Beberapa teman saya ketika bulan puasa kemarin mengadakan perjalanan umroh ke Mekkah. Sengaja dipilih 10 hari terakhir, katanya demi meraih Lailatul Qadr yang katanya malam ganjil setelah tanggal 20 Ramadhan. 

Ketika bertemu, saya bertanya, apa motivasi umrohnya, rata-rata mereka menjawab sama, ingin bertemu dengan Allah dan merasa bahwa ibadah di Mekkah itu rasanya khusyu’ bangeeet, rasanya kita dekaaat sekali dengan Sang Pencipta. 

Kalau kita bertanya kepada jemaah umroh, rata-rata jawabannya sama, merasa dekat dengan Allah ketika berada di Mekkah karena Mekkah adalah Baitullah, Mekkah adalah rumah Allah.

Memang Baitullah secara syariat dan bangunan simbol ada di Mekkah, tetapi Baitullah dalam arti rumah Allah secara hakikat adanya dimana???

Allah akan diprotes oleh orang lumpuh, orang cacat, orang miskin, orang yang tempat tinggalnya jauh dengan Mekkah, kalau memang rumah Allah adanya di Mekkah. Bagaimana orang-orang ini bisa ketemu Allah??? Dimana letak keadilan Allah karena orang yang ingin dekat denganNya harus jauh-jauh pergi ke Mekkah??? Apalagi ada yang bilang, bahwa ketika musim haji, Allah sedang menerima tamu di Mekkah.

Dimana Masjidil Haram Versi al Quran???

Darimana saja kamu keluar, palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram (2 : 149), dimana saja kamu berada palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram (2 : 150).
 
Apakah Masjidil Haram ini adanya di Mekkah???
Apakah kita harus selalu memalingkan wajah ke arah Mekkah???  Bagaimana dengan supir, pilot dan masinis? Ternyata kemanapun kamu menghadap, disitu ada wajah Allah (2 : 115).  Berarti Allah ada dimana-mana dan tidak terikat dengan jarak dan arah.  Tiap-tiap umat mempunyai kiblatnya masing-masing yang ia menghadapnya, maka berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebajikan (2 : 148).

Jadi Masjidil Haram adanya dimana???
Secara bangunan Masjidil Haram dimana di dalamnya ada bangunan Baitullah berada di Mekkah, dimana itu dijadikan persatuan arah kita sembahyang.  Secara hakikat Masjid berarti tempat, Haram berarti suci, Bait berarti rumah. Baitullah berada di dalam Masjidil Haram.  Rumah Allah berada di dalam tempat yang suci. Allah adanya dimana? Allah itu dekat, tidak jauh (2 : 186), dia bersama kamu dimana saja kamu berada (57 : 4), dia lebih dekat dari urat lehermu (50 : 16). 

Jadi dimana Hakikat Baitullah itu???
Hakikat Baitullah bertempat di jiwa manusia yang Haram atau suci.  Tidak semua manusia. Baitullah bertempat di diri orang-orang yang bertakwa dan berbuat baik (16 : 128).  Menjadikan diri kita Baitullah berarti perlu menjadikan diri kita menjadi tempat persinggahan yang suci.  Caranya dengan beriman, tidak mempersekutukan Allah (9 : 28) dan berbuat kebajikan (5 : 93).  Cara bertemu Allah versi Allah adalah dengan beriman dengan beramal saleh (18 : 110), dengan sungguh-sungguh (84 : 6). Itulah hakikat Baitullah yang pertama.
 
Terbukti bahwa Allah itu adil, termasuk kepada orang miskin, orang lumpuh, orang cacat dan orang yang tempat tinggalnya jauh dari Mekkah. 

Kalau masih ada orang di sekitar saya yang bilang bahwa ke Mekkah untuk bertemu dengan Allah, kalau di Mekkah rasanya kita dekat dengan Allah, saya tersenyum saja, jangan-jangan itu Allah versi pemilik Travel Haji Umroh, atau bahkan Allah versi Menteri Pariwisata Arab Saudi.

Note :
1. Angka diatas berarti reference ayat al Quran, 28:56 berarti surat ke-28 ayat ke-56, mohon dibaca langsung al Qurannya sebagai sumber kebenaran.

