Bismillahirrohmanirrohim,

Allah SWT Yang Maha Berkehendak dan Maha Mengetahui menciptakan Bani Adam dengan kemuliaan, dan ditundukkan seluruh yang ada di alam semesta ini baik di langit dan di bumi bagi kemuliaan manusia; seperti yang disabdakan-Nya dalam Al Isra’:70. Demikian pula keberadaan bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa serta apa fungsinya, diwahyukan dalam Al Hujuraat :13. Adapun mengenai kebudayaan (yang meliputi aspek bahasa yang berbeda) dari suku-suku bangsa disabdakan dalam Ar Ruum :22. Mengenai keragaman agama yang dianut manusia, telah disabdakan Allah SWT pula dalam Al-Kaafiruun :6. Kandungan ayat-ayat tersebut diatas saya sertakan sebagai petunjuk arah tulisan ini.

Berkisah tentang pandangan hidup Urang Sunda, maka akan berawal dari kosmologinya dimana Urang Sunda mengartikan hidup dan kehidupannya di alam dunia ini. Ada beberapa Naskah Kuno Sunda, antara lain Sanghiyang Siksa Kanda’ng Karesian (SSKK-1518 M), Sewaka Darma (abad ke 17 M), Naskah Ciburuy (abad 17 M), dan folkorik lainnya seperti makna kandungan Prasasti Kawali 7 dan 8 (Abad 13-14 M) serta aspek Budaya Sunda yang bisa dijadikan rujukan.

Bagaimana Pandangan Hidup Urang Sunda dalam menentukan VISI dan MISI keberadaannya di jagat raya ini. Berikut ini adalah bagan/skema paradigmanya. Hal ini diharapkan akan memudahkan alur pikir Urang Sunda dalam menyiasati keberadaannya. Alur VISI dan MISI Hidup Urang Sunda ini disebut dengan istilah RAWAYAN JATI. Dalam hal ini Rawayan dapat diartikan sebagai sasak, jembatan, perjalanan, atau keturunan. Sedangkan Jati merupakan esensi sebagai suatu perjalanan atau proses kehidupan dalam meniti alur INALILLAHI WA INNA ILAIHIROJI’UUN.

Diagram ringkas RAWAYAN JATI  :

Yang menciptakan kita dan segalanya adalah Nu Ngersakeun - Sanghyang Tunggal dalam hal ini tercipta adanya kesadaran religi monoteismeu.

Tugas hidup kita di dunia adalah Ngertakeun Bumi Lamba yakni mensejahterakan alam dunia.

Dunia akan sejahtera apabila Tri Tangtu di Bumi atau Tiga Penentu Dunia berperan dengan baik, yang meliputi : Rama, memiliki makna keluarga yang berfungsi optimal sebagai fondasi keluarga/nucleus family yang sakinah, mawadah wa rohmah. Resi, bermakna sebagai alim ulama/cerdik pandai. Ratu, dapat diartikan sebagai tatanan birokrasi bagi para pemangku kehidupan sosial dan budaya bangsa.

Siapapun manusia di dunia ini dapat berfungsi sebagai Tri Tangtu di Bumi, dengan syarat harus memiliki kualifikasi sebagai berikut : 
- Luhung Elmuna, yakni memiliki ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan. 
- Pengkuh Agamana, yakni teguh dan konsekwen dalam melaksanakan kehidupan beragama yang dianutnya. 
- Jembar Budayana, luas wawasannya untuk dimanfaatkan dalam mengatasi permasalahan hidup.

Proses berinteraksi untuk mencapai Tri Tangtu di Bumi harus melalui proses: Silih Asih, merupakan proses silaturahmi. Silih Asah, dapat diartikan sebagai proses saling mencerdaskan. Silih Asuh, yakni dapat menempatkan diri (positioning), proporsional dan professional. Ketiga SA ini pada akhirnya akan mewujudkan masyarakat yang menyadari bahwa hidup adalah adanya saling ketergantungan, keterikatan, dan kebersamaan interpendency; yaitu kehidupan sosial global yang toleran, egaliter dan equaliter.

Bila proses 3 SA telah terlaksana dengan baik, karakter manusia/individu Urang Sunda yang diharapkan terwujud adalah yang sesuai dengan strata kualitas manusia menurut kaidah/norma Urang Sunda. Hal ini akan terwujud berupa karakter Manusa Sunda yang 4 R, yakni: CAGEUR, yang dapat diartikan sebagai sehat lahir batinnya, sehat fisik dan psikisnya, sehat jasmani dan rohaninya. Dalam hal ini kita akan mendengan sapaan Urang Sunda adalah "Kumaha damang?", bukan "Kumaha wartosna atau Apa kabar". BAGEUR, dalam hal ini berarti hidupnya sesuai dengan hukum Agama, hukum darigama/hukum positif dan hukum nurani. Menyalahi salah satu dari ketiga hukum tersebut, akan dikatakan jelema henteu bageur. BENER, dapat diartikan jelas serta benar Visi dan Misi hidupnya, yaitu manusia yang hidupnya CAGEUR dan BAGEUR. PINTER, dalam hal ini berarti mampu mengatasi masalah hidup serta mampu mewujudkan Visi dan Misi hidupnya.

