Pembukaan :
Amenangi jaman edan/ ewuh aya ing pambudi/ Melu edan nora tahan/ yen tan melu anglakoni/ boya kaduman melik/ Kaliren wekasanipun// Dilalah karsa Allah/ Begja-begjane kang lali/ luwih begja kang eling lawan waspada”// (pupuh 7, Sent Kalatidha)

Terjemahan :
Mengalami jaman gila sukar sulit (dalam) akal ikhtiar. Turut gila tidak tahan kalau tak turut menjalaninya, tidak kebagian milik kelaparanlah akhirnya. Takdir kehendak Allah sebahagia-bahagianya yang lupa.Lebih berbahagia yang sadar serta waspada”.

– Syair jaman edan, dimana manusia kehilangan dasar sikap dan perilaku yang benar.
– Di dalam Serat Kalatidha, Sabda Pranawa Jati Ki pujangga melihat kesusahan yang  terjadi pada jaman itu . . .

Rajanya utama, patihnya pandai dan menteri-menterinya mencita-citakan kesejahteraan rakyat serta semua pegawai-pegawainya cakap. Akan tetapi banyak kesukaran-kesukaran menimpa negeri; orang bingung, resah dan sedih pilu, serta dipenuhi rasa kuatir dan takut. Banyak orang pandai dan berbudi luhur jatuh dari kedudukannya. Banyak pula yang sengaja menempuh jalan salah . . . harga diri turun . . . akhlak merosot. Pada waktu-waktu seperti itu berbahagialah mereka yang sadar/ingat dan waspada.
– Menghadapi jaman seperti itu Ki Ronggowarsito memberikan petuah-petuahnya, yaitu yang dapat disebut sebagai empat pedoman hidup.

1. Tawakal marang Hyang Gusti
–  Pedoman yang pertama; yaitu kepercayaan iman dan pengharapan kepada Tuhan.
–  Pedoman inilah yang menjadi dasar hidup, perilaku dan karya manusia.

1. “Mupus papasthening takdir, puluh-puluh anglakoni kaelokan” (pupuh 6, Kalatidha).
Arti :
Menyadari ketentuan takdir, apa boleh buat (harus) mengalami keajaiban. Manusia hidup harus menerima keputusan Tuhan.

2. “Dialah karsa Allah, begja-begjane kang lali, luwih becik eling lawan waspada” (pupuh 7, Kalatidha)
Arti :
– Memanglah kehendak Allah, sebahagia-babagianya yang lupa, lebih bahagia yang sadar ingat dan waspada.
– Manusia harus selalu menggantungkan diri kepada kehendak (karsa) Allah.
– Karsa atau kehendak Allah itu seperti yang tersirat dalam ajaran agama, kitab suci, hukum-hukum alam, adat istiadat dan ajaran leluhur.

3. Muhung mahasing ngasepi, supaya antuk parimirmaning Hyang suksma. (pupuh 8, Kalatidha)
Arti:
Sebaiknya hanya menjauhkan diri dari keduniawian, supaya mendapat kasih sayang Tuhan.
– Di kala ingin mendekatkan jiwa pada Tuhan, memang pikiran dan nafsu harus terlepas dari hal keduniawian.
– Supayantuk: Supaya dilimpahi Parimirmaning Hyang suksma; Kasih sayang Tuhan.

4. Saking mangunah prapti, Pangeran paring pitulung.(pupuh 9, Kalatidha)
Arti :
Pertolongan datang dari Tuhan, Tuhan melimpahkan pertolongan.
– Hanya Dia, Puji sekalian alam, Gembala yang baik, yang dapat menolong manusia dalam kesusahannya.
– Mangunah : Pertolongan Tuhan

Prapti : Datang.

5. Kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka parmaning suksma.(pupuh 10, Kalatidha)
Arti:
Disertai dasar/awas dan ingat, bertujuan mendapatkan kasih sayang Tuhan.

6. Ya Allah ya Rasululah kang sifat murah lan asih. (pupuh 11, Kalatidha)
Arti :
Ya Allah ya nabi yang pemurah dan pengasih.

7. Badharing sapudendha, antuk mayar sawatawis, borong angga suwarga mesti martaya. (pupuh 12, Kalatidha)
Arti
(Untuk) urungnya siksaan (Tuhan), mendapat keringanan sekedarnya, (sang pujangga) berserah diri (memohon) sorga berisi kelanggengan.
– Pengakuan kepercayaan bahwa pada Tuhanlah letak keselamatan manusia.

Pupuh-pupuh tambahan:
8. Setyakenang naya atoh pati, yeka palayaraning atapa, gunung wesi wasitane tan kedap ing pan dulu ning dumadi dadining bumi, akasa mwang; riya sasania paptanipun, jatining purba wisesa, tan ana lara pati kalawan urip, uripe tansah tungga”.(pupuh 88, Nitisruti)
Arti:
Bersumpahlah diri dengan niat memakai tuntunan (akan) mempertaruhkan nyawa, yaitulah laku orang bertapa di (atas) gunung besi (peperangan) menurut bunyi petuah. Tak akan salah pandangannya terhadap segala makhluk dan terjadinya bumi dan langit serta segala isinya. Sekaliannya itu sifat Tuhan; tak ada mati, hiduppun tiada, hidupnya sudah satu dengan yang Maha suci.
– Karya sastra Nitisruti ditulis oleh Pangeran di Karangayam (Pajang), pada tahun saka atau 1591 M.
– Mengenai tekad untuk mengenal Tuhan dan rahasiaNya.
– Mengenal kekuasaan di balik ciptaan-Nya, karena sudah bersatu dengan Gusti-Nya.

9. Sinaranan mesu budya, dadya sarananing urip, ambengkas harda rubeda, binudi kalayan titi, sumingkir panggawe dudu, dimene katarbuka, kakenan gaibing widi.(Dari serat Pranawajati)
Arti:
Syaratnya ialah memusatkan jiwa, itulah jalannya di dalam hidup, menindas angkara yang mengganggu, diusahakan dengan teliti, tersingkirkanlah perbuatan salah, supaya terbukalah mengetahui rahasia Tuhan.
– Serat Pranawajati ditulis oleh Ki R.anggawarsita
– Pupuh ini menjelaskan jalan kebatinan untuk mencapai (rahasia) Tuhan.
10. Pamanggone aneng pangesthi rahayu, angayomi ing tyas wening, heninging ati kang suwung, nanging sejatine isi, isine cipta kang yektos”.(Dari serat Sabda Jati)
Arti:
Tempatnya ialah di dalam cita-cita sejahtera, meliputi hati yang terang, hati yang suci kosong, tapi sesungguhnya berisi, isinya cipta sejati.

11. Demikianlah orang yang dikasihi Tuhan, yang selalu mencari-Nya untuk memuaskan dahaga batin. Ia akan berbahagia dan merasa tentram sejahtera; sadar akan arti hidup maupun tujuan hidup manusia. Pembawaannya rela, jujur dan sabar; pasrah, sumarah lan nanima, berbudi luhur dan teguh dihati.

II. Eling lawan Waspada
– Pedoman yang kedua; yaitu sikap hidup yang selalu sadar-ingat dan waspada.
– Pedoman inilah yang menjaga manusia hingga tidak terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan malapetaka.

Pupuh-pupuh :

1. Dilalah karsa Allah, begja-begjane kang lali luwih becik kang eling lawan waspada.(Pupuh 1, Kalatidha)
Arti :
Takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya yang lupa, lebih bahagia yang sadar / ingat dan waspada.

