Bashari menjelaskan pengalaman ruhaninya.

“Apakah cahaya yang engkau lihat ada yang merah? Kuning? Kehitaman? Putih? Hijau bening seperti kristal?” tanya Guru Sufi memancing.

“Benar sekali, romo kyai,” sahut Mas Wardi Bashari masih tertegun-tegun dicekam pesona pengalaman ruhaninya, ”Saya melihat cahaya kemerahan yang sangat menyilaukan memancar seperti kilatan petir dari kedalaman qalbu saya dan cahaya itu menyelimuti seluruh cakrawala. Apakah itu bukan cahaya-Nya?”

“Ketahuilah wahai sahabat, bahwa Allah kesucian dan keazalian-Nya diselubungi oleh tujuh puluh cahaya dan kegelapan. Syaikh Ahmad Rifa’i malah menyebut 70.000 selubung hijab cahaya dan kegelapan. Jadi jangan sekali-kali engkau menganggap jika sudah menyaksikan cahaya itu sudah sama dengan sudah melihat-Nya,” kata Guru Sufi menjelaskan.

“Tapi romo  kyai,” kata Mas Wardi Bashari berkilah,”Bukankah Allah itu  adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya  adalah ibarat misykat. Di dalam misykat itu ada Pelita. Pelita  itu ada di dalam Kaca. Kaca  itu laksana bintang berkilau yang dinyalakan dengan minyak dari  pohon yang diberkati. Pohon zaitun yang bukan di Timur atau di Barat. Yang minyaknya hampir-hampir menyala dengan sendirinya, walaupun tidak ada Api  yang menyentuhnya. Cahaya di atas Cahaya! Allah  menuntun kepada Cahaya-Nya, siapa saja yang Ia kehendaki. Allah  membuat perumpamaan bagi manusia. Sungguh Allah  mengetahui segala sesuatu. (Q.S. An Nur : 35). Bukankah ayat Qur’an ini menunjukkan bahwa Allah adalah cahaya?”

“Ketahuilah wahai salik, bahwa Allah itu dalam haqqiqat meliputi satu kesatuan Asma’, Af’al, Shifat, Dzat. Apa yang terungkap dalam Al-Qur’an surah An-Nuur ayat 35 yang engkau sitir, tiada lain adalah ungkapan tentang Af’al-Nya menerangi dan meliputi langit dan bumi. Itu artinya, ayat Al-Qur’an itu mengungkapkan tentang Dia dalam iktibar bahasa yang bisa difahami manusia. Jadi jangan ditafsir-tafsirkan dengan akal pikiranmu, tetapi fahami dengan qalbumu.  Bukankah Rasulullah Saw sudah melarang kita untuk memikirkan Dzat-Nya?” kata Guru Sufi menjelaskan.

“Lalu makna Allah sebagai cahaya dalam ayat itu apa romo kyai?” tanya Mas Wardi.

“Asma’, Af’al dan Shifat-Nya yang menyelubungi haqqiqat  Dzat-Nya yang tersembunyi dan terahasia,” kata Guru Sufi menjelaskan, “Dan ungkapan kata cahaya di dalam Surah An-Nuur: 35 itu jangan sekali-kali engkau anggap sama dengan cahaya yang engkau saksikan. Sebab Cahaya langit dan bumi yang dimaksud di dalam al-Qur’an itu tidak bisa disaksikan mata inderawi karena diselubungi beribu-ribu cahaya dan kegelapan yang menghijab-Nya.”

“Woo begitu ya romo  kyai,” sahut Mas Wardi Bashari mengerutkan kening,”Kalau begitu cahaya apa itu yang sudah saya saksikan memancar dari qalbu saya itu?”

