Ajaran Filsafat Aksara Sunda berdasarkan "Haksara Sasana Kreta" adalah sebagai berikut :

1. Ha-Na-Ca-Ra-Ka, bermakna Buana Nyuncung bersifat abstrak, menerangkan alam atas untuk memaknai YANG MAHA MUTLAK atau disebut PANCER.

2. Da-Ta-Sa-Wa-La-Pa-Ja bermakna manusia setelah diciptakan untuk memaknai Buana Panca Tengah atau Alam Kehidupan (Jiwa alam Rahim).

3. Ya-Nya-Ma-Ga-Ba-Nga, bermakna menyatunya Zat Pemberi Hidup (Khalik)dengan yang diberi hidup (mahluk) untuk memaknai Alam Lahir atau Jagat Semesta. Berarti menerima segala yang diperimtahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Esa.



Pemahaman dan penghayatan falsafah Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntutan dan menjadi panutan ke arah keselamatan dan kesempurnaan Hidup.

Pemahaman atau ajaran tersebut senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat (Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu). Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dijelaskan sebagai pola hidup yang harus dijalani (contoh :
harus mampu menahan diri, mampu mengendalikan hawa nafsu, nafsu perut dan nafsu kelamin, dsb).

Sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang konprehensif atas ajaran tersebut.

Pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa. Cara Ciri manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya :
1. Welas Asih bermakna Cinta Kasih
2. Undak Usuk bermakna tatanan dalam kekeluargaan.
3. Tata Krama bermakna tatanan prilaku.
4. Budi Bahasa dan Budaya.
5. Wiwaha Yudha Naradha bermakna sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya (pikir dahulu sebelum bertindak).

Apabila satu cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan ciri hal tersebut maka manusia tidak akan melakukannya. Prinsip kedua Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Dalam Filsafat Sunda Wiwitan, perbedaan antar manusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari :
1. Rupa.
2. Adat.
3. Bahasa.
4. Aksara.
5. Budaya.

 
Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam filsafat kitab Sunda, yang bernama Siksa KandaNg Karesyian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihapalkan. Hal tersebut tidak memberikan jaminan manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.



Falsafah  Ha Na Ca Ra Ka menjadi pedoman dalam menjalan roda pemerintah Negara dari mulai Salaka Nagara hingga Pajajaran. Metoda pembacaan berdasarkan sistematika Ha Na Ca Ra Ka atau Cacarakan berfungsi sebagai aksara pembentuk kata. Dimana setiap istilah kata dapat diketahui dengan jelas. Hal ini merupakan sebuah upaya rekontruksi agar arti dan makna sebenarnya dari berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kujang dapat diketahui dengan jelas dan akurat. Banyak kosa kata dan ungkapan dalam bahasa Sunda tidak dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Maka dari itu rekontruksi melalui aksara pembentuk kata ini menjadi sangat penting di dalam menterjemahkan berbagai makna filosofis dan simbolis pada berbagai perupaan kujang.

- Buana Nuncung / Madya (Hirup)
Aksara Ha Na mengandung pengertian ke-Tuhan-an atau Yang Maha Esa.
Akasara Ca Ra Ka mengandung pengertian sifat atau Hirup.  

- Buana Panca Tengah / Utama (Nu Hirup)
Kedudukan Buana Panca Tengah menerangkan perihal Nyawa atau Nu Hirup, yaitu Jiwa atau Wujud yang berkedukan di Dunia.
Aksara Da Ta Sa Wa La Pa Ja

- Buana Larang / Sampurna (Hurip)  
Aksara Ya Nya  mengandung pengertian Alam beserta isinya.

Aksara Ma-Ga-Ba-Nga mengandung pergertian, :

Buana Panca Tengah terdiri dari 18 Aksara disebut dengan istilah Panenengan atau Adegan, yang menerangkan dari mana asal manusia (ti mana Asal). Kemudian menuju Buana Larang menjadi 17 Aksara, disebut Pangjiwa atau Udagan, yang menerangkan orientasi atau tujuan hidup manusia menuju pencerahan (rek naon hirup jeung kumaha balik).

Adegan secara lahiriah bermakna menjadi atau Ngajadi (ngawujud). 

Udagan secara lahiriah bermakna menuju Cahaya atau Ngudag langit (balik ka Pangasalan/Leungit).







Selain dari berbagai permasalahan tersebut di atas, ada tambahan lain dalam menerjemahkan berbagai fenomena yang berhubungan dengan kosmologi Sunda yaitu Genep Karta Basa Sunda. Hal ini sangat berguna untuk membantu dalam pengungkapkan makna, terutama mengenai kedudukan kata dalam berbagai kata yang berkaitan dengan istilah bahasa Sunda. Genep Kata Karta Basa Sunda berawal HA, bermakna Suwung atau nilai inti, yang terdiri :



1. hu bermakna Pangagung, tertuang berbagai kata dan ungkapan, seperti : Ahung, karuhun,  luhur, buhun, dsb. Pangagung bermakna memberi nilai luhur (penghormatan).

2. e bermakna Panggeter, tertuang dalam berbagai kata dan ungkapan seperti : geger, bener, geleser dsb. Panggeter bermakna memberi nilai motivasi atau pendobrak.

3. é bermakna Pangleber, teruang dalam kata dan ungkapan seperti : hadé, béré, saréréa, pare dsb. Pangleber bermakna memberi luas.

4. eu bermakna Panglawang, tertuang dalam berbagai kata dan ungkapan seperti : leuweung, daweung, beuweung, deuheus, deukeut, dayeuh, kareu'eut dsb. Panglawang menerangkan karkater bahasa yang tidak terbatas.

5.  hi bermakna Pamatri, tertuang dalam berbagai kata dan ungkapan seperti : ajhi genhi, nandhi, handhini, dhiri, bhisi, bhilih, hihid, shiki dsb. Pamatri berfungsi sebagai penguat (memperkuat) atau mageuhan dalam bahasa Sunda.

6. ho bermakna Panjero, teruang dalam berbagai kata dan ungkapan seperti : bahlong, kebho, bangkhong, jagho, bangho, kobhong, boboko, bhorojol, khorodok dsb. Panjero berfungsi untuk mageran atau membatasi.

7.  A bermakna Pangajar, yang berfungsi sebagai awal mula atau permulaan, tertuang dalam dalam berbagai kata dan ungkapan seperti : baraya, rajamala, gajah, barakatak, baca, sadaya, bawa, sangkan, nya'ah, rasa, sabar, salah, karaha, karatan, karancang, lawang, cangak, ca'ang, lanang, pamangkas, pangarakm pakakas, raja, wayang, samar, rasa dsb. Dalam Genep Karta Basa Sunda fungsi Pangajar biasanya tidak dituliskan.
    
Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sebuah alternatif informasi mengenai dsiplin ilmu yang berasal dari kekayaan budaya negeri sendiri atau kearifan lokal (local genius) yang sarat dengan falsafah, nilai dan makna.

Tabe Pun,
Rahayu Ing Budhi,

_/|\_

Rampes