2. Yen kang uning marang sejatining kawruh, kewuhan sajroning ati, yen tan niru nora arus, uripe kaesi-esi, yen niruwa dadi asor.(Pupuh 8, Sabda Jati)
Arti:
Bagi yang tidak mengetahui ilmu sejati bimbanglah di dalam hatinya, kalau tidak meniru (perbuatan salah) tidak pantas, hidupnya diejek-ejek, kalau meniru (hidupnya} menjadi rendah.

3. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung, anggelar sekalir-kalir, kalamun temen tinemu, kabegjane anekani, kamurahaning Hyang Monon”.(Pupuh 9, Sabda Jati)
Arti :
Tidak percaya kepada gaib Tuhan, yang membentangkan seluruh alam, kalau benar-benar usahanya, mestilah tercapai cita-citanya, kebabagiaannya datang, itulah kemurahan Tuhan.
– Serat Sabda Jati adalah juga ditulis oleh pujangga Ki Ranggawarsita.
– Pupuh 8 membicarakan keragu-raguan hati karena melihat banyak orang menganggap perbuatan salah sebagai sesuatu yang wajar.
– Akan tetapi bagi yang sadar/ingat dan waspada, tuntunan Tuhan akan datang membawa kebahagiaan batin.

4. Mangka kanthining tumuwuh, salami mung awas eling, eling lukitaning alam, dadi wiryaning dumadi, supadi nir ing Sangsaya, yeku pangreksaning urip.(Pupuh 83, Wedhatama)
Arti :
Untuk kawan hidup, selamanya hanyalah awas dan ingat ingat akan sasmita alam, menjadi selamatlah hidupnya, supaya bebas dari kesukaran, itulah yang menjaga kesejahteraan hidup.

5. Dene awas tegesipun, weruh warananing urip, miwah wisesaning Tunggal, kang atunggil rina wengi, kang makitun ing sakarsa, gumelar ngalam sekalir.(Pupuh 86, Wedhatama)
Arti :
Adapun awas artinya, tahu akan tabir di dalam hidup, dan kekuasaan Hyang Maha Tunggal, yang bersatu dengan dirinya siang malam, yang meliputi segala kehendak, disegenap alam seluruhnya.
– Wedhatama ditulis oleh Pangeran Mangkunegara IV.

6. Demikianlah sikap hidup yang berdasarkan “Eling lawan waspada”; yaitu selalu mengingat kehendak Tuhan sehingga tetap waspada dalam berbuat; untuk tidak mendatangkan celaka. Kehendak Tuhan mendapat dicari/ditemukan di dalam hukum alam, wahyu jatmika yang tertulis dalam kitab suci maupun karya sastra, adat-istiadat, nasehat leluhur/orang tua dan cita-cita masyarakat.

7. Eling” juga berarti selalu mengingat perbuatan yang telah dilakukan, baik maupun buruk, agar “waspada” dalam berbuat. Berkat sikap “eling lawan waspada” ini, terasalah ada kepastian dalam langkah-langkah hidup.

III. Rame ing gawe.
– Pedoman hidup yang ketiga, yaitu hidup manusia yang dihiasi daya-upaya dan kerja keras.
–  Menggantungkan diri pada wasesa dan karsa Hyang Gusti adalah sama dengan menerima takdir.

Karena siapakah yang dapat meriolak kehendak Nya?

1. Ada tertulis:
Tidak ada sahabat yang melebihi (ilmu) pengetahuan Tidak ada musuh yang berbahaya dan pada nafsu jahat dalam hati sendiri Tidak ada cinta melebihi cinta orang tua kepada anak-anaknya Tidak ada kekuatan yang menyamai nasib, karena kekuatan nasib tidak tertahan oleh siapapun”.(Ayat 5, Bagian II Kitab Nitiyastra).
2. Tetapi apakah kekuatiran atau ketakutan akan nasib menjadi akhir dan pada usaha atau daya upaya manusia? Berhentikah manusia berupaya apabila kegagalan menghampiri kerjanya?
3. …. Karana riwayat muni, ikhtiar iku yekti, pamilihe reh rahayu, sinambi budi daya, kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka parmaning suksma.(Pupuh 10, Kalatidha)
Arti :
- …. Karena cerita orang tua mengatakan, ikhtiar itu sungguh-sungguh, pemilih jalan keselamatan, sambil berdaya upaya disertai awas dan ingat, yang dimaksudkan mendapat kasih sayang Tuhan.
– Menerima takdir sebagai keputusan terakhir, tidak berarti mengesampingkan ikhtiar sebagai permulaan daripada usaha.

4. Kuneng lingnya Ramadayapati, angandika Sri Rama Wijaya, heh bebakal sira kiye, gampang kalawan ewuh, apan aria ingkang akardi, yen waniya ing gampang, wediya ing kewuh, sabarang nora tumeka, yen antepen gampang ewuh dadi siji, ing purwa nora ana.(Tembang Dandanggula, Serat Rama)
Arti :
Haria sehabis haturnya Ramadayapati (Hanoman), bersabdalah Sri Rama : Hai, kau itu dalam permulaan melakukan kewajiban, ada gampang dan ada sukar, itu adalah (Tuhan) yang membuat. Kalau berani akan gampang; takut akan yang sukar, segala sesuatu tidak akan tercapai. Bila kau perteguh hatimu, gampang dan sukar menjadi satu, (itu) tidak ada, tidak dikenal dalam permulaan (usaha).

5. Demikianlah, takdir yang akan datang kelak tidak seharusnya menghentikan usaha manusia. Niat yang tidak baik adalah niat “mencari yang mudah, menghindari yang sukar”. Semua kesukaran atau tugas harus dihadapi dengan keteguhan hati. “Rame ing gawe” dan “Rawe-rawe rantas malang-malang putung” adalah semangat usaha yang lahir dari keteguhan hati itu.
Catatan:

Pupuh ke empat adalah cuplikan dari serat Rama, yang ditulis oleh Ki Yosadipura.

(1729 – 1801 M)

IV. Mawasdiri:
– Pedoman hidup yang keempat, yaitu perihal mempelajari pribadi dan jiwa sendiri; yang merupakan tugas semua mamusia hidup.

Pupuh-pupuh:
1. Wis tua arep apa, muhung mahasing ngasepi, supayantuk parimirmaning Hyang Suksma.(Pupuh 8, Kalatidha)
Arti :
Sudah tim mau apa, sebaiknya hanya menjauhkan diri dari keduniawian, supaya mendapat/kasih sayang Tuhan.
– Nasehat agar tingkat orang yang telah berumur menunjukkan martabat.
2. Jinejer neng wedhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi, sanadyan ta tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi asepi lir sepah samun, samangsaning pakumpulan, gonyak-ganyuk ngliling semi.(Pupuh 2, Pangkur, Wedhatama)
Arti:
Ajarannya termuat dalam Wedhatama, agar supaya tak kendor hasrat usahanya memberi nasehat, (sebab) meskipun sudah tua bangka, kalau tak ketahuan kebatinan, tentulah sepi hambar bagaikan tak berjiwa, pada waktu di dalam pergaulan, kurang adat memalukan.