2. Mohon dicek kalau ada kesalahan dalam no. ayat al Quran nya untuk kesempurnaan.


Mengenal lathifah-lathifah Batin dan Tarekat Sufi

Acuan dalam pengamalan tarekat bertumpu kepada tradisi dan akhlak nubuwah (kenabian), dan mencakup secara esensial tentang jalan sufi dalam melewati maqomat dan ahwal tertentu. Setelah ia tersucikan jasmaniahnya, kemudian melangkah kepada aktivitas-aktivitas, yang meliputi:

Pertama, tazkiyah an nafs atau pensucian jiwa, artinya mensucikan diri dari berbagai kecenderungan buruk, tercela, dan hewani serta menghiasinya dengan sifat sifat terpuji dan malakuti.

Kedua, tashfiyah al qalb, pensucian kalbu. Ini berarti menghapus dari hati kecintaan akan kenikmatan duniawi yang sifatnya sementara dan kekhawatirannya atas kesedihan, serta memantapkan dalam tempatnya kecintaan kepada Allah semata.

Ketiga, takhalliyah as Sirr atau pengosongan jiwa dari segenap pikiran yang bakal mengalihkan perhatian dari dzikir atau ingat kepada Allah.

Keempat, tajalliyah ar Ruh atau pencerahan ruh, berarti mengisi ruh dengan cahaya Allah dan gelora cintanya.

1. Qasrun = Merupakan unsur jasmaniah, berarti istana yang menunjukan betapa keunikan struktur tubuh manusia.

2. Sadrun = (Latifah al-nafs) sebagai unsur jiwa

3. Qalbun = (Latifah al-qalb) sebagai unsur rohaniah

4. Fuadun = (Latifah al-ruh) Unsur rohaniah

5. Syaghafun = (Latifah al-sirr) unsur rohaniah

6. Lubbun = (Latifah al-khafi) unsur rohaniah

7. Sirrun = (Latifah al-akhfa) unsur rohaniah.

Hal ini relevan dengan firman Allah SWT dalam hadist qudsi : “Aku jadikan pada tubuh anak Adam (manusia) itu qasrun (istana), di situ ada sadrun (dada), di dalam dada itu ada qalbu (tempat bolak balik ingatan), di dalamnya ada lagi fuad (jujur ingatannya), di dalamnya pula ada syaghaf (kerinduan), didalamnya lagi ada lubbun (merasa terialu rindu), dan di dalam lubbun ada sirrun (mesra), sedangkan di dalam sirrun ada “Aku”. 



Ahmad al-Shirhindi dalam Kharisuddin memaknai hadist qudsi di atas melalui sistem interiorisasi dalam diri manusia yang strukturnya dapat diperhatikan dalam gambar di atas. Pada dasarnya lathifah-lathifah tersebut berasal dari alam amri (perintah) Allah : “Kun fayakun”, yang artinya, “jadi maka jadilah” (QS : 36: 82) merupakan al-ruh yang bersifat immaterial. Semua yang berasal dari alam al-khalqi (alam ciptaan) bersifat material.

Karena qudrat dan iradat Allah ketika Allah telah menjadikan badan jasmaniah manusia, selanjutnya Allah menitipkan kelima lathifah tersebut ke dalam badan jasmani manusia dengan keterikatan yang sangat kuat. Lathifah-lathifah itulah yang mengendalikan kehidupan batiniah seseorang, maka tempatnya ada di dalam badan manusia. Lathifah ini pada tahapan selanjutnya merupakan istilah praktis yang berkonotasi tempat. Umpamanya lathifah al-nafsi sebagai tempatnya al-nafsu al-amarah. Lathifah al-qalbi sebagai tempatnya nafsu al-lawamah. Lathifah al-Ruhi sebagai tempatnya al-nafsu al-mulhimmah, dan seterusnya. Dengan kata lain bertempatnya lathifah yang bersifat immaterial ke dalam badan jasmani manusia adalah sepenuhnya karena kuasa Allah. Lathifah sebagai kendaraan media bagi ruh bereksistensi dalam diri manusia yang bersifat barzakhiyah (keadaan antara kehidupan jasmaniah dan rohaniah).