“Syaikh Abdul Jalil al-Jawy  menjelaskan bahwa pemahaman cahaya  (nuur) itu mengikuti  limpahan anugerah yang memancar dari qalbu dan keadaannya mengikuti  kadar cahaya dalam  batinnya qalbu. Cahaya sendiri   beragam dan berbeda-beda: ada cahaya watak diri (an-nafsiyyah), ada cahaya akal (al-lubbu), ada cahaya ruh (ruhiyyah), ada cahaya qalbu (fawaid), ada cahaya titik hitam dalam qalbu (suwaidaa’ul qalb), ada pula cahaya batin yang terahasia (sirr), dan ada pula  cahaya rahasia di dalam rahasia batin (sirr al-asrar). Sirr al-Asrar itulah cahaya  yang paling agung dan paling sempurna,” kata Guru Sufi menjelaskan.

“Tapi bagaimana dengan perubahan-perubahan yang terjadi dengan cahaya-cahaya itu?”

Guru Sufi menjawab,”Tiap-tiap cahaya dari semua cahaya itu memang beragam dengan fungsi dan peran masing-masing sebagai selubung cahaya-Nya. Ketahuilah, bahwa di dalam kosmos (‘alam) senantiasa terdapat sesuatu yang bertentangan di mana yang bercahaya (nurani) selalu berlawanan dengan yang gelap (zhulmani). Dan ketahuilah, bahwa sesuatu yang gelap senantiasa berhubungan dengan sesuatu yang bersifat jasmani. Nah keragaman tiap-tiap cahaya itu berhubungan dengan tiap-tiap kegelapan yang menjadi lawannya. Demikianlah, masing-masing anasir cahaya itu eksis dalam keragamannya bersama kegelapan yang menjadi lawannya  sebagai hijab-hijab  yang menyelubungi rahasia Keberadaan-Nya.”

“Lalu cahaya aneka warna yang saya saksikan itu apa romo kyai?” tanya Mas Wardi Bashari ingin tahu.

“Itu adalah cahaya watak diri (an-nafsiyyah) yang memancar dari qalbumu,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Cahaya merah adalah pancaran dari nafsu  ammarah (an-nafs al-ammarah). Cahaya kuning adalah pancaran dari nafsu sufliya (an-nafs as-sufliyyah). Cahaya kehitaman adalah pancaran nafsu lwammah (an-nafs al-lwammah). Cahaya putih adalah pancaran nafsu muthmainnah (an-nafs al-muthmainnah). Itu artinya, engkau sudah masuk ke dalam matra alam gaib (‘alam al-ghayb) dengan melalui ketersingkapan (kasyf) alam kecil (‘alam as-shaghir) dirimu sendiri. Itu berarti, pandangan batinmu (bashirah) yang tertutup karat jiwa (al-rayn)  telah mulai sedikit tersingkap.”

“Saya mohon petunjuk, romo kyai!” kata Mas Wardi Bashari memohon.

“Ketahuilah wahai salik, bahwa di balik ketersingkapan (kasyf) pandangan batinmu (bashirah) itu masih cukup kuat peranan angan-anganmu (khayal) yang bersumber dari akalmu (‘aql) untuk memperlambat bahkan menghambat ketersingkapan (kasyf) yang lebih luas, sehingga engkau terhenti pada sekat (barzakh) yang mengantarai alam gaib dengan alam nyata,” kata Guru Sufi.

“Apakah gambaran-gambaran yang terbentuk dari cahaya-cahaya yang saya saksikan  itu adalah pantulan dari angan-angan (khayal) saya sendiri, romo kyai?” tanya Mas Wardi Bashari.

“Dalam cahaya merah engkau menyaksikan perwujudan harimau, kan?” tanya Guru Sufi.

“Benar sekali romo kyai,” sahut Mas Wardi Bashari, ”Saya saksikan harimau itu sangat ganas. Meraung-raung kelaparan seperti ingin memangsa segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Berarti, itu nafsu saya sendiri. Nafsu Ammarah. Dan perwujudan harimau itu sejatinya pantulan dari jiwa rendah saya sendiri, yaitu nafsu hewani (an-nafs al-hayawaniyyah) saya sendiri. Apakah seperti itu maknanya  romo kyai?”