3. …. Pangeran Mangkubumi ing pambekanipun. Kang tinulad lan tinuri-luri, lahir prapteng batos, kadi nguni ing lelampahane, eyang tuwan kan jeng senopati, karem mawas diri, mrih sampurneng kawruh.Kawruh marang wekasing dumadi, dadining lalakon, datan samar purwa wasanane, saking dahat waskitaning galih, yeku ing ngaurip, ran manungsa punjul.(Dari babad Giyanti)
Arti :
….Pangeran Mangkubumi budi pekertinya. Yang ditiru dan dijunjung tinggi, lahir sampai batin, seperti dahulu sejarahnya, nenek tuan kanjeng senopati gemar mawas diri untuk kesempumaan ilmunya. Ilmu tentang kesudahan hidup, jadinya lelakon, tidak ragu akan asal dan kesudahannya (hidup), karena amat waspada di dalam hatinya, itulah hidup, disebut manusia lebih (dari sesamanya).
– Babad Giyanti ditulis oleh pujangga Yasadipura I. Isinya memberi contoh tentang seseorang yang selalu mawas diri, yaitu Panembahan Senopati.

4. Mawas diri adalah usaha meneropong diri sendiri dan dengan penuh keberanian mengubah pribadinya. Maka inilah asal dan akhir dari pada keteguhan lahir dan batin.
5. Laku lahir lawan batin, yen sampun gumolong, janma guna utama arane, dene sampun amengku mengkoni, kang cinipta dadi, kang sinedya rawuh”.(Dari babad Giyanti)
Arti :
Amalan lahir dan batin, bilamana sudah bersatu dalam dirinya, yang demikian itu disebut manusia pandai dan utama, karena ia sudah menguasai dan meliputi, maka yang dimaksudkan tercapai, yang dicita-citakan terkabul.

6. Nadyan silih prang ngideri bumi, mungsuhira ewon, lamun angger mantep ing idhepe, pasrah kumandel marang Hyang Widi, gaman samya ngisis, dadya teguh timbul).”(Tembung Mijil, Dari babad Giyanti)
Arti :
Meski sekalipun perang mengitari jagad, musuhnya ribuan, tetapi asal anda tetap di dalam hati, berserah diri percaya kepada Tuhan, semua senjata tersingkirkan, menjadi teguh kebal.

7. Demikianlah ajaran Ki Ranggawarsita, yaitu mengenai empat pedoman hidup. Begitulah orang yang menggantungkan dirinya kepada kekuasaan Tuhan dan menerima tuntunan-Nya. Ia akan memiliki kepercayaan pada diri sendiri, tetapi tanpa disertai kesombongan maupun keangkaraan.

Cita-cita kemasyarakatan.

1. Ki pujangga Ranggawarsito mencita-citakan pula datangnya jaman Kalasuba, yaitu jaman pemerintahan Ratu Adil Herucakra. Karena itu beliau merupakan seorang penyambung lidah rakyatnya, yang menciptakan masyarakat “panjang punjung tata karta raharja” …. “gemah ripah loh jinawi” ….loh subur kang sarwa tinandur” dimana “wong cilik bakal gumuyu.

2. Tiga hal yang pantas diperjuangkan, untuk menegakkan pemerintahan Ratu Adil; yaitu: Bila semua meninggalkan perbuatan buruk, bila ada persatuan dan bila hadir pemimpin-pemimpin negara yang tidak tercela lahir batinnya.

3. Dengarlah!
4. Ninggal marang pakarti tan yukti, teteg tata ngastuti parentah, tansah saregep ing gawe, ngandhap lan luhur jumbuh, oaya ana cengil-cengil, tut runtut golong karsa, sakehing tumuwuh, wantune wus katarbuka, tyase wong sapraya kabeh mung haryanti, titi mring reh utama.(Dari Serat Sabdapranawa)
Arti :
Meninggalkan perbuatan buruk, tetap teratur tunduk perintah, selalu rajin bekerja, bawahan dan atasan cocok-sesuai tak ada persengketaan, seia sekata bersatu kemauan, dari segala makhluk, sebab telah terbukalah, tujuan orang seluruh negara hanyalah kesejahteraan, faham akan arti ulah keutamaan.

5. Ngarataning mring saidenging bumi, kehing para manggalaningpraya, nora kewuhan nundukake, pakarti agal lembut, pulih kadi duk jaman nguni, tyase wong sanagara, teteg teguh, tanggon sabarang sinedya, datan pisan nguciwa ing lahir batin, kang kesthi mung reh tama.(Tembang Dandanggula, Serat Sabdapranawa)
Arti:
Merata keseluruh dunia; sebanyak-banyak pemimpin negara tak kesukaran menjalankan perbuatan kasar-halus; kembalilah seperti dahulu kala, tujuan orang seluruh negara, tetap berani sungguh, boleh dipercaya segala maksudnya, tak sekali-kali tercela lahir batinnya, yang dituju hanyalah selamat sejahtera.

6. Demikianlah yang dicita-citakan pujangga agung Ranggawarsita.

Kaya paran tumekoa, tingale marang Hyang Widhi, tingal pangkon sarta angas, aguguyu wong ngabekti, satengah amadani, wus sasat maido rasul, kapire wus tetala, kaya tingkah wong Yahudi, pesthi langgeng dadi dasaring naraka.
Terjemahan :
Kepada tujuan datangilah, arah konsentrasi kepada Tuhan, perhatian ditujukan ke hariban dengan rasa ngeri, menertawakan orang yang berbakti, setengah menyamai (mengolok-olok), bahkan menghina rasul, kafirnya sudah jelas, seperti prilaku orang Yahudi, kelak pasti kekal menjadi dasarnya neraka.

Kathah wong kaliru tampa, dening ujar kang ngawingit, tekadipun kaluputan, miyarsa panemu jati, sisip dadya nampani, pan dadi saya delurung, ujar kasamaran, tinggal salat iku wajib, paninggale yaiku utama.
Terjemahan :
Banyak orang salah paham, oleh perkara yang rahasia, tekadnya jadi salah, mendengar pendapat sejati, salah paham dalam menerima, malah menjadi semakin tersesat, akan perkataan yang samar, meninggalkan shalat itu wajib, meninggalkannya itu lebih utama, meninggalnya itu lebih utama.

Ujar iku kasamaran, saweneh den gawe batin, nyatane atinggal salat, tan idhep iku wajib, parentahing Hyang Widi, dateng Nabi satus ewu, pat likur samnya, kinen salat anetepi, pan sadaya tan ana atinggal salat.
Terjemahan :
Itulah perkataan yang samar, ada yang dibuat batini, nyatanya meninggalkan shalat, tidak tahu bahwa itu wajib, (padahal) perintah Tuhan, kepada Nabi yang seratus dua puluh empat ribu, disuruh menegakkan shalat, semua tak ada yang meninggalkannya.

Nabi Musa cinarita, parentahipun Hyang Widhi, seket wektu prelonira, sadina lawan sawengi, umate anetepi, ika mukmin kang hakiki, iya iku mukmin ingkang utama.
Terjemahan :
Tersebutlah Nabi Musa a.s. diperintahkan Tuhan agar mendekatkan (diri pada) Tuhan, lima puluh waktu fardhu, dalam sehari semalam, umatnya mengikuti, perintah Tuhan tersebut, tak ada yang mengeluh, itulah mukmin yang sesungguhnya, yaitu mukmin yang utama.

Atinggal salat sampurna, kadi pun leh ngawruhi, apan wajib tinggal salat, wajibe lah kadi pundi, osiking lair batin, miwah sembah pujenipun, aja angrasa bisa, anging Allah kang darbeni.
Terjemahan :
Meninggalkan shalat sempurna, bagaimanakah cara memahami, bahwa wajib meninggalkan shalat, wajibnya itu bagaimana, gerak lahir ataupun batin, dan sembah puji, jangan merasa bisa, hanya Allah yang memiliki.