Pada hakekatnya penciptaan ruh manusia (lima lathifah), tidak melalui sistem evolusi. Ruh ditiupkan oleh Allah kedalam jasad manusia melalui proses. Ketika jasad Nabi Adam a.s telah tercipta dengan sempurna, maka Allah memerintahkan ruh Nya untuk memasuki jasad Nabi Adam a.s. Maka dengan enggan ia menerima perintah tersebut. Ruh memasuki jasad dengan berat hati karena harus masuk ke tempat yang gelap. Akhirnya ruh mendapat sabda Allah : “Jika seandainya kamu mau masuk dengan senang, maka kamu nanti juga akan keluar dengan mudah dan senang, tetapi bila kamu masuk dengan paksa, maka kamupun akan keluar dengan terpaksa”. Ruh memasuki melalui ubun-ubun, kemudian turun sampai ke batas mata, selanjutnya sampai ke hidung, mulut, dan seterusnya sampai ke ujung jari kaki.

Setiap anggota tubuh Adam yang dilalui ruh menjadi hidup, bergerak, berucap, bersin dan memuji Allah. Dari proses inilah muncul sejarah mistis tentang karakter manusia, sejarah salat (takbir, ruku dan sujud), dan tentang struktur ruhaniah manusia (ruh, jiwa dan raga). Bahkan dalam al Qur’an tergambarkan ketika ruh sampai ke lutut, maka Adam sudah tergesa gesa ingin berdiri. 

Sebagaimana firman Allah : “Manusia tercipta dalam ketergesa-gesaan” (Q.S.21:37). 

Pada proses penciptaan anak Adam pun juga demikian, proses bersatunya ruh ke dalam badan melalui tahapan. Ketika sperma berhasil bersatu dengan ovum dalam rahim seorang ibu, maka terjadilah zygot (sel calon janin yang diploid ). Ketika itulah Allah meniupkan sebagian ruhnya (QS : 23 : 9), yaitu ruh al-hayat. Pada tahapan selanjutnya Allah menambahkan ruhnya, yaitu ruh al-hayawan, maka jadilah ia potensi untuk bergerak dan berkembang, serta tumbuh yang memang sudah ada bersama dengan masuknya ruh al-hayat.

Sedangkan tahapan selanjutnya adalah peniupan ruh yang terakhir, yaitu ketika proses penciptaan fisik manusia telah sempurna (bahkan mungkin setelah lahir). Allah meniupkan ruh al-insan (haqiqat Muhammadiyah). Maka dengan ini, manusia dapat merasa dan berpikir. Sehingga layak menerima taklif syari’ (kewajiban syari’at) dari Allah dan menjadi khalifah Nya. Itulah tiga jenis ruh dan nafs yang ada dalam diri manusia, sebagai potensi yang menjadi sudut pandang dari fokus pembahasan lathifah (kesadaran).

Lima lathifah yang ada di dalam diri manusia itu adalah tingkatan kelembutan kesadaran manusia. Sehingga yang dibahas bukan hakikatnya, karena hakikat adalah urusan Tuhan (QS : 17 : 85), tetapi aktivitas dan karakteristiknya. Lathifah al Qalb, bukan Qalb (jantung) jasmaniah itu sendiri, tetapi suatu lathifah (kelembutan), atau kesadaran yangbersifat robbaniyah (ketuhanan) dan ruhaniah. Walaupun demikian, ia berada dalam Qalb (jantung) manusia sebagai media bereksistensi. 

Menurut Al Ghazall, di dalam jantung itulah memancarnya ruh manusia itu. Lathifah inilah hakikatnya manusia. Ialah yang mengetahui, dia yang bertanggung jawab, dia yang akan disiksa dan diberi pahala.

Lathifah ini pula yang dimaksudkan sabda Nabi “Sesungguhnya Allah tidak akan memandang rupa dan hartamu, tetapi ia memandang hatimu”. Latifiah al-Qalb bereksistensi di dalam jantung jasmani manusia, maka jantung fisik manusia ibaratnya sebagai pusat gelombang, sedangkan letak di bawah susu kiri jarak dua jari (yang dinyatakan sebagai letaknya lathifah al-Qalb) adalah ibarat “channelnya”. Jika seseorang ingin berhubungan dengan lathifah ini, maka ia harus berkonsentrasi pada tempat ini. Lathifah ini memiliki nur berwarna kuning yang tak terhinggakan (di luar kemampuan indera fisik).