Capaian akhir dari manusia bagi kesejahteraan Alam Dunia adalah apabila manusia Sunda telah berkarakter 4 R. Apapun fungsinya, di manapun berada dalam strata sosial apapun baik dia menjadi warga: Lokal, Regional, Nasional, Internasional akan selalu berfungsi sebagai Tri Tangtu di Bumi yang berkemampuan untuk Ngertakeun Bumi Lamba dan jadilah Ki Sunda yang Saampar Jagat yang Rakhmatan Lil Alamin.

Dengan kualitas Ki Sunda seperti diatas, Insya-Allah akan terwujudlah kehidupan masyarakat yang Madani dan Mardotillah. Alur pikir inilah yang disebut dengan Rawayan Jati yaitu kesadaran manusia akan keberadaannya secara holistik. Pengembangan dan aktualisasi dari 7 Jenjang Rawayan Jati ini sangat memungkinkan untuk diserap dalam kurikulum pendidikan formal maupun non formal serta dilaksanakan secara konsisten pada setiap pribadi serta institusi yang berada di Tatar Sunda.


Artefak Kebudayaan Sunda Terhadap Pluralitas Keagamaan
Alur pandangan hidup Urang Sunda seperti itu, bisa diasumsikan bahwa sejak awal mula Urang Sunda telah bertoleransi dengan siapa saja asalkan Visi dan Misi mereka sealur dengan pandangan hidup Urang Sunda. Karena alur pikir Rawayan Jati terdiri atas 7 strata yang dalam Bahasa Sunda dikenal dengan Sapta Mandala Panta-Panta yang dapat diartikan sebagai tujuh tingkat/maqomat/terminant yang sakral. Maka pada setiap tingkat/mandala akan bersentuhan dengan orang-orang yang berlainan agama/religinya. Karenanya Urang Sunda, tidak menjadikan masalah yang mengganggu, asal saja mereka ada keselarasan dalam beberapa Mandala yang bertahap tadi.

Toleransi kebersamaan yang paling awal dalam bermasyarakat adalah starata Mandala Paling Bawah yakni prinsip manusia yang 4 R. Bila dalam kehidupan keseharian telah terwujud, maka dengan siapa dan agama apa pun, Urang Sunda bisa bertoleransi yang merupakan pengejawantahan dari pluralitas suku/agama. Sebenarnya konsep Rawayan Jati ini bisa berlaku umum maupun pribadi. Inilah alur yang dikatakan orang sebagai Filsafat Perenial, yakni Kerinduan Abadi, Tao, Brahman. Jawidan Khirad, Universal Agreement, Tradisi Primordial, Filsafat Toleransi. Pandangan hidup Urang Sunda Rawayan Jati inilah yang saya anggap mendasari sikap toleransi Urang Sunda dalam berinteraksi dengan sesama manusia.

Pengkajian secara cermat dan tawadhu harus mencakup tiga tataran fondamental yaitu :
1. Kajian mengenai alam idea Urang Sunda dimana hal ini merupakan fondasi.
2. Kajian normative masyarakat sunda sekaligus rambu dan pilar-pilar budaya.
3. Kajian perilaku budaya urang Sunda sebagai assesoris kebudayaan.

Dengan paradigma bersendikan Islam dalam berbagai tataran religius, Urang Sunda harus tetap menyiasati agar tetap terjaga Islaminya. Untuk mewujudkan masyarakat Sunda yang Madani dan Mardotillah, berikut adalah beberapa aspek Budaya Sunda yang menggambarkan hasil sentuhan budaya religi, diantaranya :

- Dari Agama Budha. Cukup banyak norma-norma hidup (peraturan hidup/etika hidup,bukan ideanya) yang diambil dari khazanah Agama Budha, misalnya muatan yang terkandung dalam Naskah Sewaka Darma, Siksa Kanda’ng Karesian dan Kawih Paningkes. Dalam hal ini yang diserap hanya sebatas Etika Hidup serta diwujudkan dalam banyak aturan perilaku hidup seperti dalam hal berkesenian dan berkebudayaan.