Aja ngrasa duwe sembah, aja ngrasa duwe puji, miwah barang tingkah polah, angrasa anduweni, miwah tingaling ati, wajibing duwe Hyang Agung, miwah lan wujud kita, puniku hukume napi, tanpa polah, polahe Allah kang Murba.
Terjemahan :
Jangan merasa punya sembah, jangan merasa punya puji, dan segala gerak tindakan, jangan merasa memiliki, dan arah perhatian hati, wajib milik TuhanYyang Maha Agung, bahkan seluruh diri kita, itu adalah nafi, manusia tanpa memiliki gerak, tetapi Allah yang mengatur.

Kang jenenging kawula, duk sirna tan ana keri, apan dadi wujudira, kangeten dening Hyang Widhi, ingkang ngawujud iki, anenggih prelambangipun, lir lintang karahinan, kasorotan Sang Hyang Rawi, lintang ilang kasorotan ing raditya.
Terjemahan :
Yang namanya hamba, ketika hilang musnah tanpa ketinggalan, bahkan yang menjadi diri kita, digatikan oleh wujud Tuhan, yang mewujud ini perlambangnya adalah, bagaikan bintang kesiangan,  tersinari oleh matahari, bintang hilang tersinari oleh matahari.

Wong tumeka ing ngasalat, ngangkat qasdu datan runtik, yen iya iku kawruhana, ing tinggal sajroning ati, kelawan ati ening, ati ening tegesipun, arep ta parengna, qasdu takrun lawan takyin, yen rapale alip iku lah tetiga.
Terjemahan :
Orang yang datang melakukan shalat, mengangkat qasdu tanpa ragu, jika itu diketahuinya, dam perhatian di hati, dan dengan hati bening, hati bening artinya membersamakan qasdu, takrun dan takyin (dan) lafal alif ketiganya itu.

Hurup sekawan punika, nenggih kang kariyin Alip, Alip hakekate niyat, Lam awal kelawan akhir, tibane pareksami, umanggihe niyatipun, Allah asmaning Dat, kang sinembah kang pinuji, rapal Akbar sampurna niyat sedaya.
Terjemahan :
Huruf yang empat itu, pertama adalah Alif, Alif hakikatnya niyat, Lam awal dan Lam akhir, jatuhnya bersamaan, bertemu dengan niyat, Allah nama zat, yang di sembah dan  dipuj,, pada lafal Akbar sempurnalah segala niyat.

Jatining niyat utama, arep leburing kekalih, tan ana Gusti kawula, yen meksih kawula Gusti, iku dereng utami, dereng tilar salatipun, tegese satunggal-satunggal kaleka maksih kekalih, ora ilang anane roroning tunggal.
Terjemahan :
Sesungguhnya niat yang utama, adalah akan leburnya yang dua hal, tak ada lagi Gusti Kawula, jika masih kawula Gusti, itu belum utama, belum tinggal shalatnya, maksudnya masih (terpisah) satu-satu, ternyata masih dua, tidak hilang adanya roroning atunggal.

Jatenipun tingalira, pareng akasih ing Hyang Widhi, kawula pan ora bisa, yen ora kelawan sih, wisane angabekti, angugrahaning Hyang Agung, kang tumiba kawula kang dadi lantaran puji, dadi pareng sembah puji lan nugraha.
Terjemahan :
Sesungguhnya perhatianmu, bersama kasih Tuhan, (karena) hamba tidak sanggup, kalau tidak karena anugrah, bisanya berbakti anugrah Tuhan yang dijatuhkan pada hamba, yang menjadi perantara puji, jadi kehendak sembah puji dan anugrah.

Kawula enggoning nyata, kahananipun Hyang Widhi, pangaken wujud tingal, kang dadi tibaning asih, kang sembah kang amuji, tan liyan kawulanipun, pan tajalining sipat, miwah Datipun Hyang Widhi, pan kawula puniki kinarya buat.
Terjemahan :
Hamba adalah wujud nyata, dari keadaan Tuhan, mengheningkan wujud konsentrasi, yang menjadi tempat jatuhnya anugrah, yang menyembah dan memuji, tak lain adalah hambanya, yaitu tajali sifat Dzat Tuhan, hamba itu hanya dijadikan sarana.

Endi kang aran kawula, kang dadi tanda sayekti, iya ingkang cari iya, liron sih mring Hyang Widhi, mapan tan wonten malih, kang asung marga kang luhur, poma dipun narima, ing siyang kalawan lastri, malah nyasar dadi kawula kawarna.
Terjemahan :
Mana yang disebut hamba, yang menjadi tanda sejati, yaitu yang dicari, sebagai kekasih Tuhan, bahwa dan adalagi, yeng memberi jalan luhur, maka terimalah, baik siang dan malam, (agar) tidak tersesat sebagai hamba.

Yen manteping panarima, ing siyang kalawan lastri yeku ingkang tinarima, kumawula maring Gusti, yen sampun tumeka ing sih, kang sinedya apan tiba, kapriye puji sembah, tinggal dereng pratitis, pangrasane waliyullah kang tumeka.
Terjemahan :
Dan mantapnya penerimaan, pada siang dan malam, yaitu yang diterima, menghamba kepada Tuhan, jika sudah sampai kepada mahabbah (sih), apa yang dikehendaki pasti tercapai, bagaimana puji dan sembah, pada konsentrasi belum tepat, perasaannya waliyullah yang datang.

Dadine wong sumektan, kang ngrasa dadi kekasih, panembahe duna dungkap, adhepe pas shalat napi, lupute kapir sidik, ingkang saya kupur agung, lah poma den prayitna, iku kabeh anglampahi, salah tanda pangelmune, tanda dadi bahya.
Terjemahan :
Jadinya orang siap sedia, yang merasa menjadi kekasih Tuhan, (padahal) penyembahannya salah kira, menghadapny ketika shalat nafi, salahnya kafir sidik, yang justru kafir besar, maka waspadailah, itu semua menjalani, salah tanda ilmunya, tanda menjadi berbahaya.

Tegese sidik puniku, angrasa murbeng ing widhi, atawa amisahena, ngelmu iku luwih rungsid iku ugi, tan kejaba tan kejero, cerak tanpa gepokan, adohe tan ana mung neng, iku dipun waspada mring alamika.
Terjemahan :
Yang dimaksud dengan sidik, merasa dapat mengatur Tuhan, atau memisahkannya, ilmu itu lebih “berbahaya”, berbahayanya itu juga, tidak hanya luar dalam, dekat tidak bersentuhan, jauhnya tak ada hanya diam, itu waspadailah di alammu.

Rapalipun ladah rukalama jalma, mangke iki tegesipun nora pisah nora kumpul lawan Gusti, nanging nora kari, ing barang polahipun, ewuh iku ing tampa, sisipen salah tampi, perlambange lir kumandang lan suwara.
Terjemahan :
Lafalnya adalah ladah rukalama jalma, artinya tidak berpisah tidak berkumpul dengan Tuhan, tapi tidak ketinggalan dalam tindakannya, jika sulit diterima maksudnya, tapi jangan sampai salah terima, perlambangnya bagaikan kumandang dengan suara.

Kadi guruh lawan toya, kadi kukus lawas geni, lir dhalang lawan wayang, kadya papan lawan tulis, den samnya ngawruhi, tegese sudama iku, malah madarma reka, tingalira ing Hyang Widhi, den prayitna sampun kaliru ing tampa.
Terjemahan :
Bagaikan guruh dengan air, bagaikan asap dan api, sperti Ki Dalang dengan wayang, ibarat papan dengan tulisan, pahamilah, maksudnya dermawan itu, malah berderma padanya, memperhatikan Tuhan dan waspada jangan sampai salah paham.