Demikian juga dengan lathifah al-ruh, dia bukan ruh atau hakikat ruh itu sendiri. Tetapi lathifah al-ruh adalah suatu identitas yang lebih dalam dari lathifah al-qalb. Dia tidak dapat diketahui hakikatnya, tetapi dapat dirasakan adanya, dan diketahui gejala dan karakteristiknya. Lathifah ini terletak di bawah susu kanan jarak dua jari dan condong ke arah kanan. Warna cahayanya merah yang tak terhinggakan. Selain tempatnya sifat-sifat yang baik, dalam lathifah ini bersemayam sifat bahimiyah atau sifat binatang jinak. Dengan lathifah ini pula seorang salik akan merasakan fana al-sifat (hanya sifat Allah sajayang kekal), dan tampak pada pandangan batiniah.

Lathifah al-sirri merupakan lathifah yang paling dalam, terutama bagi para sufi besar terdahulu yang kebanyakan hanya menginformasikan tentang tiga lathifah manusia, yaitu qalb, ruh dan sirr. Sufi yang pertama kali mengungkap sistem interiorisasi lathifah manusia adalah Amir Ibn Usman Al Makki (w. 904 M), yang menurutnya manusia terdiri dari empat lapisan kesadaran, yaitu raga, qalbu, ruh dan sirr. Dalam temuan Imam al Robbani al Mujaddid, lathifah ini belum merupakan latifiah yang terdalam. Ia masih berada di tengah tengah lathifah al ruhaniyat manusia. Tampaknya inilah sebabnya sehingga al Mujaddid dapat merasakan pengalaman spiritual yang lebih tinggi dari para sufi sebelumnya, seperti Abu Yazid al Bustami, al-Hallaj (309 H),dan Ibnu Arabi (637 H).

Setelah ia mengalami “ittihad” dengan Tuhan, ia masih mengalami berbagai pengalaman ruhaniah, sehingga pada tataran tertinggi manusia ia merasakan sepenuhnya, bahwa abid dan ma’bud adalah berbeda, manusia adalah hamba, sedangkan Allah adalah Tuhan. Hal yang diketahui dari lathifah ini adalah, ia memiliki nur yang berwarna putih berkilauan. Terletak di atas susu kiri jarak sekitar dua jari, berhubungan dengan hati jasmaniah (hepar).

Selain lathifah ini merupakan manifestasi sifat-sifat yangbaik, ia juga merupakan sarangnya sifat sabbu’iyyah atau sifat binatang buas. Dengan lathifah ini seseorang salik akan dapat merasakan fana’ fi al-dzat, dzat Allah saja yang tampak dalam pandangan batinnya. Lathifah al-khafi adalah lathifah al-robbaniah al-ruhaniah yang terletak lebih dalam dari lathifah al-sirri. Penggunaan istilah ini mengacu kepada hadis Nabi : “Sebaik-baik dzikir adalah khafi dan sebaik baik rizki adalah yang mencukupi”. Hakikatnya merupakan rahasia Ilahiyah.

Tetapi bagi para sufi, keberadaanya merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Cahayanya berwarna hitam, letaknya berada di atas susu sebelah kanan jarak dua jari condong ke kanan, berhubungan dengan limpa jasmani.  Selain sebagai realitas dari nafsu yang baik, dalam lathifah ini bersemayam sifat syaithoniyyah seperti hasad, kibir (takabbur,  sombong), khianat dan serakah. Lathifah yang paling lembut dan paling dalam adalah lathifah al-akhfa. Tempatnya berada di tengah-tengah dada dan berhubungan dengan empedu jasmaniah manusia. Lathifah ini memiliki nur cahaya berwarna hijau yang tak terhinggakan. Dalam lathifah ini seseorang salik akan dapat merasakan ‘isyq (kerinduan) yang mendalam kepada Nabi Muhammad s.a.w. sehingga sering-sering ruhaniah Nabi datang mengunjungi.

Relevan dengan pendapat al-Qusyairi yang menegaskan tentang tiga alat dalam tubuh manusia dalam upaya kontemplasi, yaitu : Pertama Qalb yang berfungsi untuk mengetahui sifat-sifat Allah. Kedua, ruh berfungsi untuk mencintai Allah, dan Ketiga, Sirr berfungsi untuk melihat Allah. Dengan demikian proses ma’rifat kepada Allah menurut al Qusyairi dapat digambarkan sebagai berikut dibawah ini. 



Aktivitas spiritual itu mengalir di dalam kerangka makna dan fungsi rahmatan lil ‘alamin; Tradisi kenabian pada hakekatnya tidak lepas dari mission sacred, misi yang suci tentang kemanusiaan dan kealam semestaan untuk merefleksikan asma Allah.