“Itu benar demikian,” sahut Guru Sufi, ”Cahaya kehitaman yang engkau saksikan hanya sekilas bukan?”

“Benar romo kyai, saya hanya sekilas menyaksikan cahaya kehitaman yang lenyap ditelan kumparan cahaya kuning yang sangat terang dan meliputi segenap cakrawala kesadaran saya.”

“Itu artinya, engkau bukan golongan manusia yang kemaruk harta benda dan tidak cukup kuat terikat dengan kehidupan duniawi. Artinya, engkau tidak punya bakat menjadi orang matre yang kikir, pelit, bakhil, medhit seperti Qarun,” kata Guru Sufi tegas.

“Apakah setelah ini saya boleh khalwat lanjut ke ruang al-jihad?” tanya Mas Wardi Bashari dengan mata berbinar-binar diliputi kegembiraan dan harapan.

“Oo belum waktunya,” kata Guru Sufi datar,”Engkau justru harus pulang ke rumah dulu dan secepatnya menikah. Setelah cukup waktu hidup berumah tangga, engkau akan dipanggil untuk bisa memasuki ruang al-jihad.”

“Apa, pulang dan kawin?” Mas Wardi Bashari terhenyak kaget,”Saya sangat senang berada di sini, romo kyai. Saya sudah merasa tenang dan damai di sini. Kenapa saya harus pulang dan kawin?”

“Engkau belum bisa tenang secara paripurna, o Mas Wardi,” sahut Guru Sufi tegas, “Sebab jiwamu masih belum berdaya menghadapi kuasa nafsu sufliya yang sangat kuat memancar dari kedalaman jiwamu. Maksudnya, engkau masih banyak melewatkan waktu hidupmu dengan berimajinasi tentang hal-hal yang erotis yang merangsang syahwatmu. Justru itulah, nafsu sufliya yang masih kuat menguasaimu itu akan menjadi penghalang utama bagimu untuk melangkah ke tahap ruhani berikutnya. Jadi engkau harus melampiaskan terlebih dulu gelegak nafsu sufliya hewanimu lewat perkawinan yang sah menurut sarak.”

“Aduh benar sekali romo kyai,” sahut Mas Wardi Bashari dengan wajah tersipu malu, “Kilasan-kilasan bayangan erotis itulah yang paling sering mengganggu khalwat saya.”

“Jadi untuk mengatasi kendala itu engkau harus kawin dulu,” kata Guru Sufi ketawa.

“Waduh berarti masih jauh ya perjalanan yang akan saya tempuh untuk sampai kepada-Nya,” kata Mas Wardi Bashari kurang semangat.

“Memang masih jauh dan engkau harus mulai sadar itu,” kata Guru Sufi tersenyum, “Jangan sekali-kali engkau berangan-angan bahwa berjuang (jihad) menuju Dia itu sesuatu yang mudah dan instant dengan cukup berkhalwat 40 hari sudah sampai. Ingat-ingatlah, bahwa Rasulullah Saw berkhalwat di Gua Hira itu sejak usia 25 tahun dan baru menyaksikan Namus (Jibril) pada usia 40 tahun. Ada jedah waktu 15 tahun yang mengantarai khalwat Rasulullah Saw dari awal sampai ketersingkapan awal.”

Mas Wardi Bashari termangu-mangu mendengar penjelasan Guru Sufi. Ia faham bahwa selama ini telah keliru mengasumsikan laku ruhani sebagai sesuatu yang gampang dijalani akibat pengaruh buku-buku tentang sufisme yang sering dibacanya. Bahkan saat ia menyaksikan kilasan-kilasan cahaya nafsiyyah selama bermujahadah dan musyahadah  telah ia sangkakan secara keliru sebagai cahaya Kebenaran Ilahi.