Tan tumeka tingalira, kumawula ing Hyang Widi, wong ing kalawan panembah, sarta kalawan pamuji, ing siyang kalawan lastri, supaya lamun kadulu, lamun tan muji lan nembah, elinga maring Hyang Widhi, kita darbe cipta ala.
Terjemahan :
Tidak akan sampai perhatiannya, menghambakan diri pada Tuhan, tetapi dengan persembahan dan pujian itu, pada siang dan malam hari, agar sungguh-sungguh mencari, jika tidak memuji dan menyembah, ingatlah Tuhan, yang memiliki kita semua.

Namaning sembah sedaya, lilima ingkang rumiyin, ingaran sembah Jumungah, kalahir kawetu lathi, kathah ingkang teka, sembah Jumungah aranipun, marang kabeh rapale, iya iku lampahan sembah Jumunggah.
Terjemahan :
Jenis sembah semuanya, lima jumlahnya, pertama sembahyang jamaah namanya, adalah apa yang keluar dari lidah, banyak yang datang, itulah sembahyang jamaah namanya, apa yang telah diucapkan, itulah laku sembahyang berjamaah.

Ping kalihe sembah wustha, iku tingal jroning ati, sampun angloro tingal, sapatemon ing Hyang Widhi, kalamun aningali, kados pundi patrapipun, upama tan nemua, nora warna nora rupi, kaya paran sapatemon ing Hyang Suksma.
Terjemahan :
Kedua sembah wusta, itu di dalam hati, jangan mendua perhatian, bersatu dengan Tuhan, jika melihat bagaimana caranya,jika tidak menemukan (karena Tuhan itu), tanpa rupa tanpa warna, seperti tujuan bertemu dengan Tuhan.

Kepriye wong tinggal shalat, ngaku becik anglakoni, temen sir ya angas, amemada ing wong mukmin, bari angisin-isini, pan sasat nggeguyu rasul, dadi ratuning durga, kaya kapir wong Yahudi, mesthi lebur gempur ing naraka.
Terjemahan :
Bagaimanakah orang yang meninggalkan shalat, mengaku menjalakan dengan baik, sungguh sangat mengerikan, menyamai-nyamai orang mukmin, bahkan memalukan, (orang seperti itu) bagaikan menertawakan Rasul, kelak merekan akan menjadi pimpinan keburukan, sperti orang kafir Yahudi, dan (di akherat) pasti akan hancur lebur di neraka.

Lulure wong tinggal shalat, kadi pundi yen ngawruhi, wajibe wong tinggal salat,  wajibe ya kadi pundi, atinggal lahir batin, tan ana liya kaetung, miwah panggawe kita, mapan nora anduweni, anging Allah polahe ya ingkang shalat.
Terjemahan :
Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat, bagaimanakah jika (ingin) mengetahui, wajib meninggalkan shalat, wajibnya itu bagaimana, meninggalkan lahir (atau) batin, tak ada hal lain yang diperhitungkan, juga perbuatan kita, bahwa kita tidak memiliki, tetapi hanya Allah  yang mengusai seluruh gerak shalat.

Ingkang jenenge kawula, sru sirna tan ana keri, datan ana ananira, gegentine marang Hyang Widhi, mangan jenenge napi, kawula ing lalisipun, lir lintang karainan, kasorotang ing Hyang Rawi, lintang ilang ing raditya.
Terjemahan :
Yang namanya hamba, segera sirna tak ketinggalan, sesungguhnya ADAnya hamda adalah tidak ada, digantikan oleh ADA-Nya, hamba sesungguhnya adalah nafi, hamba dalam kelaiannya ibarat bintang kesiangan, terkena sorot matahari, bintang hilang tidak tanpak.

Wong tumeka salat tunggal, qasdu takrun lawan takyin, iya iku kang sampurna, kawruhana ingkang budi, lawan atining ati, ya puniki tegesipun, arep amarengine, qasdu takrun lawan takyin, aparengna lafal Allahu Akbar.
Terjemahan :
Orang yang hendak melakukan shalat tunggal, (hendaknya mengamalkan) qasdu takrun dan takyin, itulah yang sempurna, pahamilah budi, hati nurani, maksudnya memahamkan qasdu takrun dan takyin, dan menghayati lafal Allahu Akabar.

Aksara Ha aparengna, aksara Alip kang kaki, niyat iku Lam kang awal, Lam akhir niyat singgih, Hu tibaning niyati, parengna niyatipun, ya Allah jeneng Dat, tibane ingkang sayekti, Allahu Akbar sampurnaning niyatira.
Terjemahan :
Perhatikan abjad Ha, dan makna abjad Alif yang hak, niyat itu Lam awal, Lam akhir demikian juga, Hu jatuhnya niyat, pahamilah niyat itu, kepada Allah satu-satunya zat, itulah niyat yang lurus, Allahu Akbar adalah lafal niat yang sempurna.

Jenenging niyat tan ana, pengleburan kang kekalih, tan ana Gusti kawula, yen isih kawula gusti, mangan turu utami, kadi pundi slametipun, ron dadi satunggan, satunggal dadi kekalih, ora ilang kawula lawan Pangeran.
Terjemahan :
Niyat adalah tak ada, penyatuan yang dua, tidak ada Gusti Kawula, jika masih kawula Gusti (ketika shalat), lebih baik makan tidur saja, bagaimana agar selamat, dua menjadi satu, satu menjadi dua, tidak hilang kawula Gusti.

Kawruh iya kawula, parengna sihing Hyang Widhi,lamun tunggal kang kawula, tan ana ingkang ngarani, ingkang anebut Gusti, tan liya kawulanipun, dadi nyata Pangeran, ingkang nembah kang muji, pan kawula kinarya aling-alingan.
Terjemahan :
Pengetahuan seorang hamba, pikirkanlah kasih sayang Tuhan, jika manunggal dengan hamba, tidak ada yang menyebut Tuhan, kecuali adalah hamba-Nya, jadi sesungguhnya adalah, Tuhan sendirilah yang menyembah dan memuji, hamba hanya dijadikan sarana.

Kawula anggome nyata, kahananira Hyang Widhi, pan angaken wujud tunggal, kekalihira Hyang Widhi, amung jenenging jalmi, kekalihira Hyang Agung, amung jeneng manungsa, kang dadi tibaning sang sih, mora ana liyane ingkang manungsa.
Terjemahan :
Hamba adalah tempat wujud nyata, dari keadaan Tuhan yang sesungguhnya, jika dikatakan wujud tunggal, yang kedua adalah Tuha., yang namanya manusia, adalah kekasih Tuhan, yang namanya manusia,  adalah menjadi tempat anugrah, tidak ada yang lain selain manusia.

Endi kang aran manungsa, ingkang terus lahir batin, kang narima ing Hyang Suksma, tan darbe polah kekalih, amung marang Hyang Widhi, kang paring marga luhur, apan tan ana liyan, Pangeran ingkang ngasihi, den anarima sih nugrahaning Hyang Suksma.
Terjemahan :
Siapakah yang disebut manusia, yang terus lahir batin, (yang dalam dirinya) ada Tuhan, tidak memiliki gerak mendua, hanya kepada Tuhan,  yang memberikan jalan yang luhur, dan tidak ada lain, hanya Tuhan yang memberi anugrah, maka segala apa yang di anugrahkan Tuhan hendaknya diterima.