- Dari Agama Hindu. Antara lain yang diserap adalah istilah dewa-dewi. Tetapi itupun diletakkan di bawah Hyang yang berarti mahluk gaib versi kepercayaan Sunda. Ngahiyang, yang dapat diterapkan pada sistem pemerintahan, upacara dan lain sebagainya.

- Dari Kepercayaan Kejawen. Bila kejawen diartikan sebagai "abangan", maka pengaruh yang memasuki pandangan hidup Urang Sunda, yaitu pada tataran "adat kepercayaan" hal ini merupakan imbas terhadap peri laku yang disebut tirakatan dengan nuansa Kejawen seperti halnya kungkum atau berendam, matigeni, dan perilaku lainnya. Dalam norma kehidupanpun ada pula pengaruhnya. Misalnya saja di beberapa tempat ada kebiasaan untuk mengadakan perayaan 1 Syuro. Konsep yang bernuansa Budaya Jawa yang Islami pun banyak ditemui; misalnya konsep Manunggaling Kaula Gusti (Dewaruci), Ngelmu (biasa menggunakan Bahasa Jawa-Arab).

Tetapi yang perlu dibedakan adalah istilah Kejawen (Ka-Jawi-An) dengan Kasundaan. Pengertian Kasundaan lebih mengacu kepada Etika Hidup, Perilaku Berkehidupan, tidak diartikan sebagai Aliran Kepercayaan. Contohnya dalam penggunaan kalimat : "Kudu Nyunda atuh! Henteu Nyunda kalakuan kitu mah! Kumaha ari Sundana!"

Dari Agama Islam. Pengaruh dan daya akulturasi dari Agama Islam sangat mewarnai dan menjiwai sebagian besar idea, norma dan perilaku Urang Sunda. Hal ini merupakan bias dari berbagai kejadian, sejauh mana kesejajaran dari Idea/Norma dan Perilaku Islam dengan Rawayan Jati sebagai konsep pandangan hidup Urang Sunda.

- Dari Agama Kristen. Bila kita perhatikan mungkin hanya sebatas perilaku dan sedikit mengenai norma-norma. Tidak menjangkau tataran idea, yang merupakan fondasi keimanan yang paling mendasar.

Satu bukti artefak/situs yang unik dan menunjukkan bagaimana toleransi Urang Sunda dalam berkehidupan religi, terdapat di Candi Cangkuang, Garut. Menurut para ahli, Candi Cangkuang itu satu-satunya candi yang ada di Tatar Sunda.

Fondasinya berstrukturkan pengaruh Budha (seperti halnya Candi Borobudur), Arsitektur beserta arca atau patungnya dipengaruhi Hindu berupa Patung Syiwa. Di sisinya bersandar makam Syeh Arif Muhammad Penyebar Agama Islam pada masa abad ke 17/18.

Situs ini terletak di Kampung Pulo yang bersendikan adat Khas Sunda apabila dilihat dari tata letak kampung, peraturan adat yang semuanya bercirikan khas Sunda.

Di situs Candi Cangkuang pengaruh empat religi bisa berdampingan begitu indah dan damai. Hanya bila kita perhatikan dengan seksama ada sesuatu yang dapat mengundang tanda tanya karena disini tidak tergambarkan sentuhan suasana Nasrani. Selain itu juga perlu dikaji aspek Budaya Sunda yang merupakan hasil sinkretisme dan akulturasi dari religi lainnya.


Kesimpulan
Nu Maha Ngerasakeun – yang kita sebut dengan Allah SWT – telah menciptakan suku-suku bangsa. Adapun salah satu tanda dari keanekaragaman suku bangsa adalah adat istiadat dan religinya. Religi Urang Sunda yang tergambarkan dalam Rawayan Jati sejak awal sudah demikian Islaminya. Jadi bagi Urang Sunda sudah seharusnya memiliki rasa toleransi yang tinggi, tetapi harus tetap dalam koridor Rawayan Jati. Urang Sunda jangan berubah menjadi manusia yang Sekuler dan Profan alias hanya menghambakan diri pada kenikmatan ragawi atau duniawi semata tanpa memperdulikan nilai-nilai keagamaan. Hal ini bertentangan dengan sifat azali Urang Sunda yang agamis monoteistis.

Ada kata bersayap dalam buku Tafsir Kebudayaan (Clifford Geertz, 1992) orang Bali berkata "Sungguh aneh kalau orang Bali tidak beragama Hindu". Sedangkan bagi Urang Sunda ada pemeo: "Kacida anehna lamun Urang Sunda henteu ngagem Agama Isalm". Meskipun Urang Sunda bisa bertoleransi terhadap pluralitas agama, tetapi dalam keluarga harus tetap satu keimanan yakni Iman dan Islam.
=======================
Oleh : Drs. H. Hidayat Suryalaga