Utawa jenenging shalat, lelima kathahe nenggih, dhihin Shalat Jumungah, kang kawetu saking lathi, pakumpulaning jalmi, Shalat Jumumgah ranipun, samya den estokna, kang kelahir saking lathi, iya iku lakune Shalat Jumungah.
Terjemahan :
Shalat itu ada lima jenis, pertama shala jamaah, adalah apa yang keluar dari lidah, tempat berkumpulnya orang-orang, itulah yang disebut shalat jamaah, laksanakan dengan baik, apa yang telah diucapkan, itulah laku shalat berjamaah.

Kang sira den ucapna, asih lahir lawan batim, ja katungkul wus manuta, Kanjeng Nabi kang sinelir, kekasihing Hyang Widhi, punika analika wau, yogya angawruhana, bangsa lahir lawan batin, iya ik kang aran Shalta Jumungah.
Terjemahan :
Apa yang engkau ucapkan, selaras antara lahir dan batin, yang terlena oleh karena mengikuti saja, Nabi yang dikasihi, yang dicintai Tuhan, hal yang demikian itu, pahamilah apayang lahir dan yang batin, itulah yang dimaksud shalat jamaah.

Ping kalihe Salat Wusta, dadi papadhang kang ati, tegese kang nora pegat, samaning alamiing ati, sapatemon Hyang Widhi, kaya parena patrepipun, lamun atetemu, nora kontha nora wani, tegesipun jaba jero awasira.
Terjemahan :
Yang kedua adalah shalat wusta, menjadi penerang hati, adalah tidak putus,  sama dengan lama hati, bertemu dengan Tuhan, sebagai tujuan hidupnya, hendak bertemu dengan-Nya, zat yang tanpa rupa tanpa warna, maka luar dalam waspadamu.

Ping kalihe Shalat Wusta, jenenge kawula Gusti, pan kawula nora ana, kawula  jenenge napi, apa nora ndarbeni, purba wasesa puniku, pan kagenten Hyang Suksma, weruha marang Hyang widhi, polah tingkah iku purbaning Pangeran.
Terjemahan :
Yang kedua shalat wusta, namanya hamba dan Tuhan, bahwa hamba sesungguhnya tidak ada, hamba itu bersifat nafi, dia tidak memiliki, purba wasesa semua adalah hak Tuhan, Tuhan dan segala gerak laku adalah kehendak Tuhan.

Shalat kang kaping tiga, aja ningali kekalih, eroh jasad winicara, jasad eroh kadi pundi, papan dadi gegenti, nggone nyata kendhang agung, jati-jatining tunggal.
Terjemahan :
Shalat yang ketiga (yaitu shalat haji), jangan lagi melihat hamba dan Tuhan secara dualis, ruh yang berbicara, fungsi jasad digantikan oleh ruh, tempat kenyataan “kendang agung”, kesatuan yang sebenar-benarnya.

Iya iku durerasan, panemu kang angawruhi, luput bener kawiwara, lupute pan kadi pundi, luput kang dereng yekti, abener kang sampun weruh, yogya den gurokna, punika jenenging ngelmi, Shalat Haji poma sami kawruhana.
Terjemahan :
Hal itu bukanlah bahan pembicaraan, (hanya) pendapat yang mengetahui, tentang salah benar oleh Sang Pujangga, mana hal yang salah, salah bagi yang belum mengalami, benar bagi yang sudah mengetahui, maka carilah guru (yang mumpuni), itulah yang namanya ilmu, yakni pahamilah makna shalat haji.

Waler sengker kang satengah, yen lamun arebut ngilmi, tan ana gelem kasirnan, datan reja mupakati, mila pating barekin, labete rebutan kawruh, yeku sami wasisnya, tan mikir luputing diri, kaluputan ngelmune pan dadi sasar.
Terjemahan :
Sebagian adalahhal  yang dilarang, jika hendak memperebutkan ilmu, tak ada yang mau kehilangan, tidak juga mau bermufakat, maka ramai tidak karuan, padahal maksudnya mencari ilmu, tapi sama-sama merasa pandai, tidak mau berfikir kemungkinan kesalahan diri, padahal jika salah maka jadilah tersesat.

Dadine wong kang rayah, angresa wasis pribadi, tanpa ngrasa yen kapurba, dalil Qur’an ili muni, arepa mengawruhi, pan akeh jenenging ngelmu, dadi wong punika, weruha ngelmu sejati, darbe raga aja angrasa yen bisa.
Terjemahan :
Jadinya orang-orang saling berebut, merasa paling pandai, tidak merasa, dalil Qur’an itu berbunyi (bahwa) jika hendak mengetahui, menunutut ilmu yang banyak, manusia harus memahami ilmu sejati, punya badan jangan merasa kalau bisa.

Shalat Daim ping sekawan, nora mengeng saking ati, uwis eningali, marang Maha Hyang Kang Luhur, jenengipun malrifat, tan ana Gusti kekalih, kang kasebut ing ati Allah Kang Tunggal.
Terjemahan :
Keempat adalah shalat daim, tak pernah putus dalam hati, sudah melihat terhadap Tuhan Yang Mahaluhur, itulah makrifat, tak adalagi Tuhan dan hamba, yang disebut dalam hati, hanyalah Allah Yang Tunggal.

Aja angeloro Pangeran, ing awal tumekeng akhir, awake pun durung ana, jenenge akhir kang keri, akhir jisime isi, awek jeneng rohipun, pan dadi kanyatan, manipaksa (“) sejati, iya iku tegese tunggal tinunggal.
Terjemahan :
Jangan mendua Tuhan, dari awal hingga akhir, zat-Nya memang belum ada, namanya akhir yang ketinggalan, yang akhir jasadnya, kemudian diberi ruh, yang menjadi kenyataan, keterpaksaan sejati, itulah artinya satu yang menyatu.

Tegese kang kaping lima, kanugrahan kanugrahan kang sayekti, Shalat Ismu Ngalim ika, jenenging roh lawan jisim, yogya dipun kawruhi, tegese kang Maha Agung, asma Allah tan pegat, aningali kang dumadi, jagat iku yekti langgeng aneng suksma.
Terjemahan :
Yang kelima artinya adalah, anugrah yang sejati, namanya shalat ismu alam, adanya roh dan jasad, sebaiknya pahamilah, maksudnya Yang Maha Agung, sebutlah asma Tuhan tak pernah henti, melihat Tuhan dunia akan abadidalam suksma.

Tan pegat ing tingaliran, dadine bumi lan langit, iya iku kanugrahan, kang dadi ayat sayekti, kang kajenging ngelmi, tan ana loro tetelu, jenenging kanyatan wajah, tuwah ingkang suci, iya eroh tegese kang aran wajah.
Terjemahan :
Tanpa henti perhatianmu, (memikirkan) terjadinya bumi dan langit, itulah anugrah kehendak Allah, merupakan ayat atau tanda yang sejati, yang dikehendaki ilmu, tidak dua atau tiga, itulah kenyataan wajah (doa tawajuh), mantra yang suci, yang dimaksud wajah adalah ruh.

Utawi tegese pan, kathahe ingkang prakawis, ingkang dhingin pana ing Dat, kapindha sipat, kaping tiga winardi, wong kang pan apngalipun, tegesee pan ing Dat tan anane nenggih, ora ana anging Allah wujud baka.
Terjemahan :
Ada hal yang perlu diketahui, tentang tiga hal, pertama adalah zat, kedua sifat, dan winardi, yaitu orang yang tahu ag’alnya, maksudnya zat adalah, tidak ada zat lain kecuali zat Allah yang kekal abadi.

Anapun ana sipat, akabutana urip, langaliman lakuta, tan ana kuwasa singgih, tan ana angawruhi, anging Allah ingkang agung, kang amurba amasesa, tan ana ingkang madani, ora urip anging Allah Wujud hayat.
Terjemahan :
Ada pun yang disebut sifat, adalah disebut hidup, menguasai alam malakut, tak ada yang berkuasa, tak ada yang memberinya ilmu, hanya Allah Yang Agung, yang amurba amasesa, tak ada yang menyamai, tidak hidup kecuali Allah wujud hidup.

Tegese pan apngal, anane duwe pangreti, anging Allah ingkang karya, kawula tan anduweni, salira polah jisim, tan ana iya kaetung, miwah panggawe kita, tan rumangsa anduweni, apngalira ora ana kang kuwasa.
Terjemahan :
Ada pun yang disebut af’al, adanya punya pengertian, hanya Allah yang berkarya, hamba tidak memiliki, baik jiwa maupun raga, tidak ada yang terhitung, termasuk perbuatan kita, bukan kita yang memiliki, ketahuilah bahwa hambasama sekali tak memiliki kuasa.

Sing sapa weruh ing awak, iku weruh marang Gusti, tegese wruhing salira, tan ana wujude singgih, mapan kawula napi, datan ana wujudipun, tandane wruhing Allah, kawruhana kang sayekti, ora ana anging Allah kang mulya.
Terjemahan :
Barang siapa tahu akan dirinya, akan tahu siapa Tuhan-nya, maksudnya barang siapa bisa memahami sesungguhnya dirinya itu tidak ada, bahwa dirinya itu nafi, tak berwujud apa pun, pertanda ia tahu akan Allah, ketahuilah yang sesungguhnya, tak ada lain kecuali Allah Yang Mahamulia.
Angendika Rasulullah, pangawruh ingkang sayekti, sing sapa nembah ing asma, ora weruh asma singgih, punika dadi kapir, yen tan weruh tegesipun, wong munapik, wong ngaku tan wruhing asma.
Terjemahan :
Berkata Rasulullah, ilmu pengetahuan yang sejati, adalah barang siap yang menyembah asma (Tuhan), tetapi tidak tahu siapa asma (Tuhan) itu, sungguh dia itu kafir, kalau tidak tahu artinya, orang munafik, orang yang mengaku tidak tahu akan asma (Tuhan-nya).

Wong weruh asma lan makna, sirik yen ora ngawruhi, wong kang weruh marang makna. Kelawan hak angawruhi, yen ta wus weruh iki, yaiku mukmin satuhu, lan tinggal ingkang makna, hak ingkang dipun kawruhi, iya iku kang aran mukmin makrifat.
Terjemahan :
Orang (harus tahu akan) asma dan maknanya, syirik jika tidak mengetahuinya, orang yang tahu akan makna, dengan pengetahuan yang benar, kalaulah sudah tahu, itulah mukmin yang sebenarnya, dan tinggal makna, kebenaran yang diketahui, itulah yang disebut mukmin makrifat.

Angendika wong hakikat, alabtu thalabul rahmi, ingsun ngulati roh iku, kaya ngulati Hyang Widhi, lan tegesipun ngulati, roh kelawan ingkang agung, lah para kabeta roh, nora beda ngelmu jati, iya eroh lan Pangeran antaranya.
Terjemahan :
Berkata ahli hakikat, saya mengenali (melihat) ruhku, seperti mengenali Tuhan, dan maksudnya mengenali ruh yang Agung adalah (dengan) mendekatinya ruh, tidak beda dengan ilmu sejati, ialah antara ruh dan Tuhan.

Ngendika Seh Mahmud ika, adoh mesih ing Hyang Widhi, kaya pisaha kapir, saking suwarga kang luhur, lapal watarkus shalat, tinggal ashalat sayekti, luwih luhur tinggal shalat banjur ngojah.
Terjemahan :
Berkata Syekh Mahmud, jauhnya tempat Tuhan bersemayam itu, seperti jauhnya orang kafir, dari surga yang luhur, (karena mereka) meninggalkan shalat sejati, lebih luhur tinggal shalat lalu ngobrol.

Tegese atinggal shalat, salat lahir lawan batin, tan ngresa memuji nembah, eling kang sawiji-wiji, apan nora ndarbeni, panguwasa polahipun, anging nikmating tingal, tang angrasa nembah muji, polah tingkahe Allah kang shalat.
Terjemahan :
Meninggalkan shalat itu maksudnya, shalat lahir dan batin, tak merasa memuji menyembah, ingat pada satu-satunya, tidak merasa memiliki, tak berkuasa atas tindakannya, hanya anugrah Allah, tak merasa menyebah memuji, seluruh tindakan shalat adalah tindakan Allah.

Sampurnane shalat iku, nora ningali kekalih, nora ningali Pangeran, kawula nora kaeksi, ilang kawula Gusti, tan ana dulu dinulu, ananging idhepira, kang anembah kang amuji, pan kagenten sih nugrahaning Pangeran.
Terjemahan :
Sempurnanya shalat itu, tidak melihat dua, tidak melihat Tuhan, hamba tidak diperlihatkan, hilang kawula Gusti, tak ada kuasa menguasai, tetapi maksudmu, yang menyembah dan memuji itu, telah diganti oleh anugrah Allah.

Angandika wong utama, shalat iku malih-malih, kang ngendi tegese nyata, kang aran nyata kang endi, tegese nyata iki wau kang nyata satuhu, nyata ing dalem akal, ingkang nyata ingkang ngendi, alak iku roh satuhu kawruhana.
Terjemahan :
Berkata orang yang utama, shalat itu berubah-ubah, mana yang dimaksud nyata, yang disebut nyata yang mana, artinya nyata ini yang benar-benar nyata dalam akal, yang nyata yang mana, akal itu adalah roh sejati maka pahamilah.

Anapon shalat pasa, lawan jakat munggah Haji, pinedhakken brahala, mapan jeneng shalat wajib, wektu metu iki, wektuning shalat kawektu, iku dadi brahala, apan isih amemuji, pan tinampi kasembahe dadi brahala.
Terjemahan :
Adapun shalat puasa, dan zakat serta naik haji, meruntuhkan berhala, adapun shalat wajib, (adalah tergantung pada) waktu, waktu shalat yang ditentukan, itu menjadi berhala jika masih memuji, tidak diterima panembahnya (jika masih) jadi berhala.

Pundi tegese asalat, wong kang weruh ing Hyang Widhi, kelawan ati kang padhang, kawruhana kang sayekti, aja kaliru tampi, jatining ening puniku, pundi eningkang tunggal, kang ingaran ati ening, iya iku cahyaning e-Dat kang nyata.
Terjemahan :
Bagaimanakah maksud shalat, orang yang mengetahui Tuhan, dengan hati yang terang, pahamilah yang sebaik-baiknya, jangan sampai salah terima, sesungguhnya hening itu, adalah hening pada Yang Tunggal, yang disebut hati hening, yaitu cahaya zat yang nyata.

Angandika Abu Bakar, kinasihan ing Hyang Widhi, ingkang antuk rahmatullah, tegese shalat sejati, tarkulu syai’in, ing tinggal sawiji iku, kang liyan saing Allah, tan ana sawiji-wiji, anging tunggal Allah kang murba misesa.
Terjemahan :
Berkata Abu Bakar, orang yang dikasihi Allah, yang mendapat rahmatullah, bahwa yang dimaksud shalat sejati (adala) meninggalkan segala sesuatu (dan memusatkan pada) satu hal, bukan pada yang lain selain Allah, tak ada sesuatu pun melainkan hanya Allah Yang Esa, yang amurba amasesa.

Tegese anane shalat, sekawan kathahe nenggih, kalima sampurnanira, dhingin wulu tanpa warih, kapindho niyat singgih, ikrar kaping tiganipun, kaping sekawan makrifat, tan kelawan netra jati, ping limane nora kelawan makrifat.
Terjemahan :
Yang dimaksud shalat, empat jumlahnya, dan kelima kesempurnaannya, pertama wudhu tanpa air, kedua niyat, ketiga ikrar, keempat makrifat tanpa netra jati, dan kelima tanpa makrifat.

Kang sira awas makrifat, yaiku yekti Hyang Widhi, kang muji pinuji dawak, memuji pujining Widi, tan ana liyan sejati, anging Allah ingkang Agung, ilang jeneng manungsa, tan ana makhluk sejati, anging Allah ya jenenge ingkang shalat.
Terjemahan :
Ingatlah dikau waspada makrifat, yaitu Tuhan yang sesungguhnya, yang memuji dan dipuji sendiri, memuji pujian-Nya, tak ada yang lain sejati, hanya Allah yang Agung, hilanglah esensi manusia, tak ada makhluk yang sejati, hanya diri Allah-lah yang melakukan shalat.

Angandika Nabi kang sinelir, angrasani jenenge wong salat, arep weruh Pangerane, kelawan ora weruh, siya-siya dennya nglampahi, pertingkahe wong shalat, den weruh sadennya nglampahi, pertingkahe wong shalat, den weruh satuhu, weruhe kadi punapa, yen weruha sameleke dadi kapir, pan ora werna rupa.
Terjemahan :
Berkata Nabi yang terkasih, membicarakan orang yang shalat, hendak mengetahui Tuhannya, (jika) tidak mengetahui maka sia-sialah salat yang dilakukannya, tingkang laku orang shalat, (ingin) mengetahui sesungguhnya, mengetahui seperti apa, jika mengetahui seperti mata melihat maka jadilah ia kafir, (karena Tuhan itu) tanpa warna tanpa rupa.

Lamun ora weruh ing Hyang Widhi, yekti wuta benjang neng akherat, arep weruh ing semangke, yogya sami nggegurua, ing pagawruh kang sejati, pratingkahe wong shalat, ya weruh satuhu, jenenge asalat tunggal, tunggal wujud kawula kelawan Gusti, kang dadi kenyatan.
Terjemahan :
Jika tidak mengetahui Tuhan, sesungguhnya akan buta besok di akherat, hendak mengetahui nantinya, maka carilah seorang guru, tentang kawruh sejati, tingkah laku orang shalat, harus tahu benar, perihal shalat tunggal, tunggal wujud hamba dan dan Tuhan, yang menjadi kenyataan.

Weruhipun kawula Gusti, jeneng niyat kang tigang perkara, qasdu takrun lan takyine, weruhe bedanipun, niyat iku sawiji-wiji, qasdu ingkang panedya, ingkang niyat iku, dudu bangsa lan suara, ingkang ngadeg sujud rukuk kang rekangat, tan kena kaleru, takyine kang kaping tiga, nyatakken wektu Subuh lan Maghrib, klawan Ngisake pisan.
Terjemahan :
Mengetahui hamba dan Tuhan, niat tiga hal, qasdu takrun dan takyin, ketahuilah perbedaannya niat yang tiga itu satu-persatu, qasdu adalah permohonan, niat itu bukan jenis dan ucapannya, berdiri rukuk dan sujud itu juga bukan niat.

Ping kalih takrun kang gumanti, lungguhira bakdane rakangat, papat lawan tetigane, ing Ngasar lan Subuh, dipun awas sawiji-wiji, jenenge kang rekangat, tan kena kaleru, takyine kang kaping tiga, nyatakken wektu Subuh lan Maghrib, klawan Ngisake pisan.
Terjemahan :
Yang kedua, takrun yang menggantikan, dudukmu stelah rekaat, yang keempat atau ketiga, dalam waktu Ngasar atau Subuh, pahamilah satu-persatu, menghitung rekaat tidak boleh keliru, takyin yang ketiga, menyatakan padaSshalat Subuh, Magrib dan Isya.

Yen nganggoa qasdu takyin, tan sampurna shalate wong ika, yen ora nganggo kepriye, pan batal salatipun, niyat iku jenenge wajib, tan kena tinggal, iya ingkang tetelu, yen lamun meksih nganggoa, qasdu takrun kelawan takyin puniki, shalate tan sampurna.
Terjemahan :
Jika (tidak) memakai qasdu takyin,  maka salatnya orang itu tidak sempurna, jika tidak memakai bagaimana, apakah batal shalatnya, niat itu adalah yang wajib, yang tak boleh ditinggal, sedangkan ketiganya, qasdu takrun dan takyin itu, jika tak dipakai shalatnya tidak sempurna (tetapi tidak batal).

Waler sengker pocapan puniki, kang satengah nora duwe duga, dene ayuh bebasane, nggeguyu peksa weruh, pangucape, pegel kena ati, tan kena den kalahena, padune wong bingung, kudu ngajak kakerengan, kang saweneh ngaku yen bisa tapsir, katungkul ngudi sastra.
Terjemahan :
Nasehat ini adalah nasehat yang terlarang, yang sebagaian jangan sampai kurang pertimbangan, peribahasanya menertawakan memaksa (orang yang) hendak tahu, perkataannya menyakitkan hati, tak bisa dikalahkan, justru (sebenarnya) itu orang yang bingung, ingin mengajak pertengkaran, dan menyombongkan kalau bisa ilmu tafsir, (tapi) terlalu mementingkan nilai susastranya.

Atakona ingkang padha mukmin, jeneng kawruh sejatine shalat, den weruh pisah kumpule, pundi kang mukmin tuhu, iya iku ingkang ngawruhi, sejatine wong shalat, pisah kumpulipun, dudu shalate kawula, sejatine kanugrahaning Hyang Widhi, kang tiba mring kawula.
Terjemahan :
Bertanya pada orang mukmin, tentang pengertian shalat, ketahuilah berpisah dan berkumlpulnya, siapakah orang mukmin sebenarnya, yaitu orang yeng mengetahui, kesejatian shalat, dan berpisah bersatunya (hanba dan Tuhan), shalat itu bukanlah shalat hamba, melainkan anugrah Tuhan yang melimpah pada hamba.

Ingkang tinggal shalat mapan wajib, wus sampurna ingkang tinggal shalat, yogya apa pangawruhe, lamun tan kaya iku, siya-siya dennya nglampahi, angel jeneng shalat, manawa kaleru, dwn dalih atinggal pisan, bebayane aninggal shalat sejati, pan wajib linakonan.
Terjemahan :
Yang meninggalkan shalatyang  wajib, dan yang sudah sempurna “meninggalkan shalat”, seperti apa perbuatannya, jika tidak tahu sia-sia olehnya menjalani, sulit memahami shalat, jangan sampai keliru, dikiranya sudah bersatu (padahal belum), bahayanya meninggalkan shalat sejati, yang wajib dilakukan.

Lamun tinggal shalat apan kapir, nora kena mayite dinusan, wong mati bangka hukume, kelawan malihipun, nora tinggal lan bukti, ingkang tinggal shalat, iku janjinipun, lawan malih nora apsah, anembeleh angrusak kalimah kalih, iya wong atinggal shalat.
Terjemahan :
Jika meninggalkan shalat adalah kafir, tak boleh mayatnya dimandikan, itu adalah orang yang mati tidak sempurna, tidak berhak meninggalkan bukti, itulah orang yang meninggalkan shalat, itulah janjinya, dan lagi tidak absah menyembelih (karena) telah mrusak kalimah dua (syahadat), itulah orang yang meninggalkan shalat.